NovelToon NovelToon

Kamulah Takdirku

Awal mula

Bian membuka helm yang menutupi kepalanya di tempat parkir khusus siswa. Baru pukul enam pagi, tapi pria itu sudah berada di sekolahnya. Menjabat sebagai ketua OSIS membuatnya harus standby di awal waktu di sekolah.

Khanza yang baru turun dari mobilnya sedikit terkejut saat melihat Bian yang sedang mengibas-ngibas rambutnya. Ia meraba dadanya yang tiba-tiba berdebar melihat penampakan makhluk tampan yang masih duduk di atas motor beberapa meter di depannya.

"Assalamu'alaikum, Kak Bian." Sapanya ramah.

Bian yang terkejut langsung menoleh ke belakang. "Wa'alaikumsalam, Khanza ... udah datang juga?"

"Mm... iya, Kak. Soalnya ada tugas yang belum aku selesaikan. Mari Kak Bian, aku masuk duluan." Khanza membungkukkan sedikit badannya ke arah Bian. Hal itu membuat Bian mengangguk. Tak terasa bibirnya mengulas senyum sambil menatap kepergian gadis itu. Khanza selalu mengucapkan salam duluan saat mereka bertemu. Tapi, sejauh ini Bian belum tertarik pada gadis itu..

Khanza melirik ke arah Bian yang sedang tersenyum ke arahnya. "Huh, benar-benar deh, tatapan Kak Bian membuatku dag dig dug." Ucapnya sambil meraba-raba dadanya yang terasa berdetak lebih kencang. Khanza sering berjumpa dengan Bian parkiran siswa karena kebetulan mereka selalu datang paling pagi.

Khanza terkejut saat Amara dan Ameena tiba-tiba sudah berada di sampingnya. "Za, gue lihat lho sering tersenyum saat lho berpapasan dengan Kak Bian. Sepertinya, setiap pagi kalian selalu bertemu di parkiran." Ameena menyenggol lengan Khanza.

"Apaan sih, Na. Mana ada kayak gitu.." Khanza mencoba mengelak. "Aku dan Kak Bian bertemu karena kebetulan kami datangnya selalu barengan."

"Ya elah, kayak orang yang nggak berharap aja lu.." Amara ikut nimbrung. Tangannya menoyor kepala Khanza dari belakang.

"Amara ... please deh, lu ini sering nggak sopan sama gw.." Khanza memanyunkan bibirnya kesal. Temannya yang satu ini selalu bersikap semaunya.

"Lu kan tau si Amara ini cewek bar-bar, Za."

"Apaan sih lu, Na? Pakai bilang gue cewek bar-bar segala." Amara melirik kesal Ameena.

"Udah ah, kenapa malah debat sih. Kita ke kelas sekarang. Ada tugas untuk praktek nanti siang yang harus segera di selesaikan." Khanza menarik tangan kedua sahabatnya.

"Selalu mengalah membuatku selalu kagum padamu, Khanza. Walaupun lho yang dizalimi sama gue." Amara tertawa lepas dan pasrah saja ditarik Khanza. Hal itu membuat Khanza dan Ameena hanya menggeleng-geleng lemah seraya menghela nafas berat.

"Guys, kalian masuk duluan ya, gue mau sarapan dulu di Kafe." Amara melepaskan genggaman tangan Khanza saat mereka sudah sampai di pertigaan yang akan menentukan tujuan mereka.

"Lu kenapa nggak pernah sarapan di rumah sih, Mara?!" Ameena berkata kesal sambil menangkap tas yang dilempar Amara.

"Gue nggak punya Nyak kayak lu berdua. Kalau mau sesuatu harus mempersiapkan semuanya sendirian." Amara langsung berlalu setelah menyelesaikan kalimatnya.

"Za, lho nggak kasihan sama si Amara. Nggak punya nyokap pasti sangat tidak enak rasanya." Ameena kembali membuka percakapan setelah Amara hilang dari pandangan.

Khanza menatap Ameena. "Kasihan sih, tapi mau bagaimana lagi. Itu kan sudah takdir yang digariskan Allah untuknya. Lagian dia kan punya ibu tiri. Tapi ... nggak taulah, Na. Kamu sendiri kan tau, Amara itu orangnya gimana. Nggak serek kayaknya dia dengan si ibu tiri."

Ameena hanya mengangkat bahu. Ia meletakkan tas Amara di atas mejanya. Sedangkan Khanza memilih duduk dan mulai mengerjakan tugasnya yang belum selesai.

Sementara itu, Amara bergegas menuju Kafe yang baru saja dibuka. Ia duduk dengan tergesa sambil mengikat rambutnya asal. "Bu, satu porsi seperti biasa ya..." pintanya tanpa menatap lawan bicara.

"Kenapa tidak mengikat rambut dari rumah, biar tidak sibuk saat mau makan."

Amara menoleh menatap pria yang berucap di sebelahnya. Laki-laki itu tidak menatapnya, tetapi ucapannya membuat Amara terusik. Amara ingin menimpali ucapan pria itu, tetapi ia urungkan saat mengetahui kalau laki-laki itu adalah Bian. "Eh, Kak Bian. Maaf kalau gerakanku membuat Kak Bian terganggu."

Bian tersenyum kecil. "Bukan begitu maksudku. Tapi, kamu terlihat tergesa. Tergesa itu tidak baik. Lakukan semua pekerjaan dengan tenang agar hasil yang didapatkan memuaskan." Bian menarik nafas panjang. "Maaf kalau ucapanku mengganggumu. Aku akan pindah biar kamu bisa sarapan dengan tenang."

"Mm..." Amara menggaruk-garuk kepalanya bingung. Sebenarnya, dia bingung mau menimpali dengan apa ucapan Bian itu. Amara yang selalu bisa menimpali ucapan orang lain, tiba-tiba saja suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Dia hanya bisa menatap punggung Bian yang memilih tempat duduk dengan posisi membelakanginya.

__________

Sejak kejadian di Kafe itu, Amara akan berubah menjadi wanita pendiam jika sudah berada di hadapan Bian. Beberapa kali mngikuti rapat OSIS, dia hanya memperhatikan Bian jika pria itu sedang memberikan arahan. Sejak saat itu juga, dia mengakui kalau dirinya fans berat seorang Bian Putra Arianto.

Siang itu...

"Khanza, gw boleh numpang pulang nggak?"

"Hah..?" Khanza yang terkejut menatap Amara dengan tatapan aneh. "Tumben banget kamu minta izin. Biasanya kamu akan langsung masuk dan minta diantar pulang."

"Sssttt..." Amara langsung membekap mulut Khanza dan mendorongnya masuk ke dalam mobil. "Lho ini nggak bisa diajak kompromi deh.." melepaskan bekapan tangannya setelah mereka masuk.

"Maksud kamu apa, aku nggak ngerti. Memang biasanya kamu nggak pernah izin kan?" Khanza mengusap-usap mulutnya karena terasa agak aneh setelah dibekap Amara tadi.

"Heh, lho ini kok nggak paham-paham sih. Tadi itu gue sengaja bilang gitu. Gue mau melihat reaksi Kak Bian pas mendengar gue nggak ada teman pulang."

Sepersekian detik Khanza melongo mencoba mencerna ucapan Amara. "Kamu bilang, kamu mau cari perhatian Kak Bian?" Khanza tertawa kecil.

"Mm ... kenapa emangnya?" Amara melirik Khanza dengan kesal. Hidungnya pun sampai kembang kempis karena tidak rela melihat Khanza menertawakan kebodohannya.

"Hahaha ... mimpi kamu ketinggian, Mara. Mau sampai jungkir balik pun, kamu cari perhatian kayak tadi, Kak Bian tidak akan merespon. Dia itu kayak gimana gitu sama wanita. Kak Bian itu kaku orangnya. Dia memang sih, nggak pernah cuek sama kita. Tapi pernah nggak, kamu dengar dia punya gebetan atau deket dengan wanita selama ini?" Khanza menjelaskan berapi-api. Tatapan matanya menatap ke arah Bian yang akan bersiap meninggalkan parkiran siswa. "Dia itu tidak mau mengenal wanita sampai saat ini, Mara." Khanza hanya melirik Amara lalu kembali menatap ke arah Bian. Bagaimanapun juga, dia sudah berusaha untuk dekat dengan laki-laki yang menjabat sebagai ketua OSIS mereka itu. Tapi, sampai sejauh ini Khanza belum mendapatkan respon dari Bian. Bian memang selalu tersenyum saat dia menyapanya. Tapi, Bian jarang sekali menyapanya duluan. Kalau dia mengirim pesan pun, Bian hanya membalas seperlunya saja.

"Za, ikutin aja motornya Kak Bian." Ucapan Amara membuyarkan lamunan Khanza.

"Eh, ngapain?" Khanza jadi panik saat Amara memutar kunci mobilnya.

"Ikutin aja, Za. Gue ingin tau, Kak Bian itu anak orang kaya atau tidak. Soalnya selama ini Kak Bian nggak pernah bawa mobil kayak yang lain."

"Kamu udah gila ya, Mara. Aku nggak mau, ah." Khanza mematikan kembali mobilnya.

"Ayolah, Za. Gue mohon sama lho, bantu gue untuk kali ini saja. Nanti kalau Papa gue udah nggak pelit lagi dan ngizinin gue bawa kendaraan sendiri, gue nggak akan ngerepotin lho lagi." Amara mengusap-usap lengan Khanza untuk membujuk gadis itu.

Khanza memutar bola matanya seraya melirik Amara. Hampir dua tahun mereka sekolah bersama, tidak pernah sekalipun ia melihat papanya Amara tersenyum. Bahkan, kumis yang dibiarkan tumbuh membuatnya terkesan seperti penjahat sangar. "Kayaknya kamu mimpi deh, bisa bawa kendaraan sendiri. Bukankah papa kamu orangnya sangat tidak perduli, Mara? Aku aja takut melihat kumisnya . Sebenarnya sih, penampilan seseorang tidak bisa dijadikan ukuran. Tapi ... iya.. selama ini yang aku tau papa kamu itu lempeng sama kamu." Khanza memejamkan matanya sambil menggeleng-geleng.

Senyuman dan tatapan harapan yang ditujukan Amara seketika memudar ketika mendengar ucapan Khanza. "Jangan diperjelas, Za.." ucapnya lemah seraya menunduk.

*******

Wanita ceroboh

"Mara, jangan!" Khanza berteriak saat Amara mengambil alih kemudi, memaksanya untuk mengikuti mobil Bian.

"Gw cuma minta tolong sama lu, Za."

"Iya, gw akan mengikuti motor Kak Bian, tapi please lho pindahin dulu tangan lho ini, Mara..!" Khanza berusaha menyeimbangkan kemudi yang tidak stabil karena ulah Amara. "Ini jalan raya, bahaya kalau kamu kayak gini."

Amara tersenyum sambil kembali ke posisi semula. "Thank's.." memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan. Hal itu membuatnya kembali teringat dengan ucapan Bian pagi tadi. "Ha..."

"Kenapa lu?" Khanza melirik Amara yang sedang senyum-senyum sendiri.

"Mm ... nggak ada. Lu fokus nyetir, biar nggak kehilangan jejak Kak Bian."

"Gw udah tau kali rumah Kak Bian dimana. Makanya, kalau mau dekat dengan ketua OSIS , setidaknya lu aktif dalam kegiatan OSIS."

Amara tersenyum sinis menanggapi ucapan Khanza. "Itu kan lu, Za. Aktif menjadi anggota OSIS karena ngefens berat sama ketuanya."

Khanza melengos. "Gw nggak seburuk itu kali. Iya ... gw akui kalau gw mengagumi Kak Bian. Dia itu seperti pria perfect di mata gw. Siapa coba yang nggak kagum pada pria yang serba bisa seperti dia. Orangnya rajin, tekun, kerja keras, ulet, teliti, agamais, bermoral dan bla.. bla.. bla.." Khanza sampai muncrat membayangkan tampang Bian dengan segala kelebihannya.

Giliran Amara yang melengos, "kebangetan lu memujinya, Za. Eh," ucapan Amara terhenti seiring dengan mobil Khanza yang berhenti. "Loh, kok motornya masuk ke wilayah Perusahaan?" Matanya terus menatap Bian yang terus melajukan kendaraannya ke dalam sebuah wilayah Perusahaan.

"Gw juga nggak tau, Mara. Kayaknya ada keluarganya yang bekerja di tempat ini. Beberapa kali gw mendapati Kak Bian berbelok dan masuk kesana." Khanza ikut memperhatikan Bian yang sudah hilang dari pandangan. "Mm.. apa kita akan menunggunya sampai keluar?"

Amara mengangguk pasti. "Iya, aku semakin penasaran jadinya kalau kayak gini. Lagian kenapa lu nggak pernah cerita tentang hal ini sebelumnya?"

"Lah, lu kan nggak pernah penasaran dengan Kak Bian sebelumnya. Baru tadi pas pulang aja lu tiba-tiba bilang mau mengikuti Kak Bian."

"Eheheh.. iya juga ya.." Amara menarik nafas panjang seraya menyandarkan tubuhnya.

Sepuluh menit berlalu, tetapi belum ada tanda-tanda Bian akan keluar. Khanza menjadi khawatir karena takut kedua orang tuanya mencari keberadaannya karena belum pulang ke rumah.

"Mara, sepertinya Kak Bian akan diam di dalam. Mungkin dia ada urusan makanya masuk ke dalam. Kita pulang aja, ayo

"Sabar dulu lah, Za. Ini baru aja sepuluh menit. Gw aja nggak pernah khawatir mau pulang jam berapapun."

"Itu kan kamu, Mara. Aku itu beda dengan kamu. Mau kamu pulang jam berapapun sepertinya papa kamu akan cuek-cuek aja."

Amara hanya tersenyum getir menanggapinya. Ia kembali fokus ke arah pintu masuk gedung berlantai lima di depannya. Terdengar helaan nafas berat darinya. "Mm.. kalau lu mau pulang, pulang aja sekarang. Gw akan menunggu sampai orangnya keluar. Gw hampir lupa, kalau tidak semua orang hidup amburadul seperti gw. Terimakasih sudah mau mengikuti kebodohan gw, Za." Amara membuka pintu mobil lalu keluar dengan santai.

"Lu mau kemana, Mara?"

"Nggak usah khawatir, Za. Gw akan berdiam diri di sini menunggu Kak Bian keluar. Lu pulang aja duluan. Gw bisa pulang naik ojol nanti."

"Ya nggak bisa kayak gitu dong, Mara. Bagaimana kalau papa lu nelpon gw nanti. Bisa ditonjok pakai kumisnya nanti."

"Santai aja, Za. Itu tidak akan terjadi. Lu kan tau, gw ini anak seliran. Lu pualang aja. Hati-hati di jalan ya.. by.." Amara melambaikan tangannya seraya menjauh dari mobil Khanza.

Amara duduk di pinggiran trotoar jalan. Matanya menatap kepergian mobil Khanza dari hadapannya. Seegois apapun dirinya, dia tidak akan bisa memaksa Khanza melewati batas toleransi orang tuanya. Dia tidak mau membuat masalah dengan keluarga sahabatnya itu. Untung saja Khanza selalu baik padanya, mau mengantarnya pulang setiap hari itu adalah hal yang patut Amara syukuri.

Amara kembali fokus ke arah pintu masuk gedung setelah mobil Khanza hilang dari pandangan. Alisnya menaut dengan sempurna saat melihat Bian keluar dengan menggendong seorang balita tampan. Belum lagi di sampingnya berjalan wanita yang terlihat sangat anggun dengan memakai cadar.

"Buset, apa-apaan ini?!" Amara menggosok-gosok matanya. Tetapi, ia melongo saat seorang pria tiba-tiba menggandeng wanita bercadar itu dari belakang. "Hah..." meraba-raba dadanya yang terasa tidak stabil karena terkejut. Pikirannya sudah melayang membayangkan hal yang tidak-tidak tentang Bian.

Sementara itu, Bian yang akan masuk ke dalam mobil berhenti. "Mm.. Kak, tunggu sebentar ya.."

"Ada apa, Dek?" Chayra kakaknya Bian ikut menatap ke sebrang ke arah pandangan adiknya.

"Itu kayaknya teman sekolah aku, Kak. Dia adik kelasku. Aku samperin sebentar ya.."

Chayra terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya. Ardian suaminya Chayra hanya mengangkat bahu saat ditatap istrinya.

"Cepetan balik, Dek. Kakak kamu capek nunggu dari tadi."

"Iya, Kak.. berisik banget deh." Bian berlalu meninggalkan kakaknya. Ardian dan Chayra hanya menatap kepergian adiknya dari depan mobil. Seharusnya mobil itu tidak boleh diparkirkan sembarangan di depan loby. Tetapi, karena mobil itu milik pemimpin mereka, Satpam kehilangan kuasanya untuk melarang.

Bian menyebrangi jalan dan menghampiri Amara yang duduk sendirian di pinggir trotoar. "Assalamu'alaikum, Dek.. lagi apa disini?"

"Eh, mm.. anu.. mm.." Amara menggaruk-garuk kepalanya bingung. Dia tidak siap dengan kedatangan Bian. Tadinya dia hanya berharap bisa melihat Bian dan mengetahui aktifitasnya saat pulang sekolah. Tapi, kedatangan Bian hampir membuat jantungnya copot dari tempatnya. "Kak Bian kenapa kemari? Seharusnya Kak Bian pulang saja tanpa memperdulikan keberadaan ku disini. Kak Bian pulang saja, aku.. aku.. sedang menunggu seseorang, Kak. Iya.. aku sedang menunggu seseorang."

Bian menautkan alisnya curiga. "Kamu menunggu seseorang yang bekerja di perusahaan itu?"

"Hehe.. iya, Kak."

"Seharusnya kamu masuk dan menunggunya di loby. Disini panas, nanti kamu bisa sakit."

"Eh, mm.. ng.. nggak apa-apa, Kak. Aku sudah biasa kok menunggunya disini."

"Hmm.." Bian kembali menautkan alisnya. "Aku hampir setiap hari ke tempat ini, tapi aku tidak pernah melihat kamu."

"Mm..." Amara mengatupkan mulutnya. Bingung mau mengutarakan alasan apa lagi. "Mm.. sepertinya.. aku datang saat Kak Bian sudah pergi."

Bian diam beberapa saat sambil memperhatikan gelagat Amara yang terlihat aneh. "Ayo ikut aku ke Loby. Tidak aman kamu duduk sendirian di pinggiran jalan seperti itu. Ini memang tempat ramai. Tapi, aku rasa kamu tidak baik menunggu disini."

Amara akhirnya bangkit dan mengikuti Bian menyebrangi jalan. Hatinya terasa berbunga-bunga merasakan perlakuan Bian yang menurutnya sangat perhatian. Iya.. walaupun pastinya Bian akan melakukan itu pada semua orang.

"Mm.. maaf ya, aku harus pergi. Kakak aku mau belanja, tapi dia harus ada yang menemani. Sementara suaminya masih sibuk disini. Kamu nggak apa-apa kan, kalau aku tinggal pergi?"

"Hmm... ng.. nggak apa-apa sih, Kak. Tapi, apa aku boleh numpang pulang?"

"Hah..?!" Bian terkejut sekaligus bingung dengan ucapan Amara. "Kamu kan mau menunggu seseorang. Kalau kamu mau numpang pulang sama aku, pastinya tidak bisa. Soalnya aku mau langsung pergi sekarang."

"Aku nggak jadi menunggu orangnya. Aku mau pulang aja, Kak."

Ardian yang mendengar percakapan adiknya akhirnya lebih mendekat. "Orang yang kamu tunggu namanya siapa, bekerja di lantai berapa, terus bekerja di bagian apa? Biar aku suruh Security memanggilnya untukmu."

"Tidak usah repot-repot, Pak. Saya akan pulang saja. Nggak enak jadinya kalau begini. Mm.. aku pamit saja kalau begitu. Mari.." Amara membungkukkan sedikit badannya lalu bergegas keluar dari loby.

Ardian dan Bian saling pandang bingung. Akhirnya saling mengangkat bahu karena tidak mengerti dengan yang dilakukan Amara.

"Kamu berangkat saja kalau begitu. Ingat, jaga kakak kamu baik-baik. Awasi dia, jangan sampai ada pria yang meliriknya."

Bian mengernyit mendengar pesan kakak iparnya. "Semua orang punya mata, Bang. Orang juga hidup dengan hak asasi masing-masing. Aku hanya bisa melarang kalau ada orang yang mengganggu Kak Ayra. ATM-nya mana, biar kita bisa belanja dengan aman nanti." Tidak lupa Bian menyodorkan tangannya, agar hal yang paling penting tidak terlupakan.

Ardian melengos. "Udah dibawa kakak kamu. Kalau mau jajan yang banyak, jangan lupa lapor pada Ibu Bos."

"Hmm.. assalamu'alaikum.."

*********

Kamu membingungkan

Bian membawa kakaknya menuju pusat perbelanjaan dengan santai. Hal ini sudah menjadi aktifitas rutinnya ketika kakaknya itu butuh bantuan. Musibah buruk yang menimpa kakaknya beberapa tahun yang lalu membuatnya ekstra menjaga kakaknya itu. Sebenarnya bukan hanya Bian, seluruh anggota keluarga yang lain selalu memberikan perhatian yang lebih pada Chayra. Bahkan, kakek mereka yang merupakan seorang pengusaha sukses dan sangat terkenal sudah mengirimkan pasukan khusus untuk menjaga kedua cucunya.

"Ya Allah, ngapain sih mereka pakai ngikutin kita segala, Kak?! Ish.." Bian mendesah saat mobil hitam di belakang mobil mereka terus saja melaju mengikuti arah kendaraannya.

"Istighfar, Dek. Biarin aja kenapa. Toh, mereka hanya mengikuti kita, tapi mereka tidak mengganggu kita kan?"

"Tetap saja aku tidak nyaman, Kak. Ada penjaga itu menyebalkan. Kayak anak sultan aja, mesti di jaga seperti ini." Bian melengos sambil terus memperhatikan mobil di belakangnya.

"Jangan ngeluh, Dek. Ini adalah usaha Kakek untuk menjaga kita. Syukur-syukur kita punya Kakek yang sangat sayang sama kita."

"Tapi akunya nggak nyaman, Kak. Beberapa kali teman-teman aku sampai terkejut saat ada laki-laki tegap yang terus mengikutiku. Mereka pikir aku akan diculik. Mau jelasin kalau itu penjaga aku, nggak enak juga. Mereka malah mengira aku anak sok kaya nanti."

"Tidak usah diperhatikan makanya. Kalau kamu perhatikan terus, kamu akan merasa terganggu." Chayra mengalihkan perhatiannya ke benda gepeng di tangannya.

Bian kembali fokus menyetir. Tetapi...

"Loh, itu kan temen aku yang tadi, Kak." Bian menepikan kendaraannya saat melihat Amara yang sedang duduk di pinggir jalan. Chayra mengangkat wajahnya, menatap orang yang dimaksud adiknya.

"Iya, Dek. Kamu tunggu di sini, biar Kakak yang samperin."

"Aku ikut turun aja, Kak. Kalau dia nggak kenal Kak Ayra, bagaimana?"

"Teman kamu itu membingungkan, deh."

"Tadi dia sempat minta nebeng pas mau pulang. Tapi..." Bian menghentikan ucapannya saat tangan Chayra melayang di pundaknya. "Aduh, sakit, Kak!" Kak Ayra apaan sih?"

"Tega kamu sama dia. Mungkin aja tidak ada orang yang menjemputnya, makanya dia minta tolong."

"Dia itu membuat aku bingung, Kak. Di Sekolah juga penampilannya terkadang membuat teman-teman yang lain eneg sama dia. Pakaiannya kusut jarang di setrika, rambutnya juga seperti jarang di sisir. Padahal dua temannya yang lain memakai hijab. Heran aja aku, Kak."

"Udah ah, kamu samperin dia. Kakak kasihan jadinya sama dia. Kalau dia memang nggak ada teman pulang, ajak saja kemari. Kita tidak akan telat kalau hanya sekedar mengantar dia pulang."

"Wokay, Kak. Intinya aku nebeng bayar barang aku nanti sama Kakak."

"Iya, asalkan kamu tau batasan. Jangan membeli sesuatu yang sekiranya kamu tidak membutuhkannya."

Bian hanya tersenyum kecil seraya beranjak keluar. Dengan langkah gontai, ia menghampiri Amara yang sedang duduk menunduk menutup wajahnya dengan telapak tangan.

"Assalamu'alaikum.." Bian sedikit membungkukkan badannya di depan Amara.

"Wa'alai... eh, kenapa ada Kak Bian?" Amara menepuk-nepuk pipinya.

"Kenapa kamu belum pulang?" Bian tidak menghiraukan ekspresi terkejut Amara.

"Mm.. anu, Kak.."

"Kalau kamu tidak ada teman pulang, ikut saja dengan ku. Kakakku tidak keberatan kok."

"Aku tidak mau merepotkan Kak Bian."

"Nggak apa-apa kok. Daripada kamu duduk nggak jelas seperti ini. Kamu tau nggak, kalau kamu terlihat seperti siswi yang bolos sekolah. Ayo ikut aku.."

"Hmm... hehehe.." Amara akhirnya bangkit. Ia setengah berlari mengejar Bian yang berjalan dengan kecepatan penuh.

"Kamu duduk di jok belakang ya.. soalnya di depan ada kakak aku."

"Terimakasih, Kak Bian. Semoga Kak Bian semakin tampan dan mapan ke depannya."

"Hah..?" Serentak Bian dan Chayra menoleh ke arah Amara dengan ekspresi terkejut.

"Eh, aku salah ngomong ya. Mm... maaf, Kak." Amara akhirnya menggaruk-garuk kepalanya bingung.

Amara POV...

Buseeeet...

Ya ampun.. kenapa malunya sampai ke ubun-ubun seperti ini. Huh, kenapa coba aku bisa malu seperti ini. Padahal aku selalu ceplas-ceplos bicara sama orang lain. Kenapa bicara dengan Kak Bian selalu saja membuatku salah tingkah.

Aku melirik ke arah kakaknya Kak Bian. Ck, orangnya benar-benar cantik. Tadi pas pakai cadar kelihatannya biasa-biasa aja. Ternyata benar, kalau kecantikan wanita itu tersembunyi di balik cadar. Ah, aku ngomong apaan sih. Kayak orang yang menutup aurat dengan sempurna aja. Jangankan pakai cadar, pakai jilbab aja hati ini belum kebuka sampai kesana. Kakaknya Kak Bian melepas cadarnya hanya sebentar. Sepertinya dia hanya memperbaikinya saja.

Ya ampun ... rasanya meleleh melihat senyumannya. Pantas saja suaminya nemplok terus tadi. Orangnya cantik begini. Hadeh, jauh bumi dan langit kalau kayak gini ceritanya.

"Dek, rumah kamu dimana?"

"Eh, Kakak tanya aku?" Aku menunjuk diriku sendiri dengan gaya sok polos.

"Iya, rumah kamu dimana? Bian akan mengantar kamu terlebih dahulu. Setelah itu baru dia akan menemani Kakak belanja."

"Mm.. ada di jalan mangga nomor lima belas, Kak."

"Astagfirullah, rumah kamu jauh bener. Kalau begini ceritanya kita harus putar balik lagi dong, Kak. Kan jalan itu berada di sebelah Utara kantornya Kak Ardian."

"Ng.. nggak usah repot-repot, Kak. Aku nggak apa-apa kok, kalau harus ikut kalian terlebih dahulu. Nanti aku bisa minta tolong di antar setelah Kakak selesai belanja."

"Tapi kamu masih pakai seragam." Kak Bian berkata tegas padaku.

"Ng.. nggak apa-apa juga, Kak. Aku akan menunggu di dalam mobil nanti." Aku menunduk sambil menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Benar-benar mati gaya aku kali ini. Tumben banget hati ini tidak sinkron dengan mulut. Aku melirik ke arah dua orang di depanku. Salah, bukan dua orang, tapi tiga. Ada bocah gembul yang sedang tidur di atas pangkuan ibunya. Benar-benar menggemaskan ni bocah. Pipinya sampai kembung karena terlalu gemuk.

Kak Bian terlihat fokus membawa mobil. Sedangkan kakaknya asyik menepuk-nepuk pantat anaknya sambil membacakan sholawat. Wah, benar-benar terlihat adem ayem.

"Apa orang tua kamu tidak akan marah kalau kamu terlalu telat pulangnya. Kak Ayra belanjanya lama soalnya." Kak Bian tiba-tiba membuka percakapan lagi.

"Nggak, Kak."

"Kamu ini kenapa membingungkan seperti ini. Lain kali jelaskan keadaan ini padaku. Aku tidak puas dengan jawaban kamu saat ini."

Deg..!

Jantungku terasa mau copot mendengar ucapan Kak Bian. Apakah kebohonganku terlalu kentara dari tadi, sehingga Kak Bian sampai bingung? Terus, apakah ke depannya aku akan menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Kak Bian. Aduh, kok aku jadi merasa bersalah seperti ini sih.

"Dek..." aku melirik ke depan saat mendengar suaranya Kak Ayra. Eh, benar kan namanya Kak Ayra tadi. Wanita yang anggunnya sampai membuat mulutku menganga sampai tidak sadar ada lalat yang masuk satu genggam. Hadeh, kok aku ngomong ngawur-ngelantur nggak jelas seperti ini ya..

Orangnya sedang menatap Kak Bian dengan tajam. Sepertinya dia tidak suka mendengar ucapan Kak Bian yang meminta penjelasan dariku.

"Setiap orang memiliki masalah pribadi. Kamu tidak berhak untuk ikut campur dengan masalah orang lain. Kamu ini sudah gede juga, masih aja ngomong ketus sama orang."

Waaahh ... ternyata orangnya bijak kayak gini. Aduh, kok aku jadi malu sendiri ya..

Siapa aku yang mengusik perjalanan mereka. Tapi, tadi kan aku tidak berniat untuk nebeng. Siapa suruh Kak Bian menghampiriku dan memintaku untuk ikut dengannya.

Tiba-tiba mobil berhenti di depan sebuah Masjid. Sedang azan Asar ternyata. Aku mah nggak pernah memperdulikan hal itu. Tapi ... aku malu kalau tidak ikut turun untuk shalat bersama mereka.

"Kita shalat dulu ya, Dek. Nggak apa-apa kan?" Kak Ayra menatapku lembut.

"Eh, iya, Kak. Nggak apa-apa."

"Kalau kita sudah shalat, nanti bisa belanja dengan santai." Kak Ayra turun duluan. Si gembul masih nemplok tidur dalam gendongan ibunya. "Mm.. biar adeknya sama aku dulu, Kak. Nanti kita shalatnya gantian." Aku mencoba menawarkan karena kasihan melihatnnya.

"Alhamdulillah, terimakasih ya, Dek. Mudah-mudahan Adzra tidak bangun nanti." Kak Ayra menyerahkan Adzra kepadaku. Anak itu hanya menggeliat pelan lalu kembali terlelap. Aku langsung memeluknya hangat.

**********

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!