CINTA & DENDAM
Sukabumi, Jawa Barat.
“Pergi Lah kalian. Paman Dany sudah mati. Dia ada di neraka. Bukan di sini lagi,” teriak Agita murka.
Semua barang-barang di dalam rumah gubuknya meski sudah usang dan juga butut dibanting dan di buang ke teras rumah hingga pecah belah.
Bahkan gadis muda itu menatap sedih ketika melihat hiburan satu-satunya televisi tabung pun ikut raib dibuang oleh pria bertubuh besar empat kali dari tubuhnya.
“Tolong juragan,” kata Nek Lestari menatap nanar pada pria berusia enam puluh tahun yang berdiri dengan berpangku tangan di depan teras rumahnya.
“Jangan seperti ini sama Nenek.”
Tidak ada tanggapan, pria tua itu hanya menatap bengis pada wanita senja di depannya. Nek Lastri menghela napas berat, menatap satu cucunya yang tengah menarik pria bertubuh besar.
Nenek Lastri menghampiri Juragan Karto. “Saya tahu juragan marah karena saya belum mencicil hutang anak saya.
"Tapi tolong kasih saya waktu. Saya pasti akan mencicil hutang si Dany. Tapi, jangan usir kami dari rumah gubuk ini. Saya nggak punya tempat tinggal lagi buat kedua cucu saya, Juragan,” mohon Nek Lastri.
“Saya nggak peduli Nek Lastri mau tinggal di mana. Tapi saya sudah jengah mengingatkan hal ini sama Nenek. Hutang si Dany itu cukup besar, Nek!
"Rumah gubuk Nenek ini nggak akan cukup buat menebus hutang yang sudah bertahun-tahun nggak pernah dicicil itu!” tegas Juragan Karto.
“Saya mohon, Juragan. Saya baru tau kalau Dany menggadaikan rumah ini buat jaminan. Dia selama ini nggak pernah bilang sama saya.”
Pria berusia enam puluh tahun itu berdecak lidah. “Itu bukan urusan saya. Saya hanya ingin Nenek keluar dari rumah ini. Pergilah Nek, sebelum saya bertindak kasar!” tegasnya lagi.
“Juragan, saya mohon.”
Juragan Karto naik pitam, ia pun mendorong tubuh wanita tua itu hingga terjungkir dan hampir saja mendarat di atas tanah kering bila kedua wanita itu tidak lekas menopang tubuh orang tua satu-satunya.
“Juragan kenapa kejam sama Nenek saya,” amuk Aretha. Kedua matanya berkaca-kaca pandangi pria tua di depannya itu yang berdecak lidah.
“Saya ini sudah cape, kasih Nenek kamu itu kesempatan beberapa kali. Kalau tidak bisa mencicil hutang si Dany. Ya, tinggalkan rumah gubuk itu!"
“Hutang?"
"Hutang apa, Juragan?” tanya Aretha seraya membangunkan Nek Lastri setelah memeriksa keadaan wanita senja itu baik-baik saja.
Pria itu berjalan mendekati wanita muda seusia putrinya itu.
“Paman Dany sudah menggadaikan rumah ini dan juga tanah perkebunan Nenek, Ka,” ucap Agita memberitahukan masalah yang sebenarnya tengah dipikul Nek Lestari sendirian.
Kening Aretha berkerut dengan mata pandangi wanita senja itu yang tak pernah berceita.
“Betul itu, Aretha. Sertifikat rumah butut ini, kebun dan juga sawan Nenekmu itu sudah digadaikan si Dany cukup lama. Lima tahun,” seru Juragan Karto seraya menunjuk dengan jarinya.
“Selama lima tahun ini si Dany pamanmu itu belum sama sekali mencicil hutangnya,” sambungnya lagi dengan helaan napas berat.
Mata Aretha lagi lagi membulat dan lagi pandangi wanita senja itu yang selama ini diam tidak menceritakan hal ini padanya.
Namun, perkataan Juragan Karto di anggukan benar oleh Nek Lastri.
Aretha menarik nafasnya dalam-dalam. “Berapa hutang paman Dany pada Juragan?” tanya Aretha, pelan.
“5 miliar! Hutang si Dany sama saya!”
“Hah?” seru Aretha bersamaan dengan Agita yang nampak syok.
“5 miliar?" Ulangnya
Aretha menggeleng kepala tidak percaya kalau pamannya akan berhutang sebesar itu pada Juragan Karto jelas di kampung ini di kenal dengan rentenir paling kejam.
Nek Lastri berjalan dibantu oleh Agita mendekat pada pria tua di depannya.
“Dani hanya meminjam uang 200 juta pada Juragan. Kenapa jadi 5 miliar?” Nek Lastri pun ikut terkejut atas perkataan pria tersebut.
Terakhir kalinya, Nek Lastri menghubungi Dany dan menanyakan kebenaran perihal hutang pada Juragan Karto pun, Dany menjawab kalau hutanganya hanya 200 juta untuk modal usaha di kota sebelah. Kenapa mendadak jadi sebesar ini?
“5 miliar itu berikut dengan bunga-bunganya yang harus di stor setiap harinya. Lah, si Dany ini selama pinjam sama sekali nggak mencicilnya. Selama 5 tahun ini belum ada uang yang masuk satu sent pun. Ya menggunung jadinya," jawab Juragan Karto dengan eskpresi santai.
Kedua tangan Agita terkepal erat dengan ekspresi marah. Begitu teganya orang terpandang seperti Juragan Karto mempermainkan orang miskin sepertinya.
Semenatara Aretha sendiri berpikir dalam diam. Wanita itu tengah bingung untuk memutuskan antara merelakan semua warisan itu atau mempertahankannya?
“Saya minta waktu Juragan. Saya akan mencicilnya,” ucap Aretha, pelan.
Pria itu menatap remeh pada wanita muda di depannya. “Ck! Hutang si Dany itu 5 Miliar, Aretha. Kamu mau mencicil bagaimana, hah?
"Sampai kamu menjual diri pun nggak akan mampu buat melunasi hutang si Dany itu,” kata Juragan Karto seraya berjalan menghampiri dua gadis cantik dengan senyuman smirk.
Aretha mundur selangkah menatap takut. “Oke kalau begitu. Saya akan kasih kamu kesempatan, sampai kamu nggak bisa cicil hutangnya si Dany. Maka—” Pria tua itu menahan kalimatnya dengan mantap tajam pada gadis cantik berusia dua puluh tiga tahun itu yang terlihat ketakutan.
“Saya akan jadikan kamu istri ke lima belas!"
Agita menggenggam erat tangan kakaknya sementara Juragan Karto tersenyum miring menatap gemas pada dua bunga desa yang nampak ketakutan. “Ah. Satu tidak akan cukup untuk melunasi hutang si Dany yang besar itu!”
Mata Juragan Karto melirik pada wajah pucat gadis yang masih duduk di bangku kelas 3 SMA.
“Adikmu, terpaksa harus menjadi istri keenam belas saya, mengingat istri-istri saya nggak ada yang masih muda kayak kalian berdua.
"Nggak salahnya saya akan nikahi kalian berdua menjadi istri ke lima belas dan juga keenam belas agar hutang si Dany, LUNAS!” tegas Juragan Karto, mutlak.
Deg!
Jantung Aretha rasanya terlepas dari rongganya, kedua matanya masih pandangi pria tua nan kejam di hadapannya itu. Kenapa hutang pamannya itu harus ia dan adiknya yang masih bersekolah pun terseret dalam masalah ini.
“Jangan pernah kalian punya pikiran melarikan diri dari kampung ini kalau tidak—”
Kedua mata pria tua itu menatap tajam dengan ekspresi serius. “Saya akan membunuh kalian semua. Ingat itu!” ancamnya seraya berlalu pergi setelah menatap anak buahnya bak kode agar pergi dari rumah butut dan juga keramaian warga yang menonton.
Aretha berdiri mematung, kedua matanya tak lepas menatap kepergian pria tua itu. Seharusnya, tadi ia merelakan rumah butut itu dan pergi meninggalkan semua kenangan dengan kedua orang tuanya.
Namun, bila sudah seperti ini membawa pergi nenek dan juga adiknya sudah terlambat sudah. Kini, Aretha lah yang harus mencari uang demi menyelamatkan dirinya dan juga adiknya yang ikut terseret dalam masalah hutang pamannya.
“Ka….” Agita memeluk Aretha. “Kita harus bagaimana?”
Aretha berikan senyuman lebar sekalipun pikirannya penuh, harus mencari uang sebanyak itu kemana untuk menyelamatkan adiknya itu.
“Nggak usah dipikirin ya ancaman Juragan Karto,” ucap Aretha seraya mengusap pelan kepala Agita.
“Bagaimana nggak dipikirkan sih Ka. Orang jelas-jelas Agita ikut diancam juga dan jadi istri keenam belas, bila kita nggak sanggup bayar hutang paman! Agita nggak mau, Ka. Agita nggak mau jadi istrinya Juragan Karto!” tolak Agita keras.
“Sssttt… Kakak janji sama kamu. Itu nggak akan pernah terjadi,” ucap Aretha meyakinkan Agita.
“Kaka akan bekerja lebih keras lagi untuk mencicil hutang paman Dani sekalipun jumlahnya sangat besar.”
“Tapi uang 5 miliar sebanyak itu kakak mau cari kemana? Mau kerja sampai berdarah-darah sekalipun, kita nggak akan mampu mencicil hutang itu sampai lunas, Kak.”
Agita benar. Aretha harus mencari kemana uang sebanyak itu. Apa Aretha harus menjual diri mengubur semua cita-citanya demi nasib adiknya.
Gadis yatim itu menghembuskan napas berat, yang bisa Aretha lakukan saat ini hanya berdoa di dalam hati semoga Tuhan memberikan jalan keluar dari masalah yang tengah dihadapinya.
“Apa kita pergi saja dari kampung ini diam-diam ya, Ka?”
Aretha menggeleng pelan, tidak. Pergi dari kampung bukan menyelesaikan masalah tapi yang ada akan menambah masalah. Juragan Karto bukan pria bodoh apa lagi setelah Aretha mendengarkan ancamannya.
“Aretha…” Nek Lastri menghampiri kedua cucunya.
“Maafkan Nenek, Nduk.” Nek Lastri memeluk kedua cucunya.
“Karena hutang pamanmu, kalian jadi ikut menanggungnya.”
Aretha berikan gelengan dengan dan lagi dia tersenyum lebar pada Nek Lastri. Di sini Neneknya tidak salah, yang patut disalahkan itu pamannya yang sudah membuat bencana pada ibu sekaligus dua keponakannya di kampung.
“Sudahlah, Nek. Nggak usah banyak pikiran. Kita harus menghadapi semuanya ini dengan pikiran dingin, Nek.
"Aretha akan bekerja keras dan tidak akan melarikan diri. Sudah diberikan kepercayaan oleh Juragan Karto kita nggak boleh ingkar kan, Nek?”
“Tapi, Nduk.”
Aretha meraih tangan dua wanita di depannya. “Aretha janji akan kerja keras. Kakak juga janji nggak akan rela kamu jadi istri ke enam belas.”
“Amit-amit Ka. Agita nggak mau. Agita mendingan mati daripada harus menikah dengan pria tua kayak dia,” tolak Agita.
“Hush. Nggak boleh berkata seperti itu, Nduk,” sahut Nek Lastri.
Aretha mengangguk pelan membenarkan.
“Neng…” Panggilan pria paruh baya membuat ketiga wanita yang berdiri pun menoleh sejenak.
Pria itu menghampiri Aretha bersama dua wanita di sampingnya setelah membantu mengangkut barang yang masih bisa terselamatkan.
“Mamang minta maaf, Nggak bisa nolongin Nenek saat Juragan Karto datang.”
“Nggak apa-apa Mang. Kita juga ngerti bagaimana sifat Juragan Karto.”
“Mamang bisa bantu Neng Aretha buat cari pekerjaan. Mudah-mudahan bisa membantu mencicil hutangnya Mas Dany pada Juragan Katro.
"Kalau Neng Aretha masih terus bekerja jadi pelayan toko dengan gaji kecil sampai mati pun nggak akan pernah lunas Neng. Yang ada Neng Aretha dan Agita terancam menjadi istri Juragan Karto,” kata Mang Udin membuat Agita semakin takut.
“Mang Udin tadinya mau bawa Fitri buat ke kota buat kerja di sana jadi IRT di rumah majikan Mamang. Kalau Neng Aretha mau, biar Neng Aretha dulu yang masuk Fitri belakangan. Gimana?”
Aretha menatap sejenak tetangganya. “Kebetulan majikan Mamang juga punya pabrik tekstil di sana. Mudah-mudahan manjikan Mang Udin bisa bantu masukin Neng ke Pabrik dan Fitri yang gantiin jadi IRT.”
"Gajinya lumayan, Neng. Nambah-nambah cicil hutang ke Juragan Karto,” bujuk Mang Udin.
Aretha menghembuskan napas berat, kepalanya penuh akan tawaran Mang Udin. Jujur bila sudah didesak seperti ini siapapun pasti tidak akan berpikir panjang dan langsung bersedia.
Mang Udin benar, Aretha sudah setahun bekerja jadi pelayan toko dengan gaji kecil sedangkan di kota sudah tentu pendapatannya besar.
“Saya mau Mang. Yang penting halal. Ini halal kan Mang?” tanya Aretha.
“Lah, apa bekerja jadi buruh pabrik atau IRT itu pekerjaan haram Neng?” tanya Mang Udin merasa tersinggung seolah Aretha tidak percaya ia akan membantunya.
“Bukan begitu. Yang penting halal Aretha mau, Mang.”
“Halal bin thayyiban, Neng.”
Aretha mengangguk setuju. “Mamang cuman kasihan lihat Neng Aretha yang habis di datangi Juragan Karto dan mengancam Neng mau di kawinin.
"Bagaimanapun Mamang ini tetangga kamu dan juga teman baik mendiang Ibumu, Andini.”
“Baiklah Mang. Aretha setuju. Kapan Mamang ajak Aretha ke Jakarta buat kerja jadi IRT?”
“Kalau besok bagaimana?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Ci_Osyih Aenta
Aku mampir lagi, mangat...
2023-01-16
0
ZaeV92
hadir kakak🥰
2023-01-08
0
Alya Dinda pratama
semangat thor
2023-01-01
0