"Terimakasih, Kak. Nggak mau mampir dulu.." Amara sedikit membungkuk di samping mobil Bian.
"Tidak, insya Allah lain kali kami aka..." ucapan Bian terhenti saat tiba-tiba seorang wanita menjewer telinga Amara dari belakang.
"Aduh, Tante apa-apaan sih?!" Amara berontak berusaha melepaskan telinganya.
"Dasar anak tidak tau diuntung. Kamu kelayapan kemana aja, hah?! Udah untung kami mau mengasuh kamu. Mau kamu diantar ke ibu kandung kamu, hah?!" Wanita yang dipanggil tante oleh Amara menyeret Amara dengan tangan masih menempel di telinga gadis itu.
"Kita pulang sekarang, Dek. Itu masalah pribadinya. Kita sudah mengantarnya pulang. Biar nanti dia jelaskan ke orang tuanya kejadian yang sebenarnya." Ucapan Chayra membuat Bian mengurungkan niatnya untuk turun. Hanya tangannya yang terkepal menahan kesal melihat perlakuan kasar wanita itu pada Amara. Bian memang tidak perduli, tetapi melihat hal itu membuatnya merasa kasihan pada gadis itu. Bian akhirnya hanya melihat Amara dari kejauhan. Gadis itu terlihat masih berdebat dengan tantenya.
"Bian, kita pulang, Dek.." Chayra menyentuh lengan adiknya yang masih menatap Amara dari kejauhan.
"Eh, iya, Kak."
"Ingat pesan Kakak, jangan pernah ikut campur urusan pribadi orang lain kalau kamu tidak mau terlibat." Chayra beralih menatap putranya setelah selesai bicara.
"Mama.." Adzra menyentuh bibir mamanya.
"I.. iya, Kak. Aku.. aku cuma kasihan melihatnya. Belum menjelaskan sudah dijewer kayak tadi. Pasti sakit banget deh. Apalagi wanita itu terlihat sangat galak. Pantesan Amara kayak gitu, orang yang mendidiknya aja kasarnya kayak gitu."
"Bian ... jangan bicara apa-apa lagi. Melihat sesuatu di rumah orang itu tidak boleh dibawa keluar. Butakan mata, tulikan pendengaran dan bisukan mulut." Chayra menatap adiknya dengan tajam.
Bian menghela nafas berat. "Iya, Kak. Mudah-mudahan aku bisa." Jawabnya, tetapi matanya masih fokus menatap Amara.
"Sebentar lagi mau masuk waktu Maghrib. Kakak tidak mau kita sampai rumah saat azan nanti."
Bian kembali menghela nafas berat. Terpaksa dia mengalihkan pandangannya dari wanita yang sedang bersitegang dengan tantenya itu. Dengan berat hati, Bian akhirnya melajukan kembali mobilnya meninggalkan tempat itu.
Malam itu ...
Bian termenung usai mendirikan shalat Isya. Penampakan Amara yang diseret dengan di tarik daun telinganya berkelebat dalam ingatannya. Bian membuang nafas kasar seraya bangkit dari depan meja belajarnya. "Ya Allah bagaimana keadaan wanita itu sekarang?" Lirihnya pelan. Ingin rasanya dia menghubungi Amara dan menanyakan keadaannya. Tapi ... hal itu tidak mungkin ia lakukan. Akan muncul berbagai macam pertanyaan dari Khanza kalau dia sampai meminta no handphone gadis itu pada Khanza.
Ting..!
Sebuah notifikasi pesan masuk. Bian mengambil handphonenya yang tertelungkup di atas meja belajarnya.
Assalamu'alaikum, Kak. Maaf mengganggu Kak Bian. Mm.. sebenarnya aku mau bertanya sesuatu. Tapi, aku takut mengganggu Kak Bian.
Bian tersenyum membaca pesan itu. Gadis ini selalu sopan padanya. Jari lentik Bian mengetik pesan balasan untuk Khanza.
Wa'alaikumsalam, Za ... mau menanyakan apa? Aku tidak sibuk kok. Baru selesai shalat dan sedang duduk di depan meja belajar. Ingin belajar, tapi nggak bisa konsentrasi.
Mm ... apa aku boleh menanyakan tentang Amara pada Kak Bian?
Sepersekian detik Bian termenung membaca balasan dari Khanza. Kebetulan dia sedang memikirkan gadis itu.
What happen, Za?
Lama tidak ada jawaban. Tapi tertulis kalau Khanza sedang mengetik pesan balasan. Tapi kenapa lama sekali. Bian mondar-mandir menunggu jawaban Khanza.
Tadi siang dia memintaku untuk mengantarnya ke tempat tujuan Kak Bian.
Akhirnya jawaban yang ditunggu datang juga. Bian tertegun lagi. "Loh, ini maksudnya apa?" Ia kembali mengirimkan pesan untuk Khanza.
Maksudnya?
Mm.. dia memintaku untuk mengikuti Kak Bian. Maaf, sebenarnya aku tidak berniat untuk memberi tahukan ini kepada Kak Bian. Tapi, aku kepikiran karena memikirkan Amara akan pulang dengan siapa.
Jangan pikirkan itu. Aku yang mengantarnya pulang. Aku hanya kasihan padanya.
Seketika raut wajah Khanza berubah mendengar jawaban Bian. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya ketika Bian mengatakan dirinya yang mengantar Amara pulang. Wanita itu langsung meletakkan handphonenya lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Melihat tidak ada jawaban lagi dari Khanza, Bian meletakkan handphonenya. Dirinya benar-benar tidak bisa konsentrasi belajar. Pertanyaan yang ingin dia tanyakan pada Khanza urung ia tanyakan. Ia kembali mendekati meja belajarnya dan duduk di sana. "Amara, siswi kelas sebelas A. Heh," Bian tersenyum getir pada dirinya sendiri. "Kok aku memikirkan gadis itu." Ia bersandar seraya meletakkan kedua tangannya di belakang kepala. "Kamu tidak menarik sebenarnya. Hidupmu terlalu berantakan untuk diperhitungkan. Tapi," Bian menegakkan kembali duduknya. "Kamu memprihatinkan."
*******
Pagi itu ...
"Mm.. Bu, apa Bian boleh bawa mobil hari ini?" Bian mencoba membuka percakapan saat sedang menikmati sarapan dengan Bu Santi.
"Tumben sekali, Nak. Biasanya kamu paling malas pakai mobil karena tidak mau terjebak macet."
"Mm.. iya juga sih, Bu. Tapi, Bian ..." Bian mengurungkan niatnya untuk melanjutkan kalimatnya. Dia tidak mau ibunya ikut memikirkan Amara.
"Terserah kamu saja, Nak." Bu Santi menyuapkan kembali nasi ke mulutnya. "Oh iya, kakak kamu meminta kamu untuk pulang ke rumahnya nanti. Ardian mau ke luar kota. Kakak kamu mau ditemani membeli sesuatu."
"Aku sih fine fine aja, Bu. Yang penting transferannya lancar."
"Kamu ini, Nak. Sukanya morotin kakak kamu terus. Ibu sudah bilang, kalau mau belanja pakai uang kamu saja. Ibu kan sudah menyerahkan milikmu, kenapa belanja harus menunggu di gratisin dulu."
"Itulah aku, Bu. Hehehe... nggak apa-apa, kok. Kak Ayra sudah banyak duit sekarang. Kak Ardian sudah mapan dan nggak banyak akal."
Bu Santi menggeleng-geleng mendengar ucapan putranya. "Memangnya sejak kapan kakak kamu banyak akal, Nak? Perasaan Ardian selalu baik selama ini."
Bian mendengus. "Ibu terlalu membelanya. Memangnya ibu tidak kesal dengan kelakuannya yang dulu. Membuat Kak Ayra seperti orang yang kehilangan tujuan hidup. Hmm.. sudahlah, jadi nggak nafsu makan kalau mengingat hal itu. Rasanya ingin ku tonjok mukanya kalau mengingat hal itu."
"Sssttt... Bian kenapa ngomong gitu, Nak? Jadi selama ini kamu dendam sama kakak ipar kamu?"
"Iya.. nggak kayak gitu juga sih, Bu. Mm.. Bian berangkat dulu kalau begitu, Bu." Bian bangkit seraya menyodorkan tangannya pada Bu Santi.
"Hati-hati bawa kendaraannya, Nak."
"Iya, Bu. Assalamu'alaikum..."
Bian meninggalkan ruang makan lalu kembali ke kamarnya. Mengambil jaket yang tersampir di kursi belajarnya.
Ting...!
Bian menoleh ke arah handphonenya saat akan beranjak keluar.
Niko : Bi, gue udah di depan rumah lho. Lho jadi bawa mobil kan? Soalnya gue mau nebeng. Gue pakai ojol kemari.
Bian tersenyum membaca pesan itu. Si Niko temannya yang paling kere itu selalu gila gratisan. Padahal dia cuma cerita lewat chat semalam, kalau hari ini dia ingin membawa mobil. Eh, paginya Niko langsung on dan menunggu untuk dibawa ke sekolah.
Bian sengaja membawa mobil karena ingin mencari tahu tentang kejadian yang menimpa Amara kemarin. Khanza sepertinya tidak mau diajak membicarakan hal itu, sehingga semalam dia tidak membalas chat dari Bian.
Niko tersenyum saat melihat Bian keluar dari dalam rumahnya. "Lama banget sih lho, Bi. Gue udah sepuluh menit menunggu."
"Siapa suruh menunggu."
"Lho ah, kayak orang yang nggak kenal gue aja."
Bian hanya tersenyum kecil. Ia melangkah ke Garasi untuk mengeluarkan mobilnya.
"Wuuuiiihh ... mobil lho keren banget, Bi. Cewek-cewek di sekolah pasti pada menganga menatap lho nanti. Lho pasti akan terlihat semakin keren.."
"Jangan ngomong ngelantur, Nik. Buruan naik kalau kamu mau ikut ke sekolah."
Niko langsung membuka pintu mobil. "Ah, lho sering nggak asyik kalau di ajak ngomongin cewek. Padahal cewek-cewek di sekolah sudah pasti tertarik sama lho."
"Tapi gue yang nggak tertarik untuk membahas hal yang begituan." Timpal Bian ketus.
"Tapi lho normal kan, Bi?"
Plak..!
Satu pukulan melayang ke kepala Niko. "Jaga omongan kamu, Nik. Gila lu bilang aku nggak normal segala. Mau diturunin di tengah jalan lu nanti?" Bian melengos kesal.
"Nggak, nggak ... sorry, Bro. Just kidding.." Niko mengusap-usap kepalanya yang dipukul Bian. Ia hanya berani melirik ke arah Bian.
Bian akhirnya menghidupkan mesin mobilnya setelah Niko tidak berisik lagi.
********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments