Kamulah Takdirku
Bian membuka helm yang menutupi kepalanya di tempat parkir khusus siswa. Baru pukul enam pagi, tapi pria itu sudah berada di sekolahnya. Menjabat sebagai ketua OSIS membuatnya harus standby di awal waktu di sekolah.
Khanza yang baru turun dari mobilnya sedikit terkejut saat melihat Bian yang sedang mengibas-ngibas rambutnya. Ia meraba dadanya yang tiba-tiba berdebar melihat penampakan makhluk tampan yang masih duduk di atas motor beberapa meter di depannya.
"Assalamu'alaikum, Kak Bian." Sapanya ramah.
Bian yang terkejut langsung menoleh ke belakang. "Wa'alaikumsalam, Khanza ... udah datang juga?"
"Mm... iya, Kak. Soalnya ada tugas yang belum aku selesaikan. Mari Kak Bian, aku masuk duluan." Khanza membungkukkan sedikit badannya ke arah Bian. Hal itu membuat Bian mengangguk. Tak terasa bibirnya mengulas senyum sambil menatap kepergian gadis itu. Khanza selalu mengucapkan salam duluan saat mereka bertemu. Tapi, sejauh ini Bian belum tertarik pada gadis itu..
Khanza melirik ke arah Bian yang sedang tersenyum ke arahnya. "Huh, benar-benar deh, tatapan Kak Bian membuatku dag dig dug." Ucapnya sambil meraba-raba dadanya yang terasa berdetak lebih kencang. Khanza sering berjumpa dengan Bian parkiran siswa karena kebetulan mereka selalu datang paling pagi.
Khanza terkejut saat Amara dan Ameena tiba-tiba sudah berada di sampingnya. "Za, gue lihat lho sering tersenyum saat lho berpapasan dengan Kak Bian. Sepertinya, setiap pagi kalian selalu bertemu di parkiran." Ameena menyenggol lengan Khanza.
"Apaan sih, Na. Mana ada kayak gitu.." Khanza mencoba mengelak. "Aku dan Kak Bian bertemu karena kebetulan kami datangnya selalu barengan."
"Ya elah, kayak orang yang nggak berharap aja lu.." Amara ikut nimbrung. Tangannya menoyor kepala Khanza dari belakang.
"Amara ... please deh, lu ini sering nggak sopan sama gw.." Khanza memanyunkan bibirnya kesal. Temannya yang satu ini selalu bersikap semaunya.
"Lu kan tau si Amara ini cewek bar-bar, Za."
"Apaan sih lu, Na? Pakai bilang gue cewek bar-bar segala." Amara melirik kesal Ameena.
"Udah ah, kenapa malah debat sih. Kita ke kelas sekarang. Ada tugas untuk praktek nanti siang yang harus segera di selesaikan." Khanza menarik tangan kedua sahabatnya.
"Selalu mengalah membuatku selalu kagum padamu, Khanza. Walaupun lho yang dizalimi sama gue." Amara tertawa lepas dan pasrah saja ditarik Khanza. Hal itu membuat Khanza dan Ameena hanya menggeleng-geleng lemah seraya menghela nafas berat.
"Guys, kalian masuk duluan ya, gue mau sarapan dulu di Kafe." Amara melepaskan genggaman tangan Khanza saat mereka sudah sampai di pertigaan yang akan menentukan tujuan mereka.
"Lu kenapa nggak pernah sarapan di rumah sih, Mara?!" Ameena berkata kesal sambil menangkap tas yang dilempar Amara.
"Gue nggak punya Nyak kayak lu berdua. Kalau mau sesuatu harus mempersiapkan semuanya sendirian." Amara langsung berlalu setelah menyelesaikan kalimatnya.
"Za, lho nggak kasihan sama si Amara. Nggak punya nyokap pasti sangat tidak enak rasanya." Ameena kembali membuka percakapan setelah Amara hilang dari pandangan.
Khanza menatap Ameena. "Kasihan sih, tapi mau bagaimana lagi. Itu kan sudah takdir yang digariskan Allah untuknya. Lagian dia kan punya ibu tiri. Tapi ... nggak taulah, Na. Kamu sendiri kan tau, Amara itu orangnya gimana. Nggak serek kayaknya dia dengan si ibu tiri."
Ameena hanya mengangkat bahu. Ia meletakkan tas Amara di atas mejanya. Sedangkan Khanza memilih duduk dan mulai mengerjakan tugasnya yang belum selesai.
Sementara itu, Amara bergegas menuju Kafe yang baru saja dibuka. Ia duduk dengan tergesa sambil mengikat rambutnya asal. "Bu, satu porsi seperti biasa ya..." pintanya tanpa menatap lawan bicara.
"Kenapa tidak mengikat rambut dari rumah, biar tidak sibuk saat mau makan."
Amara menoleh menatap pria yang berucap di sebelahnya. Laki-laki itu tidak menatapnya, tetapi ucapannya membuat Amara terusik. Amara ingin menimpali ucapan pria itu, tetapi ia urungkan saat mengetahui kalau laki-laki itu adalah Bian. "Eh, Kak Bian. Maaf kalau gerakanku membuat Kak Bian terganggu."
Bian tersenyum kecil. "Bukan begitu maksudku. Tapi, kamu terlihat tergesa. Tergesa itu tidak baik. Lakukan semua pekerjaan dengan tenang agar hasil yang didapatkan memuaskan." Bian menarik nafas panjang. "Maaf kalau ucapanku mengganggumu. Aku akan pindah biar kamu bisa sarapan dengan tenang."
"Mm..." Amara menggaruk-garuk kepalanya bingung. Sebenarnya, dia bingung mau menimpali dengan apa ucapan Bian itu. Amara yang selalu bisa menimpali ucapan orang lain, tiba-tiba saja suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Dia hanya bisa menatap punggung Bian yang memilih tempat duduk dengan posisi membelakanginya.
__________
Sejak kejadian di Kafe itu, Amara akan berubah menjadi wanita pendiam jika sudah berada di hadapan Bian. Beberapa kali mngikuti rapat OSIS, dia hanya memperhatikan Bian jika pria itu sedang memberikan arahan. Sejak saat itu juga, dia mengakui kalau dirinya fans berat seorang Bian Putra Arianto.
Siang itu...
"Khanza, gw boleh numpang pulang nggak?"
"Hah..?" Khanza yang terkejut menatap Amara dengan tatapan aneh. "Tumben banget kamu minta izin. Biasanya kamu akan langsung masuk dan minta diantar pulang."
"Sssttt..." Amara langsung membekap mulut Khanza dan mendorongnya masuk ke dalam mobil. "Lho ini nggak bisa diajak kompromi deh.." melepaskan bekapan tangannya setelah mereka masuk.
"Maksud kamu apa, aku nggak ngerti. Memang biasanya kamu nggak pernah izin kan?" Khanza mengusap-usap mulutnya karena terasa agak aneh setelah dibekap Amara tadi.
"Heh, lho ini kok nggak paham-paham sih. Tadi itu gue sengaja bilang gitu. Gue mau melihat reaksi Kak Bian pas mendengar gue nggak ada teman pulang."
Sepersekian detik Khanza melongo mencoba mencerna ucapan Amara. "Kamu bilang, kamu mau cari perhatian Kak Bian?" Khanza tertawa kecil.
"Mm ... kenapa emangnya?" Amara melirik Khanza dengan kesal. Hidungnya pun sampai kembang kempis karena tidak rela melihat Khanza menertawakan kebodohannya.
"Hahaha ... mimpi kamu ketinggian, Mara. Mau sampai jungkir balik pun, kamu cari perhatian kayak tadi, Kak Bian tidak akan merespon. Dia itu kayak gimana gitu sama wanita. Kak Bian itu kaku orangnya. Dia memang sih, nggak pernah cuek sama kita. Tapi pernah nggak, kamu dengar dia punya gebetan atau deket dengan wanita selama ini?" Khanza menjelaskan berapi-api. Tatapan matanya menatap ke arah Bian yang akan bersiap meninggalkan parkiran siswa. "Dia itu tidak mau mengenal wanita sampai saat ini, Mara." Khanza hanya melirik Amara lalu kembali menatap ke arah Bian. Bagaimanapun juga, dia sudah berusaha untuk dekat dengan laki-laki yang menjabat sebagai ketua OSIS mereka itu. Tapi, sampai sejauh ini Khanza belum mendapatkan respon dari Bian. Bian memang selalu tersenyum saat dia menyapanya. Tapi, Bian jarang sekali menyapanya duluan. Kalau dia mengirim pesan pun, Bian hanya membalas seperlunya saja.
"Za, ikutin aja motornya Kak Bian." Ucapan Amara membuyarkan lamunan Khanza.
"Eh, ngapain?" Khanza jadi panik saat Amara memutar kunci mobilnya.
"Ikutin aja, Za. Gue ingin tau, Kak Bian itu anak orang kaya atau tidak. Soalnya selama ini Kak Bian nggak pernah bawa mobil kayak yang lain."
"Kamu udah gila ya, Mara. Aku nggak mau, ah." Khanza mematikan kembali mobilnya.
"Ayolah, Za. Gue mohon sama lho, bantu gue untuk kali ini saja. Nanti kalau Papa gue udah nggak pelit lagi dan ngizinin gue bawa kendaraan sendiri, gue nggak akan ngerepotin lho lagi." Amara mengusap-usap lengan Khanza untuk membujuk gadis itu.
Khanza memutar bola matanya seraya melirik Amara. Hampir dua tahun mereka sekolah bersama, tidak pernah sekalipun ia melihat papanya Amara tersenyum. Bahkan, kumis yang dibiarkan tumbuh membuatnya terkesan seperti penjahat sangar. "Kayaknya kamu mimpi deh, bisa bawa kendaraan sendiri. Bukankah papa kamu orangnya sangat tidak perduli, Mara? Aku aja takut melihat kumisnya . Sebenarnya sih, penampilan seseorang tidak bisa dijadikan ukuran. Tapi ... iya.. selama ini yang aku tau papa kamu itu lempeng sama kamu." Khanza memejamkan matanya sambil menggeleng-geleng.
Senyuman dan tatapan harapan yang ditujukan Amara seketika memudar ketika mendengar ucapan Khanza. "Jangan diperjelas, Za.." ucapnya lemah seraya menunduk.
*******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
hanum hanania
mampir ceritanya bian kyaknya bkal seru...semangat trus kk 💪💪
2022-11-10
0