Bola Dibalik Cinta Sang Punggawa
Mentari pagi memancarkan sinar senyumnya menyambutku dengan hal yang sama. Saat ini bukanlah hal mudah untuk bersiap diri menghadapi kehidupan yang sesungguhnya.
Dibalik kehidupan anak-anak yang berangsur-angsur akan aku tinggalkan dan menjejaki kehidupan yang bergeming dengan kata remaja tapi sudah mengajarkanku tentang arti hidup dipaksa menjadi dewasa.
Banyak hal yang harus aku sembunyikan dalam kehidupan ini, tentang kepedulian, kerinduan dan apapun itu tapi ada satu obat yang membuatku tersenyum kembali yaitu bola.
Bola adalah cinta pertama yang aku temui dalam kehidupan. Setelah cinta ayah pergi meninggalkanku. dalam bola ada banyak hal yang membuat aku tersenyum, menangis, tertawa atau bahkan berdesis kesal menatap keadaan yang tak berjalan sesuai rencana.
Tapi dalam genggaman bola aku menyadari apa arti kehangatan yang dibuat dalam arti sahabat yang sesungguhnya. Memang benar bola itu benda mati, tapi bila disentuh dengan hati maka bola akan berliku-liku mengelilingi luasnya rumput hijau.
Aku pikir kehidupan yang dikelilingi bola terasa senang dan nyaman setelah kehidupan dalam rumahku menjadikan diri ini asing tidak terurus. Karena keceriaan yang ingin aku dapatkan kabur entah kemana. Berpecah belah menjadi dua dipisahkan oleh lautan yang luas. Sedangkanku masih tidak mengerti apa arti perpisahan yang membuat jiwa tidak nyaman dalam lingkup gelap dipeluk oleh tataan pagar derita.
Bagaimana bisa? Bila orang berbicara, memang sangat mudah mengatakan pendapat yang menurutnya hebat. Tapi inilah aku yang berguling-guling di dalam lingkaran istana kelabu.
Allah itu baik, bahkan sangat baik. Tapi, mengapa Allah membiarkan ayah dan ibu pergi di jalur yang berbeda tanpa ada kata perpisahan senyum atau bahkan pelukan kehangatan bagaikan ucapan cinta. Yang ada hanya penggalan luka yang sempat membawaku ke dunia neraka. Bahkan aku rindu panggilan ayah yang menjerit kehangatan seperti ayah dari teman-temanku lainnya.
Saat itu, umurku 7 tahun yang dibilang masih dalam masa pertumbuhan dan masa-masa indah sebagai anak-anak kecil pada umumnya. Memiliki nama indah yang diberikan ayah dan ibu. Bahkan namaku yang berbeda dari nama lainnya, tidak ada nama yang sama dalam lingkup kampung. Keyla adara, akrab dipanggil dengan sebutan key.
Nama "key" Bergema dalam pelukan mesra diatas istana sederhana. Menjadi kebanggaanku dengan rasa berbinar memiliki nama key sebelum hal menyakitkan memeluk keluarga kecil dari pelosok desa.
Hingga akhirnya petir menyambar pilu kesederhanaan dan menjadikannya pecah belah tak beraturan. Ingin bahagia dalam kehangatan malah yang ada dipeluk petaka luka. Andai ayah tau, perempuan kecil ini merindukan kasih sayangmu sebagai pahlawan kelak dimasa depan. Tapi hanya khayalan semata yang ku ratapi tanpa kenyataan pasti.
Key kecil pernah bermimpi membangun cita diatas cinta. Bermimpi membangun istana dalam genggaman cinta tanpa luka. Tapi kenyataannya harus dipaksa memeluk api serta menggenggam sebilah pisau yang ayah dan ibu berikan.
Padahal aku tidak tau jalan apa yang kalian hadapi, sehingga pisau mampu menusukku bahkan menghilangkan jejakku yang berstatus bagai anak kecil. Bahkan pikiran prasangka baik atau burukpun aku juga tidak tau. Hanya bisa menjalani kehidupan yang dengan ini adanya.
