NovelToon NovelToon

KETURUNAN MATA HITAM

BAB 1

Malam begitu dingin, suasana mulai hening, dibalik keheningan, Ayuna masih nyaman meringkuk dibalik selimut. Sama sekali tak perduli dengan alarm yang bergetar, namun tiba-tiba suara keras menghantam di atas atap rumahnya.

'Suara itu lagi,' ucap Ayunan dalam hati.

Selama lima belas tahun, suara itu setiap malam ia dengar, selama itu pula Ayuna tak berani memeriksa apa yang terjadi dirumahnya.

Tidak lama berselang, disusul lagi suara kepakan sayap terdengar. Ayuna mulai diracuni rasa penasaran. Dia mencoba beranjak dari tempat di tidurnya, mengendap-endap menuju ke dapur dimana suara itu berasal.

Suara kepakan sayap itu masih terdengar jelas, tubuh Ayuna bergetar menahan rasa takut, sejenak dia menyinggahi kamar emaknya, namun didalam kelambu hanya ada adik bungsunya yang masih terlelap. Dia bingung, kemana emaknya?

"Apakah emak sedang dikamar mandi? mungkinkah yang bersuara itu emak?" gumam Ayuna.

Suara kepak sayap itu mulai berbaur dengan suara mengecap, rasa takut itu ia kesampingkan, Ayuna merasa emaknya mungkin saja bangun karena ikut mengecek suara aneh itu.

Saat membuka gorden, pintu dapur belakang terbuka lebar, mata Ayuna menyorot sesosok wanita tua bertelanjang bulat, wanita itu sedang mengisap air comberan di pembuangan tempat setiap hari ia mencuci piring.

Sekilas bentuk tubuh mahluk itu seperti emaknya, di ubun-ubun terdapat lubang yang mirip cahaya senter berwarna merah. Ayuna tak dapat melihat dengan jelas wajah mahluk iitu karena kondisi belakang rumahnya teramat gelap.

Setelah puas meminum air comberan, lidah perempuan berperawakan seram itu menjulur turun ke area dadanya, menjilati sendiri ****** *********** yang sudah kendor, Ayuna hanya bisa menelan saliva menyaksikan adegan kotor itu. Kaki tak mampu beranjak dari tempatnya berpijak, pun bibirnya ikut kelu untuk mengucapkan sesuatu.

Setelah puas mengisap putingnya sendiri, mahluk itu merapikan rambutnya yang acak-acakan, sayapnya masih mengepak bersiap-siap untuk terbang. Ayuna yang makin penasaran memilih lebih mendekat lagi. Tetapi langkah kakinya terdengar oleh mahluk itu, Ayuna terkejut ketika ubun-ubun bak senter itu menyorot ke wajahnya. Karena ketakutan, Ayuna berlari masuk ke dalam kamar emaknya.

"Ya Allah!"

Jeritannya membuat adiknya bangun, "Kakak kenapa, sih?" tanya Dira kesal. Kakinya sempat tadi terinjak oleh Ayuna.

"Tadi kakak liat ada setan' berwujud manusia," sahut Ayuna bergetar. Wajahnya pucat dibarengi embun keringat.

"Kakak mimpi kali, udah kakak kembali ke kamar, nanti emak bangun lagi," kata Dira yang belum menyadari tak ada emaknya disampingnya.

Ayuna membungkam mulut adiknya, dia melotot memberi isyarat agar adiknya itu tak berisik.

"Jangan kenceng suaranya, nanti mahluk itu dengar," bisik Ayuna.

"Mahluk apa, Kak?" tanya Dira kebingungan sembari melongok ke arah pintu.

Ayuna tak menjawab, dia malah melihat kasur menatap Dira yang kosong, pikirannya berkecamuk, tetapi segera dia membuyarkan pikirannya.

"Emak kemana?" Dira akhirnya menyadari itu.

Karena tak ingin membuat adiknya khawatir, Ayuna terpaksa berbohong.

"Tadi, emak ke tempat Kak Dewi, katanya mau lahiran," ucap Ayuna. Kak Dewi adalah sepupunya yang memang saat itu sedang hamil besar.

Diar mengangguk-angguk, dia kembali berbaring melepas kantuk. Sementara Ayuna beranjak kembali ke dapur, dia mencoba mengintip lagi di balik gorden. Sosok itu tak lagi terlihat, tapi pintu belakang terbuka lebar. Ingin rasanya Ayuna beranjak untuk menutup pintunya, namun rasa takut yang berlebihan tetap saja menggerogotinya.

'Apa kubiarkan saja pintu terbuka, tapi bagaimana kalau ada maling yang malah masuk,' lirih Ayuna.

Demi menjaga keamanan adiknya, Ayuna melawan rasa takutnya, dia berlari secepat kilat menutup pintu dengan rapat lalu berlari lagi kembali ke kamarnya.

Jam sudah menunjukkan pukul empat, tetapi belum juga tanda-tanda emaknya pulang. Mata Ayuna terasa sudah berat, karena lelah berpikir, dia malah ketiduran di sofa.

******

"Kak, Bagun. Sudah pagi," ucap Dira seraya menepuk-nepuk pipi kakaknya.

"Masih ngantuk," ujar Ayuna.

"Kak, Bagun kita pergi melayat kata emak, Kak Dewi meninggal tadi subuh," kata Dira.

Seketika kedua mata Ayuna melototi Dira.

"Yang bener?"

Dira menganggukkan kepalanya lalu berkata, "Sana mandi, emak udah nunggu di depan."

Usai mandi, Ayuna sudah berpakaian hitam. Di teras emaknya juga sudah berbusana muslim berwarna hitam. Raut wajah emaknya berseri-seri, bercahaya bak wanita sehabis pulang dari salon kecantikan. Ayuna saat itu masih takut menyapa emaknya, tak seperti biasanya yang penuh banyolan.

"Kok liatin emak kayak gitu?" tanya emaknya bingung.

Ayuna hanya menggelengkan kepala, masih teringat jelas mahluk yang semalam ia lihat, sangat menyeramkan dan begitu mirip dengan emaknya.

"Sebentar lagi Kak Dewi dikebumikan, ayo kita lihat kakak mu," ajak Emaknya.

Dira dan emaknya lebih dulu ke rumah duka yang hanya berjarak seratus meter dari rumah mereka. Perlahan Ayuna mengikuti emak dan adiknya dari belakang, pikirannya tetap sama, yaitu mengingat kejadian semalam.

Setiba di rumah duka, kasak-kusuk para pelayat terdengar begitu menyeramkan, tertangkap di telinga Ayuna tentang kematian kakak sepupu dari ayahnya itu sangat tidak wajar. Ayuna mencoba mendekat ke kelompok tantenya yang sedang bergunjing.

"Kok, si almarhumah bagian belakangnya ada bentol hitam besar," kata Tante Ayuna.

"Iya, mana anak dalam kandungannya tiba-tiba meninggal juga, padahal kemarin Dewi sempat ke warung saya," tambah Bu RT.

"Kayak di makan mahluk ghaib ya, Bu." Tante Ayuna yang satu lagi nimbrung pula.

Ayuna saat itu hanya diam menyimaknya, kematian Dewi memang tiba-tiba dan banyak menyimpan tanda tanya. Bayi didalam kandungan Dewi pun ikut meninggal padahal kata dokter yang memeriksanya, tak ada gangguan kesehatan yang berbahaya pada Dewi dan janinnya.

'Apakah kematian kak Dewi ada hubungannya dengan makhluk semalam?' Ayuna bertanya-tanya dalam hatinya sendiri. Dia masih takut bercerita pada orang-orang apa yang ia lihat semalam, takut tak ada yang percaya padanya, dan takut bila apa yang ia pikirkan itu benar adanya.

