“Apa kamu serius Nduk mau bekerja di kota sama Mang Udin?” Nek Lastri membuka pembicaraan di pagi hari dengan topik hangat kepergian Aretha ke kota.
Wanita bernama lengkap Aretha Maharanie itu berikan anggukan pada Nek Lastri, serius. Bila bukan dirinya lalu siapa lagi yang akan mencicil hutang pamannya yang besar. Apalagi nasibnya dan juga adiknya tengah di pertaruhkan di sini.
“Kalau boleh jujur, Nenek nggak enak hati sama kamu, Nduk. Kerja di kota besar sama Mang Udin,” ucapnya dengan helaan napas berat.
Agita manggut-manggut, membenarkan perkataan Nek Lastri. “Apa nggak sebaiknya di pikirkan ulang lagi, Kak?”
Aretha menggeleng pelan, keputusannya sudah bulat untuk ikut dengan Mang Udin bekerja sebagai pembantu di sana.
“Kalau Kakak nggak ikut ke kota, terus yang bayar hutang paman siapa? Bekerja jadi pelayan di toko nggak akan bisa cukup membayar hutang paman yang sangat besar.”
“Apa kita nggak merelakan rumah ini saya, Nduk?”
Nek Lastri memberikan pendapatnya. Tetapi, pendapatnya itu percuma. Merelakan rumah butut ini seharusnya jauh hari sebelum pria tua itu datang dan Neneknya jauh hari bercerita padanya.
“Sekalipun kita merelakan rumah ini. Juragan Karto akan terus mengawasi kita, Nek. Kita nggak bisa pergi dari sini. Lari dari masalah bukan jalan terbaik malah menambah masalah.
"Semasih di kasih kesempatan untuk mencicil hutang, Aretha akan lakukan.”
Aretha menggenggam tangan keriput Nek Lastri. “Yang terpenting Nenek dan Agita baik-baik saja di sini dan kamu—” Aretha menjeda menatap adiknya sejenak.
“Kamu jangan macam-macam selagi Kaka nggak ada di rumah. Kamu harus jagain Nenek.”
Agita berikan anggukan, itu pasti. Nek Lastri menatap sedih pada dua cucunya.
“Maafkan, Nenek. Jujur sebenarnya Nenek malu, Nduk. Kenapa hutang si Dany kalian jadi seperti ini. Ikut menanggungnya padahal kalian tidak menikmati satu sent pun dari uang itu.”
Aretha bangun dari duduknya lalu memeluk Nek Lastri dan di susul Agita ikut memeluk Nek Lastri.
“Doain Aretha aja yah Nek. Moga di kota Aretha di jauhkan dari orang-orang jahat.”
“Amin. Agita juga selalu mendoakan Kaka.”
Aretha berikan senyuman manis pada adiknya itu. Nek Lastri lagi lagi hanya bisa hela napas berat. Tak perlu di manta, dia pasti akan selalu mendoakan keselamatan cucu-cucunya.
D’Rose Resort, Jakarta.
“Kok sepi amat restorannya?”
Wanita cantik itu pandangi sepenjuru ruangan yang nampak sepi seolah restoran berkelas ini di boking khusus. Pria bermata indah itu hanya berikan senyuman manis sebagai jawaban.
“Ini khusus untukmu,” bisiknya.
Bulu mata letiknya mengedit dengan mulut yang menganga. “Are you seriuse?”
“Yes,” jawab Anshell.
Pria berusia tiga puluh dua tahun itu bangun dari duduknya lalu berjongkok tepat di mana kursi wanita cantik yang beruntung siang ini.
“Will you marry me, Lalisa?”
Lalisa tercengang, kedua matanya menatap Pewaris Stone itu kembali melamarnya dengan cincin berlian bermata satu yang mengkilau.
Cukup lumayan lama Anshell berjongkok di depan Lalisa, wanita yang telah bersama selama sepuluh tahun ini.
“Hai… Apa kamu tidak akan memberi jawaban, Lisa?” Kalimat tanya dari Anshell membuat wanita itu terbangun dari lamunannya.
Lalisa pun menatap pria itu dengan seulas senyuman tipis. “Kakiku sudah pegal, Lisa. Aku menunggu jawaban darimu. Jadi, katakanlah.”
Tatapan Anshell penuh harapan pada Lalisa dan dia pun tidak ingin mendengarkan penolakan lagi untuk kesekian kalinya. Kali ini Anshell hanya ingin jawaban ‘Ya’ dari bibir Lalisa dan bersedia menjadi Nyonya Stone.
“Lalisa….” Panggil Anshell lagi. Wanita cantik super model dunia itu berusia dua puluh tujuh tahun itu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab lamaran dari putra sulung keluarga Stone itu.
“Please….” Mohon Anshell.
“Ehm.” Lalisa berdehem sejenak untuk mengatasi susana yang mendadak canggung ini.
“Anshell Stone…”
“Ya…” jawab Anshell tersenyum semangat. Tak lupa wajah tampannya itu terpancar jelas kebahagian yang nampak.
“Maafkan aku," kata Lalisa lirih.
Lagi, kata ‘Maaf’ yang terucap di mulut wanita itu. Senyuman semangat Anshell pun meredup seketika diiringi pria itu bangun dari berjongkoknya.
“Anshell, maafkan lah aku.”
Anshell menarik napas dengan satu tarikan berat. Pria itu pun berbalik badan dan pergi meninggalkan Lalisa tak ingin mendengarkan alasan apapun yang keluar dari mulut wanita itu lagi. Sudah cukup selama ini dia dibuat kecewa oleh wanita yang teramat dicintainya itu.
Sepuluh tahun sudah waktu yang dia habiskan bersama dengan Lalisa tanpa status yang jelas, selama ini Lalisa selalu menganggapnya sebagai sahabat.
Tetapi, persahabatan mereka sejak kecil hingga sepuluh tahun ini bukan sebagai sahabat lagi. keduanya sudah sangat dekat hingga bertukar saliva pun sering mereka lakukan. Di sini Anshell hanya ingin memberikan setatus yang pasti untuk Lalisa. Tetapi…
Dia kembali dibuat kecewa oleh wanita yang sudah menolak lamaranya kelima kalinya.
“Tuan….”
Gerry bergegas membuka pintu mobil di saat Anshell melewat.
Tak perlu ditanya lagi bagaimana lamaran tuan mudanya itu diterima atau tidak. Dari wajahnya yang kembali dingin tak seceria tadi pagi memintanya menyiapkan surprise ini, sudah jelas jawabannya di tolak lagi.
“Kita ke rumah sakit, Gerr. Saya ada jadwal oprasi,” kata Anshell mengintrupsi pada assistenya.
Gerry berikan anggukan. Inilah yang disukai Gerry pada tuan mudanya. Di tengah sakit hati dan kecewa, tetapi pria muda itu tetap bersikap professional dengan pekerjaanya sebagai seorang dokter bedah dan juga seorang Ceo di salah satu anak perusahan Stone Company.
Lima jam kurang perjalan Sukabumi-Jakarta Kota. Aretha akhirnya menginjakan kedua kakinya di Ibu Kota. Tepatnya lagi di sebuah Gedung yang menjulang tinggi di hadapannya saat ini.
Kedua mata Aretha menyisir setiap bangunan mewah nan megah dengan interior yang membuat gadis kampung kagum.
Ekspresi Aretha yang kampungan terus menyisir membuat pria paruh baya itu tersenyum sendiri. Dia melihat bagaimana gadis cantik di sampingnya itu yang tak berhenti menganga menatap kemewahan dari apartement elit tersebut.
“Majikan Mang Udin tinggal di apartement mewah ini?” tanya Aretha tanpa menoleh ke samping si lawan bicara.
“Sebenarnya rumah manjikan Mamang itu banyak, Neng. Biasanya menetap di mansion. Neng tau kan Mansion?” tanya Mang Udin yang dianggukan Aretha jelas tau. Sekalipun dia udik, tapi kata dia pernah mendengar di drama-drama korea kesukaanya.
“Tapi sudah seminggu ini, manjikan Mamang lagi senang tinggal di penthousenya. Mungkin di Mansion nggak bebas kayak di Mansion di mana ada kedua orang tuannya,” sambung Mang Udin.
Lagi lagi Aretha berikan anggukan, paham. “Yuk, kita naik ke atas. Penthouse Mr Lukman ada di lantai paling atas Gedung ini.” Mang Udin pun tak luput menujukan lantai paling atas yang berada di tombol samping.
“Tapi Neng Aretha nggak masalahkan untuk sementara waktu jadi IRT dulu di sini?” tanya Mang Udin memastikan.
Aretha mengangguk pelan, tidak masalah. Mau kerja apapun yang penting halal. “Gajinya sekitar 3-4 jutaan Neng,” sambungnya.
Aretha mendelik dengan ekspresi terkejut. “3-4 Juta Mang?” ulang Aretha yang dianggukan oleh Mang Udin.
“Ya. Lumayanlah Neng,” balasnya.
Bukan lumayan lagi, tapi bagi Aretha itu cukup besar mengingat sebulan sebagai pelayan toko Aretha hanya dibayar satu juta dan itu pun baginya sudah cukup besar. Apa lagi angka yang menurut Aretha besar itu, pastinya gadis kampung itu senang.
Ting.
Suara denting lift membuyarkan Aretha dari lamunannya, gadis polos itu menarik napas pelan sejenak sebelum melangkah keluar dari dalam lift dan mengikuti langkah Mang Ujang.
“Ayo Neng masuk.”
“Ya Mang,” jawab Aretha.
Gadis itu mengekor dari belakang dengan kedua matanya yang lagi lagi memandang kagum rumah besar nan mewah dengan furniture di dalamnya pun tak kalah mewahnya.
“Apa dia orangnya?”
“Begitulah. Saya yakin dia masih segel,” ujar Mang Udin seraya melirik sekilas di mana Aretha masih betah memandangi rumah mewah milik majikannya.
Pria bertubuh besar itu tersenyum senang. “Bagus, Din. Mr Lukman pasti senang kalau benar dia masih segel.”
“Pasti. Saya nggak akan mengecewakan Mr Lukman!” kata Mang Udin, menerima amplop coklat dari pria di depannya.
Sialnya pembicaraan itu terdengar sampai ketelinga gadis polos itu, buru-buru Aretha berjalan menghampiri Mang Udin yang tersenyum-senyum menerima amplop coklat yang diberikan pria bertubuh besar itu dengan dada bergemuruh.
“Maksud Mang Udin apa?”
“Apanya Neng?” balik Mang Udin bertanya pada Aretha.
“Mang Udin jual Aretha?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments