Mawar membuka matanya dan melihat sekeliling, ternyata suasana masih sama. Dibukanya tirai jendela kamarnya, tapi masih sama juga. Dia berpikir, apa memang belum pagi, atau memang sudah pagi tapi nampak seperti malam, karena rumah ini yang di kelilingi pohon-pohon besar? entahlah, Mawar tidak tahan berada di kamar itu. Ia ingin segera keluar dari sana. Mawar kemudian mengetuk pintu kamar, berharap ada yang membukakan pintu. "Tolong buka pintunya, saya mau keluar, tolong!"
Berkali-kali Mawar menggedor pintu tersebut sampai ia lelah. Pintu itu bergeming. Tubuh Mawar melorot ke bawah bersamaan sisa-sisa tenaga yang hampir habis karena mengetuk pintu. Suaranya juga mulai serak karena terus berteriak meminta tolong.
Beberapa detik kemudian, dari luar terdengar suara seperti orang tengah membuka kunci. Mawar pun buru-buru berdiri dan sedikit menjauh dari pintu itu.
Pintu terbuka dan masuk lah, abdi Ndoro Kusuma dengan tatapan yang sangat tajam seperti belati. Badannya yang kekar dan tinggi, membuat Mawar ragu jika Burhan itu seorang manusia. Mawar mundur beberapa langkah. "Maaf Pak, saya mau keluar dari sini. Saya mau pulang," pinta Mawar sembari menahan rasa takutnya.
"Ikuti aku," Burhan menjawab dengan dingin.
"Kamu mau mengantar saya pulang?" Tanya Mawar penuh harapan. Tapi, ia tidak mendapat jawaban dari Burhan.
Burhan berjalan lebih dulu. Dan Mawar, tanpa banyak bertanya lagi—mengikuti Burhan dari belakang. Hatinya riang karena ia pikir, Burhan akan mengantarnya pulang.
Baru beberapa langkah keluar dari kamar, Mawar dikejutkan dengan anak tangga di depannya yang membentang luas dan tak terlihat ujungnya dari tempatnya saat ini.
Mawar melongo dengan mata membulat. "Apa ini!" batinnya, tidak percaya.
Lebih kaget lagi karena di sisi kanan dan kiri tangga tersebut, Mawar bisa melihat, ada banyak Dayang dengan pakaian seragam, berdiri di setiap anak tangganya. Namun anehnya, Dayang-Dayang itu ekspresi wajahnya semuanya sama. Judes, pucat, dan tatapan matanya kosong. Kulit mereka putih pucat dengan bibir berwarna hitam semua.
Mawar menelan ludah melihat pemandangan itu sambil mengikuti Burhan yang terus menuruni anak tangga.
Napas Mawar mulai tersengal. Rasanya, ia sudah banyak menuruni anak tangga. Tetapi, ujung anak tangga itu belum juga terlihat.
"Maaf, Pak, sebenarnya ... kita ini mau ke mana? kenapa jumlah anak tangga ini tak habis-habis?" tanya Mawar berkali-kali menelan ludah karena ia mulai haus.
Pertanyaannya tidak mendapat jawaban. Burhan berjalan tanpa menengok ke belakang untuk melihat Mawar.
Mawar hanya bisa mendengus kesal. Menurutnya, orang-orang aneh yang tinggal di tempat ini memang tidak suka bicara. Mereka bicara seperlunya atau semaunya saja.
Keringat yang keluar hampir membasahi seluruh tubuh Mawar, ditambah lagi dengan perutnya yang keroncongan, demo meminta untuk segera diisi dengan makanan enak—membuat tenaganya melemah.
Mawar tiba-tiba teringat jika dia membawa hape. Tetapi sekarang, di mana hapenya? Lalu, baju yang ia kenakan, juga menghilang ke mana? Kenapa dirinya justru kini memakai kebaya yang sama dengan Dayang-Dayang yang berjajar rapi di anak tangga!
"Ya Allah, aku lapar dan haus. Berapa banyak lagi anak tangga yang harus aku turuni?" Mawar mengeluh dalam hati.
Kira-kira waktu yang ditempuh Mawar dan Burhan sekarang adalah sekitar satu setengah jam. Sungguh melelahkan bukan? tubuh seakan remuk, sendi-sendi lemas dan minta dicopot.