Di dekat jenazah Dewi, ada emaknya yang masih menangis sesenggukan, emaknya terlihat sangat sedih karena sudah menganggap Dewi sebagai anak kandungnya. Belum lagi Dewi selalu baik pada mereka bila sedang kesusahan.

*****

Maghrib pun tiba, malam itu menjelang malam Jum'at, emaknya selalu menyalakan dupa di tengah tiang rumah. Dari dulu Ayuna sangat risih bila mencium aroma bau dupa dengan taburan gula dan kulit bawang merah. Tradisi yang dilakukan emaknya adalah turun temurun di Desanya, sehingga Ayuna menganggap hal itu lumrah saja.

"Dari pagi kamu kok diam saja toh, Nak?" tanya emaknya.

Ayuna yang saat itu sedang melamun seketika terhenyak, "Tidak, Kok. Cuma masih sedih saja karena kak Dewi." Ayuna menjawab terbata-bata.

Emaknya duduk menonton TV di dekatnya, mata Ayuna kembali membandingkan postur tubuh mahluk itu dengan postur tubuh emaknya, tak ada yang beda, semua sama. Yang membuatnya heran, mengapa emaknya sama sekali tak ingat kejadian semalam? atau memang emaknya menyembunyikan semua itu darinya? pikiran Ayuna makin kacau.

"Hmm.emak kemana semalam?" tanya Ayuna memberanikan diri.

"Emak kan tidur bareng Dira, subuh emak ke rumah almarhumah karena sudah dipanggil Bibi mu," jawab emaknya santai.

Ayuna serasa ingin bertanya lebih dalam lagi, tapi takut bila buat emaknya tersinggung dan dia juga masih belum bisa menerima kenyataan bila apa yang dipikirannya adalah sebuah kebenaran.

BAB 2

Ayuna bersiap-siap berangkat kerja, saat itu adiknya pun Dira akan berangkat pula ke sekolah. Seperti biasa, Emaknya di sedang di kebun kecil yang berada disamping rumah mereka. Ayuna saat itu sama sekali tak pamit, dia merasa emaknya aneh.

"Kok gak pamit sama emak, Kak?" tanya Dira yang baru saja pamit dari emaknya.

"Udah tadi, kakak juga buru-buru nih," sahut Ayuna.

Ayuna yang saat itu bekerja di salah satu butik ternama di kotanya. Setiba di butik, kedua rekan kerja lainnya menyambutnya dengan deretan pertanyaan.

"Yun, bener kata tetanggaku Tante kamu meninggal karena di ganggu mahluk halus?" tanya Ririn dengan segala rasa keingintahuannya.

Deg!

Ayuna terperanjat, bagaimana bisa kecurigaannya itu sudah ditebak oleh temannya, dan menyebar luas hingga di kampung sebelah?

"Kok diam sih? jawab dong .." seru Ica yang juga sedang menunggu jawaban Ayuna.

Ayuna yang takut memberi jawaban salah memilih enyah dari hadapan kedua sahabatnya itu.

"Jangan omongin orang yang meninggal, gak baik, takutnya tanteku gak tenang nantinya," sahut Ayuna mengalikan pembicaraan.

Ririn dan Ica saat itu manggut-manggut saja. Mereka lupa bahwa Ayuna termasuk wanita solehah. Ia tak mungkin membicarakan sesuatu yang belum tentu kebenarannya.

Sementara itu, Ayuna masuk ke dalam ruangan ganti. Entah mengapa ia tiada henti gelisah dengan berita yang sudah menggemparkan seluruh pelosok Desa.

"Apakah aku harus diam-diam menguntit Emak?" batin Ayuna.

"Kalian berkumpul dulu, ada yang ingin saya sampaikan." Suara Bos mereka memanggilnya.

Ririn dan Ica terlebih dulu masuk ke ruang Bu Fatimah. Di dalam raungan itu ada anak Bu Fatimah bersama pengasuhnya. Saat Ayuna masuk ke dalam ruangan juga, anak Bu Fatimah malah menjerit-jerit histeris.

"Setan, Setan, pergi! Setan ada sayapnya, pergi!" Jerit bocah tujuh tahun itu seraya menunjuk ke Ayuna.

Bu Fatimah menyuruh pengasuhnya untuk membawa Abidzar keluar dari ruangan itu.

"Dasar Abidzar, wanita secantik ini dibilang setan," ketus Bu Fatimah.

Ayuna meraba tubuhnya sendiri, kekhawatiran mulai menghinggapinya setelah Abidzar berkata demikian.

"Oh ya, anak aku sudah seminggu sakit, Abidzar tidak.mau makan, bawaannya muntah-muntah dan demam, saya sudah bawa ke dokter dan melakukan perawatan tapi tak ada perubahan, kata keluarga Abidzar butuh obat kampung," papar bos mereka dengan raut wajah sedihnya.

Ketiga karyawannya itu melirik ke satu sama lainnya, Ririn yang selalu polos dalam segala hal menyampaikan pada bos mereka tentang apa yang ia ketahui.

"Bos, Emak Ayuna bisa dibilang tabib di kampung, orang-orang selalu datang ke rumahnya untuk berobat, apalagi kalau itu berbau gangguan jin," jelas Ririn.

Ayuna saat itu terkesiap, dia tak menyangka Ririn mengungkapkan itu pada bos-nya. Ia tahu, selama ini emaknya pandai mengobati orang-orang yang sakit, itu sudah tak di ragukan lagi, tapi setelah kejadian malam kemarin, Ayuna was-was akan hal itu.

"Ayuna? apa benar yang dikatakan Ririn?" tanya bosnya penuh harap agar semua itu benar.

Ayuna melirik ke Ririn, wajah polos sahabatnya itu tersenyum, bahagia telah membuat Ayuna bisa bermanfaat bagi bos mereka.

"Benar, Bu." Ayuna pasrah. Dia tak mampu memberikan alasan penolakan. Jika ia mengemukakan berbagai alasan, tentu Ririn dan Ica curiga padanya.

"Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu, aku janji, jika anakku sembuh, gaji kalian akan ku naikkan dua kali lipat, jadi tolong, bolehkah aku membawa Abidzar ke rumah mu Ayuna?"

Ayuna mengangguk, "Tentu saja, Bu."

Ayuna keluar dari ruangan itu dengan wajah memelas. Kegusarannya kian menjadi-jadi. Ia bahkan tak tahu harus berbuat apalagi agar Emaknya berhenti menjadi tabib. Ayunan takut jika pekerjaan Emaknya itu adalah musabab dari makhluk yang dilihatnya.

****

Usai maghrib, mereka semua bergegas pulang ke rumah masing-masing. Ayuna sudah mendapat info dari bosnya bahwa esok hari bosnya akan membawa Abidzar berobat ke rumahnya. Ayuna hanya mengiyakan saja.

Diperjalanan menuju dusunnya, Ayuna melihat mobil yang sedang mogok dijalan. Terlihat ada seseorang yang sangat ia kenali, Pak Ridwan selaku ketua RT saat itu sedang membantu mendorong mobil itu. Ayuna bergegas menghampiri untuk menyapa Pak Ridwan yang sudah ia anggap seperti paman sendiri.

"Pakde, dari tadi mobil ini mogok?" tanyanya.

Dengan suara terengah-engah, Pak Ridwan menjawab, "Iya, Yun. Pakde lagi nungguin warga-warga untuk datang membantu," sahutnya penuh harap.

Seseorang sedang berusaha mengemudi itu keluar dari mobil. Pria tampan itu menuju ke Pak Ridwan dengan raut kesal.

"Pakde, kayaknya mobilku ditinggal aja dulu deh, aku sudah lelah diperjalanan tadi, masa iya, harus melanjutkan ini lagi," keluhnya.

Ayuna melirik ke pria tampan itu, garis wajahnya tidak asing, tetapi lirikannya tertangkap oleh mata pria itu. Seketika Ayuna membuang pandangannya.

