Sebelum 365 Hari
Sepasang suami istri baru saja keluar dari dalam kantor polisi. Raut wajah mereka menunjukan kecemasan yang teramat jelas. Suami istri tersebut melaporkan sebuah kasus atas hilangnya putri semata wayangnya, yang menghilang selama tiga hari. Sebut saja suami istri itu, Ruman dan Saras.
Kejadiannya bermula saat, Mawar meminta restu atas hubungannya dengan Marsel, sang kekasih. Tetapi, Ruman dan Saras tidak memberinya restu. Alasannya karena Marsel hanyalah seorang karyawan pabrik.
Mawar kecewa atas keputusan orang tuanya, sehingga, Mawar pun pergi dari rumah dan tidak kembali sampai sekarang.
Ruman dan Saras sudah berusaha menghubungi nomor ponsel Mawar, namun, nomornya tidak bisa dihubungi. Bahkan semua teman-teman Mawar juga tidak mengetahui keberadaannya. Termasuk Marsel, kekasih Mawar.
Marsel sendiri tidak tau perihal Mawar, yang meminta restu kepada orang tuanya.
Hujan terus mengguyur kota K selama tiga hari ini. Hujan turun dengan deras tanpa berhenti. Untung tidak mati lampu saja sudah bersyukur karena biasanya, jika hujan deras disertai angin, pasti mati listrik.
Di tengah hutan yang begitu gelap dan sunyi, hanya ada pepohonan tua seperti beringin dan pinus yang menjulang tinggi di sekelilingnya. Terdengar sayup-sayup lolongan anjing serta serigala.
Nampak seorang pria paruh baya tengah menyeret seorang gadis muda. Pria itu menarik jaket yang dikenakan sang gadis dengan kasar di tengah derasnya hujan seperti ini.
Pria itu memasuki sebuah gerbang yang di jaga oleh dua patung seperti manusia banteng sambil memegang kampak. Patung itu mempunyai mata merah dan menyala. Tatapannya sungguh mengerikan. Namun, pria itu tidak merasa takut sedikit pun.
Ternyata di tengah hutan seperti ini ada rumah seperti castle yang menjulang tinggi. Bangunannya terlihat tua dan menyeramkan. Lampu yang dipasang di sana-sini tidak membantu penerangan sedikit pun. Pria itu memasuki castle dan meletakan gadis itu di lantai begitu saja.
Tampak di depan pria itu, ada wanita tua yang masih terlihat energik, mengenakan kebaya, dengan rambut di sanggul, persis seperti pengantin adat jawa. Matanya tajam dan menakutkan. Wanita itu tersenyum melihat pria tersebut yang datang membawa seorang gadis.
"Saya membawa satu pasukan lagi, Ndoro!" kata pria tersebut memberi hormat kepada wanita yang tengah duduk di singgasananya.
Lalu, wanita itu turun dari singgasananya dan berjalan mendekati sang gadis yang tergeletak di lantai. Senyumnya menyeringai ketika menatap gadis itu.
"Cantik, putih, dan bersih. Segera bersihkan dia!" perintahnya dengan nada yang lembut namun kelembutannya seperti benda berat yang mengayun.
"Baik, Ndoro." Pria paruh baya tersebut bertepuk tiga kali, lalu datanglah tiga dayang dengan wajah judes yang semuanya berpakaian kebaya juga—menghampiri sang gadis. Seakan sudah mengerti dengan perintah tanpa ucapan itu, mereka segera membawanya menaiki tangga menuju lantai empat. Kamar yang memang sudah di siapkan untuk para mangsa baru seperti gadis itu.
"Siapa yang memancingnya, Han?" tanya wanita tua itu kepada pria paruh baya yang ternyata adalah seorang abdi dalemnya.
"Mira, Ndoro," jawab Burhan.
"Oh, gadis itu... ternyata, dia sungguh-sungguh ingin keluar dari sini, hahaha," suara tawa wanita tua yang dipanggil dengan Ndoro itu, menggema memenuhi ruangan. Si siapa yang mendengarnya pasti akan merasa merinding. "Sudah berapa gadis yang ia dapatkan, Han?" tanya wanita tua itu lagi kepada abdi kepercayaannya.
"Empat, dengan gadis terakhir yang saya bawa tadi, Ndoro," jawab Burhan yang wajahnya datar-datar saja.
"Hahaha, dasar bodoh! Usahanya akan sia-sia saja, dia tidak akan bisa keluar dari tempatku ini, hahaha," Ndoro kembali tertawa.
Sementara di luaran sana, suara anjing dan serigala melolong masih terdengar bersahutan. Entah berapa jumlahnya, yang jelas terdengar sangat riuh.
Di lantai empat, terlihat para dayang tengah memandikan sang gadis di dalam sebuah bak besar yang berisi banyak kembang mawar, kenanga, dan kantil.
Setelah selesai membersihkan gadis tersebut, mereka segera membalut tubuh gadis itu dengan busana kebaya yang sama dengan mereka, dan meletakkannya di atas tempat tidur lalu menutupnya dengan selimut. Sesudah itu, ketiga dayang tersebut segera pergi dari ruangan itu.
Selang beberapa menit, gadis itu mulai sadar. Perlahan, ia membuka matanya. Tangan kanannya memegangi kepala yang terasa sedikit pusing. "Aku ada di mana?" gumam sang gadis sambil melihat ke sekeliling.
Semuanya terlihat remang-remang. Memang ada lampu, tapi cahayanya tidak seterang lampu pada umumnya. Gadis itu mengedipkan matanya berkali-kali agar bisa jelas melihat.
Begitu gadis tersebut bisa melihat jelas, gadis itu langsung kaget dan segera bangun dari tempat tidurnya. Pandangannya menyapu ruangan yang tampak begitu asing.
Sebuah ruangan pengap dan remang yang terbuat dari kayu yang dipenuhi ukiran klasik, namun begitu mewah. Jantungnya seketika berdebar ketika ia menyadari pakaian yang dikenakannya sekarang.
"Pakaian siapa, ini!" batinnya dengan jantung yang terus berdebar kencang.
Ia kembali mengedarkan pandangan. Di ruangan itu, ia mendapati lemari dengan ukuran besar. Ada meja rias, ranjang besar tempat ia terbaring tadi, serta satu set meja dan kursi yang terletak tepat di ujung tempat tidurnya.
Di samping meja dan kursi itu, gadis itu melihat ada satu pintu lagi yang belum ia ketahui, apa isinya. Dengan rasa penasaran dan juga takut, gadis itu perlahan melangkahkan kakinya mendekati pintu itu.
Ketika sampai di depan pintu itu, tangannya terulur memegang gagang pintu. Sebelum ia benar-benar membukanya, ia mengatur napas lebih dulu. Matanya penuh kewaspadaan. Takut jika yang akan ia lihat nantinya bukan hal yang dikehendaki.
Pintu di dorong pelan, sampai kemudian, terbuka sempurna. Gadis itu menghela napas lega ketika melihat dalamnya hanyalah sebuah kamar mandi dengan satu bak ukuran besar. Orang kaya menyebutnya, bathtub.
Gadis itu menutup pintu dan kembali ke kamar. Matanya mengarah ke pintu lain. "Itu pasti pintu keluar dari kamar ini," ucapnya pelan.
Gadis itu hendak menuju ke arah sana. Namun, belum sempat ia memegang gagang pintu, pintu itu tiba-tiba terbuka dari luar.
Gadis itu kaget sampai terdorong ke belakang ketika melihat seorang dayang dengan wajah pucat dan judes, masuk sambil membawa nampan yang berisi bubur, ayam goreng, dan juga segelas air putih.
Dayang itu hanya diam tanpa merespons ekspresi kaget dari gadis itu. Dayang, segera meletakkan makanan yang ia bawa, ke atas meja yang ada di sana.
Selesai dengan tugasnya, Dayang hendak keluar. Namun, gadis itu mencegahnya. "Tunggu, Mbak,"
Dayang pun berhenti seraya menatap gadis itu. Tatapannya kosong.
Dengan sedikit ragu, gadis itu bertanya. "M-maaf, Mbak ... saya mau tanya. Ini, di mana, ya?"
Dayang hanya diam dan terus menatap. Tidak ada jawaban, ataupun senyuman.
Gadis itu masih menunggu. Barangkali, Dayang mau menjawab. Namun, harapannya pupus ketika Dayang justru berbalik badan dan keluar meninggalkannya.
"Kok aneh ya," ucap si gadis mulai merinding.
Setelah kepergian Dayang itu, tiba-tiba wanita tua yang berada di bawah tadi, muncul bersama abdinya. Melihat kedatangannya, sang gadis merasa gugup dan mundur beberapa langkah.
Gadis itu menatap si wanita tua, dan abdinya—bergantian. Abdi si wanita tua mempunyai badan kekar dan tinggi. Saking kekarnya, membuat gadis itu bertambah merinding.
"Jangan takut Nak, saya Kusuma, pemilik rumah ini," ucap si wanita tua, memperkenalkan diri. Lalu, menunjuk abdinya yang berdiri di sebelahnya persis. "Dan dia, abdi saya, Burhan namanya,"
Si gadis hanya diam sambil menelan ludah. Dia takut karena tidak mengenal mereka.
"Abdi saya yang menemukanmu dan membawamu ke sini," sambung si wanita tua yang bernama, Kusuma.
Mendengar penjelasan Kusuma, gadis itu menghela napas lega. Separuh ketakutannya hilang. "Rupanya, aku ditemukan orang dan di bawa ke sini," batinnya.
"Oh begitu. Terimakasih, Bu, karena sudah mau menolong saya," jawab si gadis tanpa senyuman.
"Panggil saya, Ndoro Kusuma!" ucapnya, yang terdengar seperti keharusan yang tidak boleh dibantah.
Gadis itu merasa gugup kembali. "B-baik, Bu. Eh, Maaf. Ndoro. Baik, Ndoro. Terimakasih karena Ndoro sudah menolong saya," ucapnya ulang.
Ndoro Kusuma tersenyum tipis.
"Makanlah dulu Nak, mari!" Ndoro Kusuma berjalan maju dan merangkul pundak sang gadis. Tapi tiba-tiba, Ndoro Kusuma meniup telinganya. Dan ia langsung merinding. Sorot matanya pun berubah kosong. Gadis itu menjadi orang yang penurut.
Ndoro Kusuma tersenyum tipis. Lalu, ia menuntun gadis itu menuju kursi untuk menyantap hidangan yang di bawa oleh Dayang tadi.
"Silahkan di makan, Nak! Kamu pasti lapar," ucap Ndoro Kusuma tersenyum senang.
Gadis itu segera menyantap bubur yang tersaji di mangkok.
"Siapa namamu!" tanya Ndoro Kusuma.
"Mawar, Ndoro," jawabnya tanpa memandang Ndoro Kusuma. Gadis itu fokus makan dengan tatapan kosong. Seolah-olah, kini, dia hanya sebuah boneka yang sedang dipermainkan.
"Nama yang cantik, seperti orangnya. Ayo segera habiskan, Mawar,"
Mawar mengangguk. Ia kemudian menenggak bubur itu dari mangkoknya. Habis memakan bubur, Mawar mengambil ayam goreng. Menggigitnya dengan rakus tanpa sisa.
Puas dengan ayam dan bubur, Mawar segera menenggak air minum yang sudah disediakan—sampai habis.
Melihat pemandangan itu, Ndoro Kusuma menyeringai. Rasanya, ia sangat puas.
"Lekaslah pergi tidur, Mawar. Kamu sudah kenyang," ucap Ndoro Kusuma.
Mawar kemudian berdiri dan berjalan menuju ranjang. Seperti yang diperintahkan Ndoro Kusuma tadi, Mawar segera naik, merebahkan tubuhnya di sana, lalu menarik selimut sampai batas leher. Tatapannya masih kosong.
Ndoro Kusuma bangkit dari tempat duduknya. Merasa sudah puas, Ndoro Kusuma, diikuti oleh, Burhan, kemudian keluar dari kamar Mawar. Lalu, datang lagi Dayang untuk membereskan bekas makan Mawar tadi.
Ketika Dayang sudah selesai dan pergi dari kamar Mawar, Burhan segera mengunci pintu kamar itu dari luar.
Di ruangan itu, sekarang hanya ada Mawar seorang. Perintahnya harus tidur. Tetapi, Mawar, dengan tatapan kosongnya, justru melihat langit-langit.
Cukup lama ia menatap langit-langit, sampai pada akhirnya, Mawar tersadar kembali.
Mawar mengedipkan mata beberapa kali. Ia merasa, pandangan matanya tadi sempat bermasalah.
"Kok aku udah di sini lagi," gumam Mawar. Ia kemudian bangun dan menyandarkan tubuhnya di papan sandaran ranjang.
"Kepalaku kok jadi pusing," Mawar memijit pelan kepalanya. "Ini itu sebenarnya siang, pagi, atau malam, sih?"
Mawar kemudian turun lagi dari ranjang. Ia mendekati jendela kamarnya. Tangan kanannya memegang tirai, lalu menyibaknya dengan cepat.
Matanya tiba-tiba langsung membulat sempurna ketika melihat pemandangan di luar jendela. Suasana temaram yang dikelilingi pohon-pohon besar dan tinggi.
Yang membuat Mawar tambah shock adalah, ketika ia tahu jika jarak dari tempatnya berdiri dengan tanah di bawah sana sangatlah jauh.
Bulu kuduk Mawar kembali meremang. Seketika, Mawar merasa ketakutan lagi saat mendengar suara lolongan anjing dan serigala. Di tambah, ada suara burung hantu yang jaraknya seperti di atas kepalanya.
Mawar bergidik ngeri. Ia mengusap dua lengannya. Tanpa pikir panjang, Mawar menutup tirai kembali dan langsung naik ke atas ranjang.
Keringat mulai membanjiri pelipisnya.
"Ya Allah, di mana sebenarnya aku ini! Ayah, Ibu, Marsel, tolongin Mawar," Mawar berkata dalam hatinya. ketakutan dan kecemasan yang luar biasa kini dirasakannya.
Mawar mulai merasa jika dirinya sekarang ini terancam bahaya. Matanya menatap ke arah pintu keluar. Ia kemudian segera turun dan menuju ke sana. Tangannya menekan gagang pintu berusaha untuk membukanya. "Sial, dikunci," pikir Mawar.
Mawar mencoba mendobrak pintu itu dengan lengannya. Tetapi, pintu itu bergeming. Ia justru kesakitan karena usahanya sia-sia saja.
Putus asa, Mawar kembali ke ranjang. Ia pasrah. Lalu menarik selimut dan meringkuk di sana. Matanya berkaca-kaca, dan akhirnya, tumpah ruah karena menyadari bahwa dirinya berada di tempat yang menyeramkan.
Pikirannya melayang ke kejadian sebelum ia sampai di tempat ini.
Malam itu, dirinya pergi dari rumah dalam kondisi sedang hujan deras. Ia mengendarai sepeda motor menuju jalan tanpa arah dan tujuan. Hingga tidak ia sadari, ia sudah berada di jalan aspal yang tiada ujungnya.
Kanan kirinya hanya ada pepohonan tinggi-tinggi yang berjajar rapi. Sepertinya ia tersesat. Ia kemudian melihat seorang gadis sepantarannya yang sedang berjalan.
Merasa tersesat, ia kemudian berhenti di sisi sang gadis dengan niat ingin bertanya jalan pulang.
Gadis itu kemudian memberinya petunjuk agar terus berjalan lurus. Ketika berjumpa jalan bercabang, ia disuruh mengambil arah kiri.
Ia mengikuti perintah dari gadis itu. Akan tetapi ketika ia mengambil arah kiri, tiba-tiba saja, ia menabrak sosok hitam yang tinggi, besar, serta berbulu. Seketika, ia pun pingsan di tempat.
Mawar hanya ingat sampai di sini. setelahnya, ia tidak tahu bagaimana, Burhan, abdi dari Ndoro Kusuma, menemukannya dan membawanya ke tempat yang sekarang ini ia tinggali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Liani purnafasary.
bikin Mawar pura pura nurut aja thor 😅bikin dia selalu ingat Allah.
aq rasa mawar disesatkan didunia lain.
2025-02-11
1
𝑫𝒆𝒌 𝑴𝒂𝒚𝒂🎐ᵇᵃˢᵉ
ceritanya bagus dan mudah dipahami alurnya.. 👍🏻👍🏻
2024-02-22
2
MasWan
baru nemu, izin ikut menikmati karya mu ya thor
2023-07-23
2