"Mara, jangan!" Khanza berteriak saat Amara mengambil alih kemudi, memaksanya untuk mengikuti mobil Bian.
"Gw cuma minta tolong sama lu, Za."
"Iya, gw akan mengikuti motor Kak Bian, tapi please lho pindahin dulu tangan lho ini, Mara..!" Khanza berusaha menyeimbangkan kemudi yang tidak stabil karena ulah Amara. "Ini jalan raya, bahaya kalau kamu kayak gini."
Amara tersenyum sambil kembali ke posisi semula. "Thank's.." memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan. Hal itu membuatnya kembali teringat dengan ucapan Bian pagi tadi. "Ha..."
"Kenapa lu?" Khanza melirik Amara yang sedang senyum-senyum sendiri.
"Mm ... nggak ada. Lu fokus nyetir, biar nggak kehilangan jejak Kak Bian."
"Gw udah tau kali rumah Kak Bian dimana. Makanya, kalau mau dekat dengan ketua OSIS , setidaknya lu aktif dalam kegiatan OSIS."
Amara tersenyum sinis menanggapi ucapan Khanza. "Itu kan lu, Za. Aktif menjadi anggota OSIS karena ngefens berat sama ketuanya."
Khanza melengos. "Gw nggak seburuk itu kali. Iya ... gw akui kalau gw mengagumi Kak Bian. Dia itu seperti pria perfect di mata gw. Siapa coba yang nggak kagum pada pria yang serba bisa seperti dia. Orangnya rajin, tekun, kerja keras, ulet, teliti, agamais, bermoral dan bla.. bla.. bla.." Khanza sampai muncrat membayangkan tampang Bian dengan segala kelebihannya.
Giliran Amara yang melengos, "kebangetan lu memujinya, Za. Eh," ucapan Amara terhenti seiring dengan mobil Khanza yang berhenti. "Loh, kok motornya masuk ke wilayah Perusahaan?" Matanya terus menatap Bian yang terus melajukan kendaraannya ke dalam sebuah wilayah Perusahaan.
"Gw juga nggak tau, Mara. Kayaknya ada keluarganya yang bekerja di tempat ini. Beberapa kali gw mendapati Kak Bian berbelok dan masuk kesana." Khanza ikut memperhatikan Bian yang sudah hilang dari pandangan. "Mm.. apa kita akan menunggunya sampai keluar?"
Amara mengangguk pasti. "Iya, aku semakin penasaran jadinya kalau kayak gini. Lagian kenapa lu nggak pernah cerita tentang hal ini sebelumnya?"
"Lah, lu kan nggak pernah penasaran dengan Kak Bian sebelumnya. Baru tadi pas pulang aja lu tiba-tiba bilang mau mengikuti Kak Bian."
"Eheheh.. iya juga ya.." Amara menarik nafas panjang seraya menyandarkan tubuhnya.
Sepuluh menit berlalu, tetapi belum ada tanda-tanda Bian akan keluar. Khanza menjadi khawatir karena takut kedua orang tuanya mencari keberadaannya karena belum pulang ke rumah.
"Mara, sepertinya Kak Bian akan diam di dalam. Mungkin dia ada urusan makanya masuk ke dalam. Kita pulang aja, ayo
"Sabar dulu lah, Za. Ini baru aja sepuluh menit. Gw aja nggak pernah khawatir mau pulang jam berapapun."
"Itu kan kamu, Mara. Aku itu beda dengan kamu. Mau kamu pulang jam berapapun sepertinya papa kamu akan cuek-cuek aja."
Amara hanya tersenyum getir menanggapinya. Ia kembali fokus ke arah pintu masuk gedung berlantai lima di depannya. Terdengar helaan nafas berat darinya. "Mm.. kalau lu mau pulang, pulang aja sekarang. Gw akan menunggu sampai orangnya keluar. Gw hampir lupa, kalau tidak semua orang hidup amburadul seperti gw. Terimakasih sudah mau mengikuti kebodohan gw, Za." Amara membuka pintu mobil lalu keluar dengan santai.
"Lu mau kemana, Mara?"
"Nggak usah khawatir, Za. Gw akan berdiam diri di sini menunggu Kak Bian keluar. Lu pulang aja duluan. Gw bisa pulang naik ojol nanti."
"Ya nggak bisa kayak gitu dong, Mara. Bagaimana kalau papa lu nelpon gw nanti. Bisa ditonjok pakai kumisnya nanti."
"Santai aja, Za. Itu tidak akan terjadi. Lu kan tau, gw ini anak seliran. Lu pualang aja. Hati-hati di jalan ya.. by.." Amara melambaikan tangannya seraya menjauh dari mobil Khanza.
Amara duduk di pinggiran trotoar jalan. Matanya menatap kepergian mobil Khanza dari hadapannya. Seegois apapun dirinya, dia tidak akan bisa memaksa Khanza melewati batas toleransi orang tuanya. Dia tidak mau membuat masalah dengan keluarga sahabatnya itu. Untung saja Khanza selalu baik padanya, mau mengantarnya pulang setiap hari itu adalah hal yang patut Amara syukuri.
Amara kembali fokus ke arah pintu masuk gedung setelah mobil Khanza hilang dari pandangan. Alisnya menaut dengan sempurna saat melihat Bian keluar dengan menggendong seorang balita tampan. Belum lagi di sampingnya berjalan wanita yang terlihat sangat anggun dengan memakai cadar.
"Buset, apa-apaan ini?!" Amara menggosok-gosok matanya. Tetapi, ia melongo saat seorang pria tiba-tiba menggandeng wanita bercadar itu dari belakang. "Hah..." meraba-raba dadanya yang terasa tidak stabil karena terkejut. Pikirannya sudah melayang membayangkan hal yang tidak-tidak tentang Bian.
Sementara itu, Bian yang akan masuk ke dalam mobil berhenti. "Mm.. Kak, tunggu sebentar ya.."
"Ada apa, Dek?" Chayra kakaknya Bian ikut menatap ke sebrang ke arah pandangan adiknya.
"Itu kayaknya teman sekolah aku, Kak. Dia adik kelasku. Aku samperin sebentar ya.."
Chayra terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya. Ardian suaminya Chayra hanya mengangkat bahu saat ditatap istrinya.
"Cepetan balik, Dek. Kakak kamu capek nunggu dari tadi."
"Iya, Kak.. berisik banget deh." Bian berlalu meninggalkan kakaknya. Ardian dan Chayra hanya menatap kepergian adiknya dari depan mobil. Seharusnya mobil itu tidak boleh diparkirkan sembarangan di depan loby. Tetapi, karena mobil itu milik pemimpin mereka, Satpam kehilangan kuasanya untuk melarang.
Bian menyebrangi jalan dan menghampiri Amara yang duduk sendirian di pinggir trotoar. "Assalamu'alaikum, Dek.. lagi apa disini?"
"Eh, mm.. anu.. mm.." Amara menggaruk-garuk kepalanya bingung. Dia tidak siap dengan kedatangan Bian. Tadinya dia hanya berharap bisa melihat Bian dan mengetahui aktifitasnya saat pulang sekolah. Tapi, kedatangan Bian hampir membuat jantungnya copot dari tempatnya. "Kak Bian kenapa kemari? Seharusnya Kak Bian pulang saja tanpa memperdulikan keberadaan ku disini. Kak Bian pulang saja, aku.. aku.. sedang menunggu seseorang, Kak. Iya.. aku sedang menunggu seseorang."
Bian menautkan alisnya curiga. "Kamu menunggu seseorang yang bekerja di perusahaan itu?"
"Hehe.. iya, Kak."
"Seharusnya kamu masuk dan menunggunya di loby. Disini panas, nanti kamu bisa sakit."
"Eh, mm.. ng.. nggak apa-apa, Kak. Aku sudah biasa kok menunggunya disini."
"Hmm.." Bian kembali menautkan alisnya. "Aku hampir setiap hari ke tempat ini, tapi aku tidak pernah melihat kamu."
"Mm..." Amara mengatupkan mulutnya. Bingung mau mengutarakan alasan apa lagi. "Mm.. sepertinya.. aku datang saat Kak Bian sudah pergi."
Bian diam beberapa saat sambil memperhatikan gelagat Amara yang terlihat aneh. "Ayo ikut aku ke Loby. Tidak aman kamu duduk sendirian di pinggiran jalan seperti itu. Ini memang tempat ramai. Tapi, aku rasa kamu tidak baik menunggu disini."
Amara akhirnya bangkit dan mengikuti Bian menyebrangi jalan. Hatinya terasa berbunga-bunga merasakan perlakuan Bian yang menurutnya sangat perhatian. Iya.. walaupun pastinya Bian akan melakukan itu pada semua orang.
"Mm.. maaf ya, aku harus pergi. Kakak aku mau belanja, tapi dia harus ada yang menemani. Sementara suaminya masih sibuk disini. Kamu nggak apa-apa kan, kalau aku tinggal pergi?"
"Hmm... ng.. nggak apa-apa sih, Kak. Tapi, apa aku boleh numpang pulang?"
"Hah..?!" Bian terkejut sekaligus bingung dengan ucapan Amara. "Kamu kan mau menunggu seseorang. Kalau kamu mau numpang pulang sama aku, pastinya tidak bisa. Soalnya aku mau langsung pergi sekarang."
"Aku nggak jadi menunggu orangnya. Aku mau pulang aja, Kak."
Ardian yang mendengar percakapan adiknya akhirnya lebih mendekat. "Orang yang kamu tunggu namanya siapa, bekerja di lantai berapa, terus bekerja di bagian apa? Biar aku suruh Security memanggilnya untukmu."
"Tidak usah repot-repot, Pak. Saya akan pulang saja. Nggak enak jadinya kalau begini. Mm.. aku pamit saja kalau begitu. Mari.." Amara membungkukkan sedikit badannya lalu bergegas keluar dari loby.
Ardian dan Bian saling pandang bingung. Akhirnya saling mengangkat bahu karena tidak mengerti dengan yang dilakukan Amara.
"Kamu berangkat saja kalau begitu. Ingat, jaga kakak kamu baik-baik. Awasi dia, jangan sampai ada pria yang meliriknya."
Bian mengernyit mendengar pesan kakak iparnya. "Semua orang punya mata, Bang. Orang juga hidup dengan hak asasi masing-masing. Aku hanya bisa melarang kalau ada orang yang mengganggu Kak Ayra. ATM-nya mana, biar kita bisa belanja dengan aman nanti." Tidak lupa Bian menyodorkan tangannya, agar hal yang paling penting tidak terlupakan.
Ardian melengos. "Udah dibawa kakak kamu. Kalau mau jajan yang banyak, jangan lupa lapor pada Ibu Bos."
"Hmm.. assalamu'alaikum.."
*********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments