Menikah Tidak Semenyenangkan Itu

Karena masuk shift siang, aku baru pulang jam 9 malam.

Entah pulang naik apa aku malam ini. Aku nggak bisa naik sepeda. Aku nggak mungkin minta jemput Ayah karena masih marah dengan kejadian waktu itu.

"Eh Yas, aku lupa mau kasih sesuatu sama kamu!" ujar Venti ketika baru selesai menggembok pintu toko.

"Ini buat kamu!" Dia menyerahkan sebuah undangan untukku.

"Undangan? Siapa yang mau nikah?" Aku membuka undangan itu. "Kamu mau nikah Ven?!" seruku setelah membaca nama yang tertera di sana.

"Iya!" Venti tersenyum senang.

"Sama Niko?!"

Lagi-lagi Venti mengangguk.

"Bukannya kalian udah putus ya?"

"Udah balikan lagi kok! Dia malah ngelamar aku!"

"Ven, Niko kan pernah main tangan sama kamu! Kamu yakin mau nikah sama dia?!"

"Dia mau berubah kok katanya Yas! Aku percaya sama dia!"

"Ven, dia baru jadi pacar kamu aja udah berani main tangan. Apalagi kalau udah nikah nanti?!"

"Enggak kok Yas, aku yakin dia berubah!"

Aku hanya menghela nafas.

"Jadi kamu bener-bener yakin mau nikah?"

"Iya. Aku seneng banget tau nggak mau nikah! Kamu cepat nyusul ya!"

"Ven, menikah itu tidak semenyenangkan itu!"

"Tiyas, Tiyas. Kamu bilang gitu karena nggak pernah romantis-romantisan. Makanya, jangan jomblo mulu. Cepat cari pacar sana!"

Aku hanya memutar bola mataku mendengar ucapan Venti.

Tak lama kemudian, pacarnya Venti datang.

"Yas, aku duluan ya."

Aku membalas lambaian tangan Venti.

Tak berselang lama, Izam datang dengan sepeda motornya.

"Ngapain kamu ke sini?"

"Ya jemput kamu lah!" ucap Izam menyodorkan helm padaku. "Tadi Ibu kamu minta tolong buat jemput kamu, makanya aku ke sini."

"Yuk buruan naik, udah malam nih!"

Izam pun menancap gas setelah aku naik.

Di tengah perjalanan, aku melihat gerobak yang sedang menjual sempol.

Nggak! Mending uangnya aku buat sesuatu yang lebih penting!

Aku memalingkan wajahku ke arah kanan agar tak melihat sempol itu lagi.

Tapi tiba-tiba motor Izam berhenti.

"Kok berhenti?" tanyaku ketika Izam mematikan mesin motor.

"Mau beli sempol!"

"Oh, yaudah. Aku tunggu di motor aja ya."

"Loh, kamu nggak mau beli juga?"

Aku hanya menggeleng. Sementara Izam melenggang pergi ke gerobak yang menjual sempol.

Aku harus menghemat uangku. Karena Ibu pasti lebih lebih membutuhkannya untuk membeli bahan dapur.

Kami tak bisa mengandalkan uang dari Ayah. Karena Ayah kerja serabutan semenjak dipecat dari pabrik.

Tak lama, Izam kembali dengan membawa dua bungkus sempol.

"Ini buat kamu!" Izam menyodorkan sebungkus sempol padaku.

"Loh, kok dikasih ke aku?"

"Udah, ambil aja! Tadi Abangnya goreng kebanyakan!"

Di atas motor, aku menikmati sempol pemberian Izam

"Makasih ya Zam," ucapku sambil mengunyah.

"Kamu makan sempolnya?" tanya Izam sambil menoleh.

"Kalau nunggu sampai rumah, keburu dingin nanti!"

"Aku juga mau dong! Tapi aku nggak bisa makan karena lagi nyetir! Suapin ya!" Izam menyodorkan plastik sempol miliknya yang tadinya bertengger di depan.

Aku meraih sebungkus sempol itu dan mulai menyuapi Izam.

Sempol habis bersamaan kita sampai di rumah.

"Eh Yas, helmnya!" teriak Izam ketika aku hendak meninggalkannya.

"Oh iya, aku lupa!" Aku meraba helm yang masih nangkring di kepalaku

Aku pun kembali berbalik ke Hanan.

"Makanya, jangan suka makan pantat ayam!"

"Mitos itu!" sanggahku sambil berusaha melepas helm yang terasa macet.

"Itu nggak boleh dimakan, karena rasanya enak! Dan mau dimakan sendiri sama emak kita!" tambahku lagi.

"Lepas helm aja lama amat sih!" Izam mulai protes.

"Ini macet tauk!"

"Sini aku bantu!" Izam menjulurkan tangannya.

Tapi sepertinya dia juga kesulitan karena helm ini tak kunjung lepas.

"Ck. Makanya kalau helm rusak jangan dipakein ke orang!"

"Bawel banget sih! Sinian dikit!"

Aku mendekat ke Izam yang masih bertengger di atas sepedanya. Aku sedikit mendongak ketika Izam berusaha melepas helm.

Akhirnya helm terlepas juga.

"Besok masuk shift apa?" tanya Izam. "Malam lagi?"

Aku mengangguk.

"Besok aku jemput lagi. Jam sembilan kan?"

"Emang kamu nggak keberatan jemput aku? Aku nggak ada niatan buat ganti ongkos bensin kamu ya!"

"Siapa juga yang minta diganti?! Harusnya kamu tuh bersyukur punya tetangga yang baik kayak aku. Baik-baik lah sama aku. Jangan ngegas mulu kalau ngomong. Udah untung tadi nggak aku kempar di jembatan!"

Aku hanya mencebikkan mulut ke Izam.

"Masuk sana! Udah malem nih!"

"Yaudah, makasih ya Zam!"

Aku membuka pagar rumah.

Ekspresi riang yang tadi terpasang di wajahku langsung berubah ketika masuk ke dalam rumah.

Saat di luar aku memang memasang ekspresi ceria plus cerewet dan akan berubah ketika sudah ada di dalam rumah.

_________

Malam semakin larut, tapi mataku masih belum mau terpejam.

Tiba-tiba saja lampu mati. Kamar pun menjadi gelap. Membuat mataku tambah tidak mau terpejam. Aku tidak bisa tidur kalau gelap.

Triririring!

Izam menelfonku.

"Mau ngapain nih orang nelfon malem-malem?"

Baru juga aku mengangkat, Izam langsung mematikan sambungan telfon.

[ Ada apa Zam? ] kukirim pesan itu padanya.

[ Gabut! ]

Aku kembali mengetik balasan untuk Izam.

[ Punya tetangga gini amat ya? Emang kamu nggak ada temen lain buat ngobrol Zam? Aku mau tidur nih! ]

Tak berselang lama, Izam kembali menelfonku.

[ Emang kamu bisa tidur? Bukannya kalau gelap kamu nggak bisa tidur ya? ]

"Sok tahu kamu!"

[ Ya aku tahu lah! Dulu kan waktu kecil kamu sering nginap di rumah kalau Ayah dan Ibumu sedang keluar. Aku juga tahu kalau kamu ngorok tidurnya! ]

"Enak aja! Aku nggak ngorok ya!"

[ Di sini ada lilin. Kamu ke rumah aja, nanti aku kasih lilin supaya bisa tidur! ]

"Oke deh!"

Aku mematikan sambungan telfon dan kembali berbaring.

[ Zam, aku udah di luar nih! Buka jendela kamarmu! ]

Aku tersenyum membaca kebohongan pesan yang aku kukirim ke Izam yang langsung centang biru.

[ Cepet amat! Iya, ini aku buka jendelaku! ]

Aku terkekeh karena berhasil ngerjain Izam. Tak lama, pesan darinya kembali masuk.

[ Kamu dimana? Nggak keliatan ini, gelap! Kamu nggak bawa senter? ]

[ Kamu liat baju putih-putih nggak? ] kukirim pesan itu padanya.

[ Kamu pakek baju putih? ] tanya Izam.

[ Bukan! Kalau kamu lihat putih-putih, itu bukan aku. Tapi Mbak Kunti! Karena aku masih ada di kamar! Hahaha. ]

Tok tok tok

Aku mendengar suara jendela kacaku diketuk dari luar.

Jangan-jangan Mbak Kunti beneran lagi!

Aku langsung bersembunyi dibalik selimut.

"Buka Yas! Ini aku!" terdengar suara Izam dari balik jendela.

Waduh, hantunya nyamar jadi Izam lagi! Gimana nih?!

Kemudian telfon dari Izam kembali masuk. Aku segera mengangkatnya.

[ Buka jendelanya woy! Digigitin nyamuk ini aku! Aku bawain kamu lilin! ]

"Eh? Jadi yang ngetuk jendela aku beneran kamu Zam? Kirain Hantu tadi!"

Aku segera beranjak ke jendela dan membukanya. Munculnya Izam dengan senter dari hpnya.

Bersamaan dengan itu, lampu kembali menyala.

"Aish! Udah bela-belain bawain lilin kesini, malah nyala lampunya!" ucap Izam kesal.

Aku hanya terkekeh melihatnya.

"Udah ah, balik aja aku!"

Izam melompati pagar tanaman dan melompat masuk dari jendela kamarnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!