Sepasang suami istri baru saja keluar dari dalam kantor polisi. Raut wajah mereka menunjukan kecemasan yang teramat jelas. Suami istri tersebut melaporkan sebuah kasus atas hilangnya putri semata wayangnya, yang menghilang selama tiga hari. Sebut saja suami istri itu, Ruman dan Saras.
Kejadiannya bermula saat, Mawar meminta restu atas hubungannya dengan Marsel, sang kekasih. Tetapi, Ruman dan Saras tidak memberinya restu. Alasannya karena Marsel hanyalah seorang karyawan pabrik.
Mawar kecewa atas keputusan orang tuanya, sehingga, Mawar pun pergi dari rumah dan tidak kembali sampai sekarang.
Ruman dan Saras sudah berusaha menghubungi nomor ponsel Mawar, namun, nomornya tidak bisa dihubungi. Bahkan semua teman-teman Mawar juga tidak mengetahui keberadaannya. Termasuk Marsel, kekasih Mawar.
Marsel sendiri tidak tau perihal Mawar, yang meminta restu kepada orang tuanya.
Hujan terus mengguyur kota K selama tiga hari ini. Hujan turun dengan deras tanpa berhenti. Untung tidak mati lampu saja sudah bersyukur karena biasanya, jika hujan deras disertai angin, pasti mati listrik.
Di tengah hutan yang begitu gelap dan sunyi, hanya ada pepohonan tua seperti beringin dan pinus yang menjulang tinggi di sekelilingnya. Terdengar sayup-sayup lolongan anjing serta serigala.
Nampak seorang pria paruh baya tengah menyeret seorang gadis muda. Pria itu menarik jaket yang dikenakan sang gadis dengan kasar di tengah derasnya hujan seperti ini.
Pria itu memasuki sebuah gerbang yang di jaga oleh dua patung seperti manusia banteng sambil memegang kampak. Patung itu mempunyai mata merah dan menyala. Tatapannya sungguh mengerikan. Namun, pria itu tidak merasa takut sedikit pun.
Ternyata di tengah hutan seperti ini ada rumah seperti castle yang menjulang tinggi. Bangunannya terlihat tua dan menyeramkan. Lampu yang dipasang di sana-sini tidak membantu penerangan sedikit pun. Pria itu memasuki castle dan meletakan gadis itu di lantai begitu saja.
Tampak di depan pria itu, ada wanita tua yang masih terlihat energik, mengenakan kebaya, dengan rambut di sanggul, persis seperti pengantin adat jawa. Matanya tajam dan menakutkan. Wanita itu tersenyum melihat pria tersebut yang datang membawa seorang gadis.
"Saya membawa satu pasukan lagi, Ndoro!" kata pria tersebut memberi hormat kepada wanita yang tengah duduk di singgasananya.
Lalu, wanita itu turun dari singgasananya dan berjalan mendekati sang gadis yang tergeletak di lantai. Senyumnya menyeringai ketika menatap gadis itu.
"Cantik, putih, dan bersih. Segera bersihkan dia!" perintahnya dengan nada yang lembut namun kelembutannya seperti benda berat yang mengayun.
"Baik, Ndoro." Pria paruh baya tersebut bertepuk tiga kali, lalu datanglah tiga dayang dengan wajah judes yang semuanya berpakaian kebaya juga—menghampiri sang gadis. Seakan sudah mengerti dengan perintah tanpa ucapan itu, mereka segera membawanya menaiki tangga menuju lantai empat. Kamar yang memang sudah di siapkan untuk para mangsa baru seperti gadis itu.
"Siapa yang memancingnya, Han?" tanya wanita tua itu kepada pria paruh baya yang ternyata adalah seorang abdi dalemnya.
"Mira, Ndoro," jawab Burhan.
"Oh, gadis itu... ternyata, dia sungguh-sungguh ingin keluar dari sini, hahaha," suara tawa wanita tua yang dipanggil dengan Ndoro itu, menggema memenuhi ruangan. Si siapa yang mendengarnya pasti akan merasa merinding. "Sudah berapa gadis yang ia dapatkan, Han?" tanya wanita tua itu lagi kepada abdi kepercayaannya.
"Empat, dengan gadis terakhir yang saya bawa tadi, Ndoro," jawab Burhan yang wajahnya datar-datar saja.
"Hahaha, dasar bodoh! Usahanya akan sia-sia saja, dia tidak akan bisa keluar dari tempatku ini, hahaha," Ndoro kembali tertawa.
Sementara di luaran sana, suara anjing dan serigala melolong masih terdengar bersahutan. Entah berapa jumlahnya, yang jelas terdengar sangat riuh.
Di lantai empat, terlihat para dayang tengah memandikan sang gadis di dalam sebuah bak besar yang berisi banyak kembang mawar, kenanga, dan kantil.
Setelah selesai membersihkan gadis tersebut, mereka segera membalut tubuh gadis itu dengan busana kebaya yang sama dengan mereka, dan meletakkannya di atas tempat tidur lalu menutupnya dengan selimut. Sesudah itu, ketiga dayang tersebut segera pergi dari ruangan itu.
Selang beberapa menit, gadis itu mulai sadar. Perlahan, ia membuka matanya. Tangan kanannya memegangi kepala yang terasa sedikit pusing. "Aku ada di mana?" gumam sang gadis sambil melihat ke sekeliling.
Semuanya terlihat remang-remang. Memang ada lampu, tapi cahayanya tidak seterang lampu pada umumnya. Gadis itu mengedipkan matanya berkali-kali agar bisa jelas melihat.
Begitu gadis tersebut bisa melihat jelas, gadis itu langsung kaget dan segera bangun dari tempat tidurnya. Pandangannya menyapu ruangan yang tampak begitu asing.
Sebuah ruangan pengap dan remang yang terbuat dari kayu yang dipenuhi ukiran klasik, namun begitu mewah. Jantungnya seketika berdebar ketika ia menyadari pakaian yang dikenakannya sekarang.
"Pakaian siapa, ini!" batinnya dengan jantung yang terus berdebar kencang.
Ia kembali mengedarkan pandangan. Di ruangan itu, ia mendapati lemari dengan ukuran besar. Ada meja rias, ranjang besar tempat ia terbaring tadi, serta satu set meja dan kursi yang terletak tepat di ujung tempat tidurnya.
Di samping meja dan kursi itu, gadis itu melihat ada satu pintu lagi yang belum ia ketahui, apa isinya. Dengan rasa penasaran dan juga takut, gadis itu perlahan melangkahkan kakinya mendekati pintu itu.
Ketika sampai di depan pintu itu, tangannya terulur memegang gagang pintu. Sebelum ia benar-benar membukanya, ia mengatur napas lebih dulu. Matanya penuh kewaspadaan. Takut jika yang akan ia lihat nantinya bukan hal yang dikehendaki.
Pintu di dorong pelan, sampai kemudian, terbuka sempurna. Gadis itu menghela napas lega ketika melihat dalamnya hanyalah sebuah kamar mandi dengan satu bak ukuran besar. Orang kaya menyebutnya, bathtub.
Gadis itu menutup pintu dan kembali ke kamar. Matanya mengarah ke pintu lain. "Itu pasti pintu keluar dari kamar ini," ucapnya pelan.
Gadis itu hendak menuju ke arah sana. Namun, belum sempat ia memegang gagang pintu, pintu itu tiba-tiba terbuka dari luar.
Gadis itu kaget sampai terdorong ke belakang ketika melihat seorang dayang dengan wajah pucat dan judes, masuk sambil membawa nampan yang berisi bubur, ayam goreng, dan juga segelas air putih.
Dayang itu hanya diam tanpa merespons ekspresi kaget dari gadis itu. Dayang, segera meletakkan makanan yang ia bawa, ke atas meja yang ada di sana.
Selesai dengan tugasnya, Dayang hendak keluar. Namun, gadis itu mencegahnya. "Tunggu, Mbak,"
Dayang pun berhenti seraya menatap gadis itu. Tatapannya kosong.
Dengan sedikit ragu, gadis itu bertanya. "M-maaf, Mbak ... saya mau tanya. Ini, di mana, ya?"
Dayang hanya diam dan terus menatap. Tidak ada jawaban, ataupun senyuman.
Gadis itu masih menunggu. Barangkali, Dayang mau menjawab. Namun, harapannya pupus ketika Dayang justru berbalik badan dan keluar meninggalkannya.
"Kok aneh ya," ucap si gadis mulai merinding.
Setelah kepergian Dayang itu, tiba-tiba wanita tua yang berada di bawah tadi, muncul bersama abdinya. Melihat kedatangannya, sang gadis merasa gugup dan mundur beberapa langkah.
Gadis itu menatap si wanita tua, dan abdinya—bergantian. Abdi si wanita tua mempunyai badan kekar dan tinggi. Saking kekarnya, membuat gadis itu bertambah merinding.
"Jangan takut Nak, saya Kusuma, pemilik rumah ini," ucap si wanita tua, memperkenalkan diri. Lalu, menunjuk abdinya yang berdiri di sebelahnya persis. "Dan dia, abdi saya, Burhan namanya,"
Si gadis hanya diam sambil menelan ludah. Dia takut karena tidak mengenal mereka.
"Abdi saya yang menemukanmu dan membawamu ke sini," sambung si wanita tua yang bernama, Kusuma.
Mendengar penjelasan Kusuma, gadis itu menghela napas lega. Separuh ketakutannya hilang. "Rupanya, aku ditemukan orang dan di bawa ke sini," batinnya.
"Oh begitu. Terimakasih, Bu, karena sudah mau menolong saya," jawab si gadis tanpa senyuman.
"Panggil saya, Ndoro Kusuma!" ucapnya, yang terdengar seperti keharusan yang tidak boleh dibantah.
Gadis itu merasa gugup kembali. "B-baik, Bu. Eh, Maaf. Ndoro. Baik, Ndoro. Terimakasih karena Ndoro sudah menolong saya," ucapnya ulang.
Ndoro Kusuma tersenyum tipis.
"Makanlah dulu Nak, mari!" Ndoro Kusuma berjalan maju dan merangkul pundak sang gadis. Tapi tiba-tiba, Ndoro Kusuma meniup telinganya. Dan ia langsung merinding. Sorot matanya pun berubah kosong. Gadis itu menjadi orang yang penurut.
Ndoro Kusuma tersenyum tipis. Lalu, ia menuntun gadis itu menuju kursi untuk menyantap hidangan yang di bawa oleh Dayang tadi.
"Silahkan di makan, Nak! Kamu pasti lapar," ucap Ndoro Kusuma tersenyum senang.
Gadis itu segera menyantap bubur yang tersaji di mangkok.
"Siapa namamu!" tanya Ndoro Kusuma.
"Mawar, Ndoro," jawabnya tanpa memandang Ndoro Kusuma. Gadis itu fokus makan dengan tatapan kosong. Seolah-olah, kini, dia hanya sebuah boneka yang sedang dipermainkan.
"Nama yang cantik, seperti orangnya. Ayo segera habiskan, Mawar,"
Mawar mengangguk. Ia kemudian menenggak bubur itu dari mangkoknya. Habis memakan bubur, Mawar mengambil ayam goreng. Menggigitnya dengan rakus tanpa sisa.
Puas dengan ayam dan bubur, Mawar segera menenggak air minum yang sudah disediakan—sampai habis.
Melihat pemandangan itu, Ndoro Kusuma menyeringai. Rasanya, ia sangat puas.
"Lekaslah pergi tidur, Mawar. Kamu sudah kenyang," ucap Ndoro Kusuma.
Mawar kemudian berdiri dan berjalan menuju ranjang. Seperti yang diperintahkan Ndoro Kusuma tadi, Mawar segera naik, merebahkan tubuhnya di sana, lalu menarik selimut sampai batas leher. Tatapannya masih kosong.
Ndoro Kusuma bangkit dari tempat duduknya. Merasa sudah puas, Ndoro Kusuma, diikuti oleh, Burhan, kemudian keluar dari kamar Mawar. Lalu, datang lagi Dayang untuk membereskan bekas makan Mawar tadi.
Ketika Dayang sudah selesai dan pergi dari kamar Mawar, Burhan segera mengunci pintu kamar itu dari luar.
Di ruangan itu, sekarang hanya ada Mawar seorang. Perintahnya harus tidur. Tetapi, Mawar, dengan tatapan kosongnya, justru melihat langit-langit.
Cukup lama ia menatap langit-langit, sampai pada akhirnya, Mawar tersadar kembali.
Mawar mengedipkan mata beberapa kali. Ia merasa, pandangan matanya tadi sempat bermasalah.
"Kok aku udah di sini lagi," gumam Mawar. Ia kemudian bangun dan menyandarkan tubuhnya di papan sandaran ranjang.
"Kepalaku kok jadi pusing," Mawar memijit pelan kepalanya. "Ini itu sebenarnya siang, pagi, atau malam, sih?"
Mawar kemudian turun lagi dari ranjang. Ia mendekati jendela kamarnya. Tangan kanannya memegang tirai, lalu menyibaknya dengan cepat.
Matanya tiba-tiba langsung membulat sempurna ketika melihat pemandangan di luar jendela. Suasana temaram yang dikelilingi pohon-pohon besar dan tinggi.
Yang membuat Mawar tambah shock adalah, ketika ia tahu jika jarak dari tempatnya berdiri dengan tanah di bawah sana sangatlah jauh.
Bulu kuduk Mawar kembali meremang. Seketika, Mawar merasa ketakutan lagi saat mendengar suara lolongan anjing dan serigala. Di tambah, ada suara burung hantu yang jaraknya seperti di atas kepalanya.
Mawar bergidik ngeri. Ia mengusap dua lengannya. Tanpa pikir panjang, Mawar menutup tirai kembali dan langsung naik ke atas ranjang.
Keringat mulai membanjiri pelipisnya.
"Ya Allah, di mana sebenarnya aku ini! Ayah, Ibu, Marsel, tolongin Mawar," Mawar berkata dalam hatinya. ketakutan dan kecemasan yang luar biasa kini dirasakannya.
Mawar mulai merasa jika dirinya sekarang ini terancam bahaya. Matanya menatap ke arah pintu keluar. Ia kemudian segera turun dan menuju ke sana. Tangannya menekan gagang pintu berusaha untuk membukanya. "Sial, dikunci," pikir Mawar.
Mawar mencoba mendobrak pintu itu dengan lengannya. Tetapi, pintu itu bergeming. Ia justru kesakitan karena usahanya sia-sia saja.
Putus asa, Mawar kembali ke ranjang. Ia pasrah. Lalu menarik selimut dan meringkuk di sana. Matanya berkaca-kaca, dan akhirnya, tumpah ruah karena menyadari bahwa dirinya berada di tempat yang menyeramkan.
Pikirannya melayang ke kejadian sebelum ia sampai di tempat ini.
Malam itu, dirinya pergi dari rumah dalam kondisi sedang hujan deras. Ia mengendarai sepeda motor menuju jalan tanpa arah dan tujuan. Hingga tidak ia sadari, ia sudah berada di jalan aspal yang tiada ujungnya.
Kanan kirinya hanya ada pepohonan tinggi-tinggi yang berjajar rapi. Sepertinya ia tersesat. Ia kemudian melihat seorang gadis sepantarannya yang sedang berjalan.
Merasa tersesat, ia kemudian berhenti di sisi sang gadis dengan niat ingin bertanya jalan pulang.
Gadis itu kemudian memberinya petunjuk agar terus berjalan lurus. Ketika berjumpa jalan bercabang, ia disuruh mengambil arah kiri.
Ia mengikuti perintah dari gadis itu. Akan tetapi ketika ia mengambil arah kiri, tiba-tiba saja, ia menabrak sosok hitam yang tinggi, besar, serta berbulu. Seketika, ia pun pingsan di tempat.
Mawar hanya ingat sampai di sini. setelahnya, ia tidak tahu bagaimana, Burhan, abdi dari Ndoro Kusuma, menemukannya dan membawanya ke tempat yang sekarang ini ia tinggali.
Marsel pagi-pagi sekali keluar dari rumahnya. Mengenakan kaos oblong yang dibalut dengan jaket baseball tanpa menutup resletingnya. Sebelum pergi ke tempat kerja, Marsel berniat untuk mampir terlebih dahulu ke rumah Mawar untuk menanyakan kabar terbaru.
Sesampainya di rumah Mawar, Marsel menekan bel yang di pasang di luar pagar tinggi rumah Mawar. Setelah menekan bel sebanyak tiga kali, Bi Minah, pembantu Mawar, keluar dari dalam dan menghampirinya yang masih berada di luar pagar.
"Eh Mas Marsel, ada apa, Mas? Pagi-pagi sekali kok sudah kemari," tanya Bi Minah sembari membuka pagar.
Dengan senyum manis di wajahnya, Marsel pun menjawab. "Maaf Bi, saya mengganggu ya? Saya hanya ingin menanyakan kabar Mawar sama Bapak dan Ibunya. Apa sudah ada perkembangan dari laporannya, Bi?"
"Aduh Mas, Bapak sama Ibu aja baru bisa tidur. Semalaman mereka memikirkan Mbak Mawar, katanya, nomor Mbak Mawar juga gak bisa dilacak sama polisi. Mereka berdua menangis semalaman, saya jadi ikutan sedih." Bi Minah bercerita dengan ekspresi sendu.
Raut wajah Marsel pun berubah menjadi sedih dan khawatir mendengar penjelasan Bi Minah.
"Owalah ya sudah Bi, saya gak jadi masuk aja kalo gitu. Nanti tolong sampaikan salam saja buat Bapak sama Ibu ya, saya berangkat kerja dulu. Assalamu'alaikum," ucap Marsel menutupi rasa kecewanya.
"Iya Mas, wa'alaikumsalam. Hati-hati Mas Marsel,"
Marsel mengangguk dan tersenyum. Lalu segera melanjutkan perjalanannya menuju pabrik.
Pikiran Marsel kacau, dia bingung harus bagaimana lagi. Marsel sudah menghubungi teman-teman Mawar, dan juga mengunjungi tempat-tempat di mana mereka suka bertemu, tapi hasilnya nihil.
Marsel melamun, hingga tidak ia sadari ada seekor kucing berwarna hitam melintas di depan mata dan mengagetkannya.
"Miiiaaawwww!" kucing itu menatap tajam memperlihatkan taring-taringnya. Kucing itu seperti sedang memperingatkan Marsel.
"Astaghfirullah hal'adzim!" seru Marsel segera mengerem pakem sepeda motornya hingga tubuhnya terdorong ke depan menyentuh speedometer.
"Syukurlah," gumam Marsel sambil mengusap dada ketika tahu jika kucing itu baik-baik saja.
"Maaf Cing, aku gak liat kamu, maaf ya!" Marsel mengatupkan dua tangannya di depan dada. Kepalanya terang-nguk beberapa kali.
Selesai meminta maaf, Marsel melihat ke arah sang kucing, akan tetapi, kucing itu rupanya sudah tidak ada lagi di sana. Kucing itu menghilang tanpa jejak.
"Loh, ke mana perginya kucing itu? Kok cepet ngilangnya," ucap Marsel seraya mengedarkan pandangan mencari si kucing. Tetapi, jejak si kucing benar-benar tidak ada.
"Ya sudahlah, lebih baik aku lanjut saja. Toh, kucing itu baik-baik saja. Untung tidak sampai ketabrak. Kalau tadi ketabrak dan mati, bisa celaka aku," gumam Marsel, lalu melajukan sepeda motornya kembali.
Setibanya di pabrik, suasana masih sepi. Setelah parkir, Marsel masuk ke lobby untuk absen terlebih dahulu. Selanjutnya, Marsel pergi ke loker untuk berganti pakaian kerja dan meletakkan tasnya di sana.
Setibanya di loker, rupanya sudah ada Adam—teman dekatnya yang dari awal ia masuk pabrik sampai sekarang.
"Tumben banget kamu Sel, datang pagi begini. Biasanya juga bel pabrik bunyi, kamu baru nongol," ucap Adam yang telah selesai mengganti pakaiannya.
"Iya nih, Dam. Sekarang aku mau jadi anak rajin. Biar sama kayak kamu," jawab Marsel dengan senyum yang terlihat dipaksakan.
Adam menangkap sesuatu dari sikap Marsel yang tidak seperti biasanya.
"Wah, seminggu tidak satu sif, kelihatanya kamu sudah berbeda ya, Sel?" tanya Adam, memperhatikan Marsel lebih teliti lagi. Wajah Marsel terlihat murung. Dan itulah yang membuat Adam bertambah yakin jika ada sesuatu yang terjadi pada sahabatnya itu.
"Beda gimana? Aku tambah ganteng?" tanya Marsel menyunggingkan senyum yang sangat terpaksa.
"Kalo ganteng sih kamu memang dari dulu sudah ganteng, Sel. Tapi ... Itu, wajah kamu, kenapa murung, seperti orang lagi banyak pikiran saja. Kamu ada masalah?" Adam menunjuk ekspresi Marsel.
Marsel menghela napas kemudian mengunci lokernya. Marsel menyandarkan tubuhnya di sana. Matanya memandang nanar ke awang-awang. Bukanya menjawab pertanyaan Adam, Marsel justru mengalihkan ke pertanyaan lain. "Kamu sudah sarapan belum, Dam?"
"Sudah, istriku setiap habis subuh pasti langsung masak, jadi kalo sif satu, aku gak pernah jajan buat sarapan," jawab Adam jujur apa adanya.
"Kamu mau gak temani aku sarapan?" ajak Marsel sembari menatap sendu ke arah Adam.
Adam yang memang merasakan ada sesuatu pada diri Marsel—tentu sangat setuju mendapat ajakan tersebut. Ia mengangguk dengan cepat. Dan keduanya pun segera menuju kantin pabrik.
Marsel membeli nasi kuning, air mineral, dan roti untuk diberikan kepada Adam.
"Nih, Dam," kata Marsel menyerahkan sebungkus roti sobek kepada Adam.
"Aku sudah sarapan Sel, tapi kalo kamu kasih, aku ya gak nolak, makasih ya," Adam tersenyum menerima roti itu. Sejujurnya, ia merasa senang karena dapat roti gratis dari Marsel.
Adam segera membukanya dan memakan roti itu. Marsel pun membuka nasi kuningnya. Ia mulai menyendok dan menyuapkan ke mulutnya meski sebenarnya, ia tidak ada napsu untuk sarapan.
"Sel, aku perhatikan, kamu kayak nyimpan beban pikiran deh. Kamu gak mau cerita sama aku?" tanya Adam, mengunyah rotinya sembari memperhatikan Marsel.
Marsel pun teringat jika dirinya belum memberitahu Adam—perihal menghilangnya, Mawar. Marsel berhenti mengunyah.
"Kamu sedang ada masalah sama, Mawar?" tanya Adam kembali yang sedari tadi pertanyaannya tidak mendapat jawaban yang memuaskan.
Marsel menoleh ke arah Adam. Tanpa pikir panjang lagi, ia memberitahu masalah yang ia alami sebenarnya. "Dam, Mawar, hilang!"
"Apa!" Adam kaget sampai matanya melotot.
"Sejak kapan, Sel?" tanya Adam lagi—tidak percaya.
"Sudah empat hari ini, Dam," jawab Marsel, kemudian menunduk.
"Apaaaaa!" Adam bertambah melotot lagi mendengar jawaban Marsel. "Kenapa kamu baru kasih tau aku sekarang, Sel?!" Adam nampak geram sampai ia meremas bungkus roti yang ia pegang.
"Maaf Dam, aku lupa ... Seminggu ini kita kan beda sif," jawab Marsel.
"Tapi kamu kan bisa telepon aku, Sel!" nampaknya, Adam begitu kecewa karena terlambat diberi kabar. Bagi Adam, Marsel dan Mawar adalah sahabat yang sudah seperti keluarga sendiri.
"Iya maaf Dam, aku beneran lupa. Aku juga gak kepikiran buat telepon kamu," jawab Marsel merasa bersalah.
Adam terdiam sejenak. Ia masih shock dengan berita tersebut.
"Apa kamu serius dengan ceritamu, Sel? Kamu tidak sedang berbohong kan?!" Adam menekankan pertanyaannya lagi.
Melihat Marsel yang diam saja, Adam pun akhirnya yakin bahwa Marsel memang tidak berbohong. Adam meletakkan rotinya di atas meja. Selera makannya mendadak hilang. "Masalahnya apa Sel, sampai-sampai, Mawar menghilang?"
"Aku sendiri juga tidak paham, Dam, tapi orang tuanya bilang, katanya... malam itu, Mawar meminta restu atas hubungannya dengan ku, tapi mereka tidak merestuinya. Lalu, terjadilah pertengkaran kecil yang akhirnya, membuat Mawar pergi dari rumah malam itu juga. Aku bahkan sempat dituduh menyembunyikan Mawar sama orang tuanya, Dam. Beruntung saja mereka segera percaya dengan penjelasanku. Aku saja tidak tahu menahu soal keinginan Mawar yang meminta restu itu,"
Adam menghela napas. "Waktu kamu main ke rumahku minggu kemaren bersama Mawar, istriku memang pernah bilang sama Mawar—untuk segera membawa hubungan kalian ke jenjang pernikahan." Adam meluruskan suatu hal yang tidak Marsel ketahui. "Tapi, orang tua Mawar sudah melapor polisi belum, Sel?"
"Sudah, Dam, tapi belum ada kabarnya. Kata polisi, nomor Mawar tidak bisa dilacak. Dam, aku benar-benar khawatir sama Mawar, Dam. Di mana dia sekarang ya? Lagi apa, sudah makan apa belom, apakah dia baik-baik saja," Marsel memandang ke atas. Seolah-olah, wajah Mawar ada di sana. "Sudah empat hari, Mawar hilang. Gimana kalau dia gak ketemu, Dam. Atau ... bagaimana kalau dia ditemukan dalam keadaan yang tidak baik-baik saja!" rasa khawatir Marsel bertambah. Pikirannya melayang ke mana-mana.
"Hus, bicara yang baik-baik saja to. Doakan saja biar cepat ketemu," ucap Adam.
"Setiap hari aku juga sudah berdoa, Dam!" Jawab Marsel frustasi. Ya bagaimana tidak frustasi, pacarnya hilang.
Adam menghela napas. Ia tidak tega melihat kesedihan sahabatnya itu. Hatinya pasti sangat terpukul. "Kamu yang sabar, Sel. Jangan menyerah untuk mencari dan terus mendoakan yang terbaik untuk Mawar. Jangan lupa, minta petunjuk sama Allah. Aku dan istriku, nanti juga akan ikut mencari. Kami juga tidak akan lupa untuk berdoa. Semoga, Mawar bisa segera ditemukan," ucap Adam, sambil mengusap pundak Marsel.
Marsel hanya mengangguk saja mendengar nasehat Adam. Marsel seperti tidak punya gairah hidup lagi.
Marsel sebenarnya memang sudah ada niatan untuk melamar Mawar karena tabungannya sudah cukup. Akan tetapi, musibah ini rupanya telah datang lebih dulu. Kini, yang bisa Marsel lakukan hanya terus berdoa tanpa henti. Berharap, Mawar bisa segera ditemukan dalam keadaan yang baik-baik saja.
Mawar membuka matanya dan melihat sekeliling, ternyata suasana masih sama. Dibukanya tirai jendela kamarnya, tapi masih sama juga. Dia berpikir, apa memang belum pagi, atau memang sudah pagi tapi nampak seperti malam, karena rumah ini yang di kelilingi pohon-pohon besar? entahlah, Mawar tidak tahan berada di kamar itu. Ia ingin segera keluar dari sana. Mawar kemudian mengetuk pintu kamar, berharap ada yang membukakan pintu. "Tolong buka pintunya, saya mau keluar, tolong!"
Berkali-kali Mawar menggedor pintu tersebut sampai ia lelah. Pintu itu bergeming. Tubuh Mawar melorot ke bawah bersamaan sisa-sisa tenaga yang hampir habis karena mengetuk pintu. Suaranya juga mulai serak karena terus berteriak meminta tolong.
Beberapa detik kemudian, dari luar terdengar suara seperti orang tengah membuka kunci. Mawar pun buru-buru berdiri dan sedikit menjauh dari pintu itu.
Pintu terbuka dan masuk lah, abdi Ndoro Kusuma dengan tatapan yang sangat tajam seperti belati. Badannya yang kekar dan tinggi, membuat Mawar ragu jika Burhan itu seorang manusia. Mawar mundur beberapa langkah. "Maaf Pak, saya mau keluar dari sini. Saya mau pulang," pinta Mawar sembari menahan rasa takutnya.
"Ikuti aku," Burhan menjawab dengan dingin.
"Kamu mau mengantar saya pulang?" Tanya Mawar penuh harapan. Tapi, ia tidak mendapat jawaban dari Burhan.
Burhan berjalan lebih dulu. Dan Mawar, tanpa banyak bertanya lagi—mengikuti Burhan dari belakang. Hatinya riang karena ia pikir, Burhan akan mengantarnya pulang.
Baru beberapa langkah keluar dari kamar, Mawar dikejutkan dengan anak tangga di depannya yang membentang luas dan tak terlihat ujungnya dari tempatnya saat ini.
Mawar melongo dengan mata membulat. "Apa ini!" batinnya, tidak percaya.
Lebih kaget lagi karena di sisi kanan dan kiri tangga tersebut, Mawar bisa melihat, ada banyak Dayang dengan pakaian seragam, berdiri di setiap anak tangganya. Namun anehnya, Dayang-Dayang itu ekspresi wajahnya semuanya sama. Judes, pucat, dan tatapan matanya kosong. Kulit mereka putih pucat dengan bibir berwarna hitam semua.
Mawar menelan ludah melihat pemandangan itu sambil mengikuti Burhan yang terus menuruni anak tangga.
Napas Mawar mulai tersengal. Rasanya, ia sudah banyak menuruni anak tangga. Tetapi, ujung anak tangga itu belum juga terlihat.
"Maaf, Pak, sebenarnya ... kita ini mau ke mana? kenapa jumlah anak tangga ini tak habis-habis?" tanya Mawar berkali-kali menelan ludah karena ia mulai haus.
Pertanyaannya tidak mendapat jawaban. Burhan berjalan tanpa menengok ke belakang untuk melihat Mawar.
Mawar hanya bisa mendengus kesal. Menurutnya, orang-orang aneh yang tinggal di tempat ini memang tidak suka bicara. Mereka bicara seperlunya atau semaunya saja.
Keringat yang keluar hampir membasahi seluruh tubuh Mawar, ditambah lagi dengan perutnya yang keroncongan, demo meminta untuk segera diisi dengan makanan enak—membuat tenaganya melemah.
Mawar tiba-tiba teringat jika dia membawa hape. Tetapi sekarang, di mana hapenya? Lalu, baju yang ia kenakan, juga menghilang ke mana? Kenapa dirinya justru kini memakai kebaya yang sama dengan Dayang-Dayang yang berjajar rapi di anak tangga!
"Ya Allah, aku lapar dan haus. Berapa banyak lagi anak tangga yang harus aku turuni?" Mawar mengeluh dalam hati.
Kira-kira waktu yang ditempuh Mawar dan Burhan sekarang adalah sekitar satu setengah jam. Sungguh melelahkan bukan? tubuh seakan remuk, sendi-sendi lemas dan minta dicopot.
Akhirnya, setelah perjuangan yang sangat melelahkan dan membuatnya sangat haus dan kelaparan, Mawar dan Burhan sampai di ujung anak tangga.
Ruangan yang terbentang di ujung anak tangga itu terlihat membentang begitu luas. Di ujungnya, ada sebuah singgasana besar yang diduduki oleh, Ndoro Kusuma.
Tangan kanan Burhan terangkat dan diletakkan di depan dada. Lalu, segera menunduk untuk memberi hormat.
Melihat sikap yang dilakukan oleh, Burhan, tanpa disuruh pun, Mawar segera mengikuti tindakan yang dilakukan oleh Burhan barusan. Bukan tanpa alasan juga Mawar melakukan hal demikian. Tetapi, Mawar mulai merasa jika tempat yang ia singgahi ini begitu berbahaya. Terlebih ketika Mawar melihat singgasana yang diduduki oleh Ndoro Kusuma.
"Semua yang ada di sini itu aneh. Ndoro Kusuma ini..., dia pasti bukan orang sembarangan," batin Mawar menerka-nerka.
"Bagaimana keadaanmu sekarang, Nak Mawar?" tanya Ndoro Kusuma dengan suara pelan namun menggema.
"Sudah cukup baik, Ndoro," jawab Mawar menunduk.
"Bagus," jawab Ndoro Kusuma.
"Ndoro, saya mau ijin pulang Ndoro," pinta Mawar tiba-tiba membuat Ndoro Kusuma tertawa bak petir yang menyambar-nyambar.
"Hahaha,"
Seketika, Mawar merinding mendengar suara Ndoro Kusuma. Tak disangka keinginannya itu dibalas dengan tawa melengking yang membuat ia gemetar dan menelan ludahnya sendiri berkali-kali. Bahkan, telinga Mawar terasa sakit efek tawa tersebut.
"Ini rumahmu Nak, kamu sudah pulang ke tempat yang tepat. Di sini lah sekarang," jawab Ndoro Kusuma.
"Ini bukan rumah saya Ndoro, rumah saya bukan di sini," jawab Mawar dengan suara bergetar.
Ndoro Kusuma kembali tertawa mendengar jawaban Mawar. Setelah puas tertawa, Ndoro Kusuma menatap tajam ke arah Mawar. Tak ada senyuman manis yang tersisa di sana.
"Siapapun yang sudah masuk ke dalam rumahku, dia tidak akan bisa kembali lagi," ucap Ndoro Kusuma dengan lantang.
Mawar tercengang mendengar pengakuan Ndoro Kusuma. Apa maksud yang sebenarnya, dari ucapan Ndoro Kusuma? siapa sesungguhnya wanita yang ada di hadapannya ini? apakah orang baik atau sebaliknya?
Buku kuduk Mawar berdiri sekarang. Keringat keluar dari pelipis. Jantungnya berdebar kencang. Kata-kata Ndoro Kusuma terdengar seperti ancaman yang sangat berbahaya.
"Kalo kamu bisa patuh kepadaku, aku tidak akan menyakitimu, Nak." Lagi, kata-kata Ndoro Kusuma seperti perintah yang tidak boleh dibantah. "Kamu pasti lapar kan? silahkan makan dulu bersama teman-temanmu yang lain," tutur Ndoro Kusuma dengan suara sedikit melunak.
"Makan bersama teman-teman yang lain? Apakah itu artinya ... yang ada di sini bukan hanya aku saja?" Mawar bertanya dalam hatinya sendiri.
Burhan memberi isyarat dengan bertepuk satu kali. Lalu, muncullah satu Dayang menghampiri Mawar, menuntun Mawar ke satu ruangan yang tak kalah luas. Di sana banyak sekali gadis seusianya duduk saling berhadapan.
Di depan mereka, masing-masing sudah tersaji sepiring bubur, sepiring ayam goreng, dan juga satu gelas air putih.
Begitu melihat kedatangan Mawar, para gadis yang lebih dulu berkumpul di sana, serempak menatap ke arah Mawar bersamaan. Mawar menelan ludah karena dipandang oleh banyaknya orang di sana. Terlebih lagi, pandangan mereka juga aneh menurut Mawar.
Di perkirakan ada ratusan orang di dalam ruangan tersebut. Mawar di tuntun menuju kursi yang masih kosong. Di depannya, ternyata ada kursi kosong juga yang tidak ia ketahui, siapa gadis yang akan mendudukinya.
Setelah Mawar mendapatkan kursi, Burhan datang dan berdiri di ujung meja. Pria itu kemudian bertepuk sekali. Tiba-tiba, para gadis itu langsung menyantap bubur dengan kompak dan juga rakus.
Mawar yang melihat adegan itu, seketika tersadar. Tepuk tangan yang diberikan Burhan adalah sebuah kode perintah. Tanpa pikir panjang, Mawar pun mengikuti gadis-gadis itu. Melahap bubur meski tidak sepenuhnya habis.
Setelah bubur habis, Burhan bertepuk tangan dua kali. Mawar menebak, para gadis pasti akan memakan ayam goreng. Dan dugaannya memang benar. Sat set, Mawar menggigit ayam goreng yang jumlahnya lebih banyak dari kemaren.
Tepukan tangan Burhan yang berjumlah tiga kali, menandakan jika semua gadis harus menghabiskan minuman yang ada di dalam gelas. Mawar mengikuti perintah itu tanpa ada yang terlewat. Kebetulan, ia juga memang sangat haus.
Tetapi, setelah selesai makan, Mawar justru merasakan perasaan aneh yang baru ia sadari. Rasa dari makanan dan minumannya itu, tidak sesuai dengan wujudnya. Kini, perutnya juga tiba-tiba menjadi sakit melilit hebat. Ia juga merasa ingin muntah sekarang tapi, sebisa mungkin ia tahan.
Setelah selesai makan, mereka mengikuti langkah Burhan yang menuju ke suatu tempat yang tentu saja, ini pertama kalinya bagi Mawar. Mawar yang masih bingung dengan suasana yang ia hadapi, mencoba untuk berbaur bersama yang lain.
Burhan keluar dari dalam ruangan menuju pintu halaman. Saat di buka ternyata ada tanah lapang yang sangat luas. Entah berapa hektar, yang jelas sangat luas. Di sana terdapat banyak tumpukan benih padi yang siap untuk di tanam.
Rupanya, semua gadis yang Mawar temui di ruang makan, selesai makan mereka akan bekerja menanam padi. Dan sesiapa yang tidak bisa bercocok tanam, mereka akan dicambuk oleh Dayang-Dayang judes yang wajahnya hampir mirip satu sama lain itu—yang berjaga di masing-masing petak tanah.
Mawar menelan ludah. Dia takut karena tidak tahu menahu cara menanam padi. Kendati demikian, Mawar akan berusaha mencontoh teman-teman yang ada di sampingnya nanti.
Satu petak sawah dikerjakan oleh dua orang saja. Setiap satu petak sawah di awasi oleh satu Dayang. Para Dayang tatapannya kosong saat berada di dalam ruangan tertutup. Tetapi, setelah berada di luar ruangan, tatapan mereka mendadak tajam. Siap membabat orang yang tidak becus bekerja.
Mawar ingin sekali menangis, menjerit meminta tolong. Tapi, siapa yang akan menolongnya? Tidak ada orang yang ia kenal di sana. Semuanya aneh dan menyeramkan.
Ndoro Kusuma yang awalnya ia nilai baik, ternyata tidak seperti yang ia bayangkan. "Ya Allah, bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari sini?" batin Mawar tersiksa. Mawar sama sekali tidak memahami, di mana posisinya sekarang ini.
Mawar mengambil satu genggam benih padi. Ia mengikuti langkah demi langkah yang dilakukan temannya. Meski kesusahan, Mawar tetap mencoba.
Lama kelamaan, Mawar merasa lelah. Ia berhenti sejenak untuk meluruskan punggung yang sedari tadi menunduk. Namun alangkah terkejutnya ia, ketika Dayang tiba-tiba mencambuknya dengan tali tambang. Cambukan itu sangat cepat dan kuat. Mawar pun menjerit. "Aaaaaaa! Sakiiiittt!"
Mawar terus dicambuk. Ia memohon ampun, tapi tak dihiraukan. Mawar ambruk ke lumpur itu. Dia menangis mengaduh kesakitan. Dengan susah payah, Mawar bangkit dan mencoba untuk menanam padi kembali. Karena hanya dengan cara itu lah dirinya tidak akan dicambuk lagi.
"Ayah, Ibu, Marsel ... Tolongin Mawar," batin Mawar dengan air mata bercucuran. Tetapi, percuma saja dia bersedih dan menangis. Dia tidak akan mendapatkan jalan keluar.
Mawar mengusap air matanya. Ia mencoba untuk tegar dan menerima keadaanya saat ini.
"Kenapa bisa ada sawah yang sangat luas di dalam sini. Dan kenapa, Ndoro Kusuma mengerjakan banyak gadis untuk bekerja menanam padi!" Mawar terus bertanya-tanya dalam hatinya. Setelah dipikir-pikir, ia banyak menemukan keganjilan di tempat itu.
Ketika Mawar menengadah ke atas, dia sama sekali tidak melihat ada cahaya matahari. Suasananya terlihat sama, temaram seperti senja.
"Apakah, padi-padi ini bisa tumbuh?" batin Mawar lagi.
Mata Mawar kemudian menangkap ke petak tanah yang berada di depannya. Dengan sangat jelas, ia melihat ada satu gadis yang sedang dicambuk lebih banyak darinya. Cambukan itu tidak berhenti karena gadis itu tidak bekerja.
Mawar ikut merasakan perih ketika tali tambang itu diayunkan dan mengenai keras ke kulit. Mawar memilih untuk fokus agar ia tidak melihat pemandangan itu. Akan tetapi, telinganya tak bisa ia tutupi. Ia tetap bisa mendengar jeritan kesakitan dari gadis itu.
"Kenapa Dayang-Dayang itu tidak memberi kita kesempatan untuk istirahat?" Mawar mencoba untuk berkomunikasi dengan teman yang dijodohkan dengannya. Namun, temannya itu hanya diam. Fokus dengan pekerjaannya.
"Hey, bagaimana kamu bisa berada di sini? Ngomong-ngomong, apa ada jalan keluar dari tempat ini?" tanya Mawar lagi sambil sibuk membenamkan benih ke dalam lumpur. Dan hasilnya pun sama, teman di sampingnya tidak menjawab.
"Setiap rumah pasti mempunyai pintu, setiap langkah pasti ada tujuannya, aku yakin pasti ada jalan keluar, aku harus bisa mencari jalan keluarnya," kata Mawar lagi dalam hatinya.
Aktivitas yang panjang itu akhirnya bisa diselesaikan oleh Mawar dan para gadis lainnya. Mereka kemudian diseret kembali menuju kamar mereka masing-masing.
Saat tak sengaja mata Mawar melihat ke arah gadis yang sedang dicambuk, Mawar merasa tidak asing. Ia merasa pernah bertemu. Kini, antara Mawar dan gadis itu, saling menatap tajam.
Tetapi tiba-tiba, gadis yang dicambuk itu tersenyum menyeringai kepadanya.
Sebelum pandangan itu hilang dari matanya, Mawar mencoba untuk mengingat. Siapakah gadis itu! Namun, pikirannya tidak ada gambaran.
**
Mawar seperti biasa dimandikan oleh tiga Dayang judes. Bukan hanya Mawar saja, tetapi, gadis-gadis lain di kamar mereka juga diperlakukan hal yang sama.
"Mbak, di mana kalian menaruh baju saya?" tanya Mawar dengan penuh harap kepada tiga Dayang itu.
Lagi-lagi tidak ada jawaban. Bertanya adalah hal yang sangat sia-sia. Mawar pun berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari semuanya sendiri.
Setelah selesai dimandikan, Mawar dipakaikan kebaya lagi, dan rambutnya dibiarkan tergerai. Mawar merasa risih sebenarnya, saat tangan-tangan mereka menyentuh kulitnya, menggosok seluruh bagian tubuhnya. Mawar ingin sekali menolak, tapi dia merasa takut jika nanti malah Burhan datang dan menggantikan para Dayang tersebut untuk memandikannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!