Aku diam sejenak duduk bersama David berdua di bawah pohon ini. lalu bibirku mencoba membuak suara untuk mengawali percakapan dengannya.
"Aku ingin tau bola" Jawabku singkat dan diselingi senyum dari bibir David.
"Kamu mengejekku?" Tanyaku dengan tatapan berbeda padanya.
"Eh, enggak key aku cuma merasa seru aja. Karena selama aku bermain bola tidak pernah ada perempuan yang ingin bermain bola" sahutnya sambil menjelaskan padaku.
"Benarkah" Tanyaku dengan heran.
"Benar, karena banyak anak perempuan itu tidak suka kotor hahahahhaha" David tertawa keras, mungkin baginya aku ini suka kotor dan beda dari anak perempuan lainnya.
"Ah sudahlah, kau terus mengejekku"
"Tidak, tidak key aku hanya becanda" Ujarnya
"Lalu?"
"Lalu apa key?"
"Mengapa kau ada disni, bukankah teman-teman tidak ada yang latihan?"
"Kami libur, karena pelatih sedang sakit"
"Tapi mengapa kamu tidak libur? "
"Kakiku gatal bila tidak menyentuh bola"
"Hahahhahaha" Kami berdua saling tertawa.
Entah mengapa baru bertemu saja sudah akrab. Padahal tidak pernah ada ikatan pertemanan diantara kami. Tapi aku rasa David cocok denganku karena selera humornya yang tinggi dan hal kecil saja bisa menjadi lucu.
Gara-gara kami asik berbincang-bincang tentang perkenalan kami ataupun tentang bola, hingga aku dan David menjadi lupa bahwa alasan datang kemari adalah untuk latihan. Jadi saat senja menyapa kami masih saja bersandar di bawah pohon besar tanpa melakukan apapun kecuali berbicara serta tertawa bersama-sama.
"Oh iya key, kamu sekolah dimana?"
"Aku sekolah di SMP A"
"Berarti kita tetanggaan dong, aku di SMP B yang jaraknya sekitar 300 meter dari sekolahmu"
"Oh jadi kita tetanggaan, hmmm David gimana kalau kita pulang saja karena hari sudah mau gelap lagian tidak enak disini berduaan takut di ikuti setan" ucapku saya melihat senja yang akan menghilang.
"Hahaha, benar juga katamu key yasudah ayo kita barengan aku bawa sepeda nih"
"Tapi...... " Pikirku masih ragu saat David mengajakku untuk pulang
"Gak usah banyak tapi, ayo aku antar kamu pulang" Akhirnya aku berboncengan dengan David menelusuri perjalanan pulang yang disambut dengan hari perlahan menjadi petang.
Kami menikmati perjalanan hingga sampai di persimpangan kampungku. Aku berhenti disana karena tidak ingin David masuk ke lingkunganku yang kumuh serta banyak ocehan tetangga yang panas di telinga tentang ibuku. Takutnya dia merasa risih hingga tidak mau berteman denganku lagi.
"Oh iya key, jangan lupa besok datang untuk latihan"
"Hmmm, oke vid kamu hati-hati ya pulangnya" David membalasnya dengan anggukan dan senyuman lalu ia pergi mengayuh sepedanya untuk pulang. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang spesial karena baru bertemu saja aku merasakan ada hal yang cocok diantara kami.
Setiap mengingatnya rasanya lucu sekali karena rasa ini bercampur aduk antara senang dan malu sih tapi sudahlah. Dan yang paling penting sekarang aku memiliki teman baru yang bergelut di bidang sepak bola. Jadi setidaknya aku bisa mendekati David untuk belajar bermain bola dengan baik dan benar.
"Klek" Saat pintu terbuka betapa terkejutnya aku karena ada lelaki lain yang masuk ke dalam rumah. Aku tidak tau siapa dia, yang jelas itu bukan ayah dan bukan juga lelaki yang ibu temui di hari-hari kemarin. Lalu siapa dia, apakah lelaki yang baru untuk menjadi pasangan ibu?. Entahlah, aku tidak mengerti apa yang ibu lakukan saat ini.
"Siapa?" Teriak ibu dari dalam kamar, sedangkan aku masih tercengang melihat lelaki itu. Tidak tau apa yang dia lakukan disini hingga tidur dengan tenang seakan ini rumahnya.
"Hey bangun, apa yang kamu lakukan dirumahku" Bibirku tidak tahan hingga membentak dirinya yang terlelap sangat enak sambil mendengkur di rumahku. Langkahku juga semakin mendekat padanya tapi dia masih saja pulas dengan mimpi-mimpi yang dirajut.
"Hey bangunlah, pergi kau ini bukan rumahmu" Bentak ku yang agak keras hingga membuatnya terbangun dan langsung nenatapku dengan tatapan kejam.
"Siapa kau anak kecil, beraninya mengganggu tidurku yang nyenyak" Ucapnya sambil mencengkeram lenganku secara kasar. Tubuhku memberontak agar terlepas dari genggamannya.
"Hey, ada apa ini? " Tanya ibu yang bergegas keluar dari dalam kamar tidur.
"Dia siapa bu? Kenapa tidur di rumah kita" Ucapku sambil memelas untuk mencari tau jawaban dari ibu.
*plakkk* tangan ibu menamparku dengan keras.
"Kamu ini bukannya datang-datang untuk memasak malah protes tidak karuan" Apa yang aku dapatkan bukanlah jawaban malah tamparan dari ibu. Baru kali ini ibu menamparku dengan tatapan benci, aku tidak mengerti apa salahku. Mengapa tiba-tiba ibu datang di sore hari dengan lelaki lain dan berlaku kasar padaku.
"Tuh dengerin ibumu, sana masak gih soalnya aku sudah lapar" Tutur lelaki itu menambahkan, dan benci aku mendengar sepatah kata dari mulutnya. Aku saja tidak tau dia siapa, bagaimana bisa sikapnya berlaku seenak kepalanya dengan menyuruhku seperti pembantu saja.
"Sana masak, jangan banyak pikir karena aku sudah lapar" Tatapanku masih sama menatap kebencian pada lelaki itu. Langkah ini langsung bergegas menuju dapur, padahal mandi saja aku belum malah disuru memasak.
Dengan bahan yang ada di kulkas aku memasak seperti biasa. Ingin rasanya aku menambahkan racun di makanan ini untuk lelaki itu, tapi aku takut salah sasaran dan bisa mengenai ibu.lagipula racunnya ngga tidak ada dan harus membeli dulu. Jadi lebih baik aku belajar untuk menahan diri agar tidak menambahkan sesuatu yang kejam.
Setelah makanan itu selesai dimasak, aku pergi ke kamar tanpa ada sepatah katapun. Bergegas membersihkan diri lalu mengunci pintu untuk belajar dan berteman sunyi kembali. Ada atau tidak ada ibu di rumah ini rasanya sama saja, hidupku dikelilingi kesunyian yang tiada ujungnya.
*Klekkk* Membuka jendela adalah hal ternyaman saat ini. Melihat tataan bintang yang menari-nari di awan tanpa beban. Bahkan rembulan juga tersenyum indah menatap bumi yang dihuni para manusia. Ingin rasanya aku terbang, meminjam sayap malaikat sebentar untuk mencari teman di atas awan. Tapi semua akan terjadi bila aku tidur dan terlelap lama dan bergelatut manja di atas bunga mimpi yang aku rangkai.
Aku mengeluarkan selembar kertas dan sebuah pena di atas meja. akan aku tuliskan puisi untuk menuangkan rasa rindu dalam dekapan ibu.
***
Ibu,
Engkaulah pengais hati, tapi kau membuangnya ke tepi
Engkaulah bunga dunia, tapi kau tak pernah mekar
Engkaulah telaga biru, tapi kau tak pernah memberiku air walau seteguk
Ibu,
Aku rindu pelukmu dahulu
Yang merangkul dalam senyum merekah
Diantara badai, diantara tandus, bahkan diantara gersang nya cinta
Yang meninggalkanku di dalam kesendirian
Hanya engkau yang mampu menahan rasa dalam pelukan
***
Puisi yang tidak sebagus puisi dari Chairil anwar, tapi setidaknya aku bisa menyampaikan rasa rindu walaupun sepotong. Jarang sekali aku berkumpul dengan ibu, ingin sekali rasanya berkumpul walau sedetik saja. Ternyata kenyataan tidak berpihak padaku, aku hanya sebagai pelapis dalam hidup ibu.
Lalu dimana lagi aku mencari kasih sayang sedangkan ibu sudah tak menganggap aku lagi. Lalu dimanakah lagi aku mencari kehangatan, sedangkan ibu tidak mau memelukku lagi.
Ternyata kenyataan pahit merangkul luka. Hanya bisa mengadu pada dinding-dinding kosong di dalam kamarku. Berkhayal-hayal dengan gambaran garis-garis cerita yang aku buat sendiri. karena selama ini ibu melarang ku bermain atau berinteraksi dengan tetangga di kampung ini.
Apakah mungkin akan begitu seterusnya. Entahlah, tak ada jawaban saat ini dan yang pasti aku akan terlelap malam ini. Bersama desiran angin yang melewati jendelaku dengan kencang. Tidak perduli lagi yang terpenting aku merasa senang dan menikmati angin malam. Bersama jajaran suara jangkrik yang berbunyi kencang. Walaupun perut menanggung lapar karena tidak makan.
\*kukuruyuk\* suara ayam menandakan bahwa pagi telah tiba. Aku bergegas untuk menyiapkan diri seperti biasanya. Lalu dengan terburu-buru aku pergi dari rumah ini sebelum mereka bangun. Karena saat ini mereka tidur di kamar yang sama, padahal ibu belum menikah dengannya. Tapi itu membuatku benci, meskipun aku tidak pernah memakan bangku TPQ (Tempat Pendidikan Qur'an) setidaknya aku masih mengerti tentang agama walaupun hanya sedikit.
Mendengar ceramah-ceramah melalui TV ataupun radio, bahwa itu perbuatan yang zina dan sangat dibenci oleh Tuhan sang Maha pencipta. Aku hanya bisa terdiam dan hanya pasrah dengan keadaan.
\*klek\* membuka pintu secara epelahan agar tidoa ada yang mendengarnya.
"Hati-hati key, pelan-pelan dan jangan sampai ketahuan" gumamku sendiri sambil beregas pergi
Di pagi buta aku keluar rumah dan berangkat sekolah tanpa makan pagi ataupun membawa uang saku. Hanya bisa berangkat dengan tangan kosong dan beberapa genggaman buku berisi ilmu. Saat berjalan menuju sekolah, aku berhenti di persimpangan jalan tepatnya di persawahan.
Udara yang sejuk memanjakan pernafasanku. Mungkin udara pagi disini belum tercampur dosa orang-orang sepertiku. Yang tidak mengenal sangat dalam tentang islam, bahkan terkadang sholat juga jarang. Karena minimnya ilmu agama yang diberikan dari ibu membuatku buta akan jalan kebenaran.
Tapi setidaknya aku berusaha menjadi yang terbaik serta belajar damai dengan keadaan walaupun usia yang masih dibilang belum menginjak dewasa.
Netraku menikmati susunan padi yang tertata rapi, ada yang sudah menguning ada pula yang masih hijau. Cuitan burung-burung kecil menari ruang diantara embun pagi. Sejenak menghilangkan pikirku tentang ibu dan lelaki itu. Setidaknya aku bisa menghapus memori kotor dalam otak meski nanti memori itu akan datang tiba-tiba tanpa ada intruksi dari bibirku.
Senang sekali rasany, menatap langit dengan semburan mentari pagi yang masih mengintip. Ingin rasanya selalu menikmati walaupun sendiri tapi keadaan masih tidak membolehlan aku menikmatinya dengan kepuasan. Dan aku selalu bersyukur apapun keadaan yang akan membuatku bangkit menjadi bintang.
