Hujan di pagi hari...
Hujan itu berkah bagi sebagian orang, hujan itu musibah bagi sebagian lainnya. Namun buatku, hujan tetaplah sama, apapun yang dibawa oleh sang hujan tetaplah sama yaitu air yang menyejukkan. Berkah masih tetap kurasakan hingga kini.
Entah mengapa dari dulu aku sangat menyukai hujan, mungkin salah satunya adalah aku menikmati alur jatuhnya air hujan yang jatuh menimpa bumi sehingga membentuk percikan dan suara yang bisa membuat hatiku damai.
Oh wahai hujan...
Kau tak pernah ragu jika ingin turun, maka turun saja. Kau tak pernah peduli meski makhluk bumi tak mengharapkanmu turun. Jika saja hujan tak seindah ini, maka aku tak akan menyukai hujan.
***
"Hey anak haram! Tunggakan kontrakan elo udah tiga bulan kagak bayar. Buruan bayar!" maki mpok Ulpeh pemilik kontrakan.
Sudah menjadi asupan telinganya setiap hari dengan kata-kata yang dilontarkan pemilik kontrakan.
Namanya Viviane Aimee Bailey. Seorang gadis remaja berperawakan dan wajah "bule". Dikatakan "bule" karena ia merupakan percampuran darah Indonesia dan Perancis. Ia tinggal di kontrakan bersama ibunya. Sebuah kontrakan kecil di pinggiran kota Jakarta.
Ibunya bernama Anne Wijaya bukanlah penduduk asli kota Jakarta. Ia diboyong oleh mantan suaminya yang seorang warga negara Perancis untuk tinggal di Jakarta. Dulu, mantan suaminya adalah pebisnis real estate yang mempunyai proyek di Indonesia. Mantan suaminya itu sering berpindah-pindah kota di Indonesia, hingga suatu hari bertemu dengannya di kota kelahirannya, Purwakarta.
"Iya mpok, minggu depan saya usahakan bayar kontrakan" ucap Vivi memelas.
Ia baru saja pulang dari sekolah. Belum juga ia melangkahkan kakinya de dalam rumah kontrakannya, mpok Ulpeh sang pemilik kontrakan sudah mnecegatnya.
"Oke, gue kasih kesempatan terakhir buat elo! Kalau kagak bayar lagi, elo sama ibu elo yang penyakitan itu harus angkat kaki dari kontrakan gue!" seru mpok Ulpeh, sambil berkacak pinggang ia lantas berlalu meninggalkan Vivi. Vivi tak sampai hati memasukkan ucapan mpok Ulpeh ke dalam hatinya, ia selalu percaya bahwa mpok Ulpeh sebenarnya orang baik, hanya saja ia menjalankan tugasnya sebagai anak pemilik kontrakan.
"Vivi pulang, Mah ...." ucap Vivi setelah melepas sepatu dan meletakkannya di rak sepatu depan rumahnya.
Vivi lantas mendekati ibunya yang tergolek lemah di ruang televisi. Tak pantas disebut ruang televisi, karena tidak ada televisi di ruangan itu. Kontrakan Vivi sangatlah kecil, hanya tersedia satu kamar kecil yang di tempati oleh Vivi selama ini. Sedangkan, ibunya tidur beralaskan kasur tipis di ruang televisi yang merangkap sebagai tempat mereka biasa menyantap makanan bersama.
"Mah, ini Vivi bawain makanan buat mamah. Tadi di sekolah Vivi diberi bubur dan makanan lebihan kantin sama mpok Atik. Makan dulu yuk, Mah" ucapnya sembari tangannya sangat terampil menyiapkan piring plastik dan sendok untuk mereka makan bubur.
Di sekolahnya, Vivi adalah termasuk salah satu murid yang cerdas dan supel. Ia memiliki banyak teman dan lagi guru-guru di sekolahnya sangat mempertahankan Vivi agar terus bersekolah. Karena hal itu, Vivi tidak pernah memikirkan kesulitan bayaran sekolah. Satu-satunya yang selalu ia syukuri dalam hidupnya selain masih memiliki ibunya adalah ia masih bisa mengenyam pendidikan tanpa perlu hawatir tentang bayaran sekolah.
Vivi bertekad, ia akan terus mempertahankan sekolahnya agar bisa meraih cita-cita dan impiannya. Cita-cita dan impian Vivi sangatlah sederhana, ia hanya ingin melanjutkan kuliah di Perancis. Kenapa Perancis? Karena ia ingin sekali bertemu dengan ayah kandungnya.