"Kamu Ayuna, ya?" tanya pria itu mengamati Ayuna dengan seksama.

Ayuna yang terkejut memalingkan wajah ke pria itu, "Iya, maaf kenal aku?" tanya Ayuna bingung.

Pak Ridwan menepuk pundak Ayuna lalu berkata, " Eh, itu Athar, anaknya kepala Desa kita."

Ayuna terdiam sejenak, Athar teman masa kecilnya saat di sekolah dasar, mereka terpisah karena Athar dipindahkan ke Jakarta bersama Kakek-neneknya kala itu.

"Ah, kamu lupa. Aku ingat kamu, tapi kamu malah lupa, ya wajarlah sudah lima belas tahun," ujar Athar ramah. Pria itu memang tak berubah, pembawaannya selalu rendah hati meski ia termasuk anak saudagar sapi dan sekaligus kepala Desa.

Ayyan yang sudah mengingat mengulurkan tangan untuk bersalaman.

"Maaf ya, aku sudah ingat kok, Athar Abdillah." Setelah perbincangan yang beberapa menit terlewati, Pak Ridwan memberi usul agar Ayuna mengantarkan Athar ke rumahnya.

"Kamu mau 'kan, Yun? Pak Kades dan Bu Kades udah nungguin anaknya dari tadi," kata Pak Ridwan.

"Iya, Pakde. Saya akan mengantar Athar pulang," sahutnya.

Saat itu Athar membonceng Ayuna dengan menggunakan sepeda motor Ayuna. Mereka berdua meninggalkan Pak Ridwan yang menjaga mobil itu sampai orang suruhan Pak Kades datang menemaninya.

"Kamu sekarang kegiatannya apa, Yun?" tanya Athar sembari mengemudikan motor itu secara perlahan.

"Aku kerja di butik," jawab Ayuna yang saat itu gemetaran karena baru kali ini di bonceng oleh pria apalagi itu Athar, sahabat kecilnya yang sudah lama tak bertemu.

"Wah, aku kangen banget suasana kampung, banyak perubahan ya," kata Athar menikmati pemandangan kampungnya malam ini.

Ayuna hanya bisa tersenyum, aroma parfum Athar menusuk ke hidungnya, pria itu sangat wangi. Ayuna bahkan diam-diam melirik wajah Athar yang samar-samar di kaca spion. Athar tumbuh dewasa dengan postur yang nyaris sempurna, batin Ayuna memuji.

"Bapak dan Emak kamu sehat?" tanya Athar.

"Bapak ku udah lama meninggal, Thar. Emak ku Alhamdulillah saat ini sehat," jawab Ayuna. Pertanyaan Athar mengingatkannya lagi dengan makhluk yang mirip Emaknya itu.

Ayuna seketika kembali gusar, entah mengapa jika memikirkan emaknya, tak ada ketenangan jika ia belum membuktikan bahwa mahluk itu tidak ada hubungan dengan emaknya.

BAB 3

Athar dan Ayuna sudah tiba di rumah Pak Kades yang tak lain rumah Athar sendiri. Ibu kades saat itu menyambut hangat kedatangan anak bungsunya, sejenak di melirik ke Ayuna, seperti biasanya, sikap Bu Kades itu selalu saja menampakkan kesombongannya, tak ada jiwa rendah hati sebagai tokoh masyarakat. Bu Kades hanya memandang orang-orang yang mampu, sementara Ayuna hanya keluarga miskin di Desanya.

"Saya pamit, Bu, Kak Athar," ucap Ayuna.

"Gak mampir, Yun?" tanya Athar.

"Aku capek, Kak. Mau cepet pulang istirahat aja," sahut Ayuna yang tak berani menoleh ke Bu Kades.

"Ohw, kalau begitu, terimakasih ya, hati-hati di jalan, Yun." Athar melambaikan tangan pada Ayuna. Bu Kades saat itu kesal jika anaknya terlalu akrab dengan Ayuna.

