Sejenak netra ini tidak sengaja menatap seorang perempuan yang tidak asing adalah ibu. Duduk di mobil mewah bersama laki-laki yang baru. Padahal 2 hari yang lalu ibu membawa laki-laki ke rumah dan sekarang sudah berganti lagi.
Bibirku terbungkam, sedangkan hati memaksa untuk memanggilnya. Tapi hanya diam adalah salah satu kunci agar ibu tidak menanggung malu dan tau tentang keberadaanku.
"Mataku tidak salah, itu adalah ibu" gumamku sambil bersembunyi di balik pot besar taman jalanan.
Perlahan hujan semakin reda, gerimis juga beranjak pergi. Aku bersyukur karena bisa pulang ke rumah. Mengembalikan koran pada Pak Abu sang penjual koran dan berjanji besok akan kembali untuk menjajakan koran.
Ku telusuri jalanan basah dengan genangan air di mana-mana karena habis hujan. Tumpukan sampah yang menyumbat selokan perkampungan membuat air meluap rata dijalanan.
Bahkan menenggelamkan beberapa tanaman Yang ada di pinggiran. Aku tidak mengerti pada masyarakat di sini, tong sampah sudah dijajarkan rapi, dipilah antara yang basah, kering serta yang plastik. Tapi kenapa masih bisa banyak sampah berserakan di jalan.
"Entah siapa yang salah ini, apa mungkin aku catat saja agar nanti bisa aku tanyakan kembali ke ibu guru besok. Supaya aku bisa tenang setelah mendapatkan jawaban yang jelas" Pikirku, sambil kembali menelusuri jalanan yang banjir.
Aku tidak peduli walaupun air sudah meluap hingga sampai di perutku. Karena aku harus bergegas pulang supaya ibu tidak tau jika aku basah kuyup karena berjualan koran. Semakin jauh melangkah, rasanya semakin berat karena air semakin tinggi. Aku membuka sendal dan menentengnya agar tidak hanyut. Lalu kembali lagi aku menerjang banjir yang ada di depan mata.
"gila, banjirnya tinggi sekali. untung saja aku tidak hanyut" ucapku yang sudah lega karena melewati banjir dengan selamat.
Perjalanan yang seharusnya aku tempuh 10 menit malah menjadi 2 kali lipat lamanya karena banjir menghadang. Perlahan aku berhati-hati menelusuri jalanan yang tidak nampak warna aspalnya. Karena sedikit saja aku salah jalur maka akan masuk kedalam selokan. untung-untung tidak hanya utk, kalau hangat ya hilang.
Akhirnya perjalanan yang cukup panjang dan basah membawaku sampai dengan selamat di depan pintu rumah. Tapi aku harus berfikir kembali bagaimana caranya masuk kedalam agar tidak basah. Ide cemerlang datang secara tiba-tiba. Aku mengeringkan pakaian dengan cara memeras nya untuk menghilangkan air sedikit demi sedikit.
"Peras lagi key, peras lagi. ayo semangat" teriakku menyemangati diri sendiri sambil memeras baju yang terlihat masih basah. Setelah beberapa menit bajuku akhirnya kering. Lalu kaki ini bergegas memasuki rumah untuk mandi dan bersiap diri memasak makan malam dengan persedian yang sudah ada di dalam kulkas.
Setiap hari aku makan sendiri, mencuci piring sendiri dan sibuk sendiri rasanya seperti angka satu lagu dangdut Indonesia, hehehe. Setelah itu aku belajar hingga terlelap menyendiri bersama larut yang dipenuhi hembusan udara dingin. Lagi-lagi sendiri tanpa pelukan kasih tangan lembut ibu.
Setiap hari aku memasak sendiri dan mengurus diriku sendiri. Tanpa campur tangan ibu atau ayah. Terasa hampa sekali hidupku yang dipenuhi kesunyian.
Pada subuh hari aku membuka mata langsung beribadah dan memasak. Setelah itu bergegas pergi ke sekolah, sedangkan ibu masih terlelap karena ia selalu pulang malam.Terkadang ibu pulang pukul 12 malam, terkadang pulang pukul 1-5 pagi, dan bahkan ibu pernah tidak pulang. Oleh karena itu aku memasak, menyiapkan bekal, menyiapkan perlengkapan sekolah dengan sendirinya.
Berpamitan hanya pada sebuah boneka kecil yang sudah aku anggap sebagai teman, bobo namanya. Boneka beruang yang usang dimakan waktu, tapi itu adalah tanda kasih sayang yang diberikan ibu pada saat usiaku 5 tahun. Hingga saat ini dialah teman bisu yang mendengarkan curhatku tanpa balasan kata dari bibirnya.
Begitulah kegiatan yang selalu aku lakukan. Bila dibilang iri, benar aku sangat iri pada teman-temanku yang masih diperhatikan oleh orang tuanya meskipun umur mereka sudah menginjak 13 tahun. Sedangkan aku, hanya bisa menikmati lamunan saja yang tidak pernah terjadi tentang apa yang aku pikirkan.
Padahal inginku sederhana yaitu ingin dimarahi saat berbuat salah, lalu dipukul oleh ayah agar tidak mengulangi lagi. Kemudian ibu datang menghampiri memeluk dengan hangat serta memberi nasihat yang baik agar tidak mengulangi lagi. Aku juga ingin dicari saat pulang terlalu malam, ingin di bentak ayah karena tidak belajar.
Sedangkan ibu sibuk memasak di dapur untuk persediaan makan bersama. Bercerita tentang sekolah, diberikan peluk kehangatan oleh ayah saat ada petir tiba atau dimasakkan makanan yang aku suka oleh ibu. Tapi sudahlah, itu tidak mungkin aku dapatkan karena semua yang terjadi saat ini adalah nyata yaitu benar-benar kenyataan bahwa aaku sedang berdiri sendiri walaupun masih ada ibu.
Tapi semua itu tidak pernah luntur rasa sayangku pada ibu, hanya saja aku membenci ayah karena pergi tanpa pamit kepadaku. Bahkan ayah juga tidak pernah melebarkan tersenyum, serasa asing bagaikan orang lain yang tidak ada ikatan darah.
Aku tidak mengerti, apakah kelahiranku adalah masalah bagi mereka. Sedangkan diriku saja tidak tau apa yang terjadi di masa lalu. Jika memang benar aku adalah kesalahan lalu mengapa mereka tidak membunuhku saja, jika memang aku adalah biang kerok semua permasalahan ini mengapa tidak di buang saja.
Apa lagi yang harus aku jalani jika sesuatu tidak berhenti terus saja melayang tanpa sebab dalam benak yang masih dibilang cukup kecil merasakannya. Hingga saat ini hanya ibu yang aku miliki dan hanya ibu yang membiayai kehidupanku meski aku tidak mengerti apa pekerjaan ibu.
\*kringgggg\* pukul 12 siang waktu untuk pulang telah tiba. Saat ini aku masih duduk di bangku SMP kelas 1. SMP negeri yang dibilang sangat bagus untukku. Karena ini adalah permintaan ibu agar aku bisa mengenyam pendidikan yang paling terbaik.
Meskipun ibu terlihat tidak memepehatikanku secara fisik, tapi pikirnya masih terbayang tentang masa depan yang aku hadapi kelak. Tapi yang aku butuhkan bukan itu bu, hanya belai lembut kasih sayang yang tulus dari dirimu ibu. Benar sekali aku sangat rindu.
Aku pulang sendiri tanpa kendaraan yang aku tumpangi. Hanya mengandalkan kaki kecil yang mungil untuk sampai ke rumah yang jaraknya cukup jauh sekitar 1 km saja. Bila dilalui menggunakan kendaraan mungkin hanya 12 menit, tapi bila berjalan kaki mungkin bisa sampai sekitar 30 menit.
Aku senang bila berjalan dengan santai karena tubuhku akan mencoba menikmati pemandangan untuk menghilangkan jenuh di perjalanan walaupun tidak sepenuhnya. Meskipun di kiri dan kanan hanya ada pepohonan serta sawah-sawah yang mendampingi setiap hari.
Saat ini aku memiliki rencana sedikit, setelah pulang sekolah maka ingin mampir ke tempat lapangan di kampungku. Disana banyak sekali anak-anak berlatih bola bila sore hari. Siapa tau aku bisa mencari ilmu disana dan aku bisa masuk kesana untuk bermain bola. Langkahku semakin cepat untuk bergegas menuju rumah dan berganti pakaian supaya tidak ketinggalan anak-anak yang sedang berlarih.
\*settt\* rem sepatuku sangat baik meskipu sudah terkoyak, tapi itu mengingatkanku bahwa siang ini masih belum ada yang berlatih. Karena mereka akan berlatih sore hari sekitar jam 3.
Bagaimana aku bisa tau? Yang pasti jelas tau karena sempat melihat anak-anak berlatih disana saat aku lewat jalan itu menuju ke laut untuk menghilangkan sedih. Berteriak tidak karuan hanya untuk membuang kekesalan pada gelombang arus yang pasang ataupun surut saat itu. Karena aku tidak ada tempat untuk bercerita yang membuatku gundah, yang tidak lain hanyalah pada bobo dan juga pada alam.
Lapangan itu dari rumahku cukup dekat, palingan hanya sekitar 10 menit bila berjalan kaki kesana. Suasana lapangannya sangat nyaman. Dikelilingi persawahan dan di pinggir laut yang memberikan hembusan angin ketenangan.
Jadi aku tidak usah terburu-buru lagi dan bisa juga aku menjual koran terlebih dahulu, meskipun hanya sebentar yang penting bisa mendapatkan uang walaupun hanya sedikit. Supaya bola bisa terbeli dengan mudah yang bisa menemaniku untuk berlatih. Tapi sepertinya berlari adalah cara yang tepat agar menghemat waktu.
\*Bruk, bruk, bruk\* Aku memutuskan untuk berlari kembali agar cepat sampai ke rumah. Tapi ternyata nafasku tidak sampai.
"aduhh, nafas patah-patah. capek sekali aku berlari. sepertinya aku harus sering berlari agar nafaski tidak seperti ini lagi" keluhku yang bergumam tidak jelas karena nafas yang terengah-engah.
50 menit waktu berlalu. Sekarang sudah pukul 12.50 aku berada di persimpangan jalan. Memeluk koran seperti biasa dengan baju kaos dan celana 3/4. Menjajakan koran dari mobil satu ke mobil lainnya setelah lampu merah menyala. Setidaknya masih ada waktu kurang lebih 2 jam untuk menjajakan koran.
Rejeki memang tidak ada yang tau, tapi aku berharap mendapatkan rejeki yang cukup banyak meskipun dengan waktu yang sangat singkat. Saat tepat berada di jalanan, mataku kembali tertuju pada mobil berwarna putih. Disana aku melihat ibu dengan lelaki yang asing bagiku. Bahkan bukan lelaki yang kemarin aku lihat tapi lelaki ini beda lagi.
Aku segera berlari untuk sembunyi agar ibu tidak tau bila aku berjualan koran kembali. Langkah kaki kecil terus melangkah mundur dengan tatapan mengintai mobil ibu agar tidak menatap padaku yang sedang berusaha untuk kabur.
\*brukkkkk\*
"aduhh" Koran ditangan berserakan karena sepeda motor menabrak tipis lenganku. Keseimbangan yang aku miliki tidak terlalu baik hingga membuat tubuh ini jatuh terkapar diatas jalanan beraspal. Sedangkan orang itu langsung saja gas dan pergi tanpa ada rasa tanggung jawab.
Dasar manusia pisang, yang punya jantung tapi tidak punya hati. Aku segera bangkit dan membersekan kembali koran-koran yang berserakan. Untung saja ibu tidak melihat padaku, karena tatapan matanya fokus berbincang dengan pria itu di dalam mobil. Ingin rasanya aku mengikuti kemana ibu pergi, serta apa pekerjaan yang ibu tekuni saat ini. Tapi masih ada rasa ragu.
"Ayo bangun, kamu gak apa-apa" Ucap riki sambil memapah aku duduk ke halte.
"Gak apa-apa kok ki, ini cuman tergores aedikit saja di lengan" Ucapku sambil menunjukkan luka yang mengeluarkan darah akibat dari benturan yang mempertemukan kulitku dengan goresan aspal.
"Kamu kenapa sih, malah kabur tidak karuan padahal jalanan ini lagi ramai dan untung saja kamu hanya terserempet sedikit" Aku hanya diam lalu melemparkan senyum pada riki.
"Ditanya malah tersenyum" Kesal riki karena aku menjawab hanya dengan senyuman saja.
"Heheh, biar sudah yang penting aku selamat"
"Awas saja kalau aku ketemu orang itu, aku pukuli dia karena sudah menabrak temanku tapi tidak ada rasa tanggung jawab" Marahnya sambil mengepal tangan dan menatap arah lelaki bermotor itu yang sudah berlalu daritadi.
"Sudah, sudah lagian orang itu sudah hilang"
"Baiklah kalau begitu, lain kali hati-hati ya aku mau cari plester dulu untuk menutupi luka kamu" Ucap riki sambil bergegas pergi.
"Terima kasih riki" Riki hanya membalas dengan anggukan dan senyuman.
Riki adalah salah satu temanku di jalanan. Dia juga baru menjadi pedagang asongan. Hidupnya sama sepertiku yaitu sama-sama ditinggalkan oleh seorang ayah. Aku ditinggalkan tanpa sebab dan riki ditinggalkan karena sebab panggilan Tuhan. Sedangkan ayah riki meninggal sehingga ia harus berjuang membantu ibunya mencari pundi-pundi rupiah untuk menghidupi kedua adiknya yang masih berumur 6 tahun dan 3 tahun.
Tekadnya selalu keras menjalani hidup. Ucapan keluh kesah tidak pernah ia lontarkan semenjak aku mengenal riki dari 1 bulan yang lalu hingga saat ini. Riki hanyalah anak remaja yang memikul beban di pundaknya sendiri. Mengais rejeki dari sebuah kotak pedagang asongan. Ucapnya selalu bersyukur pada Tuhan. Karena ia tau semua akan berubah bila nanti waktunya sudah tiba.
"Ini key plester nya, kamu tutupin luka itu biar gak terkena debu" Tangannya menyodorkan satu plester yang cukup untuk menutupi lukaku saat ini.
"Terima kasih ki"
" Iya sama-sama " Riki langsung melanjutkan kembali untuk berjualan. Agar bisa mendapatkan penghasilan saat ini. Sedangkan aku segera mengembalikan koran pada sang pemilik. Lalu bergegas menghampiri Riki dan membantunya berjualan.
"Sini aku bantu jualin minumanmu ya" Tanganku bergegas mengambil 2 botol minuman dingin yang dibawa Riki
"Loh, kamu memangnya tidak berjualan koran"
Tanya Riki dengan tatapan heran.
"Sudahlah, anggap saja ini ucapan Terima kasihku pada kamu ki"
"Yaudah, ayo gas lah kita jualan"
" Hahahahahha"" Kami berdua langsung tertawa ber sama-sama.
~~~ BERSAMBUNG ~~~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments