NovelToon NovelToon

CINTA & DENDAM

5 Milliar

Sukabumi, Jawa Barat.

“Pergi Lah kalian. Paman Dany sudah mati. Dia ada di neraka. Bukan di sini lagi,” teriak Agita murka.

Semua barang-barang di dalam rumah gubuknya meski sudah usang dan juga butut dibanting dan di buang ke teras rumah hingga pecah belah.

Bahkan gadis muda itu menatap sedih ketika melihat hiburan satu-satunya televisi tabung pun ikut raib dibuang oleh pria bertubuh besar empat kali dari tubuhnya.

“Tolong juragan,” kata Nek Lestari menatap nanar pada pria berusia enam puluh tahun yang berdiri dengan berpangku tangan di depan teras rumahnya.

“Jangan seperti ini sama Nenek.”

Tidak ada tanggapan, pria tua itu hanya menatap bengis pada wanita senja di depannya. Nek Lastri menghela napas berat, menatap satu cucunya yang tengah menarik pria bertubuh besar.

Nenek Lastri menghampiri Juragan Karto. “Saya tahu juragan marah karena saya belum mencicil hutang anak saya.

"Tapi tolong  kasih saya waktu. Saya pasti akan mencicil hutang si Dany. Tapi,  jangan usir kami dari rumah gubuk ini. Saya nggak punya tempat tinggal lagi buat kedua cucu saya, Juragan,” mohon Nek Lastri.

“Saya nggak peduli Nek Lastri mau tinggal di mana. Tapi saya sudah jengah mengingatkan hal ini sama Nenek. Hutang si Dany itu cukup besar, Nek!

"Rumah gubuk Nenek ini nggak akan cukup buat menebus hutang yang sudah bertahun-tahun nggak pernah dicicil itu!” tegas Juragan Karto.

“Saya mohon, Juragan. Saya baru tau kalau Dany menggadaikan rumah ini buat jaminan. Dia selama ini nggak pernah bilang sama saya.”

Pria berusia enam puluh tahun itu berdecak lidah. “Itu bukan urusan saya. Saya hanya ingin Nenek keluar dari rumah ini. Pergilah Nek, sebelum saya bertindak kasar!” tegasnya lagi.

“Juragan, saya mohon.”

Juragan Karto naik pitam, ia pun mendorong tubuh wanita tua itu hingga terjungkir dan hampir saja mendarat di atas tanah kering bila kedua wanita itu tidak lekas menopang tubuh orang tua satu-satunya.

“Juragan kenapa kejam sama Nenek saya,” amuk Aretha. Kedua matanya berkaca-kaca pandangi pria tua di depannya itu yang berdecak lidah.

“Saya ini sudah cape, kasih Nenek kamu itu kesempatan beberapa kali. Kalau tidak bisa mencicil hutang si Dany. Ya, tinggalkan rumah gubuk itu!"

“Hutang?"

"Hutang apa, Juragan?” tanya Aretha seraya membangunkan Nek Lastri setelah memeriksa keadaan wanita senja itu baik-baik saja.

Pria itu berjalan mendekati wanita muda seusia putrinya itu.

“Paman Dany sudah menggadaikan rumah ini dan juga tanah perkebunan Nenek, Ka,” ucap Agita memberitahukan masalah yang sebenarnya tengah dipikul Nek Lestari sendirian.

Kening Aretha berkerut dengan mata pandangi wanita senja itu yang tak pernah berceita.

“Betul itu, Aretha. Sertifikat rumah butut ini, kebun dan juga sawan Nenekmu itu sudah digadaikan si Dany cukup lama. Lima tahun,” seru Juragan Karto seraya menunjuk dengan jarinya.

“Selama lima tahun ini si Dany pamanmu itu belum sama sekali mencicil hutangnya,” sambungnya lagi dengan helaan napas berat.

Mata Aretha lagi lagi membulat dan lagi pandangi wanita senja itu yang selama ini diam tidak menceritakan hal ini padanya.

Namun, perkataan Juragan Karto di anggukan benar oleh Nek Lastri.

Aretha menarik nafasnya dalam-dalam. “Berapa hutang paman Dany pada Juragan?” tanya Aretha, pelan.

“5 miliar! Hutang si Dany sama saya!”

“Hah?” seru Aretha bersamaan dengan Agita yang nampak syok.

“5 miliar?" Ulangnya

Aretha menggeleng kepala tidak percaya kalau pamannya akan berhutang sebesar itu pada Juragan Karto jelas di kampung ini di kenal dengan rentenir paling kejam.

Nek Lastri berjalan dibantu oleh Agita mendekat pada pria tua di depannya.

“Dani hanya meminjam uang 200 juta pada Juragan. Kenapa jadi 5 miliar?” Nek Lastri pun ikut terkejut atas perkataan pria tersebut.

Terakhir kalinya, Nek Lastri menghubungi Dany dan menanyakan kebenaran perihal hutang pada Juragan Karto pun, Dany menjawab kalau hutanganya hanya 200 juta untuk modal usaha di kota sebelah. Kenapa mendadak jadi sebesar ini?

“5 miliar itu berikut dengan bunga-bunganya yang harus di stor setiap harinya. Lah, si Dany ini selama pinjam sama sekali nggak mencicilnya. Selama 5 tahun ini belum ada uang yang masuk satu sent pun. Ya menggunung jadinya," jawab Juragan Karto dengan eskpresi santai.

Kedua tangan Agita terkepal erat dengan ekspresi marah. Begitu teganya orang terpandang seperti Juragan Karto mempermainkan orang miskin sepertinya.

Semenatara Aretha sendiri berpikir dalam diam. Wanita itu tengah bingung untuk memutuskan antara merelakan semua warisan itu atau mempertahankannya?

“Saya minta waktu Juragan. Saya akan mencicilnya,” ucap Aretha, pelan.

Pria itu menatap remeh pada wanita muda di depannya.  “Ck! Hutang si Dany itu 5 Miliar, Aretha. Kamu mau mencicil bagaimana, hah?

"Sampai kamu menjual diri pun nggak akan mampu buat melunasi hutang si Dany itu,” kata Juragan Karto seraya berjalan menghampiri dua gadis cantik dengan senyuman smirk.

Aretha mundur selangkah menatap takut. “Oke kalau begitu. Saya akan kasih kamu kesempatan, sampai kamu nggak bisa cicil hutangnya si Dany. Maka—” Pria tua itu menahan kalimatnya dengan mantap tajam pada gadis cantik berusia dua puluh tiga tahun itu yang terlihat ketakutan.

“Saya akan jadikan kamu istri ke lima belas!"

Agita menggenggam erat tangan kakaknya sementara Juragan Karto tersenyum miring menatap gemas pada dua bunga desa yang nampak ketakutan. “Ah. Satu tidak akan cukup untuk melunasi hutang si Dany yang besar itu!”

Mata Juragan Karto melirik pada wajah pucat gadis yang masih duduk di bangku kelas 3 SMA.

“Adikmu, terpaksa harus menjadi istri keenam belas saya, mengingat istri-istri saya nggak ada yang masih muda kayak kalian berdua.

"Nggak salahnya saya akan nikahi kalian berdua menjadi istri ke lima belas dan juga keenam belas agar hutang si Dany, LUNAS!” tegas Juragan Karto, mutlak.

Deg!

Jantung Aretha rasanya terlepas dari rongganya, kedua matanya masih pandangi pria tua nan kejam di hadapannya itu. Kenapa hutang pamannya itu harus ia dan adiknya yang masih bersekolah pun terseret dalam masalah ini.

“Jangan pernah kalian punya pikiran melarikan diri dari kampung ini kalau tidak—”

Kedua mata pria tua itu menatap tajam dengan ekspresi serius. “Saya akan membunuh kalian semua. Ingat itu!” ancamnya seraya berlalu pergi setelah menatap anak buahnya bak kode agar pergi dari rumah butut dan juga keramaian warga yang menonton.

Aretha berdiri mematung, kedua matanya tak lepas menatap kepergian pria tua itu. Seharusnya, tadi ia merelakan rumah butut itu dan pergi meninggalkan semua kenangan dengan kedua orang tuanya.

Namun, bila sudah seperti ini membawa pergi nenek dan juga adiknya sudah terlambat sudah. Kini, Aretha lah yang harus mencari uang demi menyelamatkan dirinya dan juga adiknya yang ikut terseret dalam masalah hutang pamannya.

“Ka….” Agita memeluk Aretha. “Kita harus bagaimana?”

Aretha berikan senyuman lebar sekalipun pikirannya penuh, harus mencari uang sebanyak itu kemana untuk menyelamatkan adiknya itu.

“Nggak usah dipikirin ya ancaman Juragan Karto,” ucap Aretha seraya mengusap pelan kepala Agita.

“Bagaimana nggak dipikirkan sih Ka. Orang jelas-jelas Agita ikut diancam juga dan jadi istri keenam belas, bila kita nggak sanggup bayar hutang paman! Agita nggak mau, Ka. Agita nggak mau jadi istrinya Juragan Karto!” tolak Agita keras.

“Sssttt… Kakak janji sama kamu. Itu nggak akan pernah terjadi,” ucap Aretha meyakinkan Agita.

“Kaka akan bekerja lebih keras lagi untuk mencicil hutang paman Dani sekalipun jumlahnya sangat besar.”

“Tapi uang 5 miliar sebanyak itu kakak mau cari kemana? Mau kerja sampai berdarah-darah sekalipun, kita nggak akan mampu mencicil hutang itu sampai lunas, Kak.”

Agita benar. Aretha harus mencari kemana uang sebanyak itu. Apa Aretha harus menjual diri mengubur semua cita-citanya demi nasib adiknya.

Gadis yatim itu menghembuskan napas berat, yang bisa Aretha lakukan saat ini hanya berdoa di dalam hati semoga Tuhan memberikan jalan keluar dari masalah yang tengah dihadapinya.

“Apa kita pergi saja dari kampung ini diam-diam ya, Ka?”

Aretha menggeleng pelan, tidak. Pergi dari kampung bukan menyelesaikan masalah tapi yang ada akan menambah masalah. Juragan Karto bukan pria bodoh apa lagi setelah Aretha mendengarkan ancamannya.

“Aretha…” Nek Lastri menghampiri kedua cucunya.

“Maafkan Nenek, Nduk.” Nek Lastri memeluk kedua cucunya.

“Karena hutang pamanmu, kalian jadi ikut menanggungnya.”

Aretha berikan gelengan dengan dan lagi dia tersenyum lebar pada Nek Lastri. Di sini Neneknya tidak salah, yang patut disalahkan itu pamannya yang sudah membuat bencana pada ibu sekaligus dua keponakannya di kampung.

“Sudahlah, Nek. Nggak usah banyak pikiran. Kita harus menghadapi semuanya ini dengan pikiran dingin, Nek.

"Aretha akan bekerja keras dan tidak akan melarikan diri. Sudah diberikan kepercayaan oleh Juragan Karto kita nggak boleh ingkar kan, Nek?”

“Tapi, Nduk.”

Aretha meraih tangan dua wanita di depannya. “Aretha janji akan kerja keras. Kakak juga janji nggak akan rela kamu jadi istri ke enam belas.”

“Amit-amit Ka. Agita nggak mau. Agita mendingan mati daripada harus menikah dengan pria tua kayak dia,” tolak Agita.

“Hush. Nggak boleh berkata seperti itu, Nduk,” sahut Nek Lastri.

Aretha mengangguk pelan membenarkan.

“Neng…” Panggilan pria paruh baya membuat ketiga wanita yang berdiri pun menoleh sejenak.

Pria itu menghampiri Aretha bersama dua wanita di sampingnya setelah membantu mengangkut barang yang masih bisa terselamatkan.

“Mamang minta maaf, Nggak bisa nolongin Nenek saat Juragan Karto datang.”

“Nggak apa-apa Mang. Kita juga ngerti bagaimana sifat Juragan Karto.”

“Mamang bisa bantu Neng Aretha buat cari pekerjaan. Mudah-mudahan bisa membantu mencicil hutangnya Mas Dany pada Juragan Katro.

"Kalau Neng Aretha masih terus bekerja jadi pelayan toko dengan gaji kecil sampai mati pun nggak akan pernah lunas Neng. Yang ada Neng Aretha dan Agita terancam menjadi istri Juragan Karto,” kata Mang Udin membuat Agita semakin takut.

“Mang Udin tadinya mau bawa Fitri buat ke kota buat kerja di sana jadi IRT di rumah majikan Mamang. Kalau Neng Aretha mau, biar Neng Aretha dulu yang masuk Fitri belakangan. Gimana?”

Aretha menatap sejenak tetangganya. “Kebetulan majikan Mamang juga punya pabrik tekstil di sana. Mudah-mudahan manjikan Mang Udin bisa bantu masukin Neng ke Pabrik dan Fitri yang gantiin jadi IRT.”

"Gajinya lumayan, Neng. Nambah-nambah cicil hutang ke Juragan Karto,” bujuk Mang Udin.

Aretha menghembuskan napas berat, kepalanya penuh akan tawaran Mang Udin. Jujur bila sudah didesak seperti ini siapapun pasti tidak akan berpikir panjang dan langsung bersedia.

Mang Udin benar, Aretha sudah setahun bekerja jadi pelayan toko dengan gaji kecil sedangkan di kota sudah tentu pendapatannya besar.

“Saya mau Mang. Yang penting halal. Ini halal kan Mang?” tanya Aretha.

“Lah, apa bekerja jadi buruh pabrik atau IRT itu pekerjaan haram Neng?” tanya Mang Udin merasa tersinggung seolah Aretha tidak percaya ia akan membantunya.

“Bukan begitu. Yang penting halal Aretha mau, Mang.”

“Halal bin thayyiban, Neng.”

Aretha mengangguk setuju. “Mamang cuman kasihan lihat Neng Aretha yang habis di datangi Juragan Karto dan mengancam Neng mau di kawinin.

"Bagaimanapun Mamang ini tetangga kamu dan juga teman baik mendiang Ibumu, Andini.”

“Baiklah Mang. Aretha setuju. Kapan Mamang ajak Aretha ke Jakarta buat kerja jadi IRT?”

“Kalau besok bagaimana?”

Ditipu

“Apa kamu serius Nduk mau bekerja di kota sama Mang Udin?” Nek Lastri membuka pembicaraan di pagi hari dengan topik hangat kepergian Aretha ke kota.

Wanita bernama lengkap Aretha Maharanie itu berikan anggukan pada Nek Lastri, serius. Bila bukan dirinya lalu siapa lagi yang akan mencicil hutang pamannya yang besar. Apalagi nasibnya dan juga adiknya tengah di pertaruhkan di sini.

“Kalau boleh jujur, Nenek nggak enak hati sama kamu, Nduk. Kerja di kota besar sama Mang Udin,” ucapnya dengan helaan napas berat.

Agita manggut-manggut, membenarkan perkataan Nek Lastri. “Apa nggak sebaiknya di pikirkan ulang lagi, Kak?”

Aretha menggeleng pelan, keputusannya sudah bulat untuk ikut dengan Mang Udin bekerja sebagai pembantu di sana.

“Kalau Kakak nggak ikut ke kota, terus yang bayar hutang paman siapa? Bekerja jadi pelayan di toko nggak akan bisa cukup membayar hutang paman yang sangat besar.”

“Apa kita nggak merelakan rumah ini saya, Nduk?”

Nek Lastri memberikan pendapatnya. Tetapi, pendapatnya itu percuma. Merelakan rumah butut ini seharusnya jauh hari sebelum pria tua itu datang dan Neneknya jauh hari bercerita padanya.

“Sekalipun kita merelakan rumah ini. Juragan Karto akan terus mengawasi kita, Nek. Kita nggak bisa pergi dari sini. Lari dari masalah bukan jalan terbaik malah menambah masalah.

"Semasih di kasih kesempatan untuk mencicil hutang, Aretha akan lakukan.”

Aretha menggenggam tangan keriput Nek Lastri. “Yang terpenting Nenek dan Agita baik-baik saja di sini dan kamu—” Aretha menjeda menatap adiknya sejenak.

“Kamu jangan macam-macam selagi Kaka nggak ada di rumah. Kamu harus jagain Nenek.”

Agita berikan anggukan, itu pasti. Nek Lastri menatap sedih pada dua cucunya.

“Maafkan, Nenek. Jujur sebenarnya Nenek malu, Nduk. Kenapa hutang si Dany kalian jadi seperti ini. Ikut menanggungnya padahal kalian tidak menikmati satu sent pun dari uang itu.”

Aretha bangun dari duduknya lalu memeluk Nek Lastri dan di susul Agita ikut memeluk Nek Lastri.

“Doain Aretha aja yah Nek. Moga di kota Aretha di jauhkan dari orang-orang jahat.”

“Amin. Agita juga selalu mendoakan Kaka.”

Aretha berikan senyuman manis pada adiknya itu. Nek Lastri lagi lagi hanya bisa hela napas berat. Tak perlu di manta, dia pasti akan selalu mendoakan keselamatan cucu-cucunya.