Athar masih mengawasi motor Ayuna hingga kejauhan, dia memastikan teman masa kecilnya itu baik-baik saja hingga masuk ke lorong rumahnya.

"Ayuk, Nak. Udah ah, jangan hiraukan lagi," ketus Bu Kades memaksa anaknya segera masuk ke dalam rumah.

Jarak rumah Athar dengan rumah Ayuna hanya berkisar seratus meter, sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk Ayuna tiba dirumahnya.

Ayuna melihat ada Emaknya sedang ada tamu, seperti biasa, tamu itu datang dengan berniat ingin berobat. Ayuna hanya tersenyum kecut, dari dulu ia tak senang jika ada yang datang meminta pada Emaknya untuk di jampi-jampi, Ayuna pikir itu cara musyrik yang harus Emaknya hentikan. Pengobatan yang dilakukan Emaknya selalu saja mengunakan ayam hitam hidup sebagai tanda pelepasan penyakit yang ada pada diri pasiennya.

Ayuna yang berada di dalam kamar mengintip dibalik pintu, dia menguping segala pembicaraan Emaknya dan juga tamunya itu.

"Ini di ganggu jin yang ada di dekat rumah mu, sebaiknya kamu siram air ini ke seluruh sudut rumah mu supaya kamu terhindar dari jin itu lagi," kata Emak Ayuna sembari memberikan air ajian itu.

"Terimakasih, Emak. Bisakah kami meminta jimat supaya kamu terlindungi dari jin?" tanya pasien suami-isteri itu.

Emak Ayuna mengeluarkan dari kantong bajunya dua jimat terbuat dari akar pohon yang ia lilit benang hitam.

"Pakai ini selalu, jangan pernah lepaskan," ujarnya.

"Semoga ini melindungi kami, Emak."

"Tentu saja," sahut Emak Ayuna.

Mendengar percakapan itu, amarah Ayuna kian memuncak, dia sangat ingin memberitahu sepasang suami-isteri itu bahwa yang mereka lakukan musyrik, tetapi di sisi lain, ada Emaknya yang akan marah jika pengobatannya di anggap musyrik terutama dari anaknya sendiri.

Setelah tamunya itu pamit, Emaknya kembali ke kamar menyimpan uang yang diberikan pasien tadi. Ayuna mencoba ingin berbicara lagi tentang pekerjaan Emaknya itu.

"Mak, dapat uang berapa?" tanya Ayuna mengikuti Emaknya masuk ke dalam kamar.

"Seikhlasnya mereka saja, Emak tidak mau memaksakan," sahut Emaknya seraya memasukkan uang hasil tabibnya ke dalam kaleng penyimpanannya.

"Emak, aku pikir ada baiknya Emak berhenti obat-obat kayak gini, ini menjurus musyrik, Mak."

Wajah Emaknya memerah, dia sangat tak menyukai Ayuna berkata yang dilakukannya adalah musyrik. Bagi Emaknya, ini ilmu yang berkah yang turun-temurun dari nenek moyangnya terdahulu. Sebagai cucu yang baik, dia harus menjaga baik dan memberikan manfaat bagi orang lain.

"Kamu itu, selalu menganggap ini musyrik, itu musyrik. Hei, musyrik itu ketika kamu bersekutu dengan Iblis lalu meminta harta dari tumbal, ini bukan musyrik, ini cara Allah kasi Emak kelebihan buat bantu sesama,"jelas Emaknya.

Ayuna tak habis pikir dengan sudut pandang Emaknya yang menanggap Ilmu nenek moyangnya adalah keberkahan, sedangkan ajaran agama Islam yang mereka anut bertolak belakang dengan Ilmu itu.

"Lebih baik Emak perdalam Agama lagi, jangan kayak gini terus, Emak 'kan sering ngaji ikut kajian, ayolah Emak, berhenti," ucap Ayuna penuh harap.

