YAKIN MAU MENIKAH?

YAKIN MAU MENIKAH?

Takut Dengan Pernikahan

Semakin kesini, aku semakin takut dengan pernikahan.

Orang bilang menikah itu menyenangkan. Tapi menurutku, menikah itu menakutkan.

Dari aku kecil sampai sekarang, aku selalu dikelilingi dengan kegagalan pernikahan, KDRT, sampai perselingkuhan.

Jadi di bagian manakah hal yang menyenangkan itu?!

Waktu kecil aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri seorang suami memukul istrinya sendiri.

Dan pelakunya adalah Ayahku sendiri.

Ya. Aku melihat Ayahku memukul Ibu.

"Tiyas! Ayo makan!"

"Iya Bu!" sahutku dari dalam kamar.

Rutinitas setiap pagi yang tak boleh dilewatkan meskipun sedang libur kerja, adalah sarapan bersama.

Dengan malas aku berjalan ke meja makan. Tidak ada Ayah di sana.

Tak berapa lama, Ayah datang dan langsung duduk.

"Apa ini?! Kenapa mejanya kotor?!"

Ayah mengomentari nasi tiga butir yang jatuh ke meja.

Itulah Ayah. Dia selalu mengomentari suatu hal kecil dengan sangat berlebihan.

"Cuma nasi tiga biji doang kok Yah! Nggak usah marah!"

Ibu sedikit berdehem. Memberi kode padaku agar tak mengomentari ucapan Ayah.

Bukan apa, aku nggak suka Ayah terus-terusan memarahi Ibu cuma karena hal sepele.

"Ini lagi!!"

Tak tak!!

Bunyi gelas yang beradu dengan meja sangat keras akibat dari ulah Ayah.

"Kenapa gelasku masih belum diisi air hah?!!" Ayah menatap tajam Ibu.

"Sudah aku bilang! Jangan panggil aku kalau semua belum siap!!" teriak Ayah lagi.

"Udah sih Yah, nggak usah marah-marah! Ini masih pagi! Tinggal nuang sendiri airnya apa susahnya sih?!"

"Heeegh!!"

BRAKK!!

Ayah mengangkat meja lalu menghempasnya dengan keras. Tidak sampai membuat meja berbalik. Tapi cukup embuatku dan Ibu sangat terkejut.

Dadaku naik turun karena kaget dan kesal.

Sifat temperamennya itu selalu naik hanya karena hal sepele.

BRAK!!

Aku meniru apa yang barusan Ayah lakukan. Mengangkat meja dan menghempaskannya dengan keras ke lantai.

"Ayah pikir cuma Ayah yang bisa?! Aku juga bisa!!"

Ayah melotot geram padaku. Aku yang biasanya takut dengan mata itu, entah kenapa hari ini justru merasa marah mendapat tatapan itu.

Aku hanya tidak ingin Ibu menjadi sasaran Ayah sepagi ini.

"Berani kamu sekarang hah!!" Ia melotot padaku.

"Kalau Ayah begini terus setiap hari, kami juga muak Yah!! Capek!!"

"Ngelawan kamu ya!!"

"Aaargh!" Aku berteriak kala merasakan rambutku dijambak oleh Ayah.

"Ayah! Hentikan! Tolong lepasin Tiyas!" Ibu berusaha melepas tangan Ayah.

"Minggir!" dengan sekali dorong Ibu sudah terjatuh ke lantai.

"Lepasin Yah! Ayah selalu aja main tangan kalau marah! Ayah pikir aku takut?!" tantangku yang entah dapat keberanian dari mana.

Jelas saja itu membuat Ayah semakin berang.

"Sepertinya kamu harus dihajar satu kali biar jera!!" geramnya.

Dengan kuat aku menggigit tangan Ayah.

"Kurang ajar!!" Ayah meringis sakit.

Tapi dengan cepat dia kembali menjambakku dan melayangkan tangannya ke wajahku.

""STOPP!! UDAH, HENTIKAN!!" teriak Ibu sambil menangis. Membuat tangan Ayah mengantung di udara.

"Kenapa berhenti?! Tampar aja!! Aku udah nggak peduli!! Tampar aku Yah!!" teriakku padanya.

PLAKK!!

"Aakhh!!"

Kepalaku terasa berputar seiring teriakan Ibu. Rasa panas menjalar di pipiku. Tapi tak ada sedikitpun air mata yang keluar.

"PUNYA ANAK NGGAK BISA DIATUR!! BAN**AT!! ANAK SIA***NN!! ANAK T4I!! JAN**KK!" umpatnya.

BAK BUK! DUAKK!!

Ayah terus saja mengumpat sambil memukuliku.

"Uhuk uhuk uhuk!" Aku meringkuk di lantai karena Ayah juga menendangku.

"SUDAH!! STOPP!! HENTIKAN!!" Ibu histeris melihat keadaanku.

"Lepas!! Atau kau mau aku pukul juga hah?!!"

Dengan pandangan yang buram, aku melihat Ibu berusaha menahan Ayah yang ingin memukuliku lagi.

"LARI TIYAS!! LARI!!!" teriak Ibu.

Aku merangkak menjauh dari Ayah menuruti Ibu.

Dengan sekuat tenaga aku berdiri dan lari dari rumah.

"BA****T!! JANGAN LARI KAU!!" terdengar teriakan Ayah dari dalam rumah.

Kepalaku terasa pusing dan pipiku masih terasa panas akibat tamparan dari tangan keras Ayah.

Aku sempoyongan membuka pagar depan.

Dengan kepala yang masih terasa pusing, aku terus berlari menjauh dari rumah.

Aku terus berlari hingga ke perbatasan desa. Aku duduk di bawah jembatan beton penghubung ke desa sebelah. Menenggelamkan wajahku diantara lutut yang aku tekuk.

Aku baru menyadari jika aku dari tadi berlari tanpa memakai sandal. Ada beberapa kerikil kecil tajam yang menancap di sana. Tapi kubiarkan saja.

Tak ada air mata yang keluar.

Sejak dulu Ayah memang punya temperamen yang tinggi.

Tapi semakin menjadi saat kakak laki-lakiku yang merantau di kota memutuskan untuk membuka warung nasi goreng.

Ayah mengutang di sana sini untuk modal Kakak.

Semuanya baik-baik saja sampai akhirnya bunga hutang itu terus membesar dan Ayah harus kehilangan pekerjaannya.

Dan aku memutuskan untuk tidak kuliah dan memilih bekerja untuk membantu melunasi hutang itu.

Bahkan rumah juga terancam akan disita Bank jika beberapa bulan kami terus menunggak.

Warung Kakak juga tidak berjalan lancar. Lebih sering sepi pelanggan katanya. Membuat kami kelimpungan membayar hutang itu.

Jujur, sebenarnya aku capek. Banting tulang, tapi tak pernah menikmati hasilnya. Tapi aku terus bersabar demi Ibu.

Triririring!

Hp yang berada di dalam saku celanaku berdering. Nama Mbak Widya tertera di sana, Kakak iparku.

"Halo Mbak, ada apa?"

Terdengar isak tangis di seberang sana.

Aku langsung menegakkan tubuhku.

"Halo Mbak? Mbak kenapa nangis?!"

[ Mas Kusnan Yas.. ] Mbak Widya kembali menangis. [ Dia selingkuh. ] lanjutnya.

Hatiku langsung nyeri mendengar ucapannya yang mengatakan bahwa Kakak laki-lakiku selingkuh.

Kami di sini banting tulang untuk melunasi hutang yang dia buat. Tapi di sana dia malah selingkuh?!

[ Yas, kamu-- ]

Ucapan Mbak Widya terpotong. Aku menatap layar hpku yang hitam. Baterainya habis.

"Sial!"

Aku kembali menenggelamkan wajahku di antara kedua lutut.

Apa laki-laki seperti ini semua? Ayahku yang temperamen, dan kini Kakakku selingkuh. Aku jadi tambah takut untuk menikah.

_________

Entah sudah berapa lama aku di sini. Dari tadi aku tak berpindah posisi. Terus menyembunyikan wajahku di kedua lutut.

"Tiyas?!"

Aku mendongak mendengar namaku disebut.

Izam berdiri tak jauh dariku.

"Ya ampun Tiyas! Wajah kamu kenapa?!" Dia berlari menghampiriku.

Kedua tangannya menangkup pipiku. Tapi segera aku lepaskan.

"Jatuh tadi," ucapku berbohong.

Izam tahu aku berbohong. Tapi dia tak bertanya lagi. Dia malah menatap kakiku yang tak memakai sandal.

Dia juga menyingkirkan kerikil tadi dari kakiku.

"Ini, pakailah sandalku. Yuk kita pulang!" Dia mencopot sandalnya dan menaruhnya di depan kakiku.

Tak terasa air mata yang sedari tadi tidak keluar tiba-tiba menetes begitu saja. Aku terisak.

Tiba-tiba saja kepalaku ditariknya ke dalam dekapan. Izam menyembunyikan kepalaku di dadanya.

Tangisku semakin menjadi. Aku lelah, lelah dengan semua ini.

"Menangislah, itu akan membuatmu hatimu lega."

Tetangga sekaligus temanku sejak kecil ini mengelus kepalaku. Kami tumbuh bersama sejak kecil. Tentu dia tahu dengan tabiat Ayahku. Dia sudah seperti saudara bagiku.

Aku menumpahkan segala kesedihan yang selama ini kutahan.

Ini pertama kalinya aku menangis di depan seseorang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!