D’Rose Resort, Jakarta.

“Kok sepi amat restorannya?”

Wanita cantik itu pandangi sepenjuru ruangan yang nampak sepi seolah restoran berkelas ini di boking khusus. Pria bermata indah itu hanya berikan senyuman manis sebagai jawaban.

“Ini khusus untukmu,” bisiknya.

Bulu mata letiknya mengedit dengan mulut yang menganga. “Are you seriuse?”

“Yes,” jawab Anshell.

Pria berusia tiga puluh dua tahun itu bangun dari duduknya lalu berjongkok tepat di mana kursi wanita cantik yang beruntung siang ini.

“Will you marry me, Lalisa?”

Lalisa tercengang, kedua matanya menatap Pewaris Stone itu kembali melamarnya dengan cincin berlian bermata satu yang mengkilau.

Cukup lumayan lama Anshell berjongkok di depan Lalisa, wanita yang telah bersama selama sepuluh tahun ini.

“Hai… Apa kamu tidak akan memberi jawaban, Lisa?” Kalimat tanya dari Anshell membuat wanita itu terbangun dari lamunannya.

Lalisa pun menatap pria itu dengan seulas senyuman tipis. “Kakiku sudah pegal, Lisa. Aku menunggu jawaban darimu. Jadi, katakanlah.”

Tatapan Anshell penuh harapan pada Lalisa dan dia pun tidak ingin mendengarkan penolakan lagi untuk kesekian kalinya. Kali ini Anshell hanya ingin jawaban ‘Ya’ dari bibir Lalisa dan bersedia menjadi Nyonya Stone.

“Lalisa….” Panggil Anshell lagi. Wanita cantik super model dunia itu berusia dua puluh tujuh tahun itu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab lamaran dari putra sulung keluarga Stone itu.

“Please….” Mohon Anshell.

“Ehm.” Lalisa berdehem sejenak untuk mengatasi susana yang mendadak canggung ini.

“Anshell Stone…”

“Ya…” jawab Anshell tersenyum semangat. Tak lupa wajah tampannya itu terpancar jelas kebahagian yang nampak.

“Maafkan aku," kata Lalisa lirih.

Lagi, kata ‘Maaf’ yang terucap di mulut wanita itu. Senyuman semangat Anshell pun meredup seketika diiringi pria itu bangun dari berjongkoknya.

“Anshell, maafkan lah aku.”

Anshell menarik napas dengan satu tarikan berat. Pria itu pun berbalik badan dan pergi meninggalkan Lalisa tak ingin mendengarkan alasan apapun yang keluar dari mulut wanita itu lagi. Sudah cukup selama ini dia dibuat kecewa oleh wanita yang teramat dicintainya itu.

Sepuluh tahun sudah waktu yang dia habiskan bersama dengan Lalisa tanpa status yang jelas, selama ini Lalisa selalu menganggapnya sebagai sahabat.

Tetapi, persahabatan mereka sejak kecil hingga sepuluh tahun ini bukan sebagai sahabat lagi. keduanya sudah sangat dekat hingga bertukar saliva pun sering mereka lakukan. Di sini Anshell hanya ingin memberikan setatus yang pasti untuk Lalisa. Tetapi…

Dia kembali dibuat kecewa oleh wanita yang sudah menolak lamaranya kelima kalinya.

“Tuan….”

Gerry bergegas membuka pintu mobil di saat Anshell melewat.

Tak perlu ditanya lagi bagaimana lamaran tuan mudanya itu diterima atau tidak. Dari wajahnya yang kembali dingin tak seceria tadi pagi memintanya menyiapkan surprise ini, sudah jelas jawabannya di tolak lagi.

“Kita ke rumah sakit, Gerr. Saya ada jadwal oprasi,” kata Anshell mengintrupsi pada assistenya.

Gerry berikan anggukan. Inilah yang disukai Gerry pada tuan mudanya. Di tengah sakit hati dan kecewa, tetapi pria muda itu tetap bersikap professional dengan pekerjaanya sebagai seorang dokter bedah dan juga seorang Ceo di salah satu anak perusahan Stone Company.

Lima jam kurang perjalan Sukabumi-Jakarta Kota. Aretha akhirnya menginjakan kedua kakinya di Ibu Kota. Tepatnya lagi di sebuah Gedung yang menjulang tinggi di hadapannya saat ini.

Kedua mata Aretha menyisir setiap bangunan mewah nan megah dengan interior yang membuat gadis kampung kagum.

Ekspresi Aretha yang kampungan terus menyisir membuat pria paruh baya itu tersenyum sendiri. Dia melihat bagaimana gadis cantik di sampingnya itu yang tak berhenti menganga menatap kemewahan dari apartement elit tersebut.

“Majikan Mang Udin tinggal di apartement mewah ini?” tanya Aretha tanpa menoleh ke samping si lawan bicara.

“Sebenarnya rumah manjikan Mamang itu banyak, Neng. Biasanya menetap di mansion. Neng tau kan Mansion?” tanya Mang Udin yang dianggukan Aretha jelas tau. Sekalipun dia udik, tapi kata dia pernah mendengar di drama-drama korea kesukaanya.

“Tapi sudah seminggu ini, manjikan Mamang lagi senang tinggal di penthousenya. Mungkin di Mansion nggak bebas kayak di Mansion di mana ada kedua orang tuannya,” sambung Mang Udin.

Lagi lagi Aretha berikan anggukan, paham. “Yuk, kita naik ke atas. Penthouse Mr Lukman ada di lantai paling atas Gedung ini.” Mang Udin pun tak luput menujukan lantai paling atas yang berada di tombol samping.

“Tapi Neng Aretha nggak masalahkan untuk sementara waktu jadi IRT dulu di sini?” tanya Mang Udin memastikan.

Aretha mengangguk pelan, tidak masalah. Mau kerja apapun yang penting halal. “Gajinya sekitar 3-4 jutaan Neng,” sambungnya.

Aretha mendelik dengan ekspresi terkejut. “3-4 Juta Mang?” ulang Aretha yang dianggukan oleh Mang Udin.

“Ya. Lumayanlah Neng,” balasnya.

Bukan lumayan lagi, tapi bagi Aretha itu cukup besar mengingat sebulan sebagai pelayan toko Aretha hanya dibayar satu juta dan itu pun baginya sudah cukup besar. Apa lagi angka yang menurut Aretha besar itu, pastinya gadis kampung itu senang.

Ting.

Suara denting lift membuyarkan Aretha dari lamunannya, gadis polos itu menarik napas pelan sejenak sebelum melangkah keluar dari dalam lift dan mengikuti langkah Mang Ujang.

“Ayo Neng masuk.”

“Ya Mang,” jawab Aretha.

Gadis itu mengekor dari belakang dengan kedua matanya yang lagi lagi memandang kagum rumah besar nan mewah dengan furniture di dalamnya pun tak kalah mewahnya.

“Apa dia orangnya?”

“Begitulah. Saya yakin dia masih segel,” ujar Mang Udin seraya melirik sekilas di mana Aretha masih betah memandangi rumah mewah milik majikannya.

Pria bertubuh besar itu tersenyum senang. “Bagus, Din. Mr Lukman pasti senang kalau benar dia masih segel.”

“Pasti. Saya nggak akan mengecewakan Mr Lukman!” kata Mang Udin, menerima amplop coklat dari pria di depannya.

Sialnya pembicaraan itu terdengar sampai ketelinga gadis polos itu, buru-buru Aretha berjalan menghampiri Mang Udin yang tersenyum-senyum menerima amplop coklat yang diberikan pria bertubuh besar itu dengan dada bergemuruh.

 “Maksud Mang Udin apa?”

“Apanya Neng?” balik Mang Udin bertanya pada Aretha.

“Mang Udin jual Aretha?”

Ditolak!

“Lho, Shell. Kok lu sudah sampai aja di ruangan operasi. Bukannya tadi siang lu bilang ke restoran favorite lu buat melamar si Lalisa?”

Kevin menatap Anshell dengan wajah dingin dan datarnya, kali ini dokter tampan itu terlihat aneh. Penasaran dengans ahabatnya, Kevin pun menarik kursi kayu tersebut dan duduk saling berhadapan dengan pria yang sibuk dengan layar iPadnya.

“Wajah lu dah kaya bongkahan es saja sih Shell. Sumpah ini lebih dingin dari biasanya. Lu ada apa lagi hah?”

Kevin sebenarnya sudah tau meski sahabatnya itu tidak menjawab. Dari ekspresi wajahnya sudah jelas pria itu ditolak lagi oleh super model dunia itu.

Sengaja saja, pria yang sama-sama dokter bedah itu pun berpura-pura bodoh dan tidak tahu agar sahabatnya mau bercerita. Rasanya tidak seru membuat pria itu marah dan kesal.

“Shell….” Panggil Kevin lirih.

Anshell mendengus pelan. “Berisik lu, Vin! Lu kalau mau duduk ya duduk aja, nggak usah banyak tanya!” decak Anshell tak ingin di ganggu. Pria itu menjawab pun sama sekali tak melirik si lawan bicara yang duduk saling berhadapan itu.

Sumpah demi apa, sekalipun Kevin sebenarnya kesal dengan jawaban Anshell tapi dia ingin sekali menyiram wajah kanebo kering putra dari Pewaris Stone Company itu.

Dokter muda dengan gelar Prof. dr. Anshell Damarion Stone, Sp. Jp. Selalu bersikap dingin pada semua teman-teman sejawatnya di rumah sakit begitu juga pada semua staf karyawan di kantor milik Anshell sendiri.

“Haish. Lu ambekan banget sih Shell. Dah kaya kucing dah kelamaan nggak kawin-kawin,” goda Kevin.

Anshell kembali bungkam tanpa memutuskan kedua matanya pada layar iPadnya. “Lamaran lu di tolak lagi sama super model dunia itu?”

Kevin memberikan sebotol air mineral dingin untuk Anshell agar hati sahabatnya dingin tidak panas dan marah-marah meski terlihat seru.

“Lu ditolak lagi sama si LaLisa, Shell?” ulang Kevin bertanya lagi.

Lagi, Anshell menghela nafas panjang lalu menghembuskan perlahan. Sedikit, hatinya mulai terbiasa dengan kekecewaan yang selalu didapat perihal masalah cinta. Bodohnya, Anshell masih ingin berjuang mendapatkan Lalisanya.

Cinta Anshell yang besar pada Lalisa sekalipun beberapa kali disakiti, pria itu tak ingin mencari pelarian bahkan pria itu pun tak ingin melupakan Lalisa. Tidak sama sekali.

Lalisanya tetap sebagai pemilik hati sekalipun di luaran sana masih banyak wanita yang berdatangan dan terang-terangan ingin menjadi kekasihnya hingga menawarkan tubuhnya untuk di cicipi oleh pewaris Stone itu.

Anshell diam tak menjawab pertanyaan Kevin. Kedua telinganya sengaja tuli, dia sudah tidak ingin mendengarkan apa-apa lagi tentang Lalisa.

“Sudah sepuluh tahun lu mencintai si Lisa. Tapi Lisa enggak, Shell! Lisa nggak cinta sama lu.”

“Terus lu mau sampai kapan menunggu wanita itu? Move on, Shell. Si Lisa itu nggak cinta sama lu.

“Dia cuma memanfaatkan lu doang kalau dia beneran cinta sama lu, nggak harus menunggu sepuluh tahun. Pasti lamaran lu di terima dan lu sudah menikah sama dia dan hidup bahagia. Lima kali, Shell!”

Kevin menunjuk satu tangannya dengan lima jarinya di depan wajah Anshell yang tak menatapnya.

“Lu sudah di tolak mentah-mentah kelima kalinya oleh wanita yang teramat lu cintai dan lu masih mau menunggu wanita itu?” kata Kevin seraya mengingatkan dan membuka kedua mata sahabatnya itu dengan selebar-lebarnya kalau Lalisa bukanlah wanita yang baik untuknya.

Anshell diam dengan rahang yang mengetat. “Ikhlasin dia Shell. Lu mau berkorban sampai titik darah penghabisan buat menyadarkan Lalisa. Nggak akan bisa! Dasarnya dia nggak cinta sama lu!”

Kevin menatap Anshell dengan ekspresi tenang. “Ikhlasin dia Shell. Dia bukan jodohmu,” sambung Kevin.

Lagi lagi Anshel bungkam dan tak menanggapi pembicaraan sahabatnya yang entah keberapa kali berbicara hal yang sama selama mereka bekerja di satu rumah sakit yang sama.

“Lupakan Lisa Shell. Lu berhak bahagia,” kata Kevin seraya menepuk bahu Anshell yang masih bergeming.

Pria itu pun berlalu pergi meninggalkan Anshell seorang diri, agar Anshell berpikir dan mencermati perkataannya itu. Di sini Kevin bukan meminta Anshell untuk membenci Lisa, tidak sama sekali.

Namun, menyadarkan sahabatnya akan sikap Lisa yang selama ini masih mempermainkan sahabatnya. Bila tidak cinta, kenapa wanita bernama lengkap Lalisa Handoko itu terus menempel bak perangko pada Anshell dan memberikan harapan palsu.

Getaran ponsel menyadarkan Anshell dari lamunannya. Pria itu pun meraih benda pipih itu dan membuka notifikasi dari nomor tak dikenal.

Ketika menekan tombol play, kedua mata Anshell membulat dan memanas ketika melihat seseorang di dalam video tersebut yang berdurasi dua puluh lima detik itu.

Di dalam video itu, terlihat jelas bagaimana wanita itu tersenyum senang menerima sebuah pinangan. Sayangnya, pria yang berdiri itu bukan dirinya melainkan pria yang menyematkan cincin berlian di jari manis si wanita itu adalah rivalnya.

‘Brengsek,’ umpat keras dalam hati.

Wajahnya yang dingin kini nampak memerah menyala. Anshell dikuasai amarah yang besar ketika melihat Lalisa dilamar oleh pria bernama Gavin Mahendra.

“Lupakan Lisa Shell. Lu berhak bahagia.”

Penthouse Mr Lukman, Jakarta

“Arghtt….” Aretha merintih kesakitan. Sebelah tangannya mengusap pinggangnya yang sakit karena tubuhnya didorong lalu dilempar hingga mendarat tepat di atas lantai dingin.

“Pakai ini!” Pria bertubuh besar itu melemparkan pakaian tepat di muka Aretha.

“Berdandanlah yang cantik!” titahnya

Pria bertubuh besar itu melemparkan pakaian tepat di wajah Aretha. Gadis polos itu melotot ketika melihat pakaian kurang bahan yang dilemparkan ke wajahnya.

“Astaga yang benar saja saya harus memakai pakaian haram kayak gini? Saya nggak mau!” seru Aretha membuang lingerie berwarna hitam itu di sembarang tempat.

Pria bertubuh besar itu tidak terima dengan perkataan gadis polos di depannya, dengan gerak cepat pria itu meremas dagu Aretha membuat wanita itu mau tidak mau menatap pria tersebut.

“Ah, sakit. Tolong lepaskan,” rintih Aretha pada pria yang entah siapa namanya.

“Aku peringatkan kepadamu, Jallang! Kau itu sudah dijual oleh si Udin pada Mr Lukman!” ucapnya dengan mata melotot dan gigi bergemeretak.

Aretha bergerdiki ketakutan dengan ekspresi wajah pria itu yang terlihat marah padanya. “Jadi demi keselamatanmu, suka tidak suka dan mau tidak mau kau harus memakainya. Kalau tidak—”

Pandangan pria itu semakin dekat hingga hembusan napas dengan bau tembakau itu menusuk indra penciumannya. Kedua mata si pria tersebut turun ke bawah dengan sebelah tangan menarik paksa lengan kemeja panjang yang dikenakan gadis polos di depannya hingga robek.

Sebelah tubuh bagian atas Aretha pun terekspos memperlihatkan bra hitamnya. “Aku sendirilah yang akan memakaikan pakaian itu pada tubuhmu yang mulus ini,” ucap si pria dengan tawa pelan lalu menghempaskan kepalanya membuat tubuh Aretha terjelambak ke belakang.

Aretha dengan cepat menutupi tubuh bagian atasnya yang terbuka. Pria itu kembali mendekat menatap tajam pada wanita yang baru dibeli Mr Lukman.

“Kau harus berdandan lebih cantik lagi. Kalau tidak—” ada jeda kata di sana. Pria itu tak lepas menatap Aretha lekat membuat tubuh Aretha semakin bergetar.

“Aku sendiri yang akan merubahmu lebih bitchy.”

Pria itu kembali berdiri masih dengan mata menatap Aretha. “Pukul tujuh, kau harus siap dengan pakaian itu dan juga harus terlihat cantik. Ingat, kaulah disini wanita satu-satunya yang dibeli Mr Lukman dengan harga tinggi!”

“So, jangan pernah kecewakan tuanku!”

“Tuan. Apa boleh saya tahu. Berapa Mang Udin menjualku pada Mr Lukman?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!