Tama

"Dari mana saja kamu?! Jam segini baru pulang sekolah!"

Tama baru saja menginjakkan kakinya di ruang tamu ketika suara menggelegar terdengar dari arah kursi sofa rumahnya.

Suara itu jelas sekali, suara ayahnya yang sudah sejak tadi menunggunya pulang sekolah. Ia berdiri melipat tangannya di depan dadanya. Wajahnya merah padam, seolah akan ada asap yang keluar dari telinganya. Ayahnya sangat murka.

"Tama! Kesini kamu!" sekali lagi suara ayahnya yang menggema ruang tamu memanggilnya, memaksanya menyeret langkah kakinya berjalan mendekati ayahnya.

"Plak!!!" sebuah tamparan yang sangat keras mendarat di pipi kiri Tama. Membuat pipi Tama berubah warna dan memanas. Ibunya yang hendak menolongnya dicegah oleh ayahnya agar tetap duduk di sofa.

"Mau jadi apa kamu?! Hah?! Kamu anggap papi apa?! Semua omongan papi tidak kamu gubris. Papi sudah mempersiapkan kamu dengan sempurna. Kenapa kamu tidak mau mengambil kesempatan kuliah di London?".

Tama tentu tahu jawaban dari semua pertanyaan ayahnya itu, tapi ia enggan untuk menjawabnya. Dan alasan utama ia tak mengambil kuliah di London, tentu saja karena Vivi. Ia ingin terus bersama Vivi. Rasa cintanya semakin jelas dan bukan hanya sekedar cinta anak ingusan.

"Jawab?!" suara ayahnya Tama semakin menggema, memekakkan telinga.

"Mas, sudah cukup ...." ibunya Tama mendekati ayahnya. Memegang lengan suaminya agar menghentikan suaminya yang berniat untuk menampar anaknya kembali.

"Ini nih hasil didikanmu! Anak yang tidak bertanggung jawab! Tidak tau cara menghormati orang tua! Anak kurang ajar!" makian ayahnya membuat darah Tama mendidih. Ia tidak suka jika ayahnya menyalahkan ibunya. Namun ia masih belum berani membantah tudingan ayahnya.

"Bawa anakmu masuk ke kamar! Jangan dikasih makan malam! Biar dia tau arti kelaparan!" ucap ayahnya.

Dengan tergopoh-gopoh dan diselingi tangisan, ibunya menuntun Tama masuk ke dalam kamar.

"Minum dulu, nak" ucap ibunya sambil menyodorkan segelas air yang tadi ia dapatkan dari pembantunya. Sebelum pembantunya pergi dari kamar Tama, ia juga sudah memerintahkan untuk membawakan sepiring nasi beserta lauknya untuk Tama. Namun ia berpesan pada pembantunya agar berjalan hati-hati supaya tidak diketahui oleh suaminya. Bagaimanapun, hati seorang ibu tetaplah lembut. Ia tetap menyayangi dan mengasihi anaknya meskipun tingkah laku anaknya sangat dibenci suaminya.

"Makan dulu, nak. Kamu pasti lapar. Ayo, Mami suapin" ucap ibunya sembari menyendokkan nasi dan menyodorkannya ke depan mulut Tama. Namun buru-buru ditampik oleh Tama.

"Biar Tama makan sendiri, Mam" ucapnya lalu mengambil alih piring yang ada di pangkuan ibunya.

"Kamu sebenarnya dari mana aja, nak? Papi dan Mami sudah menunggumu sejak siang. Seharusnya kamu pulang sekolah jam segitu 'kan?" tanya ibunya.

Tama belum menjawab. Ia makan dengan lahap, seakan makanan di piringnya adalah makanan terakhir yang harus segera dihabiskan cepat.

"Tadi Tama bantuin teman Mam" ucapnya setelah selesai meneguk habis air minum di gelasnya. Perutnya sudah terisi penuh sekarang. Rasa lemas dan lelahnya sedikit berkurang karena telah terisi oleh asupan makanan.

"Mam, boleh gak aku istirahat sekarang. Capek banget badan Tama. Pengen tidur" ucap Tama. Ia tak ingin melanjutkan perbincangan dengan ibunya. Lelah hati dan pikirannya melebihi dari lelah badannya. Sakit hatinya lebih perih daripada tamparan keras dari ayahnya. Pipinya memerah dan ujung bibirnya sedikit sobek karena saking kerasnya tamparan tangan ayahnya. Ibunya langsung mengerti keinginan anaknya. Ia beringsut dari ranjang anaknya, membawa piring dan gelas yang tadi dipakai Tama untuk makan, lalu beranjak keluar kamar Tama.