Hidup berdua dengan ibu, mulai umur 7 tahun. Bersekolah, membantu ibu mengais rejeki mencari makan hingga petang. Bahkan menjelajahi senja yang menaungi diatas jalanan keras menjajakan koran. Begitulah seterusnya hingga 2 tahun lamanya.
Sampai pada akhirnya, di titik itu ibu bertemu lelaki yang mampu menarik hatinya. Bahkan sering sekali ibu bergonta-ganti pasangan lelaki yang tidak tau dari mana asalnya.
Setiap hari ia lupa menghiburku saat dalam gundah. Ibu juga lupa mengajari membaca dan menulis lagi seperti dulu. Katanya aku sudah besar jadi harus belajar mandiri. Ibu hanya memberiku uang untuk membayar sekolah dan memberiku makan.
Memang benar aku tidak bekerja keras lagi seperti dulu tapi pikirku bimbang dengan uang yang tidak memiliki latar belakang dengan jelas. Dengan rasa terpaksa aku menerimanya, walaupun aku mengerti uang itu tidak cocok bagi perutku yang masih dini.
Setiap hari ibu selalu keluar siang dan pulang malam. Mengais kisah-kisah kelam bertahun-tahun. Hingga aku sudah terbiasa dengan begini adanya. Sampai akhirnya aku menemukan bola yang mengajariku tumbuh dengan tawa, menjelajahi kehidupan yang tidak pernah aku mau.
Tapi bagaimanapun kehidupan itu, aku harus berjalan dengan sukarela tanpa keluh kesah yang berlebih. Karena menurutku Allah itu baik dan sungguh baik. Memberi kesempatan pada hambanya yang merenung sepi dan bergabung menepi tiada arti. Hingga bola menggelinding menghampiri kehidupan yang tak rata.
Tepat pada saat ini di umurku yang menginjak 13 tahun, aku berkenalan dengan bola. Bola adalah benda mati yang menyapaku hingga menggali tekad yang kuat. Mengajarkan tentang perjalanan dan cerita mulai saat ini, dan mungkin akan berlangsung hingga masa depan.
Siang itu aku pulang melewati perjalanan seperti biasa. Suara sorak-sorak ramai seperti pendukung melenting Di udara. Tak sabar kaki ini berlari menghampiri tanah lapang Di belakang sekolah. Banyak sekali jajaran penonton baik dari anak kecil, bahkan orang dewasa. Tidak peduli baik itu perempuan ataupun lelaki, semuanya menjadi satu dalam gemuruh kegembiraan yang mereka tonton.
Aku mencoba mendekat dan memaksa masuk dalam kerumunan agar tau apa yang sedang terjadi. "Oh, pertandingan bola" Pikirku setelah lolos memasuki kerumunan yang padat dan sudah berada tepat Di samping para pemain yang sedang berkompetisi.
Permainan kaki yang mencengangkan tapi hanya kaum lelaki saja yang berada di tengah lapang. Mataku mencari sesosok perempuan, ternyata tidak ada yang berkompetisi didalamnya seperti lomba-lomba Agustus antara perempuan dan lelaki menyatu. Tapi ini berbeda, dan baru kali ini aku melihat secara langsung pertandingan bola yang nyata.
Permainan yang apik mencekik mataku untuk tetap melotot menatapnya. Pemindahan bola dari kaki ke kaki yang begitu indah. Tapi sayang seribu sayang karena aku tidak tau tentang istilah bola, bahkan bagiku pertama kali ini selama hidup berjumpa dengan permainan bola. Bola melambung tinggi karena tendangan dari kaki pemain yang beradu skill di dalamnya memaksa keluar dari garis putih sebagai pembatas.
*Blukkk* Tepat sasaran.
"Aduhhhhh" Teriakku yang menahan rasa sakit dari benturan bola yang cukup keras. Aku khawatir bila otakku tergeser ke sebelah karena benturan ini. Setelah tangan ini meraba kepala, ternyata baik-baik saja mungkin hanya sedikit kabel saraf yang copot.
Ganas memang pertemuan kami, lalu pandanganku tertuju pada bola dan segera nengambilnya untuk mengembalikan pada pemilik yang sesungguhnya di tengah lapangan. Bahkan aku juga tidak sadar jika tubuhku sudah memasuki area penonton bola yang ramai dengan gemuruh pendukung.
Tanpa banyak pikir aku langsung pergi kedalam lapangan untuk memberikan bola yang sempat terhempas lepas menuju kepalaku.
Tiba-tiba semua orang bersorak kencang "huuuuu, keluar wey keluar" Wajah ini tercengan karena tidak tau apa yang harus dilakukan.
Padahal aku ingin memberikan bola pada para orang-orang di tengah sana. Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak yang menggunakan seragam tapi beda dengan tim a ataupun tim b. Dia menatapku dengan tatapan tajam, lalu ku tatap kembali matanya tanpa rasa takut menghadang.
*priiit* bunyi peluit keras yang menggelegar bahkan menggetarkan gendang telingaku yang dekat pada dirinya. Tangannya mengangkat ke atas sambil menunjukkan kartu warna merah padaku.
"Hah, kenapa pak? Saya ingin memberikan bola" Tanyaku yang tidak mengerti apa maksudnya.
"Kamu keluar dari lapangan ini, karena saat ini sedang diadakan pertandingan" Suara tinggi dengan nada amarah membentak dalam wajah ku yang masih bingung.
Disaksikan para penonton yang hadir dan bersorak kembali serta mengejek karena seorang perempuan datang tak di undang tiba di tengah lapangan pertandingan dan saat ini benar-benar bingung tidak tau apa yang harus dilakukan. Padahal niatku baik untuk memberi bola tapi malah ditertawakan dengan ejekan. Dengan rasa malu aku keluar lapangan dengan terburu-buru.
*gubrak* ranting pohon yang tergeletak menahanku hingga tubuh ini terjatuh terhempas di atas tanah.
"Huhuhu, hahahaha" Sorak-sorak semakin ramai seperti kampanye saja, membuat wajah ini merah delima karena menahan malu sendiri.
"Lihat saja, nanti kalian akan mendukungku sebagai pemain bola" Hati bergumam dendam pada mereka yang asik menari dengan tawa.
Meskipun aku tidak mengerti apa itu bola, tapi tekad ini kuat akan menggenggam bola sebagai tumpuan kesal yang ingin aku balaskan pada mereka yang mengejek dengan tatapan hina. Dari banyaknya orang yang bersorak padaku, hanya ada satu tangan terulur tepat di depan wajah.
Tanpa pikir panjang aku meraih dan menggenggamnya lalu bangkit dari rebahan ku bersama tanah. "Bangunlah" Ucapnya lembut, meluluhkan hati ini. Aku segera bangun dan menatapnya sejenak lalu bergegas pergi meninggalkan tempat itu.
Sejak saat itu aku berusaha mencari uang sendiri untuk membeli bola. karena tidak mungkin harus mendaha uang pada ibu. Aku kembali terjun berjualan koran di persimpangan jalan, menjajakan dari mobil satu ke mobil lainnya saat lampu merah menyala.
Walupun aku berjualan koran, ibu tidak akan tau. Karena dia akan pulang pada malam hari. Hari-hari berlalu aku mengais uang dari jerih payah dan peluh yang jatuh. Recehan demi recehan terkumpulkan dan senang rasanya karena segera membeli bola.
Saat itu rintik hujan turun, aku nerteduh di halte bus pinggir jalan. Tubuh menggigil kedinginan karena hanya baju kaos dan celana panjang yang melekat pada tubuhku. Tidak ada pelindung jas hujan ataupun jaket yang menyelamatkan dari hawa dingin. Lama kelamaan dingin itu meresap pada kulitku yang tipis, tapi aku bingung harus berbuat apa.
Jika aku nekat keluar, maka koran akan basah. Tapi jika aku tidak keluar makan aku harus menahan kedinginan dari terpaan hujan. Jadi aku memutuskan mengambil langkah kedua. Berdiam diri di halte menunggu hujan reda.
Tubuh mungil bergelayut lelah pada tiang besi di halte. Menyandarkan kepala sejenak di antara tembok-tombok rusuh dengan berbagai macam tulisan, berharap menghilangkan pikiran tebal yang dipeluk penat begitu dalam.
Perlahan kantuk menghampiri bersama datangnya untaian hujan yang semakin deras. Tangan kecil masih menggenggam koran dengan erat agar tidak terkena percikan air hujan yang menjadikannya basah. Bila koran basah maka aku tidak bisa menjualnya lagi dan harus ganti rugi.
"Nak, bila kamu ingin berhasil kelak maka tekad yang kuat serta usaha harus kamu sertakan. Tidak perlu barang yang kau butuhkan itu datang, tapi yang diperlukan adalah langkah awal yaitu antara mental dan fisik. Jadilah anak berbakti kelak dan jangan lupa minta pada Tuhan karena semua yang kau inginkan akan terkabul berkat campur tangan sang Pencipta"
Suara itu mengejutkan dari lelap yang aku rasakan diantara dinginnya hujan. Ternyata aku sudah tertidur cukup lama di halte ini. Mataku membuka lebar, tapi tidak ada satupun orang yang berteduh di sana. Perkataan itu seakan nyata, tapi tidak ada manusia yang mendekat baik di samping ataupun dimanapun karena hujan masih deras.
Apa benar itu mimpi? Pikirku bertanya-tanya tapi susah menjawabnya. Suara itu seperti suara kakek sepuh yang duduk mendampingi serta memberikan nasehat pada cucunya. Benar-benar nyata berbincang di telinga. Tapi kenyataannya aku hanya sendiri di halte ini. Ah!sudahlah, mungkin itu hanya mimpi saja saat terlelap dengan banyak pikiran yang belum terpecahkan.
Tapi, setelah aku pikir-pikir, perkataan kakek itu berkaitan dengan perjuanganku yang ingin membeli bola dengan menjual koran. Kata kakek itu tidak perlu barang yang dibutuhkan, sedangkan saat ini aku sangat membutuhkan bola. Kakek itu juga berkata bahwa aku harus siap fisik dan mental yang kuat. Jadi apa bisa berlatih tanpa bola?
*duarrrr* kilatan petir menyambar sekaligus membangunkanku dari lamunan. Aku sekarang benar-benar sendirian dan bingung ingin berbuat apa. apalagi riki temanku saat ini tidak berjualan. sepi rasanya tidak ada teman.
ingin pulang tapi tidak bisa, jika tidak pulang maka akan menahan dingin hingga hujan reda. Tiba-tiba pikirku melayang mengingat perkataan tadi bahwa kita harus berserah diri pada sang Pencipta karena segalanya atas kehendak Tuhan.
"Ya Allah, ijinkan hujan ini reda agar aku bisa pulang dan koran ini tidak basah karena besok harus aku jual kembali demi mendapatkan upah" Suara rintihan memelas pada sang Pencipta alam. Berharap di dengar dan dikembalikan sesuai dengan permintaan. Karena Tuhan itu baik dan sangat baik.
Satu per satu air mataku menetes, ikut membasahi pipi. Sedih melanda karena tidak bisa pulang. Yang ada di benak hanyalah ketakutan bila sampai malam hujan tidak reda maka ibu akan tau jika aku menjajakan koran lagi. Ibu pasti akan marah besar dan aku tidak ingin ibu marah serta menjadikan anak durhaka. Tapi saat ini tubuhku tidak bisa berkutik lagi.
Senja semakin tenggelam diiringi rintik hujan yang semakin kecil menjadikannya gerimis. Senyum di pipiku kembali terlukis karena melihat hujan semakin kecil. Harapan kembali muncul untuk segera pulang.
~ BERSAMBUNG ~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Erni Fitriana
nyimak
2023-01-17
1