Bian membuka jaketnya setelah memarkirkan kendaraannya di parkiran siswa. Ia melihat pantulan wajahnya di kaca spion mobilnya. Takutnya ada sesuatu yang mengusik ketampanannya dan membuatnya terlihat tidak sempurna.
Beberapa siswa yang sudah hadir melihat ke arah dua pria yang baru turun dari mobil itu. Bahkan banyak dari siswi yang tertegun melihat seorang Bian keluar dari mobil. Bian yang biasanya membawa motor Honda V**** versi lama, kini datang ke sekolah dengan mobil BMW I8 C****. Mobil itu adalah hadiah ulang tahunnya dari sang kakek saat usianya tepat tujuh belas tahun kemarin.
Bisik-bisik mulai terdengar karena semakin banyak siswa yang berkerumun melihat mobil ketua OSIS mereka. Bian mendesah karena tidak menyukai situasi itu. Dia paling benci melihat wanita berkerumun. Apalagi itu karena mereka mengagumi seorang pria.
"Nik, buruan ... kenapa malah diam disana?" Bian melirik kesal ke arah Niko yang masih berdiri bersandar di mobilnya.
"Eh, sekali-kali jadi pusat perhatian, itu menyenangkan, Bi." Niko berjalan santai mendekati Bian.
"But, I don't like it.." Bian melengos seraya berlalu meninggalkan Niko yang tertawa melihat kekesalannya.
"Gila, Bi. Sepertinya mobil lho itu mobil mahal deh. Lihat ekspresi para cewek tadi. Fans lho akan bertambah pesat kalau kayak gini." Niko terus berjalan mengikuti Bian yang berjalan cepat tanpa berniat menimpali ucapannya. Dia juga kagum melihat mobil itu. Ini adalah pertama kalinya Bian membawa mobil keren itu. Dia hanya beberapa kali membawa mobil ibunya dulu.
"Aku nggak butuh yang begituan, Nik. Lagian, aku juga nggak tau berapa harga mobil itu. Itu hanya hadiah ulang tahunku dari Kakek."
"What ...?!" Niko menganga lebar. "Ulang tahun aja lho dapat hadiah sekeren ini, Bi. Mm.. bagaimana kalau lho menikah nanti?"
"Dasar lu ..." Bian meletakkan tasnya di atas meja karena mereka sudah sampai di kelas. "Perjalanan masih panjang, Nik. Belum aja lulus SMA, lho udah memikirkan pernikahan."
"Hehehe... bercanda, Bi."
"Kita ke Kantin, yuk..." Bian mengeluarkan dompet dari dalam tasnya. Memasukkan ke dalam saku belakang celananya.
"Apa sebenarnya lho ini keturunan Sultan, Bi?" Niko menatap Bian dalam. Pertanyaan konyol itu tiba-tiba saja terlontar dari mulutnya.
Bian menghentikan langkahnya seraya berbalik menatap Niko. "Aku hanya anak manusia, Niko. Sama seperti kamu. Kita dilahirkan oleh wanita perkasa. Keturunan Sultan apaan? Makanan aja sama kayak kamu." Bian melengos seraya berlalu meninggalkan Niko. Niko tersenyum getir seraya berjalan cepat mengikuti Bian. Jika tidak mengikuti Bian, maka pria itu tidak akan mentraktirnya pagi ini. Makan barang gratisan dari Bian adalah hal yang hampir tidak pernah ia tinggalkan.
Niko mendengus saat melihat Amara yang tergesa menuju Kantin. "Cewek udik itu selalu aja seperti itu. Kucel ..."
"Jangan menilai orang dari luar saja, Nik. Oh iya, kamu mau ikut jalan-jalan nggak, nanti siang?"
"Jalan-jalan kemana?"
"Bilang, mau ikut atau tidak. Jangan bertanya mau kemana." Bian berkata dengan ekspresi datar. Ia menoleh saat melihat Khanza dan satu temannya yang lain ikut masuk ke Kantin mengikuti Amara.
Bian mendengar Amara memesan sesuatu. Tapi, ia sengaja duduk di bangku yang agak jauh dari ketiga gadis itu. Rasa penasarannya pada gadis itu semakin menjadi-jadi.
"Gila, Mara. Mak lampir itu menyiksa lu sampai kayak gini. Kalau gw pasti akan melaporkan dia ke polisi." Ameena berkata dengan berapi-api. " Bekas kukunya sampai nancap gini." Menyingkap rambut Amara yang menutupi luka di pipinya.
"Pakai plaster aja untuk menutupinya. Nanti gw temani lu memeriksanya." Khanza menatap temannya dengan prihatin. "Lu pasti menimpali omongannya ya, makanya sampai kayak gini."
Bian pindah tempat duduk agar bisa mendengar dengan lebih leluasa. Ketiga gadis itu tidak memperdulikan keberadaannya karena terlalu fokus pada Amara.
"Gw kan pulang telat kemarin. Pas gw pulang, Tante gw langsung menjewer telinga gw. Terus, dia nggak mau mendengar penjelasan gw sama sekali. Untung aja papa cepat pulang. Kalau telat sebentar saja, mungkin gw udah nggak sadarkan diri karena di siram air es oleh Tante."
Ameena melengos kesal. "Dapat dimana coba, papa lu wanita sekejam itu?"
"Udah ah, nggak usah bahas itu lagi. Aku mau menikmati sarapan dulu. Laparnya di tahan dari tadi malam. Muka gw kaku semalam gara-gara luka ini. Terus pas ke dapur, tidak ada makanan yang bisa dimakan untuk mengganjal perut. Za, gw pinjem uang lu hari ini ya. Besok gw ganti kalau papa sudah nggak marah lagi sama gw."
"Tidak usah diganti juga nggak apa-apa. Gw bayarin makanan lu patungan dengan Khanza. Lu makan aja yang kenyang biar ada tenaga untuk belajar nanti."
"Makasih ya, kalian berdua memang sahabat terbaik."
Bian menelan ludahnya mendengar cerita Amara. Ia memejamkan matanya menahan rasa kesal yang tiba-tiba memenuhi pikirannya. Kejadian yang sempat ia lihat kemarin kembali terngiang dalam ingatannya. Niko hanya menatapnya dengan tatapan bingung. Ia juga sedang menikmati setangkup roti tawar. Tetapi, roti itu sulit ia telan karena melihat ekspresi Bian yang berubah.
Tiba-tiba Bian bangkit dan langsung menuju kasir. "Bi, saya mau bayar makanan yang dimakan tiga gadis itu." Tangannya menunjuk asal ke arah Khanza, Amara dan Ameena. "Ditambah dengan teh hangat yang saya pesan tadi dan tiga tangkup roti tawar milik Niko." Bian menyerahkan selembar uang seratus ribuan pada Ibu Kantin. "Cukup atau masih kurang, Bi?"
"Cukup, Nak Bian. Ini malah susuknya masih banyak." Bu Kantin menyerahkan susuk untuk Bian.
"Bibi berikan saja yang lima puluh ribu itu untuk Amara ya. Jangan bilang kalau itu dari saya. Sisanya buat Bibi saja." Bian langsung berlalu. Ibu Kantin tersenyum sumringah. Bian selalu baik pada teman-temannya, itu yang membuatnya kagum pada pria itu.
Ibu Kantin mendekati Amara setelah Bian pergi. Ia memasukkan uang pemberian Bian ke saku baju Amara dan membisikkan sesuatu di telinga gadis itu.
"Waaahh ... Alhamdulillah, terimakasih, Bi. Mudah-mudahan malaikat itu selalu dilancarkan rizkinya. Ahahaha..." Amara menutup mulutnya. Ia sampai tidak bisa berkata-kata lagi saking senangnya.
"Ada apa, Mara?" Khanza dan Ameena bertanya serentak.
"Hahaha ... ada Malaikat yang berbaik hati membayarkan makanan kita." Amara menyuapkan satu sendok besar nasi ke dalam mulutnya."
Khanza dan Ameena saling tatap karena bingung. Mereka saling mengangkat bahu. Khanza kembali menatap Amara yang masih terlihat sangat bahagia dengan Rizki nomplok itu. Ia mengedarkan pandangannya untuk mencari seseorang yang mungkin melakukan hal itu. Tapi, tidak ada orang yang dimaksud hatinya di tempat itu.
********
"Kita mau kemana, Bi?" Niko terus mengekor di belakang Bian.
"Kamu pulang aja, Nik. Aku mau ke rumah Kakakku sebentar."
"Tadi pagi lho bilang mau mengajak gue mendatangi tempat yang gue tidak boleh menanyakan tempat apa itu."
"Diam!" Bian menyerahkan uang sepuluh ribu pada Niko. "Pakai uang itu untuk membayar ojol. Kamu nggak usah ikut aku kali ini."
"Ya elah jahat bener lu. Masa kasih gue ongkos cuman segini. Ini mah pas-pasan, Bi. Mana cukup untuk beli rokok satu batang nanti."
"Aku kan memang bilang untuk ongkos ojol, Nik. Aku nggak bilang mau kasih kamu uang jajan. Makanya jangan sok-sokan belajar merokok kalau untuk ongkos ojek aja kamu nggak punya uang. Udah pergi sana..!" Bian segera masuk ke dalam mobilnya karena melihat Khanza dan Amara sudah masuk ke dalam mobil. Bian sudah membulatkan tekadnya untuk mengikuti Khanza dan Amara.
Tapi ...
Di tengah perjalanan, mobil Bian dihentikan oleh sekelompok penjaga suruhan kakeknya.
"Ck ... ngapain sih mereka." Bian membuang nafas kasar. "Astagfirullah ..." mengusap wajahnya kasar seraya menggigit bibir bawahnya. Terpaksa membuka kaca mobil karena terus di gedor oleh pria bertubuh tegap yang selalu mengikutinya kemanapun dia pergi.
"Tuan Muda mau kemana?" Pria bertubuh tegap yang ternyata bernama Anton itu langsung melontarkan pertanyaan begitu Bian membuka kaca mobilnya.
"Pak Anton kayak nggak ada kerjaan aja ngikutin aku terus."
"Kerjaan saya memang menjaga Tuan. Arah kendaraan Tuan berlawanan arah dengan ruang Tuan. Itulah mengapa saya menghentikan kendaraan Tuan. Maaf membuat Tuan tidak nyaman."
"Saya cuma mau ke rumah teman, Pak Anton."
"Lebih baik Tuan pulang terlebih dahulu untuk minta izin pada Bu Santi."
"Saya udah minta izin lewat pesan, Pak."
"Tuan tidak membawa handphone. Lokasi handphone Tuan saat ini adalah rumah Tuan sendiri."
Bian berdecak kesal. Gagal sudah rencannya untuk bisa mengikuti Amara dan Khanza. Dia hampir lupa, kalau dirinya bukanlah seperti orang lain yang bisa berpergian semaunya.
*******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Sadiah
sultan beda bian, kasian sama amara mudah²Ann penderitaan nya cepet berakhir..
2022-11-23
0