Semakin kesini, aku semakin takut dengan pernikahan.
Orang bilang menikah itu menyenangkan. Tapi menurutku, menikah itu menakutkan.
Dari aku kecil sampai sekarang, aku selalu dikelilingi dengan kegagalan pernikahan, KDRT, sampai perselingkuhan.
Jadi di bagian manakah hal yang menyenangkan itu?!
Waktu kecil aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri seorang suami memukul istrinya sendiri.
Dan pelakunya adalah Ayahku sendiri.
Ya. Aku melihat Ayahku memukul Ibu.
"Tiyas! Ayo makan!"
"Iya Bu!" sahutku dari dalam kamar.
Rutinitas setiap pagi yang tak boleh dilewatkan meskipun sedang libur kerja, adalah sarapan bersama.
Dengan malas aku berjalan ke meja makan. Tidak ada Ayah di sana.
Tak berapa lama, Ayah datang dan langsung duduk.
"Apa ini?! Kenapa mejanya kotor?!"
Ayah mengomentari nasi tiga butir yang jatuh ke meja.
Itulah Ayah. Dia selalu mengomentari suatu hal kecil dengan sangat berlebihan.
"Cuma nasi tiga biji doang kok Yah! Nggak usah marah!"
Ibu sedikit berdehem. Memberi kode padaku agar tak mengomentari ucapan Ayah.
Bukan apa, aku nggak suka Ayah terus-terusan memarahi Ibu cuma karena hal sepele.
"Ini lagi!!"
Tak tak!!
Bunyi gelas yang beradu dengan meja sangat keras akibat dari ulah Ayah.
"Kenapa gelasku masih belum diisi air hah?!!" Ayah menatap tajam Ibu.
"Sudah aku bilang! Jangan panggil aku kalau semua belum siap!!" teriak Ayah lagi.
"Udah sih Yah, nggak usah marah-marah! Ini masih pagi! Tinggal nuang sendiri airnya apa susahnya sih?!"
"Heeegh!!"
BRAKK!!
Ayah mengangkat meja lalu menghempasnya dengan keras. Tidak sampai membuat meja berbalik. Tapi cukup embuatku dan Ibu sangat terkejut.
Dadaku naik turun karena kaget dan kesal.
Sifat temperamennya itu selalu naik hanya karena hal sepele.
BRAK!!
Aku meniru apa yang barusan Ayah lakukan. Mengangkat meja dan menghempaskannya dengan keras ke lantai.
"Ayah pikir cuma Ayah yang bisa?! Aku juga bisa!!"
Ayah melotot geram padaku. Aku yang biasanya takut dengan mata itu, entah kenapa hari ini justru merasa marah mendapat tatapan itu.
Aku hanya tidak ingin Ibu menjadi sasaran Ayah sepagi ini.
"Berani kamu sekarang hah!!" Ia melotot padaku.
"Kalau Ayah begini terus setiap hari, kami juga muak Yah!! Capek!!"
"Ngelawan kamu ya!!"
"Aaargh!" Aku berteriak kala merasakan rambutku dijambak oleh Ayah.
"Ayah! Hentikan! Tolong lepasin Tiyas!" Ibu berusaha melepas tangan Ayah.
"Minggir!" dengan sekali dorong Ibu sudah terjatuh ke lantai.
"Lepasin Yah! Ayah selalu aja main tangan kalau marah! Ayah pikir aku takut?!" tantangku yang entah dapat keberanian dari mana.
Jelas saja itu membuat Ayah semakin berang.
"Sepertinya kamu harus dihajar satu kali biar jera!!" geramnya.
Dengan kuat aku menggigit tangan Ayah.
"Kurang ajar!!" Ayah meringis sakit.
Tapi dengan cepat dia kembali menjambakku dan melayangkan tangannya ke wajahku.
""STOPP!! UDAH, HENTIKAN!!" teriak Ibu sambil menangis. Membuat tangan Ayah mengantung di udara.
"Kenapa berhenti?! Tampar aja!! Aku udah nggak peduli!! Tampar aku Yah!!" teriakku padanya.
PLAKK!!
"Aakhh!!"
Kepalaku terasa berputar seiring teriakan Ibu. Rasa panas menjalar di pipiku. Tapi tak ada sedikitpun air mata yang keluar.
"PUNYA ANAK NGGAK BISA DIATUR!! BAN**AT!! ANAK SIA***NN!! ANAK T4I!! JAN**KK!" umpatnya.
BAK BUK! DUAKK!!
Ayah terus saja mengumpat sambil memukuliku.
"Uhuk uhuk uhuk!" Aku meringkuk di lantai karena Ayah juga menendangku.
"SUDAH!! STOPP!! HENTIKAN!!" Ibu histeris melihat keadaanku.
"Lepas!! Atau kau mau aku pukul juga hah?!!"
Dengan pandangan yang buram, aku melihat Ibu berusaha menahan Ayah yang ingin memukuliku lagi.
"LARI TIYAS!! LARI!!!" teriak Ibu.
Aku merangkak menjauh dari Ayah menuruti Ibu.
Dengan sekuat tenaga aku berdiri dan lari dari rumah.
"BA****T!! JANGAN LARI KAU!!" terdengar teriakan Ayah dari dalam rumah.
Kepalaku terasa pusing dan pipiku masih terasa panas akibat tamparan dari tangan keras Ayah.
Aku sempoyongan membuka pagar depan.
Dengan kepala yang masih terasa pusing, aku terus berlari menjauh dari rumah.
Aku terus berlari hingga ke perbatasan desa. Aku duduk di bawah jembatan beton penghubung ke desa sebelah. Menenggelamkan wajahku diantara lutut yang aku tekuk.
Aku baru menyadari jika aku dari tadi berlari tanpa memakai sandal. Ada beberapa kerikil kecil tajam yang menancap di sana. Tapi kubiarkan saja.
Tak ada air mata yang keluar.
Sejak dulu Ayah memang punya temperamen yang tinggi.
Tapi semakin menjadi saat kakak laki-lakiku yang merantau di kota memutuskan untuk membuka warung nasi goreng.
Ayah mengutang di sana sini untuk modal Kakak.
Semuanya baik-baik saja sampai akhirnya bunga hutang itu terus membesar dan Ayah harus kehilangan pekerjaannya.
Dan aku memutuskan untuk tidak kuliah dan memilih bekerja untuk membantu melunasi hutang itu.
Bahkan rumah juga terancam akan disita Bank jika beberapa bulan kami terus menunggak.
Warung Kakak juga tidak berjalan lancar. Lebih sering sepi pelanggan katanya. Membuat kami kelimpungan membayar hutang itu.
Jujur, sebenarnya aku capek. Banting tulang, tapi tak pernah menikmati hasilnya. Tapi aku terus bersabar demi Ibu.
Triririring!
Hp yang berada di dalam saku celanaku berdering. Nama Mbak Widya tertera di sana, Kakak iparku.
"Halo Mbak, ada apa?"
Terdengar isak tangis di seberang sana.
Aku langsung menegakkan tubuhku.
"Halo Mbak? Mbak kenapa nangis?!"
[ Mas Kusnan Yas.. ] Mbak Widya kembali menangis. [ Dia selingkuh. ] lanjutnya.
Hatiku langsung nyeri mendengar ucapannya yang mengatakan bahwa Kakak laki-lakiku selingkuh.
Kami di sini banting tulang untuk melunasi hutang yang dia buat. Tapi di sana dia malah selingkuh?!
[ Yas, kamu-- ]
Ucapan Mbak Widya terpotong. Aku menatap layar hpku yang hitam. Baterainya habis.
"Sial!"
Aku kembali menenggelamkan wajahku di antara kedua lutut.
Apa laki-laki seperti ini semua? Ayahku yang temperamen, dan kini Kakakku selingkuh. Aku jadi tambah takut untuk menikah.
_________
Entah sudah berapa lama aku di sini. Dari tadi aku tak berpindah posisi. Terus menyembunyikan wajahku di kedua lutut.
"Tiyas?!"
Aku mendongak mendengar namaku disebut.
Izam berdiri tak jauh dariku.
"Ya ampun Tiyas! Wajah kamu kenapa?!" Dia berlari menghampiriku.
Kedua tangannya menangkup pipiku. Tapi segera aku lepaskan.
"Jatuh tadi," ucapku berbohong.
Izam tahu aku berbohong. Tapi dia tak bertanya lagi. Dia malah menatap kakiku yang tak memakai sandal.
Dia juga menyingkirkan kerikil tadi dari kakiku.
"Ini, pakailah sandalku. Yuk kita pulang!" Dia mencopot sandalnya dan menaruhnya di depan kakiku.
Tak terasa air mata yang sedari tadi tidak keluar tiba-tiba menetes begitu saja. Aku terisak.
Tiba-tiba saja kepalaku ditariknya ke dalam dekapan. Izam menyembunyikan kepalaku di dadanya.
Tangisku semakin menjadi. Aku lelah, lelah dengan semua ini.
"Menangislah, itu akan membuatmu hatimu lega."
Tetangga sekaligus temanku sejak kecil ini mengelus kepalaku. Kami tumbuh bersama sejak kecil. Tentu dia tahu dengan tabiat Ayahku. Dia sudah seperti saudara bagiku.
Aku menumpahkan segala kesedihan yang selama ini kutahan.
Ini pertama kalinya aku menangis di depan seseorang.
Setelah merasa sedikit tenang aku menarik diriku. Cepat-cepat aku menghapus sisa-sisa air mata di pipi.
Bisa-bisanya aku menangis di depan orang ini. Bisa diejek selama satu bulan aku.
"Jangan menatapku seperti itu!" seruku. "Ingat, dalam hitungan ketiga, kau akan melupakan semuanya. Kau tidak akan ingat aku pernah menangis di depanmu!"
"Satu, dua, tiga!" Aku menjentikkan jariku di depan wajah Izam
Mantra yang sering kami ucapkan ketika kecil. Izam hanya terkekeh kecil.
"Aku pikir kamu kemana. Ibu nanyain kamu. Biasanya hari libur gini kamu kerumah," Izam berucap seolah tak terjadi apa-apa.
Itulah Izam. Dia tak pernah bertanya lebih jika aku tak bercerita. Dia akan bersikap seolah tak tahu apa-apa.
Rumah kami bersebelahan. Hanya terhalang pagar yang terbuat dari tanaman.
Kruyuuuk!
Perutku berbunyi secara tiba-tiba.
"Ke warung Mak Yem yuk! Kamu belum makan kan?"
Aku mengangguk kecil.
"Kamu pakai sandalku. Nanti tanah subur di desa ini jadi kering dan tandus lagi kalau diinjak kakimu secara langsung!"
"Yeee, emang aku apaan?!" Aku menoyor lengannya sedikit kesar.
"Aduh! Tangannya udah kumat lagi ya! Kayaknya suasana hatimu udah membaik nih!"
"Loh, kan mantranya udah kubaca! Harusnya kamu lupa dong!"
Izam kembali terkekeh. "Udah, pakai aja sandalku. Yuk kita ke warung. Aku juga lapar nih!" Dia berjalan lebih dulu, meninggalkan sandalnya yang masih belum kupakai.
"Eh, kamu aja yang pakai sandalnya! Kakimu lebih berbahaya untuk desa ini tahu!" teriakku.
"Kau salah! Aku membawa kedamaian di desa ini! Karena aku titisan dari langit!" Izam berhenti dan berbalik menoleh ke arahku.
"Buktinya, kau sekarang sudah tak sedih lagi setelah aku datang kan? Kau bahkan menangis untuk melegakan hatimu!"
"Izam! Sudah kubilang untuk melupakannya kan?!" Aku berlari mengejarnya sambil mengacungkan kedua sandal miliknya. Bersiap melayangkan sandal ini ke arahnya.
Izam berlari menghindariku.
Sudah kuduga ini akan terjadi. Dia pasti akan terus mengejekku selama sebulan.
_________
Kini kami duduk di warung Mak Yem. Menunggu nasi pecel pesanan kami.
Kenapa selalu nasi pecel? Ya karena aku suka.
Begitu nasi pecel sudah dihidangkan di depan mata, aku langsung menyendoknya.
"Aww! Sshh.." Aku meringis saat membuka mulut.
Sudut bibirku terasa perih saat terkena bumbu kacang nasi pecel. Sepertinya luka karena tamparan Ayah tadi.
"Kenapa Yas?" tanya Izam.
"Perih."
"Coba lihat," Izam menarik tanganku yang sedang menutupi mulutku karena terasa perih. Dia meraba sudut bibirku.
"Kalian kenapa nggak nikah aja sih?!"
"Bruhh!!"
"Izam!!" pekikku karena dia menyemburkan nasi pecel yang sedang dukunyahnya ke wajahku.
Izam segera minum karena tersedak. Sementara aku buru-buru mengelap wajahku.
"Kalian cocok tahu! Nikah ajalah!"
Aku menatap Mak Yem yang melontarkan kata-kata tidak masuk akal itu.
"Cocok dari mananya Mak Yem?!"
"Dari segala sudut lah!" ujar Mak Yem. "Lagian kalian itu udah deket dari kecil. Sampai besar pun tetep bareng. Kemana-mana selalu bareng. Kenapa nggak nikah aja? Kan enak, tetangga pula. Nggak habis biaya banyak tuh!"
"Justru karena itu Mak Yem, karena udah deket dari kecil, jadi aku udah tahu pait kecutnya Tiyas!" timpal Izam. "Siapa yang mau sam--"
"Heh! Dipikir aku mau sama kamu?! Aku juga nggak mau ya. Memangnya ada orang yang suka sama modelan kayak gini?!" potongku.
"Ada ya! Tuh buktinya!" Izam menunjuk dengan dagunya ke pegawai satu-satunya Mak Yem yang sedang bersembunyi dan menatap Izam secara diam-diam.
Membuat Ira langsung berlari ke belakang.
"Kayaknya dia perlu beli kacamata deh!" ujarku seraya menyuapkan nasi ke mulut.
"Mata kamu tuh yang bermasalah! Kamu kan nggak suka makan wortel!" timpal Izam.
"Yeee, enak aja! Kamu ingat-ingat deh. Siapa yang dulu suka nyontek catatan ketika Bu guru nyuruh nyatet materi di papan tulis hah?!"
"Tiyas!"
Perdebatan kami berhenti ketika aku mendengar suara Ibu. Ketika menoleh, aku menemukan Ibu sedang berdiri di ambang pintu warung.
"Kalau sudah makan, ayo kita pulang," ajaknya lembut.
Kalau Ibu sudah mencariku dan mengajakku pulang, pasti emosi Ayah sudah mereda.
Dan dapat dipastikan Ayah akan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Seolah-olah dia tak pernah menamparku. Itu yang sering terjadi. Tidak ada kata-kata maaf.
"Mari Bu, sini makan bareng," tawar Izam. Ibu tersenyum dan menolak secara halus.
Aku mempercepat makanku. Ketika ingin membayar, Izam mencegahku. Dia yang akan membayar nasiku.
"Makasih ya Zam. Makasih juga sandalnya." Aku melepas sandal Izam dan meletakkan di dekat kakinya.
"Aku pulang duluan ya," pamitku. Izam hanya mengangguk.
Saat sampai di rumah, aku melihat Ayah sedang duduk sambil menikmati kopinya.
Aku berlalu begitu saja dan masuk ke kamar.
Sesampainya di kamar, aku bercermin. Menatap rambut panjangku yang tadi dijambaknya.
Langsung kuambil gunting dan menggunting rambutku asal menjadi pendek di atas bahu.
Karena rambut panjang ini, Ayah jadi dengan mudahnya menjambakku.
Rambut yang kupotong berjatuhan di lantai. Dengan jatuhnya rambut-rambut itu, kepalaku menjadi sedikit ringan.
Tok tok tok!
Tiba-tiba ada yang mengetuk jendela kamarku. Saat aku buka, Izam berdiri di sana.
"Ya ampun Tiyas! Apa ini?! Kenapa rambutmu jadi pendek gini?!" ucapnya terkejut. "Perasaan tadi masih panjang. Potong rambut di mana kamu?! Jelek banget modelnya! Mana awut-awutan gini. Nggak sama panjangnya!"
"Aku potong sendiri."
"Apa?! Kenapa dipotong?!"
"Nggak papa. Biar lebih awet aja ke sampo."
"Ya ampun!! Perkara sampo doang kamu--"
"Kenapa jadi kamu yang nggak terima sih? Ini kan rambut aku!"
"Ya tapi kan aku le--" Izam tak melanjutkan ucapannya.
"Le- apa?"
"Ah, lupakan. Yang penting rapiin aja tuh yang panjangnya nggak sama. Biar nggak kayak orang gila! Oh iya, aku kesini mau ngasih ini!" Izam menyodorkan plester padaku.
Aku mengernyit. Tapi tetap aku menerima pemberiannya.
"Makasih ya."
"Iya, sama-sama. Aku pulang dulu."
Izam melompati pagar tanaman dan masuk ke kamarnya melalui jendela. Kamar kami memang sejajar letaknya.
Aku kembali bercermin dan merapikan potongan rambutku seperti yang diucapkan Izam tadi.
Saat Ibu bertanya tentang rambutku pun, aku memberikan alasan yang sama seperti yang kukatakan pada Izam tadi.
_________
Makan malam kami lakukan dengan keheningan. Ibu baru membuka percakapan ketika Ayah selesai makan dan berlalu ke depan TV.
"Yas, kapan kamu gajian?"
"Lusa Bu, kenapa?"
"Gimana kalau uangnya dikirim ke Kakakmu dulu. Kita tunda bayar hutangnya."
Nasi yang tinggal sesendok urung mendarat di mulut.
"Tadi Kakakmu telfon. Warungnya sepi. Sementara rumahnya sudah nunggak dua bulan. Kasian, di kota apa-apa serba mahal. Nggak kayak di sini."
Aku hanya mengangguk kecil.
Tadi aku sudah menelfon dan berbicara dengan Mbak Widya lagi. Tapi dia melarangku mengatakan semua itu pada Ayah dan Ibu.
Jika mengingat Kakak yang selingkuh, aku sebenarnya enggan membantu Kakak.
Karena masuk shift siang, aku baru pulang jam 9 malam.
Entah pulang naik apa aku malam ini. Aku nggak bisa naik sepeda. Aku nggak mungkin minta jemput Ayah karena masih marah dengan kejadian waktu itu.
"Eh Yas, aku lupa mau kasih sesuatu sama kamu!" ujar Venti ketika baru selesai menggembok pintu toko.
"Ini buat kamu!" Dia menyerahkan sebuah undangan untukku.
"Undangan? Siapa yang mau nikah?" Aku membuka undangan itu. "Kamu mau nikah Ven?!" seruku setelah membaca nama yang tertera di sana.
"Iya!" Venti tersenyum senang.
"Sama Niko?!"
Lagi-lagi Venti mengangguk.
"Bukannya kalian udah putus ya?"
"Udah balikan lagi kok! Dia malah ngelamar aku!"
"Ven, Niko kan pernah main tangan sama kamu! Kamu yakin mau nikah sama dia?!"
"Dia mau berubah kok katanya Yas! Aku percaya sama dia!"
"Ven, dia baru jadi pacar kamu aja udah berani main tangan. Apalagi kalau udah nikah nanti?!"
"Enggak kok Yas, aku yakin dia berubah!"
Aku hanya menghela nafas.
"Jadi kamu bener-bener yakin mau nikah?"
"Iya. Aku seneng banget tau nggak mau nikah! Kamu cepat nyusul ya!"
"Ven, menikah itu tidak semenyenangkan itu!"
"Tiyas, Tiyas. Kamu bilang gitu karena nggak pernah romantis-romantisan. Makanya, jangan jomblo mulu. Cepat cari pacar sana!"
Aku hanya memutar bola mataku mendengar ucapan Venti.
Tak lama kemudian, pacarnya Venti datang.
"Yas, aku duluan ya."
Aku membalas lambaian tangan Venti.
Tak berselang lama, Izam datang dengan sepeda motornya.
"Ngapain kamu ke sini?"
"Ya jemput kamu lah!" ucap Izam menyodorkan helm padaku. "Tadi Ibu kamu minta tolong buat jemput kamu, makanya aku ke sini."
"Yuk buruan naik, udah malam nih!"
Izam pun menancap gas setelah aku naik.
Di tengah perjalanan, aku melihat gerobak yang sedang menjual sempol.
Nggak! Mending uangnya aku buat sesuatu yang lebih penting!
Aku memalingkan wajahku ke arah kanan agar tak melihat sempol itu lagi.
Tapi tiba-tiba motor Izam berhenti.
"Kok berhenti?" tanyaku ketika Izam mematikan mesin motor.
"Mau beli sempol!"
"Oh, yaudah. Aku tunggu di motor aja ya."
"Loh, kamu nggak mau beli juga?"
Aku hanya menggeleng. Sementara Izam melenggang pergi ke gerobak yang menjual sempol.
Aku harus menghemat uangku. Karena Ibu pasti lebih lebih membutuhkannya untuk membeli bahan dapur.
Kami tak bisa mengandalkan uang dari Ayah. Karena Ayah kerja serabutan semenjak dipecat dari pabrik.
Tak lama, Izam kembali dengan membawa dua bungkus sempol.
"Ini buat kamu!" Izam menyodorkan sebungkus sempol padaku.
"Loh, kok dikasih ke aku?"
"Udah, ambil aja! Tadi Abangnya goreng kebanyakan!"
Di atas motor, aku menikmati sempol pemberian Izam
"Makasih ya Zam," ucapku sambil mengunyah.
"Kamu makan sempolnya?" tanya Izam sambil menoleh.
"Kalau nunggu sampai rumah, keburu dingin nanti!"
"Aku juga mau dong! Tapi aku nggak bisa makan karena lagi nyetir! Suapin ya!" Izam menyodorkan plastik sempol miliknya yang tadinya bertengger di depan.
Aku meraih sebungkus sempol itu dan mulai menyuapi Izam.
Sempol habis bersamaan kita sampai di rumah.
"Eh Yas, helmnya!" teriak Izam ketika aku hendak meninggalkannya.
"Oh iya, aku lupa!" Aku meraba helm yang masih nangkring di kepalaku
Aku pun kembali berbalik ke Hanan.
"Makanya, jangan suka makan pantat ayam!"
"Mitos itu!" sanggahku sambil berusaha melepas helm yang terasa macet.
"Itu nggak boleh dimakan, karena rasanya enak! Dan mau dimakan sendiri sama emak kita!" tambahku lagi.
"Lepas helm aja lama amat sih!" Izam mulai protes.
"Ini macet tauk!"
"Sini aku bantu!" Izam menjulurkan tangannya.
Tapi sepertinya dia juga kesulitan karena helm ini tak kunjung lepas.
"Ck. Makanya kalau helm rusak jangan dipakein ke orang!"
"Bawel banget sih! Sinian dikit!"
Aku mendekat ke Izam yang masih bertengger di atas sepedanya. Aku sedikit mendongak ketika Izam berusaha melepas helm.
Akhirnya helm terlepas juga.
"Besok masuk shift apa?" tanya Izam. "Malam lagi?"
Aku mengangguk.
"Besok aku jemput lagi. Jam sembilan kan?"
"Emang kamu nggak keberatan jemput aku? Aku nggak ada niatan buat ganti ongkos bensin kamu ya!"
"Siapa juga yang minta diganti?! Harusnya kamu tuh bersyukur punya tetangga yang baik kayak aku. Baik-baik lah sama aku. Jangan ngegas mulu kalau ngomong. Udah untung tadi nggak aku kempar di jembatan!"
Aku hanya mencebikkan mulut ke Izam.
"Masuk sana! Udah malem nih!"
"Yaudah, makasih ya Zam!"
Aku membuka pagar rumah.
Ekspresi riang yang tadi terpasang di wajahku langsung berubah ketika masuk ke dalam rumah.
Saat di luar aku memang memasang ekspresi ceria plus cerewet dan akan berubah ketika sudah ada di dalam rumah.
_________
Malam semakin larut, tapi mataku masih belum mau terpejam.
Tiba-tiba saja lampu mati. Kamar pun menjadi gelap. Membuat mataku tambah tidak mau terpejam. Aku tidak bisa tidur kalau gelap.
Triririring!
Izam menelfonku.
"Mau ngapain nih orang nelfon malem-malem?"
Baru juga aku mengangkat, Izam langsung mematikan sambungan telfon.
[ Ada apa Zam? ] kukirim pesan itu padanya.
[ Gabut! ]
Aku kembali mengetik balasan untuk Izam.
[ Punya tetangga gini amat ya? Emang kamu nggak ada temen lain buat ngobrol Zam? Aku mau tidur nih! ]
Tak berselang lama, Izam kembali menelfonku.
[ Emang kamu bisa tidur? Bukannya kalau gelap kamu nggak bisa tidur ya? ]
"Sok tahu kamu!"
[ Ya aku tahu lah! Dulu kan waktu kecil kamu sering nginap di rumah kalau Ayah dan Ibumu sedang keluar. Aku juga tahu kalau kamu ngorok tidurnya! ]
"Enak aja! Aku nggak ngorok ya!"
[ Di sini ada lilin. Kamu ke rumah aja, nanti aku kasih lilin supaya bisa tidur! ]
"Oke deh!"
Aku mematikan sambungan telfon dan kembali berbaring.
[ Zam, aku udah di luar nih! Buka jendela kamarmu! ]
Aku tersenyum membaca kebohongan pesan yang aku kukirim ke Izam yang langsung centang biru.
[ Cepet amat! Iya, ini aku buka jendelaku! ]
Aku terkekeh karena berhasil ngerjain Izam. Tak lama, pesan darinya kembali masuk.
[ Kamu dimana? Nggak keliatan ini, gelap! Kamu nggak bawa senter? ]
[ Kamu liat baju putih-putih nggak? ] kukirim pesan itu padanya.
[ Kamu pakek baju putih? ] tanya Izam.
[ Bukan! Kalau kamu lihat putih-putih, itu bukan aku. Tapi Mbak Kunti! Karena aku masih ada di kamar! Hahaha. ]
Tok tok tok
Aku mendengar suara jendela kacaku diketuk dari luar.
Jangan-jangan Mbak Kunti beneran lagi!
Aku langsung bersembunyi dibalik selimut.
"Buka Yas! Ini aku!" terdengar suara Izam dari balik jendela.
Waduh, hantunya nyamar jadi Izam lagi! Gimana nih?!
Kemudian telfon dari Izam kembali masuk. Aku segera mengangkatnya.
[ Buka jendelanya woy! Digigitin nyamuk ini aku! Aku bawain kamu lilin! ]
"Eh? Jadi yang ngetuk jendela aku beneran kamu Zam? Kirain Hantu tadi!"
Aku segera beranjak ke jendela dan membukanya. Munculnya Izam dengan senter dari hpnya.
Bersamaan dengan itu, lampu kembali menyala.
"Aish! Udah bela-belain bawain lilin kesini, malah nyala lampunya!" ucap Izam kesal.
Aku hanya terkekeh melihatnya.
"Udah ah, balik aja aku!"
Izam melompati pagar tanaman dan melompat masuk dari jendela kamarnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!