Tama membuka tas ranselnya. Ia mengambil amplop yang tadi ia dapatkan dari hasil upah mencuci piring di resto khas Sunda. Ada dua amplop yang ia terima. Ia mengeluarkan isi yang ada di amplop putih yang pertama kali diberikan oleh bu Arina. Amplop itu lebih tebal dari amplop satunya. Sudah sangat jelas bentuknya tebal karena di dalamnya berisi uang yang lembarannya lebih banyak.

"Lumayan bisa buat traktir Vivi besok" gumam Tama.

Ia memisahkan beberapa lembar uang untuk ia nanti mentraktir Vivi, lalu sisanya ia masukkan ke dalam kotak yang biasa ia pergunakan untuk menyimpan uang.

"Tunggu saja, Vi. Aku pasti bisa membuatmu mengakui perasaanku" gumamnya.

Tama merebahkan tubuhnya di ranjang besarnya. Malam ini terasa begitu melelahkan. Ia hanya ingin tidur, menenggelamkan rasa perih di pipinya dalam tidur nyenyaknya malam ini. Lelah teramat sangat, hingga ia melupakan mandi. Tertidur dalam balutan baju seragam SMA nya yang belum ia ganti.

***

Minggu pagi Tama sudah bersiap. Ia sedari pagi sekali sudah berpenampilan rapi. Hari ini ia berniat hendak mengajak Vivi untuk pergi jalan-jalan. Menghabiskan waktu hanya berdua dengan Vivi meski hanya sekedar berjalan di pinggir pantai.

"Mau kemana, nak? Pagi-pagi anak Mami udah ganteng gini" tanya ibunya. Tama baru saja membuka pintu kamarnya saat ibunya menyapanya.

"Mau ke rumah teman Mam" ucap Tama.

"Gak sarapan dulu, nak?" tanya ibunya. Tama terdiam. Ia enggan jika harus makan satu meja dengan ayahnya.

"Papimu sudah pergi dari tadi subuh. Sarapan dulu yuk!" ajak ibunya sambil menggandeng tangan Tama, seolah tau arti diam anaknya.

"Mam, aku sudah janji dengan temanku sarapan bareng di warung nasi. Gak apa-apa 'kan kalau aku gak sarapan di rumah?" tanya Tama. Ia berbohong karena sudah tak sabar untuk bertemu dengan Vivi.

"Ya sudah. Ini untuk mentraktir teman kamu" ucap ibunya sambil menyelipkan beberapa lembar uang ratusan ribu pada tas Tama. Bagaimana pun seorang ibu tetaplah tidak tega melihat anaknya menderita, apalagi Tama adalah anak satu-satunya. Ibunya memberikan uang pada Tama sebab, sejak kemarin suaminya sudah meng-ultimatum agar Tama tidak mendapatkan uang jajan selama seminggu, sebagai bentuk hukuman karena pulang terlambat kemarin.

"Makasih, mam. Aku pergi dulu" ucap Tama sambil mencium pipi ibunya lantas bergegas berjalan menuju keluar rumahnya.

***

Hanya butuh beberapa puluh menit, Tama sudah sampai di ujung gang kontrakan Vivi. Setelah tadi menaiki dua kali angkot, akhirnya ia sampai di jalan menuju gang kontrakan Vivi.

Tama berjalan dengan penuh semangat menuju kontrakan Vivi. Tak ia hiraukan sepatunya berkali-kali menginjak genangan air kotor akibat jalanan itu diguyur hujan semalam. Binar mata menyiratkan ketidaksabaran untuk bertemu dengan pujaan hati. Rasa rindu yang membuncah dalam hati seolah tak terbendung lagi. Seakan ingin sekali segera diluapkan hanya dengan menatap bola mata sang pujaan hati. Menggandeng tangannya erat, berjalan beriringan bak muda mudi remaja yang sedang kasmaran.

Beberapa langkah lagi ia sampai depan pintu kontrakan kecil milik Vivi. Ia dengan tak sabaran mengetuk pintu kumuh itu.

Tok ... tok ... tok ...

"Permisi ....!" seru Tama setelah mengetuk pintu rumah beberapa kali. Namun belum ada jawaban dari dalam rumah. Ia kembali mengetuk pintu tersebut.

"Permisi, Vivi!" serunya lagi, kali ini terdengar suara sahutan "ya" dari dalam kontrakan itu. Telinga Tama sudah sangat pasti bisa mengenali suara siapa itu. Jelas itu adalah suara Vivi, pujaan hatinya. Tak lama kemudian pintu kontrakan pun terbuka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!