Akhirnya, setelah perjuangan yang sangat melelahkan dan membuatnya sangat haus dan kelaparan, Mawar dan Burhan sampai di ujung anak tangga.
Ruangan yang terbentang di ujung anak tangga itu terlihat membentang begitu luas. Di ujungnya, ada sebuah singgasana besar yang diduduki oleh, Ndoro Kusuma.
Tangan kanan Burhan terangkat dan diletakkan di depan dada. Lalu, segera menunduk untuk memberi hormat.
Melihat sikap yang dilakukan oleh, Burhan, tanpa disuruh pun, Mawar segera mengikuti tindakan yang dilakukan oleh Burhan barusan. Bukan tanpa alasan juga Mawar melakukan hal demikian. Tetapi, Mawar mulai merasa jika tempat yang ia singgahi ini begitu berbahaya. Terlebih ketika Mawar melihat singgasana yang diduduki oleh Ndoro Kusuma.
"Semua yang ada di sini itu aneh. Ndoro Kusuma ini..., dia pasti bukan orang sembarangan," batin Mawar menerka-nerka.
"Bagaimana keadaanmu sekarang, Nak Mawar?" tanya Ndoro Kusuma dengan suara pelan namun menggema.
"Sudah cukup baik, Ndoro," jawab Mawar menunduk.
"Bagus," jawab Ndoro Kusuma.
"Ndoro, saya mau ijin pulang Ndoro," pinta Mawar tiba-tiba membuat Ndoro Kusuma tertawa bak petir yang menyambar-nyambar.
"Hahaha,"
Seketika, Mawar merinding mendengar suara Ndoro Kusuma. Tak disangka keinginannya itu dibalas dengan tawa melengking yang membuat ia gemetar dan menelan ludahnya sendiri berkali-kali. Bahkan, telinga Mawar terasa sakit efek tawa tersebut.
"Ini rumahmu Nak, kamu sudah pulang ke tempat yang tepat. Di sini lah sekarang," jawab Ndoro Kusuma.
"Ini bukan rumah saya Ndoro, rumah saya bukan di sini," jawab Mawar dengan suara bergetar.
Ndoro Kusuma kembali tertawa mendengar jawaban Mawar. Setelah puas tertawa, Ndoro Kusuma menatap tajam ke arah Mawar. Tak ada senyuman manis yang tersisa di sana.
"Siapapun yang sudah masuk ke dalam rumahku, dia tidak akan bisa kembali lagi," ucap Ndoro Kusuma dengan lantang.
Mawar tercengang mendengar pengakuan Ndoro Kusuma. Apa maksud yang sebenarnya, dari ucapan Ndoro Kusuma? siapa sesungguhnya wanita yang ada di hadapannya ini? apakah orang baik atau sebaliknya?
Buku kuduk Mawar berdiri sekarang. Keringat keluar dari pelipis. Jantungnya berdebar kencang. Kata-kata Ndoro Kusuma terdengar seperti ancaman yang sangat berbahaya.
"Kalo kamu bisa patuh kepadaku, aku tidak akan menyakitimu, Nak." Lagi, kata-kata Ndoro Kusuma seperti perintah yang tidak boleh dibantah. "Kamu pasti lapar kan? silahkan makan dulu bersama teman-temanmu yang lain," tutur Ndoro Kusuma dengan suara sedikit melunak.
"Makan bersama teman-teman yang lain? Apakah itu artinya ... yang ada di sini bukan hanya aku saja?" Mawar bertanya dalam hatinya sendiri.
Burhan memberi isyarat dengan bertepuk satu kali. Lalu, muncullah satu Dayang menghampiri Mawar, menuntun Mawar ke satu ruangan yang tak kalah luas. Di sana banyak sekali gadis seusianya duduk saling berhadapan.
Di depan mereka, masing-masing sudah tersaji sepiring bubur, sepiring ayam goreng, dan juga satu gelas air putih.
Begitu melihat kedatangan Mawar, para gadis yang lebih dulu berkumpul di sana, serempak menatap ke arah Mawar bersamaan. Mawar menelan ludah karena dipandang oleh banyaknya orang di sana. Terlebih lagi, pandangan mereka juga aneh menurut Mawar.
Di perkirakan ada ratusan orang di dalam ruangan tersebut. Mawar di tuntun menuju kursi yang masih kosong. Di depannya, ternyata ada kursi kosong juga yang tidak ia ketahui, siapa gadis yang akan mendudukinya.
Setelah Mawar mendapatkan kursi, Burhan datang dan berdiri di ujung meja. Pria itu kemudian bertepuk sekali. Tiba-tiba, para gadis itu langsung menyantap bubur dengan kompak dan juga rakus.
Mawar yang melihat adegan itu, seketika tersadar. Tepuk tangan yang diberikan Burhan adalah sebuah kode perintah. Tanpa pikir panjang, Mawar pun mengikuti gadis-gadis itu. Melahap bubur meski tidak sepenuhnya habis.
Setelah bubur habis, Burhan bertepuk tangan dua kali. Mawar menebak, para gadis pasti akan memakan ayam goreng. Dan dugaannya memang benar. Sat set, Mawar menggigit ayam goreng yang jumlahnya lebih banyak dari kemaren.
Tepukan tangan Burhan yang berjumlah tiga kali, menandakan jika semua gadis harus menghabiskan minuman yang ada di dalam gelas. Mawar mengikuti perintah itu tanpa ada yang terlewat. Kebetulan, ia juga memang sangat haus.
Tetapi, setelah selesai makan, Mawar justru merasakan perasaan aneh yang baru ia sadari. Rasa dari makanan dan minumannya itu, tidak sesuai dengan wujudnya. Kini, perutnya juga tiba-tiba menjadi sakit melilit hebat. Ia juga merasa ingin muntah sekarang tapi, sebisa mungkin ia tahan.
Setelah selesai makan, mereka mengikuti langkah Burhan yang menuju ke suatu tempat yang tentu saja, ini pertama kalinya bagi Mawar. Mawar yang masih bingung dengan suasana yang ia hadapi, mencoba untuk berbaur bersama yang lain.
Burhan keluar dari dalam ruangan menuju pintu halaman. Saat di buka ternyata ada tanah lapang yang sangat luas. Entah berapa hektar, yang jelas sangat luas. Di sana terdapat banyak tumpukan benih padi yang siap untuk di tanam.
Rupanya, semua gadis yang Mawar temui di ruang makan, selesai makan mereka akan bekerja menanam padi. Dan sesiapa yang tidak bisa bercocok tanam, mereka akan dicambuk oleh Dayang-Dayang judes yang wajahnya hampir mirip satu sama lain itu—yang berjaga di masing-masing petak tanah.
Mawar menelan ludah. Dia takut karena tidak tahu menahu cara menanam padi. Kendati demikian, Mawar akan berusaha mencontoh teman-teman yang ada di sampingnya nanti.
Satu petak sawah dikerjakan oleh dua orang saja. Setiap satu petak sawah di awasi oleh satu Dayang. Para Dayang tatapannya kosong saat berada di dalam ruangan tertutup. Tetapi, setelah berada di luar ruangan, tatapan mereka mendadak tajam. Siap membabat orang yang tidak becus bekerja.
Mawar ingin sekali menangis, menjerit meminta tolong. Tapi, siapa yang akan menolongnya? Tidak ada orang yang ia kenal di sana. Semuanya aneh dan menyeramkan.
Ndoro Kusuma yang awalnya ia nilai baik, ternyata tidak seperti yang ia bayangkan. "Ya Allah, bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari sini?" batin Mawar tersiksa. Mawar sama sekali tidak memahami, di mana posisinya sekarang ini.
Mawar mengambil satu genggam benih padi. Ia mengikuti langkah demi langkah yang dilakukan temannya. Meski kesusahan, Mawar tetap mencoba.
Lama kelamaan, Mawar merasa lelah. Ia berhenti sejenak untuk meluruskan punggung yang sedari tadi menunduk. Namun alangkah terkejutnya ia, ketika Dayang tiba-tiba mencambuknya dengan tali tambang. Cambukan itu sangat cepat dan kuat. Mawar pun menjerit. "Aaaaaaa! Sakiiiittt!"
Mawar terus dicambuk. Ia memohon ampun, tapi tak dihiraukan. Mawar ambruk ke lumpur itu. Dia menangis mengaduh kesakitan. Dengan susah payah, Mawar bangkit dan mencoba untuk menanam padi kembali. Karena hanya dengan cara itu lah dirinya tidak akan dicambuk lagi.
"Ayah, Ibu, Marsel ... Tolongin Mawar," batin Mawar dengan air mata bercucuran. Tetapi, percuma saja dia bersedih dan menangis. Dia tidak akan mendapatkan jalan keluar.
Mawar mengusap air matanya. Ia mencoba untuk tegar dan menerima keadaanya saat ini.
"Kenapa bisa ada sawah yang sangat luas di dalam sini. Dan kenapa, Ndoro Kusuma mengerjakan banyak gadis untuk bekerja menanam padi!" Mawar terus bertanya-tanya dalam hatinya. Setelah dipikir-pikir, ia banyak menemukan keganjilan di tempat itu.
Ketika Mawar menengadah ke atas, dia sama sekali tidak melihat ada cahaya matahari. Suasananya terlihat sama, temaram seperti senja.
"Apakah, padi-padi ini bisa tumbuh?" batin Mawar lagi.
Mata Mawar kemudian menangkap ke petak tanah yang berada di depannya. Dengan sangat jelas, ia melihat ada satu gadis yang sedang dicambuk lebih banyak darinya. Cambukan itu tidak berhenti karena gadis itu tidak bekerja.
Mawar ikut merasakan perih ketika tali tambang itu diayunkan dan mengenai keras ke kulit. Mawar memilih untuk fokus agar ia tidak melihat pemandangan itu. Akan tetapi, telinganya tak bisa ia tutupi. Ia tetap bisa mendengar jeritan kesakitan dari gadis itu.
"Kenapa Dayang-Dayang itu tidak memberi kita kesempatan untuk istirahat?" Mawar mencoba untuk berkomunikasi dengan teman yang dijodohkan dengannya. Namun, temannya itu hanya diam. Fokus dengan pekerjaannya.
"Hey, bagaimana kamu bisa berada di sini? Ngomong-ngomong, apa ada jalan keluar dari tempat ini?" tanya Mawar lagi sambil sibuk membenamkan benih ke dalam lumpur. Dan hasilnya pun sama, teman di sampingnya tidak menjawab.
"Setiap rumah pasti mempunyai pintu, setiap langkah pasti ada tujuannya, aku yakin pasti ada jalan keluar, aku harus bisa mencari jalan keluarnya," kata Mawar lagi dalam hatinya.
Aktivitas yang panjang itu akhirnya bisa diselesaikan oleh Mawar dan para gadis lainnya. Mereka kemudian diseret kembali menuju kamar mereka masing-masing.
Saat tak sengaja mata Mawar melihat ke arah gadis yang sedang dicambuk, Mawar merasa tidak asing. Ia merasa pernah bertemu. Kini, antara Mawar dan gadis itu, saling menatap tajam.
Tetapi tiba-tiba, gadis yang dicambuk itu tersenyum menyeringai kepadanya.
Sebelum pandangan itu hilang dari matanya, Mawar mencoba untuk mengingat. Siapakah gadis itu! Namun, pikirannya tidak ada gambaran.
**
Mawar seperti biasa dimandikan oleh tiga Dayang judes. Bukan hanya Mawar saja, tetapi, gadis-gadis lain di kamar mereka juga diperlakukan hal yang sama.
"Mbak, di mana kalian menaruh baju saya?" tanya Mawar dengan penuh harap kepada tiga Dayang itu.
Lagi-lagi tidak ada jawaban. Bertanya adalah hal yang sangat sia-sia. Mawar pun berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari semuanya sendiri.
Setelah selesai dimandikan, Mawar dipakaikan kebaya lagi, dan rambutnya dibiarkan tergerai. Mawar merasa risih sebenarnya, saat tangan-tangan mereka menyentuh kulitnya, menggosok seluruh bagian tubuhnya. Mawar ingin sekali menolak, tapi dia merasa takut jika nanti malah Burhan datang dan menggantikan para Dayang tersebut untuk memandikannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Liani purnafasary.
ngeri bngt ya, smoga mawar bisa keluar y😢😢
2025-02-11
0
Sri Bayoe
nyimak dulu
2023-04-06
1
Coretan Kertas
jangankan mawar, aku aja merinding bacanya.. itu banyak banget ampe celibu 😬
2022-12-09
3