Hanya Pelangi

Vivi merapikan dan menyimpan buku-bukunya ke dalam tas, lalu bergegas keluar dari kelasnya setelah mendengar bel pulang sekolah berbunyi. Ia ingat hari ini ada pekerjaan yang harus ia kerjakan.

"Vivi! Tunggu!" seru seseorang saat Vivi sedsng berjalan cepat di koridor kelasnya. Ia menoleh ke arah sumber suara.

"Vi, kamu mau kemana? Aku lihat kamu sangat terburu-buru merapikan buku-bukumu. Ada hal genting apa?" tanyanya kemudian setelah berhasil menyejajarkan langkahnya dengan langkah Vivi.

Namanya Tama Sebastian. Ia telah menaruh hati pada Vivi sejak bangku SMP. Vivi dan Tama berasal dari sekolah SMP yang sama, hingga saat kelulusan SMP, Tama pun ikut mendaftar ke sekolah yang Vivi daftar. Meskipun ia harus membujuk mati-matian pada orang tuanya untuk mendaftarkannya melalui jalur belakang, karena ia tidak memenuhi syarat menjadi siswa baru di sekolah SMA itu.

Tentu saja mudah bagi ayahnya Tama untuk mengabulkan keinginan Tama --anak semata wayangnya. Ayahnya bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sehingga mudah baginya untuk melancarkan keinginan anaknya.

Tama adalah sosok yang baik dan sopan di mata Vivi. Ia tak pernah sekalipun berbuat kurang ajar pada Vivi, bahkan ia selalu membantu dan membela Vivi di saat Vivi membutuhkan pertolongan. Pernah suatu hari saat Vivi tidak bisa membayar tagihan obat untuk ibunya karena dompetnya tertinggal di rumah, Tama lah yang rela merogoh dompetnya untuk membayarkan tagihan obat ibunya Vivi. Namun tetap saja, Vivi tidak mau menerima bantuan dari Tama dengan gratis, ia selalu mengatakan bahwa uang itu ia anggap hutangnya pada Tama dan akan dibayar kelak jika ia sudah punya uang. Meski Tama menolak pemikiran itu, tapi Vivi bersikeras untuk menjadikan tiap bantuan dari Tama adalah hutang. Tama hanya menyerah saja jika Vivi sudah bersikap keras kepala seperti itu.

Tama selalu mendampingi Vivi setiap pulang sekolah. Hingga di persimpangan jalan barulah mereka berpisah karena, rumah mereka berbeda arah. Tapi hari ini, Vivi seperti terburu-buru dan tak mau ditemani oleh Tama.

"Aku ada dua pekerjaan sore ini, jadi aku buru-buru supaya bisa menyeelesaikannya dan pulang sebelum petang tiba" ucapnya masih dengan langkah lebarnya seperti mengejar sesuatu.

"Boleh aku ikut?" tanya Tama. Baru kali ini ia meminta ijin pada Vivi untum sekedar menemaninya. Hari-hari biasanya Tama sudah sangat fasih langsung mengekor Vivi kemanapun Vivi pergi tanpa ada perijinan dari Vivi, karena sudah pasti vibi mengijinkannya. Namun, hari ini Vivi nampak lain, lebih serius dari biasanya. Wajahnya yang cantik menampakkan raut tegang tak seperti biasanya yang santai dan ceria.

Vivi menghentikan langkah cepatnya, ia menatap Tama lamat-lamat. Berpikir apakah boleh mengajak Tama ke tempat pekerjaannya yang baru itu.

"Kenapa?" tanya Tama saat matanya bersirobok dengan mata cantik milik Vivi. Bulu mata tebal dan lentik membuat mata Vivi menjadi salah satu yang disukai Tama pada Vivi.

"Entahlah, apakah boleh aku mengajak orang lain ke tempat kerjaku itu" ucap Vivi. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya sekilas tersadar dari pikirannya.

"Pekerjaan apa yang membuatmu berpikir sangat keras untuk hanya sekedar mencari jawaban recehku tadi?" tanya Tama risau.

"Aku mendapat tawaran untuk bekerja di rumah makan Padang sebagai pencuci piring siang ini. Selanjutnya pun sama tapi rumah makan seafood seberang jalan dari rumah makan Padang tadi" ucap Vivi.

"Oh, kupikir pekerjaan lain yang ada di benakku. Kalau begitu, aku harus ikut" ucap Tama langsung meraih tangan Vivi dan mulai berjalan cepat.

"Tunggu dulu, tunggu dulu. Pekerjaan apa yang ada di benakmu?"

Vivi menarik tangannya agar ia terhenti dari tarikan tangan Tama.

"Oh, gak kok, aku gak mikir apa-apa" ucap Tama merasa bersalah karena mengira Vivi dengan hal yang tidak pantas.

"Jangan sekali-kali memikirkan hal buruk seperti itu lagi ya, Tama! Aku gak serendah itu!"

Vivi merasa tersinggung pada Tama, baru kali ini ia merasa marah terhadap perkataan Tama. Ia lantas berjalan cepat meninggalkan Tama.

"Vi! Vivi! Aku minta maaf. Bukan maksudku begitu, aku selalu menghawatirkanmu. Aku gak bisa kehilanganmu" seru Tama kembali mengejar langkah Vivi.

"Kamu kan tau, kalau aku suka sama kamu dari SMP. Aku gak mau kehilanganmu" ucapnya lagi.

Vivi masih terdiam, fokusnya kini adalah bisa sampai ke rumah makan Padang tepat waktu.

"Vi! Maafin aku, plis ...."

Tiba-tiba Tama menghadang Vivi dengan merentangkan tangannya di depan Vivi. Ia lakukan itu agar Vivi tak lagi marah pada ucapannya tadi. Sontak dengan begitu, langkah cepat Vivi pun terhenti.

"Kamu jangan marah dong. Aku minta maaf" ucapnya. Kini ia menempelkan kedua telapak tangannya dan memohon agar Vivi memaafkannya.

"Iya, aku sudah memaafkanmu. Tapi untuk kesekian kalinya aku minta maaf karena tidak bisa menerima perasaanmu. Masih banyak hal yang harus aku pikirkan daripada hanya sekedar memikirkan cinta anak remaja" ucap Vivi.

"Tidak bisa atau belum bisa menerima? Bisakah di masa depan kita ....?" ucap Tama masih menaruh harap agar Vivi merubah pernyataannya tentang perasaannya.

"Udah ah, aku buru-buru! Sebentar lagi waktuku masuk shift!" ujarnya kemudian melanjutkan langkahnya dengan cepat.

Lagi-lagi penolakan yang tak jelas. Tama pernah menanyakan kenapa ia tidak bisa menerima perasaan Tama yang begitu tulus padanya. Dan selalu jawaban itu yang terlontar dari bibir manis Vivi.

Vivi menghentikan sebuah mobil angkutan di depannya. Ia lantas masuk dan duduk di bangku penumpang tak terkecuali Tama. Ia masih mengekor Vivi, memutuskan untuk ikut ke tempat kerja Vivi.

Di dalam mobil angkutan, mereka tak saling bicara, seolah sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Tama berpikir ia akan lebih sabar lagi menunggu Vivi menerima cintanya. Sedangkan Vivi, ia tak sama sekali memikirkan kisah asmara anak sekolah. Di otaknya hanya terpenuhi oleh impian dan cita-cita. Ia harus fokus menggapai impiannya agar bisa mempertemukan ibunya dengan ayahnya. mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk kehidupannya dengan ibunya.

Sehingga hanya untuk sekedar merasakan manisnya perasaan cinta anak muda ia tidak tertarik. Menurutnya itu hanya seperti sebuah pelangi yang hadir sekejap mata. Dan akan hilang dengan sendirinya seiring terik matahari kenyataan bertengger di langit siang. Tama bukanlah bintang yabg harus ia gapai di malam hari dan matahari yang menemani harinya, tetapi Tama hanyalah pelangi yang mewarnai hari-harinya dan akan segera sirna setelah Tama menemukan orang yang tepat untuk ia cintai. Tama hanyalah pelangi, tak lebih.

Vivi melirik wajah Tama yang tengah menatap keluar jendela mobil. Tak ada satupun niat di hatinya untuk menyakiti Tama. Tama terlalu sempurna untuknya, ia merasa tak pantas mendapatkan cinta tulus Tama. Tama pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik dari dirinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!