Mentari pagi memancarkan sinar senyumnya menyambutku dengan hal yang sama. Saat ini bukanlah hal mudah untuk bersiap diri menghadapi kehidupan yang sesungguhnya.
Dibalik kehidupan anak-anak yang berangsur-angsur akan aku tinggalkan dan menjejaki kehidupan yang bergeming dengan kata remaja tapi sudah mengajarkanku tentang arti hidup dipaksa menjadi dewasa.
Banyak hal yang harus aku sembunyikan dalam kehidupan ini, tentang kepedulian, kerinduan dan apapun itu tapi ada satu obat yang membuatku tersenyum kembali yaitu bola.
Bola adalah cinta pertama yang aku temui dalam kehidupan. Setelah cinta ayah pergi meninggalkanku. dalam bola ada banyak hal yang membuat aku tersenyum, menangis, tertawa atau bahkan berdesis kesal menatap keadaan yang tak berjalan sesuai rencana.
Tapi dalam genggaman bola aku menyadari apa arti kehangatan yang dibuat dalam arti sahabat yang sesungguhnya. Memang benar bola itu benda mati, tapi bila disentuh dengan hati maka bola akan berliku-liku mengelilingi luasnya rumput hijau.
Aku pikir kehidupan yang dikelilingi bola terasa senang dan nyaman setelah kehidupan dalam rumahku menjadikan diri ini asing tidak terurus. Karena keceriaan yang ingin aku dapatkan kabur entah kemana. Berpecah belah menjadi dua dipisahkan oleh lautan yang luas. Sedangkanku masih tidak mengerti apa arti perpisahan yang membuat jiwa tidak nyaman dalam lingkup gelap dipeluk oleh tataan pagar derita.
Bagaimana bisa? Bila orang berbicara, memang sangat mudah mengatakan pendapat yang menurutnya hebat. Tapi inilah aku yang berguling-guling di dalam lingkaran istana kelabu.
Allah itu baik, bahkan sangat baik. Tapi, mengapa Allah membiarkan ayah dan ibu pergi di jalur yang berbeda tanpa ada kata perpisahan senyum atau bahkan pelukan kehangatan bagaikan ucapan cinta. Yang ada hanya penggalan luka yang sempat membawaku ke dunia neraka. Bahkan aku rindu panggilan ayah yang menjerit kehangatan seperti ayah dari teman-temanku lainnya.
Saat itu, umurku 7 tahun yang dibilang masih dalam masa pertumbuhan dan masa-masa indah sebagai anak-anak kecil pada umumnya. Memiliki nama indah yang diberikan ayah dan ibu. Bahkan namaku yang berbeda dari nama lainnya, tidak ada nama yang sama dalam lingkup kampung. Keyla adara, akrab dipanggil dengan sebutan key.
Nama "key" Bergema dalam pelukan mesra diatas istana sederhana. Menjadi kebanggaanku dengan rasa berbinar memiliki nama key sebelum hal menyakitkan memeluk keluarga kecil dari pelosok desa.
Hingga akhirnya petir menyambar pilu kesederhanaan dan menjadikannya pecah belah tak beraturan. Ingin bahagia dalam kehangatan malah yang ada dipeluk petaka luka. Andai ayah tau, perempuan kecil ini merindukan kasih sayangmu sebagai pahlawan kelak dimasa depan. Tapi hanya khayalan semata yang ku ratapi tanpa kenyataan pasti.
Key kecil pernah bermimpi membangun cita diatas cinta. Bermimpi membangun istana dalam genggaman cinta tanpa luka. Tapi kenyataannya harus dipaksa memeluk api serta menggenggam sebilah pisau yang ayah dan ibu berikan.
Padahal aku tidak tau jalan apa yang kalian hadapi, sehingga pisau mampu menusukku bahkan menghilangkan jejakku yang berstatus bagai anak kecil. Bahkan pikiran prasangka baik atau burukpun aku juga tidak tau. Hanya bisa menjalani kehidupan yang dengan ini adanya.
Hidup berdua dengan ibu, mulai umur 7 tahun. Bersekolah, membantu ibu mengais rejeki mencari makan hingga petang. Bahkan menjelajahi senja yang menaungi diatas jalanan keras menjajakan koran. Begitulah seterusnya hingga 2 tahun lamanya.
Sampai pada akhirnya, di titik itu ibu bertemu lelaki yang mampu menarik hatinya. Bahkan sering sekali ibu bergonta-ganti pasangan lelaki yang tidak tau dari mana asalnya.
Setiap hari ia lupa menghiburku saat dalam gundah. Ibu juga lupa mengajari membaca dan menulis lagi seperti dulu. Katanya aku sudah besar jadi harus belajar mandiri. Ibu hanya memberiku uang untuk membayar sekolah dan memberiku makan.
Memang benar aku tidak bekerja keras lagi seperti dulu tapi pikirku bimbang dengan uang yang tidak memiliki latar belakang dengan jelas. Dengan rasa terpaksa aku menerimanya, walaupun aku mengerti uang itu tidak cocok bagi perutku yang masih dini.
Setiap hari ibu selalu keluar siang dan pulang malam. Mengais kisah-kisah kelam bertahun-tahun. Hingga aku sudah terbiasa dengan begini adanya. Sampai akhirnya aku menemukan bola yang mengajariku tumbuh dengan tawa, menjelajahi kehidupan yang tidak pernah aku mau.
Tapi bagaimanapun kehidupan itu, aku harus berjalan dengan sukarela tanpa keluh kesah yang berlebih. Karena menurutku Allah itu baik dan sungguh baik. Memberi kesempatan pada hambanya yang merenung sepi dan bergabung menepi tiada arti. Hingga bola menggelinding menghampiri kehidupan yang tak rata.
Tepat pada saat ini di umurku yang menginjak 13 tahun, aku berkenalan dengan bola. Bola adalah benda mati yang menyapaku hingga menggali tekad yang kuat. Mengajarkan tentang perjalanan dan cerita mulai saat ini, dan mungkin akan berlangsung hingga masa depan.
Siang itu aku pulang melewati perjalanan seperti biasa. Suara sorak-sorak ramai seperti pendukung melenting Di udara. Tak sabar kaki ini berlari menghampiri tanah lapang Di belakang sekolah. Banyak sekali jajaran penonton baik dari anak kecil, bahkan orang dewasa. Tidak peduli baik itu perempuan ataupun lelaki, semuanya menjadi satu dalam gemuruh kegembiraan yang mereka tonton.
Aku mencoba mendekat dan memaksa masuk dalam kerumunan agar tau apa yang sedang terjadi. "Oh, pertandingan bola" Pikirku setelah lolos memasuki kerumunan yang padat dan sudah berada tepat Di samping para pemain yang sedang berkompetisi.
Permainan kaki yang mencengangkan tapi hanya kaum lelaki saja yang berada di tengah lapang. Mataku mencari sesosok perempuan, ternyata tidak ada yang berkompetisi didalamnya seperti lomba-lomba Agustus antara perempuan dan lelaki menyatu. Tapi ini berbeda, dan baru kali ini aku melihat secara langsung pertandingan bola yang nyata.
Permainan yang apik mencekik mataku untuk tetap melotot menatapnya. Pemindahan bola dari kaki ke kaki yang begitu indah. Tapi sayang seribu sayang karena aku tidak tau tentang istilah bola, bahkan bagiku pertama kali ini selama hidup berjumpa dengan permainan bola. Bola melambung tinggi karena tendangan dari kaki pemain yang beradu skill di dalamnya memaksa keluar dari garis putih sebagai pembatas.
*Blukkk* Tepat sasaran.
"Aduhhhhh" Teriakku yang menahan rasa sakit dari benturan bola yang cukup keras. Aku khawatir bila otakku tergeser ke sebelah karena benturan ini. Setelah tangan ini meraba kepala, ternyata baik-baik saja mungkin hanya sedikit kabel saraf yang copot.
Ganas memang pertemuan kami, lalu pandanganku tertuju pada bola dan segera nengambilnya untuk mengembalikan pada pemilik yang sesungguhnya di tengah lapangan. Bahkan aku juga tidak sadar jika tubuhku sudah memasuki area penonton bola yang ramai dengan gemuruh pendukung.
Tanpa banyak pikir aku langsung pergi kedalam lapangan untuk memberikan bola yang sempat terhempas lepas menuju kepalaku.
Tiba-tiba semua orang bersorak kencang "huuuuu, keluar wey keluar" Wajah ini tercengan karena tidak tau apa yang harus dilakukan.
Padahal aku ingin memberikan bola pada para orang-orang di tengah sana. Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak yang menggunakan seragam tapi beda dengan tim a ataupun tim b. Dia menatapku dengan tatapan tajam, lalu ku tatap kembali matanya tanpa rasa takut menghadang.
*priiit* bunyi peluit keras yang menggelegar bahkan menggetarkan gendang telingaku yang dekat pada dirinya. Tangannya mengangkat ke atas sambil menunjukkan kartu warna merah padaku.
"Hah, kenapa pak? Saya ingin memberikan bola" Tanyaku yang tidak mengerti apa maksudnya.
"Kamu keluar dari lapangan ini, karena saat ini sedang diadakan pertandingan" Suara tinggi dengan nada amarah membentak dalam wajah ku yang masih bingung.
Disaksikan para penonton yang hadir dan bersorak kembali serta mengejek karena seorang perempuan datang tak di undang tiba di tengah lapangan pertandingan dan saat ini benar-benar bingung tidak tau apa yang harus dilakukan. Padahal niatku baik untuk memberi bola tapi malah ditertawakan dengan ejekan. Dengan rasa malu aku keluar lapangan dengan terburu-buru.
*gubrak* ranting pohon yang tergeletak menahanku hingga tubuh ini terjatuh terhempas di atas tanah.
"Huhuhu, hahahaha" Sorak-sorak semakin ramai seperti kampanye saja, membuat wajah ini merah delima karena menahan malu sendiri.
"Lihat saja, nanti kalian akan mendukungku sebagai pemain bola" Hati bergumam dendam pada mereka yang asik menari dengan tawa.
Meskipun aku tidak mengerti apa itu bola, tapi tekad ini kuat akan menggenggam bola sebagai tumpuan kesal yang ingin aku balaskan pada mereka yang mengejek dengan tatapan hina. Dari banyaknya orang yang bersorak padaku, hanya ada satu tangan terulur tepat di depan wajah.
Tanpa pikir panjang aku meraih dan menggenggamnya lalu bangkit dari rebahan ku bersama tanah. "Bangunlah" Ucapnya lembut, meluluhkan hati ini. Aku segera bangun dan menatapnya sejenak lalu bergegas pergi meninggalkan tempat itu.
Sejak saat itu aku berusaha mencari uang sendiri untuk membeli bola. karena tidak mungkin harus mendaha uang pada ibu. Aku kembali terjun berjualan koran di persimpangan jalan, menjajakan dari mobil satu ke mobil lainnya saat lampu merah menyala.
Walupun aku berjualan koran, ibu tidak akan tau. Karena dia akan pulang pada malam hari. Hari-hari berlalu aku mengais uang dari jerih payah dan peluh yang jatuh. Recehan demi recehan terkumpulkan dan senang rasanya karena segera membeli bola.
Saat itu rintik hujan turun, aku nerteduh di halte bus pinggir jalan. Tubuh menggigil kedinginan karena hanya baju kaos dan celana panjang yang melekat pada tubuhku. Tidak ada pelindung jas hujan ataupun jaket yang menyelamatkan dari hawa dingin. Lama kelamaan dingin itu meresap pada kulitku yang tipis, tapi aku bingung harus berbuat apa.
Jika aku nekat keluar, maka koran akan basah. Tapi jika aku tidak keluar makan aku harus menahan kedinginan dari terpaan hujan. Jadi aku memutuskan mengambil langkah kedua. Berdiam diri di halte menunggu hujan reda.
Tubuh mungil bergelayut lelah pada tiang besi di halte. Menyandarkan kepala sejenak di antara tembok-tombok rusuh dengan berbagai macam tulisan, berharap menghilangkan pikiran tebal yang dipeluk penat begitu dalam.
Perlahan kantuk menghampiri bersama datangnya untaian hujan yang semakin deras. Tangan kecil masih menggenggam koran dengan erat agar tidak terkena percikan air hujan yang menjadikannya basah. Bila koran basah maka aku tidak bisa menjualnya lagi dan harus ganti rugi.
"Nak, bila kamu ingin berhasil kelak maka tekad yang kuat serta usaha harus kamu sertakan. Tidak perlu barang yang kau butuhkan itu datang, tapi yang diperlukan adalah langkah awal yaitu antara mental dan fisik. Jadilah anak berbakti kelak dan jangan lupa minta pada Tuhan karena semua yang kau inginkan akan terkabul berkat campur tangan sang Pencipta"
Suara itu mengejutkan dari lelap yang aku rasakan diantara dinginnya hujan. Ternyata aku sudah tertidur cukup lama di halte ini. Mataku membuka lebar, tapi tidak ada satupun orang yang berteduh di sana. Perkataan itu seakan nyata, tapi tidak ada manusia yang mendekat baik di samping ataupun dimanapun karena hujan masih deras.
Apa benar itu mimpi? Pikirku bertanya-tanya tapi susah menjawabnya. Suara itu seperti suara kakek sepuh yang duduk mendampingi serta memberikan nasehat pada cucunya. Benar-benar nyata berbincang di telinga. Tapi kenyataannya aku hanya sendiri di halte ini. Ah!sudahlah, mungkin itu hanya mimpi saja saat terlelap dengan banyak pikiran yang belum terpecahkan.
Tapi, setelah aku pikir-pikir, perkataan kakek itu berkaitan dengan perjuanganku yang ingin membeli bola dengan menjual koran. Kata kakek itu tidak perlu barang yang dibutuhkan, sedangkan saat ini aku sangat membutuhkan bola. Kakek itu juga berkata bahwa aku harus siap fisik dan mental yang kuat. Jadi apa bisa berlatih tanpa bola?
*duarrrr* kilatan petir menyambar sekaligus membangunkanku dari lamunan. Aku sekarang benar-benar sendirian dan bingung ingin berbuat apa. apalagi riki temanku saat ini tidak berjualan. sepi rasanya tidak ada teman.
ingin pulang tapi tidak bisa, jika tidak pulang maka akan menahan dingin hingga hujan reda. Tiba-tiba pikirku melayang mengingat perkataan tadi bahwa kita harus berserah diri pada sang Pencipta karena segalanya atas kehendak Tuhan.
"Ya Allah, ijinkan hujan ini reda agar aku bisa pulang dan koran ini tidak basah karena besok harus aku jual kembali demi mendapatkan upah" Suara rintihan memelas pada sang Pencipta alam. Berharap di dengar dan dikembalikan sesuai dengan permintaan. Karena Tuhan itu baik dan sangat baik.
Satu per satu air mataku menetes, ikut membasahi pipi. Sedih melanda karena tidak bisa pulang. Yang ada di benak hanyalah ketakutan bila sampai malam hujan tidak reda maka ibu akan tau jika aku menjajakan koran lagi. Ibu pasti akan marah besar dan aku tidak ingin ibu marah serta menjadikan anak durhaka. Tapi saat ini tubuhku tidak bisa berkutik lagi.
Senja semakin tenggelam diiringi rintik hujan yang semakin kecil menjadikannya gerimis. Senyum di pipiku kembali terlukis karena melihat hujan semakin kecil. Harapan kembali muncul untuk segera pulang.
~ BERSAMBUNG ~
Sejenak netra ini tidak sengaja menatap seorang perempuan yang tidak asing adalah ibu. Duduk di mobil mewah bersama laki-laki yang baru. Padahal 2 hari yang lalu ibu membawa laki-laki ke rumah dan sekarang sudah berganti lagi.
Bibirku terbungkam, sedangkan hati memaksa untuk memanggilnya. Tapi hanya diam adalah salah satu kunci agar ibu tidak menanggung malu dan tau tentang keberadaanku.
"Mataku tidak salah, itu adalah ibu" gumamku sambil bersembunyi di balik pot besar taman jalanan.
Perlahan hujan semakin reda, gerimis juga beranjak pergi. Aku bersyukur karena bisa pulang ke rumah. Mengembalikan koran pada Pak Abu sang penjual koran dan berjanji besok akan kembali untuk menjajakan koran.
Ku telusuri jalanan basah dengan genangan air di mana-mana karena habis hujan. Tumpukan sampah yang menyumbat selokan perkampungan membuat air meluap rata dijalanan.
Bahkan menenggelamkan beberapa tanaman Yang ada di pinggiran. Aku tidak mengerti pada masyarakat di sini, tong sampah sudah dijajarkan rapi, dipilah antara yang basah, kering serta yang plastik. Tapi kenapa masih bisa banyak sampah berserakan di jalan.
"Entah siapa yang salah ini, apa mungkin aku catat saja agar nanti bisa aku tanyakan kembali ke ibu guru besok. Supaya aku bisa tenang setelah mendapatkan jawaban yang jelas" Pikirku, sambil kembali menelusuri jalanan yang banjir.
Aku tidak peduli walaupun air sudah meluap hingga sampai di perutku. Karena aku harus bergegas pulang supaya ibu tidak tau jika aku basah kuyup karena berjualan koran. Semakin jauh melangkah, rasanya semakin berat karena air semakin tinggi. Aku membuka sendal dan menentengnya agar tidak hanyut. Lalu kembali lagi aku menerjang banjir yang ada di depan mata.
"gila, banjirnya tinggi sekali. untung saja aku tidak hanyut" ucapku yang sudah lega karena melewati banjir dengan selamat.
Perjalanan yang seharusnya aku tempuh 10 menit malah menjadi 2 kali lipat lamanya karena banjir menghadang. Perlahan aku berhati-hati menelusuri jalanan yang tidak nampak warna aspalnya. Karena sedikit saja aku salah jalur maka akan masuk kedalam selokan. untung-untung tidak hanya utk, kalau hangat ya hilang.
Akhirnya perjalanan yang cukup panjang dan basah membawaku sampai dengan selamat di depan pintu rumah. Tapi aku harus berfikir kembali bagaimana caranya masuk kedalam agar tidak basah. Ide cemerlang datang secara tiba-tiba. Aku mengeringkan pakaian dengan cara memeras nya untuk menghilangkan air sedikit demi sedikit.
"Peras lagi key, peras lagi. ayo semangat" teriakku menyemangati diri sendiri sambil memeras baju yang terlihat masih basah. Setelah beberapa menit bajuku akhirnya kering. Lalu kaki ini bergegas memasuki rumah untuk mandi dan bersiap diri memasak makan malam dengan persedian yang sudah ada di dalam kulkas.
Setiap hari aku makan sendiri, mencuci piring sendiri dan sibuk sendiri rasanya seperti angka satu lagu dangdut Indonesia, hehehe. Setelah itu aku belajar hingga terlelap menyendiri bersama larut yang dipenuhi hembusan udara dingin. Lagi-lagi sendiri tanpa pelukan kasih tangan lembut ibu.
Setiap hari aku memasak sendiri dan mengurus diriku sendiri. Tanpa campur tangan ibu atau ayah. Terasa hampa sekali hidupku yang dipenuhi kesunyian.
Pada subuh hari aku membuka mata langsung beribadah dan memasak. Setelah itu bergegas pergi ke sekolah, sedangkan ibu masih terlelap karena ia selalu pulang malam.Terkadang ibu pulang pukul 12 malam, terkadang pulang pukul 1-5 pagi, dan bahkan ibu pernah tidak pulang. Oleh karena itu aku memasak, menyiapkan bekal, menyiapkan perlengkapan sekolah dengan sendirinya.
Berpamitan hanya pada sebuah boneka kecil yang sudah aku anggap sebagai teman, bobo namanya. Boneka beruang yang usang dimakan waktu, tapi itu adalah tanda kasih sayang yang diberikan ibu pada saat usiaku 5 tahun. Hingga saat ini dialah teman bisu yang mendengarkan curhatku tanpa balasan kata dari bibirnya.
Begitulah kegiatan yang selalu aku lakukan. Bila dibilang iri, benar aku sangat iri pada teman-temanku yang masih diperhatikan oleh orang tuanya meskipun umur mereka sudah menginjak 13 tahun. Sedangkan aku, hanya bisa menikmati lamunan saja yang tidak pernah terjadi tentang apa yang aku pikirkan.
Padahal inginku sederhana yaitu ingin dimarahi saat berbuat salah, lalu dipukul oleh ayah agar tidak mengulangi lagi. Kemudian ibu datang menghampiri memeluk dengan hangat serta memberi nasihat yang baik agar tidak mengulangi lagi. Aku juga ingin dicari saat pulang terlalu malam, ingin di bentak ayah karena tidak belajar.
Sedangkan ibu sibuk memasak di dapur untuk persediaan makan bersama. Bercerita tentang sekolah, diberikan peluk kehangatan oleh ayah saat ada petir tiba atau dimasakkan makanan yang aku suka oleh ibu. Tapi sudahlah, itu tidak mungkin aku dapatkan karena semua yang terjadi saat ini adalah nyata yaitu benar-benar kenyataan bahwa aaku sedang berdiri sendiri walaupun masih ada ibu.
Tapi semua itu tidak pernah luntur rasa sayangku pada ibu, hanya saja aku membenci ayah karena pergi tanpa pamit kepadaku. Bahkan ayah juga tidak pernah melebarkan tersenyum, serasa asing bagaikan orang lain yang tidak ada ikatan darah.
Aku tidak mengerti, apakah kelahiranku adalah masalah bagi mereka. Sedangkan diriku saja tidak tau apa yang terjadi di masa lalu. Jika memang benar aku adalah kesalahan lalu mengapa mereka tidak membunuhku saja, jika memang aku adalah biang kerok semua permasalahan ini mengapa tidak di buang saja.
Apa lagi yang harus aku jalani jika sesuatu tidak berhenti terus saja melayang tanpa sebab dalam benak yang masih dibilang cukup kecil merasakannya. Hingga saat ini hanya ibu yang aku miliki dan hanya ibu yang membiayai kehidupanku meski aku tidak mengerti apa pekerjaan ibu.
\*kringgggg\* pukul 12 siang waktu untuk pulang telah tiba. Saat ini aku masih duduk di bangku SMP kelas 1. SMP negeri yang dibilang sangat bagus untukku. Karena ini adalah permintaan ibu agar aku bisa mengenyam pendidikan yang paling terbaik.
Meskipun ibu terlihat tidak memepehatikanku secara fisik, tapi pikirnya masih terbayang tentang masa depan yang aku hadapi kelak. Tapi yang aku butuhkan bukan itu bu, hanya belai lembut kasih sayang yang tulus dari dirimu ibu. Benar sekali aku sangat rindu.
Aku pulang sendiri tanpa kendaraan yang aku tumpangi. Hanya mengandalkan kaki kecil yang mungil untuk sampai ke rumah yang jaraknya cukup jauh sekitar 1 km saja. Bila dilalui menggunakan kendaraan mungkin hanya 12 menit, tapi bila berjalan kaki mungkin bisa sampai sekitar 30 menit.
Aku senang bila berjalan dengan santai karena tubuhku akan mencoba menikmati pemandangan untuk menghilangkan jenuh di perjalanan walaupun tidak sepenuhnya. Meskipun di kiri dan kanan hanya ada pepohonan serta sawah-sawah yang mendampingi setiap hari.
Saat ini aku memiliki rencana sedikit, setelah pulang sekolah maka ingin mampir ke tempat lapangan di kampungku. Disana banyak sekali anak-anak berlatih bola bila sore hari. Siapa tau aku bisa mencari ilmu disana dan aku bisa masuk kesana untuk bermain bola. Langkahku semakin cepat untuk bergegas menuju rumah dan berganti pakaian supaya tidak ketinggalan anak-anak yang sedang berlarih.
\*settt\* rem sepatuku sangat baik meskipu sudah terkoyak, tapi itu mengingatkanku bahwa siang ini masih belum ada yang berlatih. Karena mereka akan berlatih sore hari sekitar jam 3.
Bagaimana aku bisa tau? Yang pasti jelas tau karena sempat melihat anak-anak berlatih disana saat aku lewat jalan itu menuju ke laut untuk menghilangkan sedih. Berteriak tidak karuan hanya untuk membuang kekesalan pada gelombang arus yang pasang ataupun surut saat itu. Karena aku tidak ada tempat untuk bercerita yang membuatku gundah, yang tidak lain hanyalah pada bobo dan juga pada alam.
Lapangan itu dari rumahku cukup dekat, palingan hanya sekitar 10 menit bila berjalan kaki kesana. Suasana lapangannya sangat nyaman. Dikelilingi persawahan dan di pinggir laut yang memberikan hembusan angin ketenangan.
Jadi aku tidak usah terburu-buru lagi dan bisa juga aku menjual koran terlebih dahulu, meskipun hanya sebentar yang penting bisa mendapatkan uang walaupun hanya sedikit. Supaya bola bisa terbeli dengan mudah yang bisa menemaniku untuk berlatih. Tapi sepertinya berlari adalah cara yang tepat agar menghemat waktu.
\*Bruk, bruk, bruk\* Aku memutuskan untuk berlari kembali agar cepat sampai ke rumah. Tapi ternyata nafasku tidak sampai.
"aduhh, nafas patah-patah. capek sekali aku berlari. sepertinya aku harus sering berlari agar nafaski tidak seperti ini lagi" keluhku yang bergumam tidak jelas karena nafas yang terengah-engah.
50 menit waktu berlalu. Sekarang sudah pukul 12.50 aku berada di persimpangan jalan. Memeluk koran seperti biasa dengan baju kaos dan celana 3/4. Menjajakan koran dari mobil satu ke mobil lainnya setelah lampu merah menyala. Setidaknya masih ada waktu kurang lebih 2 jam untuk menjajakan koran.
Rejeki memang tidak ada yang tau, tapi aku berharap mendapatkan rejeki yang cukup banyak meskipun dengan waktu yang sangat singkat. Saat tepat berada di jalanan, mataku kembali tertuju pada mobil berwarna putih. Disana aku melihat ibu dengan lelaki yang asing bagiku. Bahkan bukan lelaki yang kemarin aku lihat tapi lelaki ini beda lagi.
Aku segera berlari untuk sembunyi agar ibu tidak tau bila aku berjualan koran kembali. Langkah kaki kecil terus melangkah mundur dengan tatapan mengintai mobil ibu agar tidak menatap padaku yang sedang berusaha untuk kabur.
\*brukkkkk\*
"aduhh" Koran ditangan berserakan karena sepeda motor menabrak tipis lenganku. Keseimbangan yang aku miliki tidak terlalu baik hingga membuat tubuh ini jatuh terkapar diatas jalanan beraspal. Sedangkan orang itu langsung saja gas dan pergi tanpa ada rasa tanggung jawab.
Dasar manusia pisang, yang punya jantung tapi tidak punya hati. Aku segera bangkit dan membersekan kembali koran-koran yang berserakan. Untung saja ibu tidak melihat padaku, karena tatapan matanya fokus berbincang dengan pria itu di dalam mobil. Ingin rasanya aku mengikuti kemana ibu pergi, serta apa pekerjaan yang ibu tekuni saat ini. Tapi masih ada rasa ragu.
"Ayo bangun, kamu gak apa-apa" Ucap riki sambil memapah aku duduk ke halte.
"Gak apa-apa kok ki, ini cuman tergores aedikit saja di lengan" Ucapku sambil menunjukkan luka yang mengeluarkan darah akibat dari benturan yang mempertemukan kulitku dengan goresan aspal.
"Kamu kenapa sih, malah kabur tidak karuan padahal jalanan ini lagi ramai dan untung saja kamu hanya terserempet sedikit" Aku hanya diam lalu melemparkan senyum pada riki.
"Ditanya malah tersenyum" Kesal riki karena aku menjawab hanya dengan senyuman saja.
"Heheh, biar sudah yang penting aku selamat"
"Awas saja kalau aku ketemu orang itu, aku pukuli dia karena sudah menabrak temanku tapi tidak ada rasa tanggung jawab" Marahnya sambil mengepal tangan dan menatap arah lelaki bermotor itu yang sudah berlalu daritadi.
"Sudah, sudah lagian orang itu sudah hilang"
"Baiklah kalau begitu, lain kali hati-hati ya aku mau cari plester dulu untuk menutupi luka kamu" Ucap riki sambil bergegas pergi.
"Terima kasih riki" Riki hanya membalas dengan anggukan dan senyuman.
Riki adalah salah satu temanku di jalanan. Dia juga baru menjadi pedagang asongan. Hidupnya sama sepertiku yaitu sama-sama ditinggalkan oleh seorang ayah. Aku ditinggalkan tanpa sebab dan riki ditinggalkan karena sebab panggilan Tuhan. Sedangkan ayah riki meninggal sehingga ia harus berjuang membantu ibunya mencari pundi-pundi rupiah untuk menghidupi kedua adiknya yang masih berumur 6 tahun dan 3 tahun.
Tekadnya selalu keras menjalani hidup. Ucapan keluh kesah tidak pernah ia lontarkan semenjak aku mengenal riki dari 1 bulan yang lalu hingga saat ini. Riki hanyalah anak remaja yang memikul beban di pundaknya sendiri. Mengais rejeki dari sebuah kotak pedagang asongan. Ucapnya selalu bersyukur pada Tuhan. Karena ia tau semua akan berubah bila nanti waktunya sudah tiba.
"Ini key plester nya, kamu tutupin luka itu biar gak terkena debu" Tangannya menyodorkan satu plester yang cukup untuk menutupi lukaku saat ini.
"Terima kasih ki"
" Iya sama-sama " Riki langsung melanjutkan kembali untuk berjualan. Agar bisa mendapatkan penghasilan saat ini. Sedangkan aku segera mengembalikan koran pada sang pemilik. Lalu bergegas menghampiri Riki dan membantunya berjualan.
"Sini aku bantu jualin minumanmu ya" Tanganku bergegas mengambil 2 botol minuman dingin yang dibawa Riki
"Loh, kamu memangnya tidak berjualan koran"
Tanya Riki dengan tatapan heran.
"Sudahlah, anggap saja ini ucapan Terima kasihku pada kamu ki"
"Yaudah, ayo gas lah kita jualan"
" Hahahahahha"" Kami berdua langsung tertawa ber sama-sama.
~~~ BERSAMBUNG ~~~
2 jam berlalu, aku berpamitan pada Riki untuk segera pulang. Padahal aku pergi ke lapangan sepak bola untuk latihan. Aku tidak ingin dia tau, takutnya nanti dia akan menertawaiku.
*bruk, bruk, bruk*
"Haduhhh, capek juga ternyata" Istirahat sebentar mungkin lebih baik untuk melanjutkan perjalanan. Keringat bercucuran di dahi sehingga tanganku tak kualahan menahannya. Padahal belum juga separuh perjalanan sudah capek.
Hidungku mencoba mengatur pernafasan agar stabil. Jedag-jedug di dada semakin berisik karena terlalu terkejut berlari dengan rasa terburu buru. Setelah istirahat 2 menit untuk menstabilkan pernafasan, aku kembali berlari karena takut ketinggalan melihat latihan sepak bola.
Di waktu yang singkat, ide ku tiba-tiba datang untuk menuntun arah melewati persawahan agar lebih cepat sampai ke lapangan sepak bola.
Jalan yang kecil didampingi tempat peraiaran persawahan di samping kanan kiri. Langkahku terus saja berlari dan konsentrasi melihat jalan walaupun sesekali terjatuh dan terpeleset masuk ke pengairan sawah. Untung saja hanya kaki dan celana saja yang basah, setidaknya aku tidak masuk angin terlalu cepat hehehe.
Lompatan demi lompatan, membawaku sampai juga ke lapangan. Inilah lapangan terdekat yang aku tau saat ini, karena disana banyak anak-anak yang di usianya sekitar 7 tahun hingga 15 tahun dilatih disini.
"Sepertinya itu pelatih yang memberikan arahan, lebih baik aku mendengarkan secara sembunyi" Lubang sungai tanpa air sangat cocok untuk aku duduk sambil mendengarkan arahan dari pelatih yang jaraknya cukup dekat denganku.
"Selamat sore anak-anak, hari ini kita akan berlatih sepak bola dan sebelumnya mari kita berdoa sesuai agama masing-masing agar diberikan kemudahan saat berlatih" Spontan aku ikut berdoa bersama mereka.
"Berdoa selesai"
Setelah berdoa selesai, pelatih itu sepertinya memberikan arahan, tapi aku tidak mendengarnya dengan jelas karena angin mengubah arah jadi tidak bisa lagi aku mendengarkan dengan jelas. Sekarang hanya bisa melihat saja apa yang akan mereka lakukan selanjutnya, agar aku bisa mengikutinya.
Pertama-tama mereka semua berlari di lalangan sebanyak 5 kali puraran, mungkin itu pemanasan awal yang biasa mereka lakukan. Haduh, jangankan 5 putaran, paling setengah putaran kaki aku sudah mengibarkan bendera putih.
"Eh tapi gak boleh nyerah, mungkin ini adalah awal aku untuk belajar". Seketika aku mengingat kembali perkataan kakek tua di dalam mimpi itu, bahwa harus bersiap diri walaupun fisik menjadi awalan untuk bertahan menjadikan tumpuan permulaan.
Berarti tidak perlu ada bola dahulu untuk bermain sepak bola. Tapi harus mempersiapkan fisik biar tidak lemas saat di terjang. Setelah mereka berlari, lalu melakukan pemanasan kaki, tangan kepala hingga seluruh badan.
"Kalo pemanasan seperti ini mah gampang, di sekolah setiap ada pelajaran olahraga selalu melakukan pemanasan seperti itu jadi tidak membuatku terkejut hehehe". Tiba-tiba fokus ku menghilang saat melihat salah satu anak laki-laki diantara kerumunan.
lelaki itu memiliki ciri-ciri kulit putih, hidung mancung dan matanya tidak terlalu sipit dan juga tidak terlalu lebar jadi sedang-sedang saja. Badannya kurus berisi dengan tinggi sekitar 160 cm. Membuatku tak asing dengan dirinya, pikiranku melayang terbang kembali untuk mengingat siapa anak itu.
"Oh iya, dia" Ucapku yang terlalu kencang lalu kembali menutup mulut dengan spontan. aku lupa bahwa saat ini sedang melakukan persembunyian untuk mengetahui tentang bola. Akhirnya aku juga mengingat bahwa dia adalah anak laki-laki yang menolongku saat terjatuh di lapangan pertandingan yang diadakan di belakang sekolah saat itu.
Aku tidak mengerti apakah ini takdir yang menemukan aku kembali dengan dia. Tapi asik juga, kelihatannya dia adalah seorang yang baik karena pada saat semua nenertawakanku, hanya dia yang rela mengulurkan tangannya padaku. Untuk membantu bangkit saat terjatuh. Sayang sekali aku tidak tau namanya, apa mungkin dia melakukan latihan sepak bola disini.
Jika memang benar, berarti kita satu kota. Bagus juga bila dipikir, karena aku ingin belajar dengannya. Tapi sayang sekali nyaliku ciut, karena dia laki-laki dan aku perempuan. Tidak ada ikatan pertemanan yang membuat diri ini jadi canggung.
Sudahlah, lebih baik mencari tau sendiri tentang bola dan menekuni apa yang aku cari. Bila yang aku cari tidak ada maka aku akan mencarinya kembali hingga ketemu, maksudku adalah tentang bola.
Banyak sekali mode latihan yang mereka peragakan. Mulai dari pemanasan, peregangan otot dan yang terakhir latihan oper bola. Bola ditendang dari kaki ke kaki, lalu di tahan oleh teman lainnya. Dan yang paling aku suka pada saat dilakukan pertandingan bola itu seakan melekat di kaki tapi bagaimana bisa?.
Pertanyaan yang masih belum ada jawabannya. Mungkin besok atau lain hari aku akan mengetahui triknya. Latihan mereka cukup lama, membuat aku cukup kesal. Karena banyak semut yang menggigit hingga kulitku merah-merah dan gatal.
Memang sih menikmati latihan saat ini, tapi tidak dengan semut yang mencari perkara. Ingin rasanya aku sentil sarangnya tapi takut mereka marah dan membuat formasi berubah bentuk menjadi manusia. "Hiiiii, ngeri sekali".
*prittttt* pluit panjang dibunyikan. Semua pemain berkumpul kembali di tempat semula mereka datang. Duduk tenang mendengarkan perkataan dari pelatih.
" Latihan sore cukup sampai disini saja, kita akan lanjutkan latihan lusa"
"Baik coach" Jawabnya serempak.
"Oh iya, kalian jangan pernah malas untuk berlatih agar kelak bisa masuk ke timnas, semangat" Ucapnya sambil memberikan semangat ada anak didiknya.
"Baik coach, semangat" jawab semuanya dengan serentak
"Baik kita akhiri pertemuan saat ini dengan berdoa menurut agama kalian masing-masing, berdoa mulai" Semua menundukkan kepala begitu juga aku mengikutinya untuk berdoa. Padahal aku sendiri tidak ikut latihan, tapi namanya berdoa bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun yang kita mau.
"Selesai"
"Alhamdulillah". Semua pemain berkemas diri untuk pulang. Satu-persatu berpamitan kepada sang pelatih lalu bergegas untuk pulang.
Bibirku tersenyum melihat semua, walaupun lumayan lama melihat latihan mereka tapi setidaknya aku mempunyai hal baru untuk aku pelajari serta aku lakukan. Saat aku rasa semua sudah pergi, aku bergegas masuk ke lapangan untuk mencoba berinteraksi dengan rumput-rumput disana. dengan telanjang kaki aku percaya diri berada di tengah lapangan.
Ternyata ada rasa senang sendiri berlatih disini. Meskipun tempatnya berdekatan dengan sawah dan laut, lapangan ini tidak kalah dengan lapangan lainnya. Rumputnya juga tidak banyak yang botak, jadi kalo aku berlatih terus lelah bisa saja rumput ini menjadi tempatku untuk istirahat.
Kakiku sudah bersiap untuk berlari seperti yang mereka lakukan tadi. Baru saja 1 kali putaran mengelilingi lapangan, nafasku merengek untuk berhenti berlari. Suara degap-degup semakin kencang. Nafas terengah-engah dan mencoba duduk untuk menstabilkan kembali.
"Haduh, baru saja lari sudah berhenti, ya sudah deh sekarang ganti pemanasan saja biar mudah" Ucapku bergumam sendiri di lapangan yang sepi. Melakukan pemanasan sesuai dengan apa yang mereka lakukan tadi membuatku lupa akan waktu. Hingga senja berpamit akan menghilang dan aku masih saja sibuk dengan latihan sendiri.
Suara burung bersautan menyambut senja yang akan pergi. Akhirnya aku sadar bahwa waktu akan berakhir petang. Sejenak duduk lalu bersandar di pohon besar. Menatap langit yang ingin berubah petang. Lalu menatap kembali pada senja yang ingin pergi.
"Hai senja, sudahkah kau lihat aku latihan saat ini kan. Nanti bila aku sudah berhasil kau harus bilang pada dunia bahwa dirimulah saksi bisu ku" Berharap senja juga mengangguk saat aku berbincang dengannya.
"Oh iya langit, aku yakin tidak akan ada yang mustahil bukan? Karena aku tau semua butuh proses serta berjalan beriringan dengan doa yang aku panjatlan pada Tuhanku". Aku segera bergegas pergi untuk pulang. Tapi arah pulangku melewati jalanan beraspal. Karena aku takut bila melewati persawahan akan ada binatang buas, seperti ular umpamanya.
Sambil melatih pernafasan, aku pulang dengan berlari kecil. Berharap aku bisa belajar mengatur pernafasan jantung. Agar saat aku berlatih berlari, jantungku tidak berdegup kencang seperti layaknya genderang perang yang ditabuh.
Perjalanan yang cukup melelahkan, tubuh bau dengan guyuran keringat saat latihan. Badan lumayan capek karena awal dari pemanasan berlatih sendiri. Dan waktunya pulang ke rumah untuk beristirahat dan bersantai, lalu tidur agar besok tidak lupa untuk semangat bersekolah. Karena tidak ada yang lebih penting dari pendidikan. Maka kita harus mengutamakan pendidikan yang akan kita genggam seumur hidup.
*klek* pintu rumah terbuka, segera aku masuk lalu menghempaakan diri di lantai untuk mencari kesejukan alami. Berdiam sejenak untuk mengistirahatkan tubuh yang lelah. Mengambil nafas sedikit demi sedikit agar menjadi beraturan. Beberapa menit kemudian aku bergegas untuk membersihkan diri lalu bersiap memasak makan malam.
"Ahhh, Lama-lama aku rindu juga dengan ibu" Ku lemparkan spatula di tangan. Lalu menatap dinding yang terpampang foto kami berdua dengan senyuman yang begitu lebar. Aku sadar bahwa saat ini adalah waktu yang berbeda dari hal yang dulu.
Ibu sudah sibuk dengan dirinya sendiri untuk mencari uang membiayai sekolahku. Tapi aku saat ini sangat ingin berada di samping ibu. Dimanja dan tertawa, merebahkan tubuh dan meletakkan kepalaku di pangkuan ibu. Sambil bercerita tentang hari kemarin, hari ini ataupun hari esok.
"Bu bosan sekali hari-hariku" Tidak terasa air mata kembali metes melalui pipi-pipi.
"Tidak-tidak, aku anak kuat jadi tidak boleh cengeng" Tangan kecilku kembali membereskan semua tetesan air mata yang terjatuh. Lalu kembali bergegas untuk memasak dengan bahan-bahan seadanya yang ada di dalam kulkas. Setelah semua selesai, aku belajar dan tidak terasa terlelap dalam gelapnya kesunyian.
"Kukuruyuk" Suara ayam di subuh hari membangunkan ku untuk melakukan hal seperti biasanya. Beribadah, berkemas diri, memasak, makan dan berangkat ke sekolah. Ibu selalu memberikan uang saku di atas meja. Terkadang ia memberi 10.00, bahkan 15.000 tapi bila sudah lupa maka uang saku itu tidak ada.
Uang itu cukup untuk meredakan lapar ku di sekolah, karena siang hari aku jarang memasak dan memilih untuk membeli makanan pengganjal perut di sekolah.
Hari ini aku ingin pergi ke perpustakaan untuk mencari buku tentang bola. Nanti pada jam istirahat, akan aku manfaatkan waktu itu untuk ke perpustakaan walaupun sebentar. Mengais-ngais materi tentang bola, agar aku tau tentang bola walaupun hanya segi materi saja dahulu.
\*kringgggg\* bel istirahat tiba setelah otakku bergelut dengan pelajaran hari ini. Langkahku bergegas untuk menuju perpustakaan dan mencari apa yang aku inginkan. Jika kalian bertanya mengapa aku selalu sendiri di sekolah?
Benar sekali, aku tidak memiliki teman yang selalu bergandengan. Tapi hanya ada satu teman, itupun anak laki-laki. Namanya ari anak kutu buku yang selalu saja tertarik untuk menyentuh buku. Hobinya adalah belajar dan belajar, jadi tidak mungkin juga ia akan tau tentang bola jika aku bertanya padanya. Meski kami berbeda antara langit dan bumi, kami selalu bersama.
Aku bisa dibilang bumi karena tidak pernah mendapatkan nilai terbaik di kelas. Sedangkan ari adalah langit yang selalu mendapatkan nilai terbaik dari satu sekolahnya dulu hingga saat ini. Tapi yang terbaik dari kami berdua adalah saling melengkapi, karena kami tidak pernah mengungkit kekurangan tapi selalu menutupinya dengan kelebihan yang dimiliki.
Manusia adalah hal yang paling baik apabila membuang kekurangannya dan ia lengkapi dengan pelukan hangat dari berbagai penjuru kelebihan yang dimiliki. Tanpa ada rasa dendam ataupun benci, karena sejatinya manusia tidak akan pernah hidup sendiri walaupun dikelilingi banyak harta di dunia ini. Saling membutuhkan adalah kata yang tepat dari bibirku, dan begitupun sama juga dengan nurani Ari.
Aku tidak suka berteman dengan anak perempuan di sekolah ini. Karena mereka selalu berteman dengan membentuk geng. Jika kita tidak cocok maka akan mereka tinggalkan dan mencari siswa lainnya untuk dijadikan geng mereka.
Jujur aku tidak suka dengan sifat mereka atau mungkin karena aku yang terlalu tidak suka dengan peraturan geng dari masing-masing kelompok yang mereka buat. Ah sudahlah, lagipula aku masih memiliki Ari teman ku yang sangat perhatian. Walau terkadang perhatiannya teralih pada buku-bukunya. Tapi dia tetap saja menganggapku teman.
\*klek\* ku buka pintu perlahan di perpustakaan. Memasuki ruangan yang sangat nyaman untuk belajar. Karena baru pertama kalinya aku kesini. Sebelumnya ari sering mengajakku berkunjung ke perpustakan tapi aku tidak mau karena tidak ingin perang terus bersama pelajaran.
"Buku yang ada dikelas saja membuatku pusing apalagi buku di dalam perpustakaan" Pikirku saat itu.
"Di tulis namanya dulu ya nak" ucap guru penjaga perpustakaan sambil menyodorkan pulpen dan buku besar di atas meja.
"Baik bu" Pantas saja bila banyak yang datang kesini, selain tempatnya nyaman guru nya juga cantik serta tutur katanya lembut sekali membuat hati menjadi nyaman belajar. Menyesal sekali aku, karena tidak pernah mau jika di ajak ari pergi kesini. Ah sudahlah, biarlah itu berlalu. Biar mulai sekarang aku akan memasukinya.
~~~ BERSAMBUNG ~~~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!