Mak Onah Meninggal

Tepat pukul 06.00 pagi, ada berita duka.

Mak Onah, tetangga kami meninggal dunia. Seorang wanita tua yang tidak punya keluarga.

Karena beliau sudah tidak mempunyai keluarga, Bulek Ratmi, Ibunya Izam membantu acara pemakaman.

Aku dan Ibuku juga turut serta membantu.

Ada juga beberapa kerabat Ibuku yang turut membantu karena masih satu desa dan rumahnya tak jauh dari sini.

Aku pun izin untuk tidak masuk kerja selama 1 hari.

Karena ini masih di desa, jadi ada adat untuk memberikan makanan untuk orang-orang yang tahlilan.

Semua biaya yang dibutuhkan ditanggung oleh keluarganya Izam. Acara tahlilan juga dilakukan di rumah Izam. Tidak ada yang keberatan karena rumah Mak Onah juga ada di sebelah rumah Izam.

Saat ingin menggoreng telur untuk lauk yang akan diberikan kepada orang tahlilan nanti, tiba-tiba saja gasnya habis.

"Bulek, gasnya habis," ucapku memberitahu Bulek Ratmi.

"Tenang, Bulek punya cadangan gas kok. Itu ada di sana." Bulek Ratmi menunjuk ke sudut.

"Sebentar ya, Bulek panggilkan Izam dulu untuk masang gasnya."

Saat ingin mencegah Bulek pergi, dia sudah berlalu terlebih dahulu.

Padahal aku mau bilang kalau aku bisa memasang gas sendiri.

Aku sudah terbiasa melakukan hal-hal seperti ini di rumah. Karena Ayahku tidak mungkin melakukan hal-hal yang berkaitan dengan dapur.

Aku juga bisa mengangkat galon sendiri. Bahkan, aku juga bisa membetulkan genteng yang bocor.

"Loh Yas, kamu bisa pasang gas sendiri?" tanya Bulek Ratmi yang sudah kembali bersama dengan Izam.

"Iya Bulek. Waktu aku mau memberitahu Bulek tadi, Bulek sudah keburu pergi."

"Ya sudah, kalau begitu Bulek tinggal dulu ya. Bulek mau mencuci beras, mau masak nasinya. Ini sudah jam empat sore. Tahlilannya dimulai setelah shalat magrib."

Aku hanya mengangguk dan mulai menyalakan kompor.

"Jangan terlalu mandiri."

Aku menoleh ke Izam yang berdiri di belakangku.

"Kenapa?" Aku mengernyit heran.

"Nanti kamu malah nggak butuh laki-laki lagi!"

Aku mengangkat satu alisku. "Memang itu tujuanku mandiri!"

"Apa?! Terus kalau kamu nikah nanti, suamimu bakal merasa tidak berguna kalau kamu tidak pernah minta tolong sama dia!"

"Sepertinya aku tidak ingin menikah Zam. Aku takut akan seperti--"

"Tidak semua laki-laki itu sama Yas!" potong Izam seolah tau apa yang ingin aku ucapkan.

Saat akan menjawab, Ibu masuk ke dapur membawa ayam mentah yang akan dimasak.

Aku melanjutkan menggoreng telur. Sementara Izam pergi keluar dari dapur.

_________

"Siapin berapa piring Yas?" tanya Mbak Nia, istri Kakak sepupuku ketika kami sedang mengelap piring bersama.

Mereka baju aja nikah. Jadi bisa dibilang kemanten baru lah.

"Kata Bulek Ratmi 50 piring Mbak."

Sebenarnya dia seumuran denganku. Tapi karena dia menikah dengan Kakak sepupuku, Ibu menyuruhku memanggilnya Kakak.

Dia juga datang membantu karena rumahnya juga dekat dari sini.

Sebenarnya ada Mbak Fitri juga, keponakan Bulek Ratmi. Tapi karena dia sudah punya anak, jadi dia tidak terlalu banyak membantu. Karena dia harus menggendong anaknya yang masih berumur 5 bulan.

Saat tahlilan selesai, sudah jadi tugasku dan Mbak Nia untuk mencuci piring.

Sementara Izam dan Bang Yanto, Kakak sepupuku, mereka membantu memasukkan piring kotor ke dapur.

Setelah selesai mencuci piring, aku mengelap beberapa piring untuk kami gunakan makan. Kami memang makan terakhir.

Sementara Mbak Nia duduk di kursi dapur yang tak jauh dariku.

Di dapur hanya ada aku dan Mbak Nia. Sementara Ibu dan Bulek Ratmi ada di ruang tamu. Masih mengobrol dengan tetangga yang belum pulang.

Sepertinya Mbak Nia kecapekan. Karena selain menyenderkan badannya, kepalanya juga ikut disenderkan.

Tak selang berapa lama, Bang Yanto datang menghampiri Mbak Nia.

"Capek ya?"

Mbak Nia tak menyahut. Kemudian tangan Bang Yanto mengusap kepala Mbak Nia pelan.

"Setelah ini kita pulang," ucap Bang Yanto sambil duduk di samping Mbak Nia.

Semua gerak-gerik kemanten anyar itu tak luput dari mataku.

Bahkan Bang Yanto merangkulkan tangannya di bahu Mbak Nia. Mbak Nia hanya miring ke kiri, membuat Bang Yanto mencium punggung Mbak Nia.

Apa-apaan mereka?! Mereka sadar nggak sih kalau di dapur ini juga ada aku?!

Tapi bukannya mengalihkan pandangan, mataku justru tetap melotot melihat mereka berdua.

Kok jadi pingin dimanja juga ya?

Seketika aku langsung menggelengkan kepalaku.

Apa yang aku pikirkan?! Stop Tiyas! Buang pikiran nggak jelas itu! Menikah tidak semenyenangkan itu!

"Pingin digituin juga ya!" bisik seseorang tiba-tiba.

Saat menoleh, tau-tau Izam udah ada di belakangku. Dan wajahnya terlalu dekat membuatku langsung menumpuknya dengan serbet.

"Aduh Tiyas!" Izam protes. "Basah tau serbetnya!"

"Biarin! Siapa suruh ngagetin!"

"Aku dari tadi udah manggil-manggil ya! Kamunya aja yang terlalu fokus liatin mereka berdua yang lagi bermesraan!"

"Enak aja! Aku nggak liatin mereka kok!" sanggahku.

"Ngaku aja deh! Baru tadi sore kamu bilang nggak mau nikah. Eh, sekarang malah kepengen dimanja!"

"Apaan sih?! Nggak ya!"

Izam menghela nafas panjang.

"Yas, nikah itu nggak semengerikan yang kamu bayangkan. Tuh liat mereka berdua. Emang kamu nggak mau mesra-mesraan kayak mereka?"

"Zam, menikah itu nggak cuma tentang uwu-uwuan! Kamu belum tau aja kalau beras habis, minyak habis, gas habis, token listrik habis, dan sabun cuci habis secara bersamaan. Belum lagi jika utang bertebaran dimana-mana. Kita lihat setelah itu, apakah masih ada kata-kata romantis yang keluar?!"

"Kamu aja belum nikah, gimana bisa tau?"

Karena aku udah ngalamin itu Zam!

Betapa susahnya membagi-bagi uang yang tidak seberapa. Untuk segala kebutuhan rumah dan harus dibagi lagi untuk mencicil hutang.

Percakapanku terhenti saat Ibu dan Bulek Ratmi masuk ke dapur. Kedatangan mereka pun juga menghentikan aksi romantis dua sejoli yang lupa daratan.

Ibu menyuruh kami makan bersama.

Kami pun ke ruang tamu karena nasi dan lauknya masih belum dimasukkan.

Kami duduk di lantai yang dialasi karpet.

Kami makan bersama di sana. Dan lagi-lagi, kemanten baru itu seolah dikasih lem Alteco. Mereka duduk secara berdekatan.

"Ehem!" Ibuku berdehem. "Pengantin baru lengket banget ya!" ucap Ibu menggoda Mbak Nia dan Bang Yanto.

Membuat mereka semua tertawa kecuali aku. Kalau aku sih sibuk mengunyah nasi.

Mencuci piring yang banyak tadi cukup menguras nasi yang sudah aku makan sore tadi.

"Kalau Tiyas kapan nih dicetak undangannya?" celetuk Bulek Ratmi.

"Jangan nungguin undangan dari Tiyas Bulek. Nggak akan ada yang begituan. Aku udah bisa semuanya. Pasang gas sendiri bisa, angkat galon bisa, cari duit juga bisa. Jadi ngapain lagi aku nikah? Kan udah bisa semuanya!"

"Uhuk uhuk uhuk!" Izam langsung terbatuk-batuk.

"Hus! Nggak boleh ngomong gitu Yas! Pamali!" ucap Bulek Ratmi.

Sementara Ibu hanya diam. Mungkin dia tahu alasan aku mengatakan itu.

Aku hanya tidak mau bernasib sama dengan Ibu. Gimana nanti kalau aku malah punya suami yang suka marah-marah dan main tangan kayak Ayah atau tukang selingkuh kayak Kakakku? Mending nggak usah nikah sekalian!

Suasana yang tadinya ceria langsung berubah drastis setelah ucapanku barusan.

"Ada yang nggak bisa kamu lakuin sendiri Yas!" celetuk Bang Yanto tiba-tiba.

"Apa Bang?"

"Bikin anak!" sahutnya disambut gelak tawa semua yang sedang di sini.

Sementara aku hanya mencebik. Aku tak menanggapi ucapannya. Karena takut mengubah suasana lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!