Kakak Selingkuh

Setelah merasa sedikit tenang aku menarik diriku. Cepat-cepat aku menghapus sisa-sisa air mata di pipi.

Bisa-bisanya aku menangis di depan orang ini. Bisa diejek selama satu bulan aku.

"Jangan menatapku seperti itu!" seruku. "Ingat, dalam hitungan ketiga, kau akan melupakan semuanya. Kau tidak akan ingat aku pernah menangis di depanmu!"

"Satu, dua, tiga!" Aku menjentikkan jariku di depan wajah Izam

Mantra yang sering kami ucapkan ketika kecil. Izam hanya terkekeh kecil.

"Aku pikir kamu kemana. Ibu nanyain kamu. Biasanya hari libur gini kamu kerumah," Izam berucap seolah tak terjadi apa-apa.

Itulah Izam. Dia tak pernah bertanya lebih jika aku tak bercerita. Dia akan bersikap seolah tak tahu apa-apa.

Rumah kami bersebelahan. Hanya terhalang pagar yang terbuat dari tanaman.

Kruyuuuk!

Perutku berbunyi secara tiba-tiba.

"Ke warung Mak Yem yuk! Kamu belum makan kan?"

Aku mengangguk kecil.

"Kamu pakai sandalku. Nanti tanah subur di desa ini jadi kering dan tandus lagi kalau diinjak kakimu secara langsung!"

"Yeee, emang aku apaan?!" Aku menoyor lengannya sedikit kesar.

"Aduh! Tangannya udah kumat lagi ya! Kayaknya suasana hatimu udah membaik nih!"

"Loh, kan mantranya udah kubaca! Harusnya kamu lupa dong!"

Izam kembali terkekeh. "Udah, pakai aja sandalku. Yuk kita ke warung. Aku juga lapar nih!" Dia berjalan lebih dulu, meninggalkan sandalnya yang masih belum kupakai.

"Eh, kamu aja yang pakai sandalnya! Kakimu lebih berbahaya untuk desa ini tahu!" teriakku.

"Kau salah! Aku membawa kedamaian di desa ini! Karena aku titisan dari langit!" Izam berhenti dan berbalik menoleh ke arahku.

"Buktinya, kau sekarang sudah tak sedih lagi setelah aku datang kan? Kau bahkan menangis untuk melegakan hatimu!"

"Izam! Sudah kubilang untuk melupakannya kan?!" Aku berlari mengejarnya sambil mengacungkan kedua sandal miliknya. Bersiap melayangkan sandal ini ke arahnya.

Izam berlari menghindariku.

Sudah kuduga ini akan terjadi. Dia pasti akan terus mengejekku selama sebulan.

_________

Kini kami duduk di warung Mak Yem. Menunggu nasi pecel pesanan kami.

Kenapa selalu nasi pecel? Ya karena aku suka.

Begitu nasi pecel sudah dihidangkan di depan mata, aku langsung menyendoknya.

"Aww! Sshh.." Aku meringis saat membuka mulut.

Sudut bibirku terasa perih saat terkena bumbu kacang nasi pecel. Sepertinya luka karena tamparan Ayah tadi.

"Kenapa Yas?" tanya Izam.

"Perih."

"Coba lihat," Izam menarik tanganku yang sedang menutupi mulutku karena terasa perih. Dia meraba sudut bibirku.

"Kalian kenapa nggak nikah aja sih?!"

"Bruhh!!"

"Izam!!" pekikku karena dia menyemburkan nasi pecel yang sedang dukunyahnya ke wajahku.

Izam segera minum karena tersedak. Sementara aku buru-buru mengelap wajahku.

"Kalian cocok tahu! Nikah ajalah!"

Aku menatap Mak Yem yang melontarkan kata-kata tidak masuk akal itu.

"Cocok dari mananya Mak Yem?!"

"Dari segala sudut lah!" ujar Mak Yem. "Lagian kalian itu udah deket dari kecil. Sampai besar pun tetep bareng. Kemana-mana selalu bareng. Kenapa nggak nikah aja? Kan enak, tetangga pula. Nggak habis biaya banyak tuh!"

"Justru karena itu Mak Yem, karena udah deket dari kecil, jadi aku udah tahu pait kecutnya Tiyas!" timpal Izam. "Siapa yang mau sam--"

"Heh! Dipikir aku mau sama kamu?! Aku juga nggak mau ya. Memangnya ada orang yang suka sama modelan kayak gini?!" potongku.

"Ada ya! Tuh buktinya!" Izam menunjuk dengan dagunya ke pegawai satu-satunya Mak Yem yang sedang bersembunyi dan menatap Izam secara diam-diam.