Vivi membantu ibunya duduk perlahan. Ia dengan sabar menyuapi bubur pada ibunya. Tak ada sedikitpun keluh kesah ia ungkapkan pada ibunya termasuk tentang tunggakan kontrakan. Bagi Vivi, ibunya adalah segalanya, ia bersyukur masih ada ibunya yang menguatkan hari-harinya.
"Mah, besok kemungkinan Vivi pulang agak sore menjelang malam. Vivi ada kerjaan yang harus diselesaikan, bayarannya lumayan besar. Bisa untuk membayar kontrakan kita satu bulan" ucap Vivi, masih dengna kegiatannya menyuapi bubur untuk ibunya.
"Vivi ...." panggil ibunya dengan suara lemah.
"Iya, Mah?" sahut Vivi santun.
"Tolong ambilkan kotak hitam di lemari baju Mamah" ucap ibunya setelah menerima tegukan minum dari Vivi.
Vivi dengan sigap langsung mengambil kotak yang dimaksud oleh ibunya. Ia lalu menyerahkan pada ibunya tanpa ada maksud untuk bertanya apapun.
"Coba kamu buka kotaknya" ucap ibunya saat Vivi hendak menyerahkan kotak itu pada ibunya.
Vivi membuka perlahan kotak itu. Ia melihat ada beberapa lipatan kertas dan sebuah kalung emas.
"Ini semua apa, Mah?" tanya Vivi akhirnya.
Ibunya mengambil kalung yang ada di kotak tersebut lalu dengan perlahan memakaikannya ke leher Vivi. Sebuah kalung emas dengan bandul berbentuk huruf A berwarna putih.
"Ini adalah kalung pemberian papamu. Kalung ini sekarang menjadi identitasmu "Aimee". Mamah tau, kamu selama ini berusaha mengumpulkan informasi tentang Papa. Dan mamah rasa, sudah saatnya kamu mengetahuinya langsung dari Mamah" ucapnya di selingi suara batuk.
Vivi menyentuh huruf A pada kalung itu. Ada perasaan haru yang membuncah di hatinya. Tekadnya kembali menggelora, semangat menggebu ingin segera menemukan ayahnya.
"Mamah tidak tahu sekarang papamu ada di mana tepatnya. Ini semua adalah surat yang dikirim oleh Papamu. Di situ ada surat terakhir yang Mamah terima dari Papamu, saat usiamu masih kelas tiga SMP. Itu adalah tiga tahun yang lalu. Kamu bisa menemukan Papamu melalui surat-surat yang dikirimkannya. Maafkan Mama, tidak bisa mempertemukanmu dengan Papa" ucap ibunya penuh rasa bersalah.
Vivi mengambil tumpukan surat yang ada di kotak itu. Ia membuka salah satu kertas surat dari ayahnya. Membaca tiap katanya dengan dada berdebar. Tanpa terasa ada satu bulir air mata jatuh ke pipinya.
"Vivi ..." panggil ibunya lemah.
"Maafkan Mamah ..." ucapnya lagi.
"Gak Mah, Mamah gak salah apa-apa sama Vivi. Vivi harusnya lebih bisa berbakti lagi sama Mamah. Vivi belum jadi anak yang membanggakan untuk Mamah. Vivi janji sama Mamah, Vivi bakal menemukan Papa untuk Mamah" uacp Vivi. Ia terisak di pelukan mamanya.
Malam beranjak larut ditambah rintik hujan turun menemani malam mereka. Untung saja hanya petir kecil yang menyelingi hujan di malam ini. Cukuplah untuk malam ini mereka melepas hari yang begitu penat. Tenggelam dalam dinginnya malam yang diguyur hujan.
***
"Mah, Vivi berangkat sekolah dulu ya" ucap Vivi.
Setelah rutinitasnya setiap pagi memapah ibunya ke dalam kamar mandi lalu menyuapi ibunya dan menyediakan minum untuk selama ditinggal olehnya ke sekolah, Vivi bersiap-siap berangkat sekolah.
"Kamu hati-hati di jalan ya, sayang. Belajar yang serius supaya bisa meraih cita-citamu. Mamah sayang sekali sama Vivi. Anak kebanggaan mamah" ucap ibunya sembari memeluk lalu mengecup kening Vivi sebelum akhirnya Vivi keluar rumah.
Vivi bukanlah gadis manja yang segala kebutuhannya harus dipenuhi oleh orang sekitarnya. Ia pribadi yang mandiri, terbukti ia menolak ajakan temannya yang bertemu di jalan untuk ikut berangkat bersama menggunakan mobil temannya. Ia lebih memilih menggunakan kendaraan umum. Lebih bebas menurutnya.
Vivi merapikan dan menyimpan buku-bukunya ke dalam tas, lalu bergegas keluar dari kelasnya setelah mendengar bel pulang sekolah berbunyi. Ia ingat hari ini ada pekerjaan yang harus ia kerjakan.
"Vivi! Tunggu!" seru seseorang saat Vivi sedsng berjalan cepat di koridor kelasnya. Ia menoleh ke arah sumber suara.
"Vi, kamu mau kemana? Aku lihat kamu sangat terburu-buru merapikan buku-bukumu. Ada hal genting apa?" tanyanya kemudian setelah berhasil menyejajarkan langkahnya dengan langkah Vivi.
Namanya Tama Sebastian. Ia telah menaruh hati pada Vivi sejak bangku SMP. Vivi dan Tama berasal dari sekolah SMP yang sama, hingga saat kelulusan SMP, Tama pun ikut mendaftar ke sekolah yang Vivi daftar. Meskipun ia harus membujuk mati-matian pada orang tuanya untuk mendaftarkannya melalui jalur belakang, karena ia tidak memenuhi syarat menjadi siswa baru di sekolah SMA itu.
Tentu saja mudah bagi ayahnya Tama untuk mengabulkan keinginan Tama --anak semata wayangnya. Ayahnya bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sehingga mudah baginya untuk melancarkan keinginan anaknya.
Tama adalah sosok yang baik dan sopan di mata Vivi. Ia tak pernah sekalipun berbuat kurang ajar pada Vivi, bahkan ia selalu membantu dan membela Vivi di saat Vivi membutuhkan pertolongan. Pernah suatu hari saat Vivi tidak bisa membayar tagihan obat untuk ibunya karena dompetnya tertinggal di rumah, Tama lah yang rela merogoh dompetnya untuk membayarkan tagihan obat ibunya Vivi. Namun tetap saja, Vivi tidak mau menerima bantuan dari Tama dengan gratis, ia selalu mengatakan bahwa uang itu ia anggap hutangnya pada Tama dan akan dibayar kelak jika ia sudah punya uang. Meski Tama menolak pemikiran itu, tapi Vivi bersikeras untuk menjadikan tiap bantuan dari Tama adalah hutang. Tama hanya menyerah saja jika Vivi sudah bersikap keras kepala seperti itu.
Tama selalu mendampingi Vivi setiap pulang sekolah. Hingga di persimpangan jalan barulah mereka berpisah karena, rumah mereka berbeda arah. Tapi hari ini, Vivi seperti terburu-buru dan tak mau ditemani oleh Tama.
"Aku ada dua pekerjaan sore ini, jadi aku buru-buru supaya bisa menyeelesaikannya dan pulang sebelum petang tiba" ucapnya masih dengan langkah lebarnya seperti mengejar sesuatu.
"Boleh aku ikut?" tanya Tama. Baru kali ini ia meminta ijin pada Vivi untum sekedar menemaninya. Hari-hari biasanya Tama sudah sangat fasih langsung mengekor Vivi kemanapun Vivi pergi tanpa ada perijinan dari Vivi, karena sudah pasti vibi mengijinkannya. Namun, hari ini Vivi nampak lain, lebih serius dari biasanya. Wajahnya yang cantik menampakkan raut tegang tak seperti biasanya yang santai dan ceria.
Vivi menghentikan langkah cepatnya, ia menatap Tama lamat-lamat. Berpikir apakah boleh mengajak Tama ke tempat pekerjaannya yang baru itu.
"Kenapa?" tanya Tama saat matanya bersirobok dengan mata cantik milik Vivi. Bulu mata tebal dan lentik membuat mata Vivi menjadi salah satu yang disukai Tama pada Vivi.
"Entahlah, apakah boleh aku mengajak orang lain ke tempat kerjaku itu" ucap Vivi. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya sekilas tersadar dari pikirannya.
"Pekerjaan apa yang membuatmu berpikir sangat keras untuk hanya sekedar mencari jawaban recehku tadi?" tanya Tama risau.
"Aku mendapat tawaran untuk bekerja di rumah makan Padang sebagai pencuci piring siang ini. Selanjutnya pun sama tapi rumah makan seafood seberang jalan dari rumah makan Padang tadi" ucap Vivi.
"Oh, kupikir pekerjaan lain yang ada di benakku. Kalau begitu, aku harus ikut" ucap Tama langsung meraih tangan Vivi dan mulai berjalan cepat.
"Tunggu dulu, tunggu dulu. Pekerjaan apa yang ada di benakmu?"
Vivi menarik tangannya agar ia terhenti dari tarikan tangan Tama.
"Oh, gak kok, aku gak mikir apa-apa" ucap Tama merasa bersalah karena mengira Vivi dengan hal yang tidak pantas.
"Jangan sekali-kali memikirkan hal buruk seperti itu lagi ya, Tama! Aku gak serendah itu!"
Vivi merasa tersinggung pada Tama, baru kali ini ia merasa marah terhadap perkataan Tama. Ia lantas berjalan cepat meninggalkan Tama.
"Vi! Vivi! Aku minta maaf. Bukan maksudku begitu, aku selalu menghawatirkanmu. Aku gak bisa kehilanganmu" seru Tama kembali mengejar langkah Vivi.
"Kamu kan tau, kalau aku suka sama kamu dari SMP. Aku gak mau kehilanganmu" ucapnya lagi.
Vivi masih terdiam, fokusnya kini adalah bisa sampai ke rumah makan Padang tepat waktu.
"Vi! Maafin aku, plis ...."
Tiba-tiba Tama menghadang Vivi dengan merentangkan tangannya di depan Vivi. Ia lakukan itu agar Vivi tak lagi marah pada ucapannya tadi. Sontak dengan begitu, langkah cepat Vivi pun terhenti.
"Kamu jangan marah dong. Aku minta maaf" ucapnya. Kini ia menempelkan kedua telapak tangannya dan memohon agar Vivi memaafkannya.
"Iya, aku sudah memaafkanmu. Tapi untuk kesekian kalinya aku minta maaf karena tidak bisa menerima perasaanmu. Masih banyak hal yang harus aku pikirkan daripada hanya sekedar memikirkan cinta anak remaja" ucap Vivi.
"Tidak bisa atau belum bisa menerima? Bisakah di masa depan kita ....?" ucap Tama masih menaruh harap agar Vivi merubah pernyataannya tentang perasaannya.
"Udah ah, aku buru-buru! Sebentar lagi waktuku masuk shift!" ujarnya kemudian melanjutkan langkahnya dengan cepat.
Lagi-lagi penolakan yang tak jelas. Tama pernah menanyakan kenapa ia tidak bisa menerima perasaan Tama yang begitu tulus padanya. Dan selalu jawaban itu yang terlontar dari bibir manis Vivi.
Vivi menghentikan sebuah mobil angkutan di depannya. Ia lantas masuk dan duduk di bangku penumpang tak terkecuali Tama. Ia masih mengekor Vivi, memutuskan untuk ikut ke tempat kerja Vivi.
Di dalam mobil angkutan, mereka tak saling bicara, seolah sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Tama berpikir ia akan lebih sabar lagi menunggu Vivi menerima cintanya. Sedangkan Vivi, ia tak sama sekali memikirkan kisah asmara anak sekolah. Di otaknya hanya terpenuhi oleh impian dan cita-cita. Ia harus fokus menggapai impiannya agar bisa mempertemukan ibunya dengan ayahnya. mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk kehidupannya dengan ibunya.
Sehingga hanya untuk sekedar merasakan manisnya perasaan cinta anak muda ia tidak tertarik. Menurutnya itu hanya seperti sebuah pelangi yang hadir sekejap mata. Dan akan hilang dengan sendirinya seiring terik matahari kenyataan bertengger di langit siang. Tama bukanlah bintang yabg harus ia gapai di malam hari dan matahari yang menemani harinya, tetapi Tama hanyalah pelangi yang mewarnai hari-harinya dan akan segera sirna setelah Tama menemukan orang yang tepat untuk ia cintai. Tama hanyalah pelangi, tak lebih.
Vivi melirik wajah Tama yang tengah menatap keluar jendela mobil. Tak ada satupun niat di hatinya untuk menyakiti Tama. Tama terlalu sempurna untuknya, ia merasa tak pantas mendapatkan cinta tulus Tama. Tama pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik dari dirinya.
Setelah menempuh jarak dan waktu belasan menit, akhirnya mereka tiba di depan sebuah Rumah makan Padang. Vivi lantas turun dari mobil angkutan umum diikuti juga oleh Tama di belakangnya.
"Tama, kamu serius mau ikut masuk ke dalam juga?" tanya Vivi setelah berada dekat dengan pintu belakang rumah makan itu.
"Aku serius, memangnya kenapa?" tanya Tama.
"Ehm ... gak apa-apa sih. Tapi aku sedikit ragu. Apakah pemilik restaurant membolehkan kamu juga ikut masuk ke dalam" ucap Vivi.
"Udah, gak usah ragu! Ayok kita masuk!" sahut Tama sembari menarik tangan Vivi.
Vivi terheran, kenapa Tama yang malah bersemangat masuk ke dalam restaurant itu.
"Permisi mas, saya mau bertemu dengan manajer restauran ini" ucap Vivi pada seorang laki-laki yang berdiri tak jauh dari pintu belakang restaurant.
"Saya manejer restauran ini. Ada yang bisa saya bantu?" sahutnya.
"Saya kesini karena ada tawaran dari teman saya sebagai pencuci piring. Apakah benar di restaurant ini membutuhkan tenaga pencuci piring?" tanya Vivi ragu-garu. Ia sesekali melirik Tama seolah mencari kepercayaan diri pada tatapan Tama.
"Oh iya, betul. Pasti kamu Vivi ya? Nina sudah cerita tentang kamu pada saya. Bagimana?Sudah siap bekerja hari ini?" tanya pak Gunawan manejer restauran itu. Vivi mengetahuinya setelah tadi mereka berkenalan.
"Tapi mohon maaf, kami hanya bisa membayar upah untuk satu tenaga cuci piring saja" lanjutnya.
Vivi dan Tama saling tatap. Vivi merasa tak enak hati pada Tama yang sejak awal semangat sekali untuk ikut bekerja dengannya.
"Oh gak apa-apa mas. Aku hanya membantu Vivi. Aku tidak perlu di bayar" ucap Tama yang membuat mata cantik Vivi membeliak. Vivi menyenggol tangan Tama.
"Gak apa-apa Vi. Aku rela kok bantuin kamu. Kamu santai aja, oke?" ucapnya lagi.
"Baiklah, kalau sudah ada kesepakatan dan tidak ada lagi kendala di antara kalian. Mari ikut saya ke tempat pencucian piring" ucap pak Gun.
Pak Gun membawa mereka ke sebuah tuangan khusus pencucian puring. Ruangan itu tak begitu luas, tetapi cukup luas untuk mereka berdua. Di sana terlihat banyak tumpukan piring kotor selesai pelanggan di jam makan siang. Tumpukan piring itu di diletakkan di atas meja luas oleh pelayan restauran melalui sebuah lubang besar di dinding. Lubang itu menyerupai bingkai foto besar sebatas dada orang dewasa. Piring kemudian akan dipindahkan oleh petugas pencuci piring menuju sebuah bak besar dengan kran yang menjulur panjang.
"Silakan, kalian bisa mulai. Tumpukan piring kotor sudah menunggu dicuci. Saya tinggal ke depan dulu" ucap pak Gun kemudian meninggalkan mereka berdua di dalam ruang pencucian piring.
"Wah, banyak banget piring kotornya! Aku bisa nyelesaikan semuanya sampe jam berapa nih" keluh Vivi sambil mengenakan celemek anti air dan sepatu boot.
"Tenang Vi, 'kan ada aku di samping kamu! Pasti cepet selesainya" ujar Tama sambil membusungkan dan menepuk dadanya.
"Apaan deh, lebay! Ayo kita mulai aja, nanti gak bisa lanjut ke restaurant depan kalau ngobrol terus. Eh tapi, kamu gak ada celemeknya, gimana dong?"
Vivi berkeliling ruangan itu berusaha mencari celemek cadangan untuk Tama. Namun, sayangnya tak ada lagi. Mungkin itulah salah satu alasan pak Gun mengatakan hanya menerima satu pekerja saja. Vivi masih terus mencari di setiap sudut ruangan itu sesuatu yang bisa dipakai Tama agar bajunya tidak basah. Matanya kemudian melihat sebuah jas hujan yang bertengger di gantungan balik pintu. Ia lantas menyambar jas hujan warna biru itu lalu menyerahkannya pada Tama.
"Nih, kamu pakai ini saja!" ucapnya.
Tama menerima uluran jas hujan dari Vivi. Sejenak ia terdiam, geli rasa hati ia menatap jas hujan di tangannya.
"Kenapa?" tanya Vivi di tengah kesibukannya membuang sisa makanan ke tempat sampah.
"Gak apa-apa kok" Tama tersadar dari lamunannya, ia lantas bergegas mengenakan jas hujan yang ia pegang.
"Vi, biar aku saja yang ambil piring dari meja situ. Kamu diam di sini saja, gak usah mondar-mandir. Biar aku saja yang mondar-mandir memindahkan piring kotor dari sana ke bak cucian" ucap Tama. Ia memegang tangan Vivi agar tidak mondar-mandir mengambil piring.
Vivi menurut saja, dipikirannya ia hanya ingin cepat menyelesaikan pekerjaannya dan segera mendapat bayaran.
"Aaa...!!!"
Tama sontak menoleh ke arah Vivi karena suara teriakkannya.
Vivi berjingkat mendekati Tama dan refleks memeluk erat tubuh Tama karena ketakutan.
"Ada apa Vi?" tanya Tama panik.
"Itu ... ada kecoa" ucap Vivi takut. Ia kembali memeluk erat Tama setelah menunjukkan keberadaan kecoa pada Tama.
"Oh, cuma kecoa mati ... kirain ada apa"
Tama lantas meregangkan pelukan Vivi lalu mendekati kecoa yang sudah mati di hadapannya. Ia kemudian menyapu kecoa itu menggunakan sapu yang ia ambil dari balik pintu.
"Udah aku buang tuh! Jangan takut lagi, ayo kita lanjutin lagi nyuci piringnya biar cepet selesainya. Bentar lagi 'kan jadwal kita ke restaurant seberang jalan" ujar Tama menarik jemari tangan Vivi yang masih menutupi wajahnya.
Vivi perlahan akhirnya menuruti saran Tama. Dengan masih ada rasa takut, ia melanjutkan mencuci piring yang sekarang tinggal sedikit lagi. Tentu saja pekerjaannya lebih cepat dan ringan dikarenakan Tama pun ikut membantu mencuci piring.
Setelah selesai, mereka pun menghadap pak Gun untuk melaporkan pekerjaan mereka dan tentu saja Vivi sangat menunggu bayaran dari usahanya.
"Wah, kerja kalian cukup memuaskan. Tapi besok kalian tidak usah datang lagi kesini" ucap pak Gun menggantungkan kalimatnya.
"Loh, kenapa pak?" tanya Tama tak sabaran. Ia merasa bahwa hasil kerja mereka cukup bagus dan layak untuk mendapatkan posisi pekerjaan itu, tetapi kenapa manejer itu tidak mengijinkan mereka datang kembali.
"Besok pemilik restaurant akan merenovasi sedikit bagian dapur restaurant ini, sehingga seluruh karyawan diberi libur selama dua hari atau lebih, tergantung dari penyelesaian waktu renovasi" ucap pak Gun.
Tama yang mendengar penjelasan pak Gun sedikit lebih lega.
"Setelah renovasi, apakah kami masih bisa bekerja disini, pak?"
Tama kembali memberikan pertanyaan penegasan pada pak Gun bahwa mereka sangat membutuhkan pekerjaan itu. Selama pembicaraan, Tama lah yang lebih mendominasi percakapan dengan pak Gun, sedangkan Vivi memikirkan pembagian uang yang didapatnya untuk membayar kontrakan dan kebutuhannya sehari-hari.
"Hei! Ngelamun aja. Ayo kita ke restaurant seberang jalan. Masih ada waktu nih, kita beli cemilan dulu yuk di warung itu" Tama mengajak Vivi mampir terlebih dahulu ke warung kecil samping restaurant itu. Tama mengambil dua bungkus roti dan dua botol air mineral.
"Nih makan dulu, kita isi tenaga dulu sebelum perang lagi dengan piring kotor" ucap Tama.
Ia menyerahkan satu bungkus roti rasa coklat kesukaan Vivi dan air mineral.
"Tama ... apa kamu gak merasa lelah mengikuti jalan hidupku? Seharusnya kamu gak melakukan semua ini. Kamu harusnya bisa bersenang-senang dengan teman-teman yang lain. Tidak terikat denganku"
Tama menghentikan kunyahannya. Ia mendengarkan tiap kata yang diucapkan Vivi.
"Apa kamu terbebani kalau aku selalu ada di sampingmu?" sahut Tama. Ada nada tersinggung di ucapan Tama.
Vivi menghela nafas panjang. Ia tak mengerti pada pemikiran Tama yang repot-repot mengurusi kehidupannya. Apa cinta yang membuatnya menjadi rumit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!