"Anak ini makin hari makin salah ajaran, kamu yang harus tahu tentang seluk beluk nenek moyang kita, sudahlah, Emak tidak suka berdebat seperti ini, kalau tidak suka, diam saja."

Emaknya tetap saja bersikukuh dengan kepercayaannya, dia akan tetap menjadi tabib karena menganggap dirinya memiliki kelebihan yang di berikan oleh Allah SWT. Emaknya pikir segala jimat dan berbagai ajiannya adalah perantara Allah untuk melindungi para hamba-nya.

Ayuna kembali ke kamarnya dengan amarah yang meletup-letup, dia sangat tidak suka dengan keras kepala Emaknya. Ayuna hanya tak ingin Emaknya salah jalan hingga menjemput kematian. Ayuna tahu betul, yang dilakukan Emaknya menyalahi aturan agama serta menyekutukan Allah SWT.

***

Athar duduk santai bersama keluarganya, mereka membahas segala kehidupan Athar saat di kota dengan pamannya, membahas segala kehidupan kuliah Athar yang banyak menemukan kendala karena masa pandemi, sampai akhirnya tiba Bu Kades bercerita tentang keanehan di Desanya yang belum terungkap hingga sekarang.

"Tidak di kota, tidak di Desa, sama saja, di kampung kita lebih parah lagi, That. Selalu saja banyak wanita hamil meninggal secara tiba-tiba, padahal mereka tak ada gejala sakit apapun," ujar Ibunya.

"Beneran, Bu? Kok gitu? Jadi semua wanita hamil dikampung kita meninggal semua?" tanya Athar yang masih terkejut dengan penuturan Ibunya.

"Bukan semuanya juga, tapi ada saja, setiap tahun bisa tiga orang, Nak. Entah kenapa, Bapak dan Ibu mencurigai ada hawa tidak baik di kampung kita dari dulu," jelas Bu Kades.

Seringkali saat dia mengadakan pengajian, para Ibu-ibu yang menghadiri pengajian itu bergunjing mengatakan bahwa ada yang menganut Ilmu hitam di Desanya. Bu Kades yang sudah terkontaminasi budaya modern sempat tak mempercayai itu, tetapi dengan peristiwa kematian Dewi kemarin membuatnya yakin ada kejanggalan di Desa yang saat itu di pimpin oleh suaminya.

"Itu sudah biasa di kampung-kampung, Bu. Tempat aku KKN dulu kayak gitu, tapi jika mendengar cerita Ibu, di Desa kita termasuk parah, berarti kita bisa mengasumsikan bahwa wanita hamil itu dijadikan tumbal atau sejenisnya, Bu." Athar yang belajar Ilmu filsafat sedikit memahami tentang Ilmu hitam.

Pak Kades saat itu hanya menghela nafas, dia masih bingung menangani itu. Sebagai kepala desa, dia bertangungjawab atas segala kondisi masyarakatnya, termasuk menangani Ilmu hitam yang sudah memakan banyak korban itu.

"Makanya, jangan bergaul dengan sembarang orang di Desa ini, termasuk siapa tadi itu, anak Sumarni itu, jangan, Nak. Saya tidak suka dengan Emaknya," kata Bu Kades mengungkapkan ketidaksukaannya pada Ayuna pada Athar.

Athar mengerutkan alisnya, dia tak Habsi pikir dengan cara Ibunya tidak menyukai Ayuna, bukankah dia dan Ayuna sudah sejak lama mengenal, bahkan Ayuna seringkali datang ke rumahnya bermain, Ibunya pun selalu menyambut baik kedatangan Ayuna sewaktu dulu sebelum Bapaknya di angkat menjadi kepala desa.

"Wah, jangan gitulah, Bu. Ayuna anak baik-baik, Emaknya juga itu orang yang sangat baik," kata Athar.

"Terserah kamu, tapi jangan terlalu akrab, Ibu akan marah besar, kalau kamu sembarangan berteman dengan muda-mudi di Desa kita," ujar Ibunya mewanti-wanti.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!