Langkahku kembali pergi meninggalkan persawahan itu. Kembali lagi aku telusuri perjalanan yang ramai kendaraan lalu lalang. Kakiku berlari kecil untuk menuju sekolah sekaligus untuk melatih pernafasan.
"Hfffuuuu, alhamdulillah akhirnya sampai juga ke sekolah" Tidak sia-sia aku berlatih, meski belum makan tapi setidaknya aku bisa sampai ke sekolah sambil berlari. Mumpung masih terlalu pagi, aku segera pergi ke kantin untuk makan.
Walaupun ibu tidak memeberiku uang saku, aku masih memiliki uang dari hasil menjual koran. Tidak apa-apa aku ambil sedikit saja, lagian lebih mending makan terlebih dahulu baru membeli bola kemudian.
"Bu, saya beli roti itu saja bu 2 yah" Membeli roti paling murah adalah jalan ninjaku agar dapat mengirit uang. Lagi pula 2 roti yang harganya 1000 rupiah, cukup mengganjal perutku ynag sedang berbunyi. Sepertinya cacing lagi bersautan di dalam . Karena setiap pagi aku sudah terbiasa makan dan hanya hari ini saja tidak makan karena aku benci suasana rumah.
\*brukkk\*
"aduhhh" Lututku bertemu dengan lantai begitu keras setelah ada orang jahil yang membuat ulah pagi ini.
"Hmm, sakit yah? Makanya jangan pernah macam-macam dengan kita" Ternyata mereka adalah geng yuri. Selalu saja menggangguku dan tidak pernah membuat hidupku tenang.
Ingin rasanya meluapkan amarah, tapi rasa lapar ku tidak tertahankan. Tanganku langsung mengambil roti yang terjatuh di depan mata.
"Aduh....., Kamu gila ya" bentakku pada yuri saat menginjak tanganku yang ingin mengambil roti. Mereka adalah kejahatan masa kecil yang kejam. Tidak ada habisnya merundung orang-orang yang lemah. Ingin rasanya aku cekik mati tapi sayang masih ada hukum yang tertuang di negara ini.
\*prukkk\*
\*prukkk\* tepukan tangan dari mereka yang disengaja untuk membuatku kesal
"Upsss, maaf roti-rotimu tidak sengaja aku injak" Dengan keras aku melemparkan kaki yuri yang menginjak ku. Tanganku juga melemparkan kaki dina yang sengaja menginjak roti-rotiku.
Dengan cengkeraman yang kuat aku menggenggam kaki mereka berdua dan menariknya hingga terjatuh. Mereka terkapar bebas di atas lantai kantin dan di sambut dengan cekikikan tawa dari beberapa siswa yang melihatnya.
"Aww, sakit key emang ya orang miskin kayak kamu tidak punya otak" Ucap yuri dengan beberapa cacian dari mulitnya, sedangkan tubuhnya masih rebahan di atas lantai dengan dina. Ratih dan bela berusaha mengangkat mereka berdua untuk segera bangkit.
"Kamu menanyakan dimana otakku? Yang pasti di kepala bukan sepertimu di dengkul" Tatapanku merasa puas saat melihat yuri merasa malu dengan perkataanku.
"Hahahahha, huuu bangun wey jangan rebahan" Suara tertawa dari siswa lain semakin membuat diriku percaya diri. Aku tidak mau ada perundung yang sok jagoan lagi. Sampai kapanpun aku akan melawannya meski memiliki resiko besar.
"Pagi yang menjengkelkan, tidak jadi aku sarapan gara-gara mereka" Gumamku sambil pergi dari kantin dan meninggalkan mereka yang sedang bergelut dengan rasa malunya. Sungguh menjengkelkan sekali, pagi tidak bisa makan dirumah bahkan tidak bisa makan di sekolah saja.
Uang yang aku bawa hanya 4 ribu, 2 ribu tadi sudah aku belikan roti tapi belum sempat aku makan. Jika aku ingin membelinya lagi makan nanti siang aku tidak bisa makan. Biarlah, aku akan merasakan kelaparan ini dengan kuat karena kata ibu aku anak kuat hehehe.
~~~ BERSAMBUNG ~~~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments