Mikhayla, Strong Mother
Seorang wanita cantik berumur 18 tahun tampak gelisah di depan wastafel dalam kamar mandi dengan tespect di tangan.
"Semoga dugaanku tidak benar. Semoga aku tidak hamil," ucapnya penuh harap sambil terus mengawasi perubahan garis merah pada tespect di tangannya.
"Apa? A-ku hamil?" Wanita itu syok, garis merah yang tadinya satu di tespeck sudah bertambah menjadi dua.
"Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau sampai ayah ibu tahu? Bagaimana mungkin aku bisa merahasiakan kehamilan ini? Dapatkah ayah dan ibu memakluminya? Bagaimana kalau aku dilempar ke jalanan?" Tubuhnya nampak gemetar ketakutan.
Saat dalam kegelisahan ponsel yang ada di atas ranjang Mikhayla berdering. Segera wanita itu membungkus tespect di tangan dengan plastik hitam dan membawanya keluar dari kamar mandi. Dia harus membuang tespect itu di luar rumah agar tidak menimbulkan kecurigaan.
"Iya Fel ada apa?" Ternyata yang menelpon Mikhayla adalah Felisha teman sekelasnya yang juga merupakan adik dari Bima, pria yang telah berhasil merayu hingga Mikhayla nekad memberikan mahkota yang paling berharga dalam hidupnya.
"Mik kami sekeluarga sudah siap ke tempatmu. Apa di sana sudah siap?" tanya Felisha.
"Tumben mau berkunjung aja pake ngelapor segala. Biasanya tuh kamu bareng keluarga kayak jelangkung. Datang tak dijemput, pulang tak diantar," kelakar Mikhayla menyempatkan diri untuk bercanda meski dalam hati merasa kacau dan ada yang janggal dari ucapan Felisha.
"Bedalah Mik, sekarang kami itu kan datang ke sana untuk melamar." Penjelasan Felisha membuat Mikhayla sempat tertegun.
Apakah Kak Bima benar-benar mau mempertanggung jawabkan perbuatannya padaku?
Entahlah apakah Mikhayla harus sedih atau senang sekarang? Yang pasti dia sangat bersyukur sebab Bima benar-benar menepati janjinya.
"Mik, Mik! " panggil Felisha di seberang sana.
"Ah, iya Fel mungkin sudah siap. Aku sejak semalam tidak turun ke lantai bawah sebab tubuhku rasanya tidak enak."
"Oh oke kalau begitu. Sampai ketemu di sana. Bye!"
"Bye."
Mikhayla tersenyum senang. "Aku harus berdandan sekarang."
***
"Tante, Om apakah kalian tidak salah orang? Apakah kalian tidak salah meminang?" Mhikayla kaget mendengar kedua orang tua Bima malah melamarkan Mailena untuk Bima bukannya dirinya.
"Tidak Mik, kami tidak salah orang. Kakakmu Mailena adalah gadis yang baik. Jadi Om dan Tante sudah mengambil keputusan untuk menikahkan mereka dalam waktu dekat dan kami juga sudah berembug dengan kedua orang tuamu."
Deg.
Tiba-tiba aliran darah Mhikayla berhenti mendadak begitupun dengan jantungnya yang seakan berhenti memompa seketika. Untuk sesaat Mikhayla terdiam. Sesak dalam dadanya terasa sangat menyiksa.
"Kak?" Saat sudah berhasil menstabilkan keadaan tubuhnya Mikhayla mencoba untuk meminta penjelasan dari Bima.
"Maaf Mik aku tidak bisa menerima cintamu. Aku mencintai kakakmu."
Dar.
Bagai tersambar petir, kata-kata Bima telah meluluhlantakkan segala harapannya.
"Tapi aku hamil anakmu Kak." Terpaksa jujur, berharap Bima mau bertanggung jawab serta kedua orang tua dari Bima dan juga ayah ibunya sendiri berbalik menjodohkan Bima dengan dirinya.
Sontak semua orang yang hadir di dalam ruang keluarga itu menatap Mikhayla tak percaya.
"Jangan bercanda kamu Mik, saya tahu kamu memang menyukai Kak Bima dan begitupun sebaliknya, Kak Bima juga menyukaimu, tapi hanya sebatas kakak beradik seperti denganku," ujar Felisha.
"Kak!"
"Mik sudah! Dalam keadaan seperti ini jangan bercanda. Ini acara resmi bukan temu keluarga seperti sebelumnya," tegas sang ayah.
"Nanti ibu carikan pria lain ya, Kak Bima ini ketuaan untukmu lebih cocok untuk, Kak Mailena," bujuk sang ibu.
Mendengar semua orang seolah tidak percaya padanya, Mhikayla berlari ke atas dan mengambil tespect yang sempat ingin dibuangnya. Sudah telanjur, kehamilannya tidak perlu disembunyikan lagi. Yang harus dia lakukan adalah meminta pertanggung jawaban dari Bima atas anak dalam kandungannya.
"Ini Kak hasil perbuatan Kakak. Dengan janji palsu itu Kakak sudah berhasil menanam benih di dalam rahimku. Apa Kak Bima tidak kasihan pada anak ini? Mungkin cinta Kak Bima itu palsu untukku tapi apakah tidak ada cinta untuk janin yang tumbuh ini?"
Plak.
Tamparan mendarat di pipi Mikhayla dan itu bukan dari orang lain, melainkan dari ayahnya sendiri.
"Ayah!" Mhikayla meringis kesakitan sambil mengusap pipinya.
"Sejak kapan ayah mengajari dirimu menjadi wanita murahan seperti itu!" bentak Pak Fakih, ayah dari Mhikayla.
"Ayah maafkan aku, tapi Kak Bima telah berhasil merayuku dan merenggut kesucianku." Air mata berhasil lolos, membanjiri pipi mulus Mhikayla. Gadis yang biasanya ceria itu berubah menyedihkan.
"Benar Bima apa yang dituduhkan oleh Mikhayla terhadapmu?"
"Tidak Om itu semua tidak benar. Saya menganggap Mhikayla seperti adik sendiri bagaimana mungkin saya menidurinya, menyentuhnya saja saya tidak berani."
"Tuh dengar apa kata Bima. Dia sama sekali tidak melakukannya. Katakan siapa orang yang telah berani menghamilimu!" bentak sang ayah lagi.
"Dia ayah, Kak Bima ayah."
"Hei Mik jangan sembarangan kamu memfitnah putraku. Kami berasal dari keluarga baik-baik jadi tidak mungkin melakukan hal hina yang kamu tuduhkan. Lagipula apapun alasannya kami tidak akan mungkin merestui Bima menikah denganmu, wanita yang tidak jelas asal-usulnya. Mungkin saja kau hasil zina seperti bayi dalam kandunganmu itu!"
Mikhayla menekan dadanya sendiri mendengar penghinaan dari ayah Bima lalu sekuat tenaga membalas penghinaan itu. "Hmm, mana mungkin Om bisa mencium kebusukan putra Om sendiri. Mungkin jiwa pengecut Kak Bima diturunkan oleh Om sendiri."
"Mikhayla!" bentak Pak Fakih.
"Lancang sekali mulutmu berbicara seperti itu pada sahabatku sendiri. Apa yang dikatakannya benar. Aku kecewa padamu, aku menyesal telah membesarkan dirimu. Sekarang kau angkat kaki dari rumah ini karena aku tidak sudi lagi menampung wanita murahan seperti dirimu!" teriak Pak Fakih lagi.
"Puas kau Kak Bima? Puas menghancurkan diriku? Semoga kau bahagia selalu." Mikhayla geram, mengepalkan tangannya dan langsung bergegas meninggalkan ruang tamu dan berlari ke atas untuk mengemas pakaiannya.
"Ada apa ini?" tanya Mailena yang baru turun dari atas kamarnya.
"Tidak apa-apa Nak, hanya ada kesalahan pahaman sedikit," jelas Susi, sang ibu.
"Tapi kenapa Mika menangis Bu, tidak biasanya dia seperti itu." Mailena mengejar Mikhayla dan mencoba menanyakan apa yang terjadi. Namun, Mikhayla tidak menjawab. Dia tidak tega menyakiti sang Kakak yang penyakitan itu dengan kabar yang buruk.
"Mau kemana kau Mik? Mengapa kau mengemas pakaikanmu? Jangan pergi Mik, jangan pergi!" Mailena terlihat khawatir.
"Kak Mai tidak perlu khawatir Mika akan baik-baik saja di luaran sana."
"Tapi kenapa harus pergi. Ada apa sebenarnya?"
"Tidak ada apa-apa Kak. Mika harus membuktikan bahwa Mika bisa hidup mandiri. Kakak jangan khawatir Mika akan selalu menelpon Kak Mai."
Mikhayla menyeret koper keluar kamar.
"Ayah, ibu terima kasih telah meluangkan waktu, tenaga dan biaya untuk merawat Mikhayla. Mika sadar sampah harus kembali kepada sampah." Mikhayla memandang penuh kebencian ke arah Bima yang hanya menunduk saja sedari tadi. Pria itu telah berhasil mengembalikan dirinya menjadi sampah. Namun, Mikhayla bertekad dirinya harus hidup lebih baik seperti sampah yang menjadi benda unik dan berharga setelah didaur ulang.
"Mik, jangan pergi!" teriak Mailena sambil menangis sesenggukan. Dia berusaha untuk menahan Mikhayla, tetapi tangannya dicekal oleh kedua orang tuanya.
"Biarkan dia pergi. Kalau dia tetap di sini akan mempermalukan nama baik keluarga kita," ujar Susi sang ibu.
Mhikayla menyeret koper keluar dari rumah kedua orang tuanya tanpa tujuan yang jelas.
"Aku haus." Dia mengusap tenggorokannya yang tiba-tiba merasa kehausan. Tidak terasa dia sudah seharian berkeliaran di jalanan dan sekarang hari sudah mulai petang. Dia baru sadar bangun tidur tadi pagi tidak sempat makan ataupun minum. Dia langsung bergegas ke kamar mandi untuk mengetes kehamilannya mengingat tubuhnya yang tidak nyaman akhir-akhir ini ditambah diapun telat menstruasi.
"Ya Allah apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku akan tidur dimana malam ini?"
"Mbak ojek Mbak!" Seorang tukang ojek menawarkan jasa.
"Tidak Mas, terima kasih."
Mhikayla menyandar tubuhnya pada emperan toko yang baru saja ditutup oleh pemiliknya. Malam itu dia berniat untuk tidur di tempat ini saja.
Esok hari Mhikayla terbangun dengan sakit perut yang sangat menyiksa, dia pikir mungkin efek dari dirinya yang tidak makan sejak kemarin pagi. Namun, dugaan Mikhayla salah dari balik dress-nya dia melihat ada darah yang mengalir keluar.
"Darah?" Mhikayla memijit keningnya yang tiba-tiba sakit. Kaget sekaligus daya tahan tubuhnya yang mulai melemah membuat wanita itu langsung pingsan.
***
Mhikayla terbangun dan mendapati dirinya sudah terbaring di rumah sakit dengan beberapa selang di tubuhnya.
"Akhirnya kau sadar juga setelah tiga hari dirawat."
Mikayla memandang suster yang berdiri di sampingnya berbaring dengan penuh tanya.
"Seseorang membawamu ke sini sebab mendapati dirimu pingsan di depan tokonya. Kau kehilangan banyak darah dan sudah menghabiskan tiga kantong donor darah. Namun, tenanglah bayimu kuat sehingga masih bertahan di sana. Bayimu baik-baik saja." Tanpa Mikhayla minta suster menjelaskan sendiri apa yang terjadi pada Mikhayla dan wanita itu hanya mengangguk lalu memejamkan matanya. Kalau boleh dia meminta dia ingin bayi itu gugur saja. Dia benci, jika mengingat janin itu Mikhayla jadi mengingat wajah pengecut Bima.
"Kau sudah boleh pulang!" ujar sister sambil membuka selang infus di tangan Mikhayla pada suatu sore."
"Bagaimana dengan administrasinya Sus?"
"Sudah ada yang menjamin, kau bisa langsung pulang."
Mikhayla mengangguk, semoga dia masih diberi kesempatan untuk bertemu, dia akan mengucapkan terima kasih pada orang yang telah membantunya itu.
"Nah itu dia orang yang telah menolong Mbak, saya permisi dulu." Suster pamit pergi setelah pekerjaan di ruang rawat tersebut usai, digantikan oleh seorang wanita yang berjalan ke arah Mikhayla dengan santai.
"Ibu yang menolong saya?"
Wanita itu mengangguk.
"Terima kasih atas kebaikan ibu semoga saja suatu saat saya bisa membalas kebaikan ibu dan semoga Tuhan menggantikan rezeki yang lebih banyak dari yang ibu amalkan untuk saya."
"Tunggu! Amalkan? Maksudmu semua ini gratis? Tidak kamu salah. Ini catatan pembayaran rumah sakitnya. Silahkan di ganti!"
Mikhayla menganga mendengar ucapan wanita setengah baya yang duduk di sampingnya kini.
"Tapi saya tidak punya uang sama sekali Bu."
"Tidak masalah, ponsel dan KTP kamu sudah ada di tangan saya dan itu sebagai jaminan. Mengingat kamu tidak bisa membayar sekarang maka kau harus membayar biaya rumah sakit dua kali lipat padaku." Setelah mengatakan itu wanita setengah baya itupun pergi.
Di dalam ruang rawat itu kini menyisakan Mikhayla yang hanya bisa termenung dan menyesali nasib. Andai saja cintanya tidak buta terhadap Bima, hal ini tidak akan pernah terjadi. Mungkin dia masih tersenyum di dalam keluarga hangat yang membersamainya sejak dirinya kecil.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Dewi Kesumawati
huaaah.. bangke😤
2023-07-24
1
Sri Widjiastuti
sdh jatuh ketimpa batu... kata pepatah
2023-07-23
1
Abizar zayra aLkiaana
awal yg buram
2023-02-28
1