Marsel pagi-pagi sekali keluar dari rumahnya. Mengenakan kaos oblong yang dibalut dengan jaket baseball tanpa menutup resletingnya. Sebelum pergi ke tempat kerja, Marsel berniat untuk mampir terlebih dahulu ke rumah Mawar untuk menanyakan kabar terbaru.
Sesampainya di rumah Mawar, Marsel menekan bel yang di pasang di luar pagar tinggi rumah Mawar. Setelah menekan bel sebanyak tiga kali, Bi Minah, pembantu Mawar, keluar dari dalam dan menghampirinya yang masih berada di luar pagar.
"Eh Mas Marsel, ada apa, Mas? Pagi-pagi sekali kok sudah kemari," tanya Bi Minah sembari membuka pagar.
Dengan senyum manis di wajahnya, Marsel pun menjawab. "Maaf Bi, saya mengganggu ya? Saya hanya ingin menanyakan kabar Mawar sama Bapak dan Ibunya. Apa sudah ada perkembangan dari laporannya, Bi?"
"Aduh Mas, Bapak sama Ibu aja baru bisa tidur. Semalaman mereka memikirkan Mbak Mawar, katanya, nomor Mbak Mawar juga gak bisa dilacak sama polisi. Mereka berdua menangis semalaman, saya jadi ikutan sedih." Bi Minah bercerita dengan ekspresi sendu.
Raut wajah Marsel pun berubah menjadi sedih dan khawatir mendengar penjelasan Bi Minah.
"Owalah ya sudah Bi, saya gak jadi masuk aja kalo gitu. Nanti tolong sampaikan salam saja buat Bapak sama Ibu ya, saya berangkat kerja dulu. Assalamu'alaikum," ucap Marsel menutupi rasa kecewanya.
"Iya Mas, wa'alaikumsalam. Hati-hati Mas Marsel,"
Marsel mengangguk dan tersenyum. Lalu segera melanjutkan perjalanannya menuju pabrik.
Pikiran Marsel kacau, dia bingung harus bagaimana lagi. Marsel sudah menghubungi teman-teman Mawar, dan juga mengunjungi tempat-tempat di mana mereka suka bertemu, tapi hasilnya nihil.
Marsel melamun, hingga tidak ia sadari ada seekor kucing berwarna hitam melintas di depan mata dan mengagetkannya.
"Miiiaaawwww!" kucing itu menatap tajam memperlihatkan taring-taringnya. Kucing itu seperti sedang memperingatkan Marsel.
"Astaghfirullah hal'adzim!" seru Marsel segera mengerem pakem sepeda motornya hingga tubuhnya terdorong ke depan menyentuh speedometer.
"Syukurlah," gumam Marsel sambil mengusap dada ketika tahu jika kucing itu baik-baik saja.
"Maaf Cing, aku gak liat kamu, maaf ya!" Marsel mengatupkan dua tangannya di depan dada. Kepalanya terang-nguk beberapa kali.
Selesai meminta maaf, Marsel melihat ke arah sang kucing, akan tetapi, kucing itu rupanya sudah tidak ada lagi di sana. Kucing itu menghilang tanpa jejak.
"Loh, ke mana perginya kucing itu? Kok cepet ngilangnya," ucap Marsel seraya mengedarkan pandangan mencari si kucing. Tetapi, jejak si kucing benar-benar tidak ada.
"Ya sudahlah, lebih baik aku lanjut saja. Toh, kucing itu baik-baik saja. Untung tidak sampai ketabrak. Kalau tadi ketabrak dan mati, bisa celaka aku," gumam Marsel, lalu melajukan sepeda motornya kembali.
Setibanya di pabrik, suasana masih sepi. Setelah parkir, Marsel masuk ke lobby untuk absen terlebih dahulu. Selanjutnya, Marsel pergi ke loker untuk berganti pakaian kerja dan meletakkan tasnya di sana.
Setibanya di loker, rupanya sudah ada Adam—teman dekatnya yang dari awal ia masuk pabrik sampai sekarang.
"Tumben banget kamu Sel, datang pagi begini. Biasanya juga bel pabrik bunyi, kamu baru nongol," ucap Adam yang telah selesai mengganti pakaiannya.
"Iya nih, Dam. Sekarang aku mau jadi anak rajin. Biar sama kayak kamu," jawab Marsel dengan senyum yang terlihat dipaksakan.
Adam menangkap sesuatu dari sikap Marsel yang tidak seperti biasanya.
"Wah, seminggu tidak satu sif, kelihatanya kamu sudah berbeda ya, Sel?" tanya Adam, memperhatikan Marsel lebih teliti lagi. Wajah Marsel terlihat murung. Dan itulah yang membuat Adam bertambah yakin jika ada sesuatu yang terjadi pada sahabatnya itu.
"Beda gimana? Aku tambah ganteng?" tanya Marsel menyunggingkan senyum yang sangat terpaksa.
"Kalo ganteng sih kamu memang dari dulu sudah ganteng, Sel. Tapi ... Itu, wajah kamu, kenapa murung, seperti orang lagi banyak pikiran saja. Kamu ada masalah?" Adam menunjuk ekspresi Marsel.
Marsel menghela napas kemudian mengunci lokernya. Marsel menyandarkan tubuhnya di sana. Matanya memandang nanar ke awang-awang. Bukanya menjawab pertanyaan Adam, Marsel justru mengalihkan ke pertanyaan lain. "Kamu sudah sarapan belum, Dam?"
"Sudah, istriku setiap habis subuh pasti langsung masak, jadi kalo sif satu, aku gak pernah jajan buat sarapan," jawab Adam jujur apa adanya.
"Kamu mau gak temani aku sarapan?" ajak Marsel sembari menatap sendu ke arah Adam.
Adam yang memang merasakan ada sesuatu pada diri Marsel—tentu sangat setuju mendapat ajakan tersebut. Ia mengangguk dengan cepat. Dan keduanya pun segera menuju kantin pabrik.
Marsel membeli nasi kuning, air mineral, dan roti untuk diberikan kepada Adam.
"Nih, Dam," kata Marsel menyerahkan sebungkus roti sobek kepada Adam.
"Aku sudah sarapan Sel, tapi kalo kamu kasih, aku ya gak nolak, makasih ya," Adam tersenyum menerima roti itu. Sejujurnya, ia merasa senang karena dapat roti gratis dari Marsel.
Adam segera membukanya dan memakan roti itu. Marsel pun membuka nasi kuningnya. Ia mulai menyendok dan menyuapkan ke mulutnya meski sebenarnya, ia tidak ada napsu untuk sarapan.
"Sel, aku perhatikan, kamu kayak nyimpan beban pikiran deh. Kamu gak mau cerita sama aku?" tanya Adam, mengunyah rotinya sembari memperhatikan Marsel.
Marsel pun teringat jika dirinya belum memberitahu Adam—perihal menghilangnya, Mawar. Marsel berhenti mengunyah.
"Kamu sedang ada masalah sama, Mawar?" tanya Adam kembali yang sedari tadi pertanyaannya tidak mendapat jawaban yang memuaskan.
Marsel menoleh ke arah Adam. Tanpa pikir panjang lagi, ia memberitahu masalah yang ia alami sebenarnya. "Dam, Mawar, hilang!"
"Apa!" Adam kaget sampai matanya melotot.
"Sejak kapan, Sel?" tanya Adam lagi—tidak percaya.
"Sudah empat hari ini, Dam," jawab Marsel, kemudian menunduk.
"Apaaaaa!" Adam bertambah melotot lagi mendengar jawaban Marsel. "Kenapa kamu baru kasih tau aku sekarang, Sel?!" Adam nampak geram sampai ia meremas bungkus roti yang ia pegang.
"Maaf Dam, aku lupa ... Seminggu ini kita kan beda sif," jawab Marsel.
"Tapi kamu kan bisa telepon aku, Sel!" nampaknya, Adam begitu kecewa karena terlambat diberi kabar. Bagi Adam, Marsel dan Mawar adalah sahabat yang sudah seperti keluarga sendiri.
"Iya maaf Dam, aku beneran lupa. Aku juga gak kepikiran buat telepon kamu," jawab Marsel merasa bersalah.
Adam terdiam sejenak. Ia masih shock dengan berita tersebut.
"Apa kamu serius dengan ceritamu, Sel? Kamu tidak sedang berbohong kan?!" Adam menekankan pertanyaannya lagi.
Melihat Marsel yang diam saja, Adam pun akhirnya yakin bahwa Marsel memang tidak berbohong. Adam meletakkan rotinya di atas meja. Selera makannya mendadak hilang. "Masalahnya apa Sel, sampai-sampai, Mawar menghilang?"
"Aku sendiri juga tidak paham, Dam, tapi orang tuanya bilang, katanya... malam itu, Mawar meminta restu atas hubungannya dengan ku, tapi mereka tidak merestuinya. Lalu, terjadilah pertengkaran kecil yang akhirnya, membuat Mawar pergi dari rumah malam itu juga. Aku bahkan sempat dituduh menyembunyikan Mawar sama orang tuanya, Dam. Beruntung saja mereka segera percaya dengan penjelasanku. Aku saja tidak tahu menahu soal keinginan Mawar yang meminta restu itu,"
Adam menghela napas. "Waktu kamu main ke rumahku minggu kemaren bersama Mawar, istriku memang pernah bilang sama Mawar—untuk segera membawa hubungan kalian ke jenjang pernikahan." Adam meluruskan suatu hal yang tidak Marsel ketahui. "Tapi, orang tua Mawar sudah melapor polisi belum, Sel?"
"Sudah, Dam, tapi belum ada kabarnya. Kata polisi, nomor Mawar tidak bisa dilacak. Dam, aku benar-benar khawatir sama Mawar, Dam. Di mana dia sekarang ya? Lagi apa, sudah makan apa belom, apakah dia baik-baik saja," Marsel memandang ke atas. Seolah-olah, wajah Mawar ada di sana. "Sudah empat hari, Mawar hilang. Gimana kalau dia gak ketemu, Dam. Atau ... bagaimana kalau dia ditemukan dalam keadaan yang tidak baik-baik saja!" rasa khawatir Marsel bertambah. Pikirannya melayang ke mana-mana.
"Hus, bicara yang baik-baik saja to. Doakan saja biar cepat ketemu," ucap Adam.
"Setiap hari aku juga sudah berdoa, Dam!" Jawab Marsel frustasi. Ya bagaimana tidak frustasi, pacarnya hilang.
Adam menghela napas. Ia tidak tega melihat kesedihan sahabatnya itu. Hatinya pasti sangat terpukul. "Kamu yang sabar, Sel. Jangan menyerah untuk mencari dan terus mendoakan yang terbaik untuk Mawar. Jangan lupa, minta petunjuk sama Allah. Aku dan istriku, nanti juga akan ikut mencari. Kami juga tidak akan lupa untuk berdoa. Semoga, Mawar bisa segera ditemukan," ucap Adam, sambil mengusap pundak Marsel.
Marsel hanya mengangguk saja mendengar nasehat Adam. Marsel seperti tidak punya gairah hidup lagi.
Marsel sebenarnya memang sudah ada niatan untuk melamar Mawar karena tabungannya sudah cukup. Akan tetapi, musibah ini rupanya telah datang lebih dulu. Kini, yang bisa Marsel lakukan hanya terus berdoa tanpa henti. Berharap, Mawar bisa segera ditemukan dalam keadaan yang baik-baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
riyu yuri
biar bintang yg ngomong
2023-05-04
0
One Tea
Sejauh ini bagus, seru, penulisan rapi
2023-02-05
2