Membuat Ira langsung berlari ke belakang.

"Kayaknya dia perlu beli kacamata deh!" ujarku seraya menyuapkan nasi ke mulut.

"Mata kamu tuh yang bermasalah! Kamu kan nggak suka makan wortel!" timpal Izam.

"Yeee, enak aja! Kamu ingat-ingat deh. Siapa yang dulu suka nyontek catatan ketika Bu guru nyuruh nyatet materi di papan tulis hah?!"

"Tiyas!"

Perdebatan kami berhenti ketika aku mendengar suara Ibu. Ketika menoleh, aku menemukan Ibu sedang berdiri di ambang pintu warung.

"Kalau sudah makan, ayo kita pulang," ajaknya lembut.

Kalau Ibu sudah mencariku dan mengajakku pulang, pasti emosi Ayah sudah mereda.

Dan dapat dipastikan Ayah akan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Seolah-olah dia tak pernah menamparku. Itu yang sering terjadi. Tidak ada kata-kata maaf.

"Mari Bu, sini makan bareng," tawar Izam. Ibu tersenyum dan menolak secara halus.

Aku mempercepat makanku. Ketika ingin membayar, Izam mencegahku. Dia yang akan membayar nasiku.

"Makasih ya Zam. Makasih juga sandalnya." Aku melepas sandal Izam dan meletakkan di dekat kakinya.

"Aku pulang duluan ya," pamitku. Izam hanya mengangguk.

Saat sampai di rumah, aku melihat Ayah sedang duduk sambil menikmati kopinya.

Aku berlalu begitu saja dan masuk ke kamar.

Sesampainya di kamar, aku bercermin. Menatap rambut panjangku yang tadi dijambaknya.

Langsung kuambil gunting dan menggunting rambutku asal menjadi pendek di atas bahu.

Karena rambut panjang ini, Ayah jadi dengan mudahnya menjambakku.

Rambut yang kupotong berjatuhan di lantai. Dengan jatuhnya rambut-rambut itu, kepalaku menjadi sedikit ringan.

Tok tok tok!

Tiba-tiba ada yang mengetuk jendela kamarku. Saat aku buka, Izam berdiri di sana.

"Ya ampun Tiyas! Apa ini?! Kenapa rambutmu jadi pendek gini?!" ucapnya terkejut. "Perasaan tadi masih panjang. Potong rambut di mana kamu?! Jelek banget modelnya! Mana awut-awutan gini. Nggak sama panjangnya!"

"Aku potong sendiri."

"Apa?! Kenapa dipotong?!"

"Nggak papa. Biar lebih awet aja ke sampo."

"Ya ampun!! Perkara sampo doang kamu--"

"Kenapa jadi kamu yang nggak terima sih? Ini kan rambut aku!"

"Ya tapi kan aku le--" Izam tak melanjutkan ucapannya.

"Le- apa?"

"Ah, lupakan. Yang penting rapiin aja tuh yang panjangnya nggak sama. Biar nggak kayak orang gila! Oh iya, aku kesini mau ngasih ini!" Izam menyodorkan plester padaku.

Aku mengernyit. Tapi tetap aku menerima pemberiannya.

"Makasih ya."

"Iya, sama-sama. Aku pulang dulu."

Izam melompati pagar tanaman dan masuk ke kamarnya melalui jendela. Kamar kami memang sejajar letaknya.

Aku kembali bercermin dan merapikan potongan rambutku seperti yang diucapkan Izam tadi.

Saat Ibu bertanya tentang rambutku pun, aku memberikan alasan yang sama seperti yang kukatakan pada Izam tadi.

_________

Makan malam kami lakukan dengan keheningan. Ibu baru membuka percakapan ketika Ayah selesai makan dan berlalu ke depan TV.

"Yas, kapan kamu gajian?"

"Lusa Bu, kenapa?"

"Gimana kalau uangnya dikirim ke Kakakmu dulu. Kita tunda bayar hutangnya."

Nasi yang tinggal sesendok urung mendarat di mulut.

"Tadi Kakakmu telfon. Warungnya sepi. Sementara rumahnya sudah nunggak dua bulan. Kasian, di kota apa-apa serba mahal. Nggak kayak di sini."

Aku hanya mengangguk kecil.

Tadi aku sudah menelfon dan berbicara dengan Mbak Widya lagi. Tapi dia melarangku mengatakan semua itu pada Ayah dan Ibu.

Jika mengingat Kakak yang selingkuh, aku sebenarnya enggan membantu Kakak.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!