ANOTHER SIDE OF Vivi
Hujan di pagi hari...
Hujan itu berkah bagi sebagian orang, hujan itu musibah bagi sebagian lainnya. Namun buatku, hujan tetaplah sama, apapun yang dibawa oleh sang hujan tetaplah sama yaitu air yang menyejukkan. Berkah masih tetap kurasakan hingga kini.
Entah mengapa dari dulu aku sangat menyukai hujan, mungkin salah satunya adalah aku menikmati alur jatuhnya air hujan yang jatuh menimpa bumi sehingga membentuk percikan dan suara yang bisa membuat hatiku damai.
Oh wahai hujan...
Kau tak pernah ragu jika ingin turun, maka turun saja. Kau tak pernah peduli meski makhluk bumi tak mengharapkanmu turun. Jika saja hujan tak seindah ini, maka aku tak akan menyukai hujan.
***
"Hey anak haram! Tunggakan kontrakan elo udah tiga bulan kagak bayar. Buruan bayar!" maki mpok Ulpeh pemilik kontrakan.
Sudah menjadi asupan telinganya setiap hari dengan kata-kata yang dilontarkan pemilik kontrakan.
Namanya Viviane Aimee Bailey. Seorang gadis remaja berperawakan dan wajah "bule". Dikatakan "bule" karena ia merupakan percampuran darah Indonesia dan Perancis. Ia tinggal di kontrakan bersama ibunya. Sebuah kontrakan kecil di pinggiran kota Jakarta.
Ibunya bernama Anne Wijaya bukanlah penduduk asli kota Jakarta. Ia diboyong oleh mantan suaminya yang seorang warga negara Perancis untuk tinggal di Jakarta. Dulu, mantan suaminya adalah pebisnis real estate yang mempunyai proyek di Indonesia. Mantan suaminya itu sering berpindah-pindah kota di Indonesia, hingga suatu hari bertemu dengannya di kota kelahirannya, Purwakarta.
"Iya mpok, minggu depan saya usahakan bayar kontrakan" ucap Vivi memelas.
Ia baru saja pulang dari sekolah. Belum juga ia melangkahkan kakinya de dalam rumah kontrakannya, mpok Ulpeh sang pemilik kontrakan sudah mnecegatnya.
"Oke, gue kasih kesempatan terakhir buat elo! Kalau kagak bayar lagi, elo sama ibu elo yang penyakitan itu harus angkat kaki dari kontrakan gue!" seru mpok Ulpeh, sambil berkacak pinggang ia lantas berlalu meninggalkan Vivi. Vivi tak sampai hati memasukkan ucapan mpok Ulpeh ke dalam hatinya, ia selalu percaya bahwa mpok Ulpeh sebenarnya orang baik, hanya saja ia menjalankan tugasnya sebagai anak pemilik kontrakan.
"Vivi pulang, Mah ...." ucap Vivi setelah melepas sepatu dan meletakkannya di rak sepatu depan rumahnya.
Vivi lantas mendekati ibunya yang tergolek lemah di ruang televisi. Tak pantas disebut ruang televisi, karena tidak ada televisi di ruangan itu. Kontrakan Vivi sangatlah kecil, hanya tersedia satu kamar kecil yang di tempati oleh Vivi selama ini. Sedangkan, ibunya tidur beralaskan kasur tipis di ruang televisi yang merangkap sebagai tempat mereka biasa menyantap makanan bersama.
"Mah, ini Vivi bawain makanan buat mamah. Tadi di sekolah Vivi diberi bubur dan makanan lebihan kantin sama mpok Atik. Makan dulu yuk, Mah" ucapnya sembari tangannya sangat terampil menyiapkan piring plastik dan sendok untuk mereka makan bubur.
Di sekolahnya, Vivi adalah termasuk salah satu murid yang cerdas dan supel. Ia memiliki banyak teman dan lagi guru-guru di sekolahnya sangat mempertahankan Vivi agar terus bersekolah. Karena hal itu, Vivi tidak pernah memikirkan kesulitan bayaran sekolah. Satu-satunya yang selalu ia syukuri dalam hidupnya selain masih memiliki ibunya adalah ia masih bisa mengenyam pendidikan tanpa perlu hawatir tentang bayaran sekolah.
Vivi bertekad, ia akan terus mempertahankan sekolahnya agar bisa meraih cita-cita dan impiannya. Cita-cita dan impian Vivi sangatlah sederhana, ia hanya ingin melanjutkan kuliah di Perancis. Kenapa Perancis? Karena ia ingin sekali bertemu dengan ayah kandungnya.
Vivi membantu ibunya duduk perlahan. Ia dengan sabar menyuapi bubur pada ibunya. Tak ada sedikitpun keluh kesah ia ungkapkan pada ibunya termasuk tentang tunggakan kontrakan. Bagi Vivi, ibunya adalah segalanya, ia bersyukur masih ada ibunya yang menguatkan hari-harinya.
"Mah, besok kemungkinan Vivi pulang agak sore menjelang malam. Vivi ada kerjaan yang harus diselesaikan, bayarannya lumayan besar. Bisa untuk membayar kontrakan kita satu bulan" ucap Vivi, masih dengna kegiatannya menyuapi bubur untuk ibunya.
"Vivi ...." panggil ibunya dengan suara lemah.
"Iya, Mah?" sahut Vivi santun.
"Tolong ambilkan kotak hitam di lemari baju Mamah" ucap ibunya setelah menerima tegukan minum dari Vivi.
Vivi dengan sigap langsung mengambil kotak yang dimaksud oleh ibunya. Ia lalu menyerahkan pada ibunya tanpa ada maksud untuk bertanya apapun.
"Coba kamu buka kotaknya" ucap ibunya saat Vivi hendak menyerahkan kotak itu pada ibunya.
Vivi membuka perlahan kotak itu. Ia melihat ada beberapa lipatan kertas dan sebuah kalung emas.
"Ini semua apa, Mah?" tanya Vivi akhirnya.
Ibunya mengambil kalung yang ada di kotak tersebut lalu dengan perlahan memakaikannya ke leher Vivi. Sebuah kalung emas dengan bandul berbentuk huruf A berwarna putih.
"Ini adalah kalung pemberian papamu. Kalung ini sekarang menjadi identitasmu "Aimee". Mamah tau, kamu selama ini berusaha mengumpulkan informasi tentang Papa. Dan mamah rasa, sudah saatnya kamu mengetahuinya langsung dari Mamah" ucapnya di selingi suara batuk.
Vivi menyentuh huruf A pada kalung itu. Ada perasaan haru yang membuncah di hatinya. Tekadnya kembali menggelora, semangat menggebu ingin segera menemukan ayahnya.
"Mamah tidak tahu sekarang papamu ada di mana tepatnya. Ini semua adalah surat yang dikirim oleh Papamu. Di situ ada surat terakhir yang Mamah terima dari Papamu, saat usiamu masih kelas tiga SMP. Itu adalah tiga tahun yang lalu. Kamu bisa menemukan Papamu melalui surat-surat yang dikirimkannya. Maafkan Mama, tidak bisa mempertemukanmu dengan Papa" ucap ibunya penuh rasa bersalah.
Vivi mengambil tumpukan surat yang ada di kotak itu. Ia membuka salah satu kertas surat dari ayahnya. Membaca tiap katanya dengan dada berdebar. Tanpa terasa ada satu bulir air mata jatuh ke pipinya.
"Vivi ..." panggil ibunya lemah.
"Maafkan Mamah ..." ucapnya lagi.
"Gak Mah, Mamah gak salah apa-apa sama Vivi. Vivi harusnya lebih bisa berbakti lagi sama Mamah. Vivi belum jadi anak yang membanggakan untuk Mamah. Vivi janji sama Mamah, Vivi bakal menemukan Papa untuk Mamah" uacp Vivi. Ia terisak di pelukan mamanya.
Malam beranjak larut ditambah rintik hujan turun menemani malam mereka. Untung saja hanya petir kecil yang menyelingi hujan di malam ini. Cukuplah untuk malam ini mereka melepas hari yang begitu penat. Tenggelam dalam dinginnya malam yang diguyur hujan.
***
"Mah, Vivi berangkat sekolah dulu ya" ucap Vivi.
Setelah rutinitasnya setiap pagi memapah ibunya ke dalam kamar mandi lalu menyuapi ibunya dan menyediakan minum untuk selama ditinggal olehnya ke sekolah, Vivi bersiap-siap berangkat sekolah.
"Kamu hati-hati di jalan ya, sayang. Belajar yang serius supaya bisa meraih cita-citamu. Mamah sayang sekali sama Vivi. Anak kebanggaan mamah" ucap ibunya sembari memeluk lalu mengecup kening Vivi sebelum akhirnya Vivi keluar rumah.
Vivi bukanlah gadis manja yang segala kebutuhannya harus dipenuhi oleh orang sekitarnya. Ia pribadi yang mandiri, terbukti ia menolak ajakan temannya yang bertemu di jalan untuk ikut berangkat bersama menggunakan mobil temannya. Ia lebih memilih menggunakan kendaraan umum. Lebih bebas menurutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments