Cuci piring (part1)

Setelah menempuh jarak dan waktu belasan menit, akhirnya mereka tiba di depan sebuah Rumah makan Padang. Vivi lantas turun dari mobil angkutan umum diikuti juga oleh Tama di belakangnya.

"Tama, kamu serius mau ikut masuk ke dalam juga?" tanya Vivi setelah berada dekat dengan pintu belakang rumah makan itu.

"Aku serius, memangnya kenapa?" tanya Tama.

"Ehm ... gak apa-apa sih. Tapi aku sedikit ragu. Apakah pemilik restaurant membolehkan kamu juga ikut masuk ke dalam" ucap Vivi.

"Udah, gak usah ragu! Ayok kita masuk!" sahut Tama sembari menarik tangan Vivi.

Vivi terheran, kenapa Tama yang malah bersemangat masuk ke dalam restaurant itu.

"Permisi mas, saya mau bertemu dengan manajer restauran ini" ucap Vivi pada seorang laki-laki yang berdiri tak jauh dari pintu belakang restaurant.

"Saya manejer restauran ini. Ada yang bisa saya bantu?" sahutnya.

"Saya kesini karena ada tawaran dari teman saya sebagai pencuci piring. Apakah benar di restaurant ini membutuhkan tenaga pencuci piring?" tanya Vivi ragu-garu. Ia sesekali melirik Tama seolah mencari kepercayaan diri pada tatapan Tama.

"Oh iya, betul. Pasti kamu Vivi ya? Nina sudah cerita tentang kamu pada saya. Bagimana?Sudah siap bekerja hari ini?" tanya pak Gunawan manejer restauran itu. Vivi mengetahuinya setelah tadi mereka berkenalan.

"Tapi mohon maaf, kami hanya bisa membayar upah untuk satu tenaga cuci piring saja" lanjutnya.

Vivi dan Tama saling tatap. Vivi merasa tak enak hati pada Tama yang sejak awal semangat sekali untuk ikut bekerja dengannya.

"Oh gak apa-apa mas. Aku hanya membantu Vivi. Aku tidak perlu di bayar" ucap Tama yang membuat mata cantik Vivi membeliak. Vivi menyenggol tangan Tama.

"Gak apa-apa Vi. Aku rela kok bantuin kamu. Kamu santai aja, oke?" ucapnya lagi.

"Baiklah, kalau sudah ada kesepakatan dan tidak ada lagi kendala di antara kalian. Mari ikut saya ke tempat pencucian piring" ucap pak Gun.

Pak Gun membawa mereka ke sebuah tuangan khusus pencucian puring. Ruangan itu tak begitu luas, tetapi cukup luas untuk mereka berdua. Di sana terlihat banyak tumpukan piring kotor selesai pelanggan di jam makan siang. Tumpukan piring itu di diletakkan di atas meja luas oleh pelayan restauran melalui sebuah lubang besar di dinding. Lubang itu menyerupai bingkai foto besar sebatas dada orang dewasa. Piring kemudian akan dipindahkan oleh petugas pencuci piring menuju sebuah bak besar dengan kran yang menjulur panjang.

"Silakan, kalian bisa mulai. Tumpukan piring kotor sudah menunggu dicuci. Saya tinggal ke depan dulu" ucap pak Gun kemudian meninggalkan mereka berdua di dalam ruang pencucian piring.

"Wah, banyak banget piring kotornya! Aku bisa nyelesaikan semuanya sampe jam berapa nih" keluh Vivi sambil mengenakan celemek anti air dan sepatu boot.

"Tenang Vi, 'kan ada aku di samping kamu! Pasti cepet selesainya" ujar Tama sambil membusungkan dan menepuk dadanya.

"Apaan deh, lebay! Ayo kita mulai aja, nanti gak bisa lanjut ke restaurant depan kalau ngobrol terus. Eh tapi, kamu gak ada celemeknya, gimana dong?"

Vivi berkeliling ruangan itu berusaha mencari celemek cadangan untuk Tama. Namun, sayangnya tak ada lagi. Mungkin itulah salah satu alasan pak Gun mengatakan hanya menerima satu pekerja saja. Vivi masih terus mencari di setiap sudut ruangan itu sesuatu yang bisa dipakai Tama agar bajunya tidak basah. Matanya kemudian melihat sebuah jas hujan yang bertengger di gantungan balik pintu. Ia lantas menyambar jas hujan warna biru itu lalu menyerahkannya pada Tama.

"Nih, kamu pakai ini saja!" ucapnya.

Tama menerima uluran jas hujan dari Vivi. Sejenak ia terdiam, geli rasa hati ia menatap jas hujan di tangannya.

"Kenapa?" tanya Vivi di tengah kesibukannya membuang sisa makanan ke tempat sampah.

"Gak apa-apa kok" Tama tersadar dari lamunannya, ia lantas bergegas mengenakan jas hujan yang ia pegang.

"Vi, biar aku saja yang ambil piring dari meja situ. Kamu diam di sini saja, gak usah mondar-mandir. Biar aku saja yang mondar-mandir memindahkan piring kotor dari sana ke bak cucian" ucap Tama. Ia memegang tangan Vivi agar tidak mondar-mandir mengambil piring.

Vivi menurut saja, dipikirannya ia hanya ingin cepat menyelesaikan pekerjaannya dan segera mendapat bayaran.

"Aaa...!!!"

Tama sontak menoleh ke arah Vivi karena suara teriakkannya.

Vivi berjingkat mendekati Tama dan refleks memeluk erat tubuh Tama karena ketakutan.

"Ada apa Vi?" tanya Tama panik.

"Itu ... ada kecoa" ucap Vivi takut. Ia kembali memeluk erat Tama setelah menunjukkan keberadaan kecoa pada Tama.

"Oh, cuma kecoa mati ... kirain ada apa"

Tama lantas meregangkan pelukan Vivi lalu mendekati kecoa yang sudah mati di hadapannya. Ia kemudian menyapu kecoa itu menggunakan sapu yang ia ambil dari balik pintu.

"Udah aku buang tuh! Jangan takut lagi, ayo kita lanjutin lagi nyuci piringnya biar cepet selesainya. Bentar lagi 'kan jadwal kita ke restaurant seberang jalan" ujar Tama menarik jemari tangan Vivi yang masih menutupi wajahnya.

Vivi perlahan akhirnya menuruti saran Tama. Dengan masih ada rasa takut, ia melanjutkan mencuci piring yang sekarang tinggal sedikit lagi. Tentu saja pekerjaannya lebih cepat dan ringan dikarenakan Tama pun ikut membantu mencuci piring.

Setelah selesai, mereka pun menghadap pak Gun untuk melaporkan pekerjaan mereka dan tentu saja Vivi sangat menunggu bayaran dari usahanya.

"Wah, kerja kalian cukup memuaskan. Tapi besok kalian tidak usah datang lagi kesini" ucap pak Gun menggantungkan kalimatnya.

"Loh, kenapa pak?" tanya Tama tak sabaran. Ia merasa bahwa hasil kerja mereka cukup bagus dan layak untuk mendapatkan posisi pekerjaan itu, tetapi kenapa manejer itu tidak mengijinkan mereka datang kembali.

"Besok pemilik restaurant akan merenovasi sedikit bagian dapur restaurant ini, sehingga seluruh karyawan diberi libur selama dua hari atau lebih, tergantung dari penyelesaian waktu renovasi" ucap pak Gun.

Tama yang mendengar penjelasan pak Gun sedikit lebih lega.

"Setelah renovasi, apakah kami masih bisa bekerja disini, pak?"

Tama kembali memberikan pertanyaan penegasan pada pak Gun bahwa mereka sangat membutuhkan pekerjaan itu. Selama pembicaraan, Tama lah yang lebih mendominasi percakapan dengan pak Gun, sedangkan Vivi memikirkan pembagian uang yang didapatnya untuk membayar kontrakan dan kebutuhannya sehari-hari.

"Hei! Ngelamun aja. Ayo kita ke restaurant seberang jalan. Masih ada waktu nih, kita beli cemilan dulu yuk di warung itu" Tama mengajak Vivi mampir terlebih dahulu ke warung kecil samping restaurant itu. Tama mengambil dua bungkus roti dan dua botol air mineral.

"Nih makan dulu, kita isi tenaga dulu sebelum perang lagi dengan piring kotor" ucap Tama.

Ia menyerahkan satu bungkus roti rasa coklat kesukaan Vivi dan air mineral.

"Tama ... apa kamu gak merasa lelah mengikuti jalan hidupku? Seharusnya kamu gak melakukan semua ini. Kamu harusnya bisa bersenang-senang dengan teman-teman yang lain. Tidak terikat denganku"

Tama menghentikan kunyahannya. Ia mendengarkan tiap kata yang diucapkan Vivi.

"Apa kamu terbebani kalau aku selalu ada di sampingmu?" sahut Tama. Ada nada tersinggung di ucapan Tama.

Vivi menghela nafas panjang. Ia tak mengerti pada pemikiran Tama yang repot-repot mengurusi kehidupannya. Apa cinta yang membuatnya menjadi rumit.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!