Sepasang suami istri baru saja keluar dari dalam kantor polisi. Raut wajah mereka menunjukan kecemasan yang teramat jelas. Suami istri tersebut melaporkan sebuah kasus atas hilangnya putri semata wayang mereka, yang menghilang selama tiga hari. Sebut saja suami istri itu, Ruman dan Saras.
Kejadiannya bermula saat, Mawar meminta restu atas hubungannya dengan Marsel, sang kekasih. Tetapi Ruman dan Saras tidak memberinya restu, alasanya karena Marsel hanyalah seorang karyawan pabrik.
Mawar kecewa atas keputusan orang tuanya, sehingga Mawar pun pergi dari rumah dan tidak kembali sampai sekarang.
Ruman dan Saras sudah berusaha menghubungi nomor ponsel Mawar, namun, nomornya tidak bisa dihubungi. Bahkan semua teman-teman Mawar juga tidak mengetahui keberadaannya. Termasuk Marsel, kekasih Mawar.
Marsel sendiri tidak tau perihal Mawar, yang meminta restu kepada orang tuanya.
Hujan terus mengguyur kota K selama tiga hari ini. Hujan turun dengan deras tanpa berhenti. Untung tidak mati lampu saja sudah bersyukur karena biasanya, jika hujan deras disertai angin, pasti mati lampu.
Di tengah hutan yang begitu gelap dan sunyi, hanya ada pepohonan tua seperti beringin dan pinus yang menjulang tinggi di sekelilingnya. Terdengar sayup-sayup lolongan anjing serta serigala. Nampak seorang laki-laki paruh baya tengah menyeret seorang gadis muda. Laki-laki itu menarik jaket sang gadis dengan kasar di tengah derasnya hujan seperti ini. Laki-laki itu memasuki sebuah gerbang yang di jaga oleh dua patung seperti manusia banteng sambil memegang kampak. Patung itu mempunyai mata merah dan menyala. Tatapanya sungguh mengerikan. Namun, lelaki tersebut tidak merasa takut sedikit pun.
Ternyata di tengah hutan seperti ini ada rumah seperti castle yang menjulang tinggi namun, bangunannya terlihat tua dan menyeramkan. Lampu yang dipasang di sana-sini tidak membantu penerangan sedikit pun. Laki-laki tersebut memasuki castle dan meletakan gadis itu di lantai begitu saja.
Tampak di depan laki-laki tersebut ada wanita tua yang masih terlihat energik, mengenakan kebaya, dengan rambut di sanggul, persis seperti pengantin adat jawa. Matanya tajam dan menakutkan. Wanita itu tersenyum melihat laki-laki tersebut yang datang membawa seorang gadis. Namun, senyumannya terlihat sangat menyeramkan.
"Saya membawa satu pasukan lagi, Ndoro!" kata laki-laki tersebut memberi hormat kepada wanita yang tengah duduk di singgasananya.
Wanita tersebut turun dari singgasananya dan berjalan mendekati sang gadis yang tergeletak di lantai. Wanita tua itu tersenyum menyeringai.
"Cantik, putih, dan bersih. Segera bersihkan dia!" perintahnya dengan nada yang lembut namun tetap terdengar seram.
"Baik Ndoro." Pria paruh baya tersebut bertepuk tiga kali, lalu datanglah tiga dayang dengan wajah judes dan berpakaian kebaya juga menghampiri sang gadis, lalu membawanya menaiki tangga menuju lantai 4. Kamar yang memang sudah di siapkan untuk para mangsa baru seperti gadis tersebut.
"Siapa yang memancingnya, Han?" tanya wanita tua itu kepada laki-laki paruh baya yang ternyata adalah seorang abdi dalemnya.
"Mira Ndoro," jawab Burhan.
"Oh, gadis itu, ternyata dia sungguh-sungguh ingin keluar dari sini, hahahahaha," suara tawa wanita tua tersebut menggema di ruangan yang besar itu. Sesiapa yang mendengarnya pasti akan merasa merinding. "Sudah berapa gadis yang ia dapatkan, Han?" tanya wanita tua itu lagi kepada abdi kepercayaannya.
"empat gadis terakhir yang saya bawa, Ndoro,"
"Hahahahahhaha, dasar bodoh! Usahanya akan sia-sia saja, dia tidak akan bisa keluar dari tempatku ini, hahaha," wanita tua tersebut tertawa kembali.
Sementara di luaran sana, suara anjing dan serigala melolong bersahutan. Entah berapa jumlahnya, yang jelas terdengar sangat riuh.
Di lantai empat, terlihat para dayang tengah memandikan sang gadis di dalam sebuah bak besar yang berisi banyak kembang mawar, kenanga, dan kantil.
Setelah selesai membersihkan gadis tersebut, mereka segera membalut tubuh gadis itu dengan busana kebaya yang sama dengan mereka, dan meletakannya di atas tempat tidur lalu menutupnya dengan selimut. Sesudah itu, ketiga dayang tersebut segera pergi dari ruangan itu.
Selang beberapa menit, gadis tersebut perlahan membuka matanya. Tangan kanannya memegang kepala yang terasa sedikit pusing. "Aku ada dimana?" gumam sang gadis sambil melihat ke sekeliling.
Semuanya terlihat remang-remang, memang ada lampu, tapi cahayanya tidak seterang lampu pada umumnya. Begitu gadis tersebut bisa jelas melihat, gadis itu langsung kaget dan segera bangun dari tempat tidurnya. Nafasnya seketika terasa ngos-ngosan. Gadis itu memandang busana yang ia kenakan. Seluruh badannya merinding saat dia mengamati setiap sudut ruangan yang terlihat pengap dan menyeramkan. Lemari dengan ukuran besar, meja rias beserta cerminnya, kamar yang ia gunakan untuk tidur tadi, meja dan kursi yang ada tepat di ujung tempat tidur.
Lalu ada satu pintu lagi yang gadis itu tak tau isi dalamnya. Dengan perasaan was-was, perlahan kakinya melangkah mendekati pintu ruangan yang belum ia ketahui itu. Tangannya membuka pintu tersebut sambil mengatur deru nafas yang terasa sesak.
Begitu pintu terbuka ternyata ruangan itu hanyalah bilik kamar mandi dengan bak besar di sana.
Gadis tersebut segera menutup pintu dan kembali ke kamar. Dia mendekati gagang pintu kamarnya, belum sempat ia membuka pintunya, dari luar sudah ada orang yang membuka pintu kamarnya lebih dulu.
Gadis itu terlonjak kaget ketika melihat seorang dayang dengan wajah pucat dan judes masuk sambil membawa bubur, ayam goreng, dan juga air putih. Dayang tersebut meletakan makanan itu di atas meja.
Sang gadis kemudian mencegah dayang itu untuk ia tanyai. "Maaf mbak, ini saya ada dimana mbak?"
Dayang tersebut menatap gadis itu dengan tatapan kosong, tanpa senyuman sedikitpun yang menggores wajah pucatnya. Gadis itu cukup merinding dengan tatapan kosong dayang itu. Bukanya menjawab pertanyaan sang gadis, dayang tersebut malah berbalik dan keluar.
Setelah kepergian dayang itu, Wanita Tua muncul bersama abdinya. Gadis itu mundur beberapa langkah melihat Wanita Tua dan abdinya yang bertubuh kekar dan tinggi mendekatinya. Gadis tersebut merinding.
"Jangan takut Nak, saya Kusuma, pemilik rumah ini, dan dia, abdi saya, Burhan namanya," kata wanita tua itu alias Kusuma sambil menunjuk Burhan. "Abdi saya yang menemukanmu dan membawamu kesini," sambung Kusuma.
Mendengar penjelasan Kusuma, gadis itu kemudian berterimakasih, separuh ketakutannya mulai hilang. Sepertinya wanita tua di depannya ini baik, meskipun terlihat menyeramkan. Kendati demikian, sang gadis tetap waspada.
"Terimaksih Bu, karena sudah menolong saya,"
"Panggil saya, Ndoro Kusuma!"
"Maaf Ndoro, saya tidak tau, terimakasih karena sudah menolong saya,"
"Makanlah dulu Nak, mari!" Kusuma merangkul pundak gadis itu, lalu meniup telinga sang gadis, sehingga gadis itu merasakan tubuhnya merinding dan seketika menuruti semua yang di perintahkan Kusuma.
Kusuma menuntun gadis itu menuju kursi untuk makan.
"Silahkan di makan, Nak!" Kusuma tersenyum senang. "Siapa namamu?"
"Mawar, Ndoro,"
"Nama yang cantik seperti orangnya, ayo habiskan, Mawar."
Mawar mengangguk dan segera menghabiskan bubur dan ayam yang ada di depannya. Lalu air yang ada di dalam gelas ia minum sampai habis.
Kusuma tersenyum menyeringai.
"Lekaslah tidur kembali, Mawar!" perintah Kusuma.
Mawar segera berjalan dan naik di atas ranjangnya dan mengambil selimut untuk menutup tubuhnya. Tatapan matanya kosong.
Dengan seringai senyumnay, Kusuma beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan kamar Mawar. Salah satu dayang masuk kembali untuk membereskan piring bekas makan Mawar. Sesudah dayang itu keluar, Burhan segera mengunci kamar Mawar.
Mawar melihat langit-langit kamarnya, tatapan matanya masih kosong. Beberapa detik kemudian ia pun tersadar kembali. Beberapa kali Mawar membuka dan menutup matanya. Dia merasa aneh dengan dirinya sendiri. Lalu, Mawar menyandarkan tubuhnya. Kepalanya sedikit berat dan pusing.
Mawar ingin melihat situasi di luar jendelanya.
Saat tirai di buka, Mawar tercengang karena mengetahui jarak antara tanah dengan kamarnya sungguh jauh. Bahkan sekelilingnya hanya ada pepohonan besar yang menjulang tinggi-tinggi. Tidak ada sorot cahaya lampu lain selain lampu dari rumah Ndoro Kusuma. Cahaya lampu yang ada di rumahnya Ndoro Kusuma juga tidak terlalu terang.
Mawar bergidik ngeri, seketika ia merasakan ketakutan lagi. Banyak suara lolongan anjing dan serigala. Di tambah burung hantu dan juga gagak yang saling bersahutan. Mawar segera menutup tirai jendelanya kembali. Dia mengelus dadanya yang terus berdebar kencang. Tubuhnya merinding hebat dengan keringat yang mulai bercucuran membasahi peluhnya.
"Ya Alloh, dimana sebenarnya aku? Ayah, Ibu, Marsel, tolongin Mawar," Mawar berkata dalam hatinya.
Mawar merasa jika dirinya terancam bahaya berada di tempat ini. Mawar berlari mendekati gagang pintu kamar. Ia mencoba untuk membukanya namun tidak bisa. Mawar mendobraknya dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, pintu itu tidak bergeming sedikitpun, yang ada malah lengannya yang terasa sakit.
Mawar lalu menuju ranjangnya lagi, dia meringkuk di dalam selimut. Meski ketakutan, Mawar mencoba untuk tenang.
Di ingat-ingatnya kejadian sebelum ia sampai di sini.
Malam itu, Mawar pergi dari rumahnya dalam kondisi hujan deras. Mawar mengendarai sepeda motor menuju jalan tanpa arah dan tujuan. Hingga tidak disadari, Mawar sudah berada di jalan aspal yang tiada ujungnya, kanan kirinya hanya pepohonan tinggi-tinggi yang berjajar rapi. Mawar lalu bertemu dengan seorang gadis seumuranya dan berhenti untuk bertanya arah jalan. Mawar disuruh untuk jalan lurus terus, lalu berbelok kiri. Setelah belok kiri, Mawar menabrak sosok tinggi hitam berbulu. Mawar pun pingsan seketika. Sampai di situ, Mawar sudah tidak ingat apa-apa.
Marsel pagi-pagi sekali keluar dari rumahnya. Dia mengenakan kaos oblong yang dibalut dengan jaket baseball tanpa mensletingnya. Sebelum pergi ke tempat kerja, dia berniat untuk mampir terlebih dahulu ke rumah Mawar, untuk menanyakan kabar terbaru.
Sesampainya di rumah Mawar, Marsel menekan bel yang di pasang di luar pagar tinggi rumah Mawar. Setelah menekan bel sebanyak tiga kali, Bi Minah pembantu Mawar, keluar dari dalam dan menghampiri Marsel yang masih berada di luar pagar. "Eh Mas Marsel, ada apa, Mas? Pagi-pagi sekali sudah kemari?" tanya Bi Minah sembari membuka pagar.
Dengan senyuman yang tersirat di wajahnya, Marsel menjawab pertanyaan Bi Minah. "Maaf Bi, saya mengganggu ya? Saya hanya ingin menanyakan kabar Mawar. Apa sudah ada perkembangan dari laporannya, Bi?"
"Aduh Mas, Bapak sama Ibu aja baru bisa tidur. Semalaman mereka memikirkan Mbak Mawar, katanya nomor Mbak Mawar, juga gak bisa dilacak sama polisi. Mereka berdua menangis semalaman, saya jadi ikutan sedih." Bi Minah bercerita dengan ekspresi sendu.
Raut wajah Marsel pun berubah menjadi sedih dan khawatir mendengar penjelasan Bi Minah.
"Owalah ya sudah Bi, saya gak jadi masuk aja kalo gitu, nanti sampaikan salam saya saja buat Bapak sama Ibu ya, saya berangkat kerja dulu. Assalamualaikum,"
"Iya Mas, waalaikumsalam. Hati-hati Mas Marsel,"
Marsel mengangguk dan tersenyum, lalu ia segera melanjutkan perjalanannya menuju pabrik.
Pikiran Marsel kacau, dia tidak tau harus berbuat apa. Marsel juga sudah menghubungi teman-teman Mawar, dan juga mengunjungi tempat-tempat dimana mereka suka bertemu, tapi hasilnya nihil. Marsel melamun, hingga tidak ia sadari ada seekor kucing berwarna hitam melintas di depan mata dan mengagetkannya.
"Miiiaaawwww!"
"Astaghfirullohal'adzim!" seru Marsel segera mengerem pakem sepeda motornya, hingga tubuhnya terdorong ke depan menyentuh speedmeter.
Marsel mengelus dadanya dan terus beristigfar. Dilihatnya kucing itu menatap tajam dengan eraman yang menyeramkan.
"Maaf Cing, aku gak liat kamu, maaf ya?" Marsel mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali dan mengatupkan tangan di depan dadanya sebagai simbol permintaan maaf. Saat Marsel melihat ke arah kucing tersebut, kucingnya sudah hilang entah kemana.
Marsel mengedarkan pandangan ke segala penjuru akan tetapi, tak terlihat jejak si kucing. "Cepet banget ngilangnya tuh kucing, hemm ya sudahlah, aku lanjut jalan aja. Untung tidak sampai tertabrak, kalo sampai tertabrak dan mati, bisa celaka aku." Gumam Marsel sambil melajukan kendaraanya kembali.
Setibanya di pabrik, suasana masih sepi. Marsel segera memarkiran motornya lalu berjalan menuju lobby untuk absen terlebih dahulu. Setelah selesai absen, Marsel bergegas menuju loker untuk berganti baju seragam dan meletakan tasnya di sana. Ternyata, di loker sudah ada Adam, teman dekatnya dari awal dia masuk ke pabrik hingga sekarang.
"Tumben Sel, kamu datang pagi, biasanya bel pabrik bunyi kamu baru kelihatan batang hidungnya!" tanya Adam, rekan kerja Marsel yang sudah selesai berganti seragam.
"Iya Dam, aku mau jadi anak rajin kayak kamu," tutur Marsel dengan senyuman yang dipaksakan.
Adam memperhatikan raut wajah Marsel yang terlihat sedih, tidak seperti biasanya.
"Seminggu kita tidak satu sif, kelihatannya kamu sekarang berbeda ya, Sel?" tanya Adam masih memperhatikan Marsel yang tengah mangganti bajunya. Raut wajah Marsel lah yang membuat Adam bertanya seperti itu.
"Beda gimana? Aku tambah ganteng?" tanya Marsel menyunggingkan senyum.
"Kalo ganteng, kamu memang dari dulu sudah ganteng Sel. Itu, wajah kamu kenapa murung? Seperti orang lagi banyak pikiran saja. Kamu ada masalah?" Adam menunjuk ekspresi Marsel.
Marsel menghela nafas lalu mengunci lokernya. Ia menyandarkan tubuh pada loker. Matanya memandang nanar awang-awang. "Kamu sudah sarapan belum Dam?" tanya Marsel mengalihkan pertanyaan Adam.
"Sudah, istriku setiap habis subuh pasti langsung masak, jadi kalo shif satu aku gak pernah jajan buat sarapan,"
"Kamu mau, temani aku sarapan?" ajak Marsel sembari menatap sendu ke arah Adam.
Adam yang merasakan ada sesuatu pada diri Marsel, segera mengangguk setuju. Mereka berdua lalu menuju ke kantin. Marsel membeli nasi kuning, air mineral, dan roti untuk diberikan kepada Adam.
"Nih Dam," kata Marsel menyerahkan sebungkus roti sobek kepada Adam.
"Aku sudah sarapan Sel, tapi kalo kamu kasih, aku ya gak nolak, makasih ya," Adam merasa senang karena dapat roti gratis dari Marsel.
Adam segera membukanya dan memakan roti itu. Marsel pun membuka nasi kuningnya yang masih di bungkus kertas minyak. Dengan tidak punya selera, Marsel mencoba memasukan nasi kuning itu kedalam mulutnya.
"Sel, aku perhatiin kamu kayaknya lagi ada masalah deh, kamu gak mau cerita sama aku?" tanya Adam.
Marsel lupa jika ia memang belum memberitahu Adam tentang menghilangnya Mawar. Marsel terdiam. Adam pun bertanya kembali. "Kamu sedang ada masalah dengan Mawar?" tanya Adam kembali yang sedari tadi pertanyaannya tidak di jawab dengan puas.
Marsel lalu menatap Adam dengan intens. Dengan sorot mata pilu dan bingung, Marsel akhirnya memberitahu Adam.
"Dam, Mawar hilang!" ucap Marsel dengan suara pelan dan eskpresi yang tegang.
"Apa!" Adam kaget hingga matanya melotot.
"Sejak kapan, Sel?" tanya Adam lagi dengan perasaan yang hampir tidak percaya mendengar penuturan Marsel.
"Sudah empat hari ini, Dam," jawab Marsel seraya menunduk.
"Apaaaaa!" Adam tambah melotot lagi saat mendengar jawaban Marsel. "Kenapa kamu baru kasih tau aku sekarang, Sel?" tanya Adam dengan geram.
"Maaf Dam, aku lupa, kita kan beda sif kemaren," jawab Marsel.
"Kamu kan bisa telpon aku," sanggah Adam.
"Iya maaf Dam, aku lupa," jawab Marsel merasa bersalah.
Adam terdiam sesaat, perasaannya masih kaget dengan berita ini. Lalu, ia bertanya kembali. "Apa kamu serius dengan ceritamu Sel? Kamu tidak sedang berbohong kan?" Adam menekankan pertanyaannya lagi.
Melihat Marsel yang diam, Adam akhirnya yakin bahwa Marsel memang tidak berbohong. Adam meletakan rotinya di atas meja. Selera makannya mendadak hilang. "Masalahnya apa Sel, sampai-sampai Mawar hilang?"
"Aku juga kurang tau Dam, tapi orang tuanya bilang, katanya malam itu, Mawar meminta restu atas hubungannya dengan ku, tapi mereka tidak merestuinya, terjadilah pertengkaran kecil yang akhirnya membuat Mawar pergi dari rumah malam itu juga, hingga sekarang. Aku bahkan sempat dituduh menyembunyikan Mawar sama orang tuanya, untung saja mereka percaya padaku. Aku saja tidak tahu menahu soal keinginan Mawar yang meminta restu itu." terang Marsel dengan perasaan yang mendalam.
"Iyah, waktu kamu main ke rumahku minggu kemaren bersama Mawar, istriku memang pernah bilang sama Mawar, untuk segera membawa hubungan kalian ke jenjang pernikahan. Tapi, orang tua Mawar sudah melapor polisi belum?"
"Sudah Dam, tapi belum ada kabarnya, bahkan nomor Mawar saja tidak bisa dilacak katanya, aku benar-benar khawatir, Dam. Takut terjadi sesuatu sama Mawar, apalagi sudah empat hari ini, bagaimana kalo Mawar tidak bisa ditemukan? Atau bagaimana jika Mawar ditemukan dalam keadaan yang tidak baik-baik saja?" ungkap Marsel dengan penuh rasa khawatir.
Adam mengelus pundak Marsel dan mencoba menenangkannya. "Sel, kamu yang sabar, dan lebih baik kamu banyak-banyak berdo'a, sholat jangan kamu tinggalin, mintalah petunjuk sama Alloh. Aku dan istriku akan ikut membantu mencari Mawar Sel, in sya Alloh, do'a kami pun tidak akan putus untuk Mawar,"
"Terimakasih, Dam."
Adam mengangguk. Terlihat jelas Marsel nampak cemas. Apalagi, Marsel memang mempunyai niatan untuk segera melamar Mawar karena tabungannya sudah cukup banyak. Kini, Marsel hanya bisa berdo'a semoga, Mawar segera kembali dengan keadaan yang baik-baik saja.
Mawar membuka matanya dan melihat sekeliling, ternyata suasana masih sama. Dibukanya tirai jendela kamarnya, tapi masih sama juga. Dia berpikir, apa memang belum pagi, atau memang sudah pagi tapi nampak seperti malam, karena rumah ini yang dikelilingi pohon besar? entahlah, Mawar tidak tahan berada dikamar itu. Mawar mengetuk pintu kamar berharap ada yang membukakan pintu. "Tolong buka pintunya, saya mau keluar, tolong!"
Beberapa kali Mawar menggedor pintu tersebut, tapi pintu itu tak juga bergeming. Saat sudah putus asa, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Masuklah abdi Ndoro Kusuma dengan tatapan yang sangat tajam. Badannya yang kekar dan tinggi, membuat Mawar ragu jika Burhan itu seorang manusia. Mawar mundur beberapa langkah. "Maaf Pak, saya mau keluar, mau pulang," ujar Mawar sembari menahan rasa takutnya.
"Ikuti aku," Burhan berkata dengan nada dingin.
Tanpa banyak bertanya lagi, Mawar mengikuti langkah Burhan. Mawar tau jika di rumah Ndoro Kusuma memang tidak beres.
Mawar merasa kaget saat keluar dari kamarnya, ternyata jumlah anak tangga yang ia turunin jumlahnya sangat banyak. Bahkan kedua tangannya tak mampu menampung jumlah yang kian tak ada habisnya.
Mawar melihat ke kanan dan kiri, ia tak menyangka jika di sisi tersebut banyak gadis seusianya yang juga memakai kebaya, namun tatapan mereka kosong. Wajah mereka terlihat judes-judes. Kulitnya putih pucat dan bibir mereka berwarna hitam semua.
Mawar terlihat ngos-ngosan akibat jumlah anak tangga yang tak seperti tidak ada habisnya. Setelah mengumpulkan keberanian, Mawar mencoba untuk bertanya kepada Burhan mengenai tujuan yang akan mereka tempuh.
"Maaf Pak, kita ini mau kemana? Kenapa anak tangga ini seperti tak ada ujungnya?" tanya Mawar gelisah.
Burhan tidak menjawab pertanyaan Mawar, ia terus berjalan dengan tenang tanpa menengok ke belakang. Mawar merasa kesal karena pertanyaannya tidak mendapat balasan.
Keringat sudah membasahi seluruh tubuh Mawar, ditambah lagi dengan perutnya yang keroncongan, membuat tenaganya melemah.
Mawar teringat jika dia membawa hape tapi, dimana hape dan baju yang ia kenakan sebelum berganti kebaya? Mawar tidak bisa tau jam berapa sekarang karena tidak ada jam dinding yang terpasang. Setelah di kira-kira satu jam lamanya, Mawar dan Burhan sampai di ruangan yang sangat besar dan lapang. Di tengah-tengah ujung tangga yang ia tapaki ada singgasana yang sangat besar. Itulah singgasana Ndoro Kusuma.
Burhan memberi hormat kepada Ndoro Kusuma. Mawar pun mengikuti Burhan. Ndoro Kusuma tersenyum melihat Mawar yang ternyata patuh kepada dirinya.
"Bagaimana keadaanmu sekarang, Nak Mawar?" tanya Ndoro Kusuma dengan suara pelan namun menggema.
"Sudah cukup baik, Ndoro." jawab Mawar menunduk.
"Bagus." jawab Ndoro Kusuma.
"Ndoro, saya mau ijin pulang Ndoro," pinta Mawar tiba-tiba membuat Ndoro Kusuma tertawa bak petir yang menyambar.
Seketika, Mawar merinding mendengar suara Ndoro Kusuma. Tak disangka keinginannya itu dibalas dengan tawa melengking yang membuat ia gemetar dan menelan ludahnya sendiri berkali-kali. Bahkan telinga Mawar terasa sakit sebab tawa tersebut.
"Ini rumahmu Nak, kamu sudah pulang ke rumahmu," jawab Ndoro Kusuma merubah ekspresinya.
"Ini bukan rumah saya Ndoro, rumah saya bukan di sini," jawab Mawar dengan suara bergetar.
Ndoro Kusuma kembali tertawa mendengar jawaban Mawar. Setelah puas tertawa, Ndoro Kusuma menatap tajam ke arah Mawar, Mawar tidak berani menatap wajahnya yang terlihat garang.
"Siapapun yang sudah masuk ke dalam rumahku, dia tidak akan bisa kembali lagi," ucap Ndoro Kusuma dengan lantang.
Mawar tercengang mendengar kalimat Ndoro Kusuma. Apa yang sebenarnya maksud dari ucapan Ndoro Kusuma? siapa sesungguhnya wanita yang ada di hadapannya ini? apakah orang baik atau sebalikya? Mawar benar-benar merasa ketakutan sekarang. Tubuhnya tak bisa berhenti bergetar. Lagi-lagi, keringat mulai membasahi seluruh tubuh yang kini terasa lemas seperti hilang tulang penyangganya.
"Kalo kamu bisa patuh kepadaku, aku tidak akan menyakitimu Nak. Kamu pasti lapar kan? silahkan makan dulu bersama teman-temanmu yang lain," tutur Ndoro Kusuma melunak.
Mawar terkejut mendengar perintah Ndoro Kusuma. Apakah bukan hanya dia yang terjebak di rumah ini?
Burhan memberi isyarat dengan bertepuk satu kali, dan satu dayang datang menghampiri Mawar, menuntun Mawar ke satu ruangan yang tak kalah luas. Di sana banyak sekali gadis seusianya duduk berhadap-hadapan.
Di depan mereka masing-masing, sudah tersaji sepiring bubur, sepiring ayam goreng, dan juga satu gelas air putih.
Begitu melihat datangan Mawar, para gadis yang lebih dulu berkumpul di sana, menatap ke arah Mawar bersamaan. Mawar kaget dan juga merinding melihat tatapan dari mereka.
Di perkirakan ada ratusan orang di dalam ruangan tersebut. Ada dua kursi yang masih kosong, satu untuk dirinya, satu lagi Mawar tidak tau tempat duduk siapa itu. Mawar duduk di bangku yang ditunjuk oleh dayang judes itu dengan perasaan yang tidak karuan.
Burhan datang dan bertepuk satu kali lagi, semua yang ada di situ langsung memakan buburnya. Mawar lalu mengikutinya. Setelah bubur habis, Burhan bertepuk dua kali, lalu mereka melanjutkan makan ayam goreng, Mawar pun mengikutinya. Dan tepukan Burhan ketiga kalinya, mereka menghabiskan air minum yang ada di dalam gelas hingga tandas.
Mawar tidak bisa menghabiskan semua makanan dan minumannya. Baginya, rasa dari makanan dan minuman itu aneh. Efeknya, perut Mawar bertambah sakit. Rasanya mual dan sangat enek tapi ia tahan.
Setelah selesai makan, mereka bergegas mengikuti langkah Burhan. Mawar yang masih bingung dengan suasana yang ia hadapi, mencoba untuk berbaur bersama yang lain.
Burhan keluar dari dalam ruangan menuju pintu halaman, saat di buka ternyata ada tanah lapang yang sangat luas. Entah berapa hektar, yang jelas sangat luas. Ternyata semua gadis yang ia temui di ruang makan, selesai makan mereka bekerja menanam padi. Dan sesiapa yang tidak bisa bercocok tanam, mereka akan dicambuk oleh dayang-dayang judes yang wajahnya hampir mirip satu sama lain.
Mawar tidak tahu menahu cara menanam padi, tapi dia bisa mencontoh teman-teman yang ada disampingnya. Satu petak sawah dikerjakan oleh dua orang saja. Setiap satu petak sawah di awasi oleh satu dayang. Para dayang tatapannya kosong saat berada di dalam ruangan tertutup, setelah di luar ruangan mendadak tajam, kesana kemari memperhatikan detail para pekerja yang ada di depan mereka.
Mawar ingin sekali menangis dengan keadaan yang menimpanya. Begitu susah dan menyedihkan, tapi dia juga tidak tau harus berbuat apa agar bisa keluar dari rumah itu.
Mawar terlihat lelah dan dia berhenti sejenak, namun dayang yang mengawasi Mawar, melihatnya, sehingga membuat si dayang mencambuk Mawar dengan tali tambang dengan cepat dan kuat.
Mawar memekik kesakitan. Rasanya begitu perih dan panas. Agar ia tidak di cambuk lagi, Mawar melanjutkan menanam padinya lagi dengan menahan rasa sakit.
Mawar terus berpikir, kenapa bisa ada sawah yang sangat luas di dalam sini. Kenapa Ndoro Kusuma mengerjakan banyak gadis untuk menanam padi, dan mengapa tidak ada ada cahaya matahari di sini. Apakah padi-padi ini bisa tumbuh? Mawar terus berspekulasi sendiri.
Dengan penerangan lampu yang remang-remang, Mawar melihat ke arah petak sawah yang berada di depannya. Dia melihat ada satu wanita yang tidak henti-hentinya dicambuk karena sering berhenti.
Mawar ikut merasakan perih ketika tali tersebut menyabet punggung si gadis yang ada di depannya. Beberapa kali Mawar menutup mata agar tak dapat melihat pemandangan itu. Akan tetapi, telinganya tetap mendengar sabetan dan pekikan dari si gadis.
Mawar ingin sekali mengobrol dengan teman di sampingnya, tapi gadis di sampingnya sama sekali tidak menghiraukan Mawar. "Bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari tempat ini? Apakah ada jalan keluar dari tempat ini?"
Mawar tampak sangat berpikir, dia berkata dalam hatinya sambil tangannya terus memasukan bibit padi ke dalam lumpur.
"Setiap rumah pasti mempunyai pintu, setiap langkah pasti ada tujuannya, aku yakin pasti ada jalan keluar, aku harus bisa mencari jalan keluarnya," kata Mawar lagi dalam hatinya.
Setelah Mawar dan teman di sampingnya sudah selesai, mereka segera diseret untuk di masukan ke dalam kamar mereka masing-masing lagi.
Saat Mawar melihat ke arah gadis yang sedang dicambuk, Mawar merasa tidak asing dengan gadis tersebut, mata mereka bertemu. Kini, diantara mereka saling menatap dengan tajam.
Tiba-tiba gadis itu tersenyum ke arahnya dengan ekspresi yang tidak bisa diungkapkan.
Mawar merasa ada yang janggal dengan gadis itu, dia mencoba mengingat-ingat, apakah dirinya pernah bertemu dengan gadis itu atau tidak.
Mawar seperti biasa dimandikan oleh ke tiga dayang judes, bukan hanya Mawar saja, gadis-gadis yang lain pun sama seperti Mawar. Mereka dimandikan di bak mandi masing-masing.
"Mbak, dimana kalian menaruh baju saya,?" tanya Mawar dengan penuh harap.
Lagi-lagi tidak ada jawaban yang keluar dari mulut para dayang. Bertanya adalah hal yang sangat sia-sia. Mawar berjanji untuk mencari semuanya sendiri.
Setelah selesai dimandikan, Mawar dipakaikan kebaya lagi, dan rambutnya dibiarkan tergerai. Mawar merasa risih sebenarnya, saat tangan-tangan mereka menyentuh kulitnya, menggosok seluruh bagian tubuhnya. Mawar ingin sekali menolak, tapi dia merasa takut jika nanti malah Burhan datang dan menggantikan para dayang tersebut untuk memandikannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!