Never Let Me Go

Never Let Me Go

Tentang Keduanya

Taya memejamkan matanya, berharap semua beban yang ia punya menghilang meski hanya sejenak . Namun bayang-bayang seorang laki-laki muncul dalam kegelapan. Mata tajam bagaikan harimau itu menatapnya, seolah dirinya adalah seekor rusa kecil. 

Namun Taya masih mencoba bertahan, memejamkan mata, berharap laki-laki itu menghilang. Namun, yang terjadi laki-laki itu semakin mendekat, seolah membawa obor ditangannya, kini keberadaan laki-laki itu semakin jelas.

Namun, lagi-lagi Taya masih mencoba bertahan, ia tidak ingin kalah untuk kesekian kalinya, ia tidak ingin dikasihani kembali, ia ingin membuktikan bahwa ia pun memiliki power.  Namun, ia lupa akan dimana tempatnya berpijak.

Sebuah tangan menyeret tubuhnya, membawanya kembali ke dalam sebuah realita, menyadarkannya dari sebuah angan.

"LO GILA!"

Napas Taya tidak beraturan, matanya memerah, dengan detak jantung yang berdecak dua kali lebih cepat.

"GUE TANYA TAYA, LO GILA!"

Tidak menghiraukan teriakan itu, mata Taya mengedar, menatap setiap sudut kolam. Berbagai tatapan mengarah padanya.

Kasihan, mengejek, dan senang? Entah lah tatapan itu benar-benar mengganggunya saat ini.

Napas Taya masih terengah-engah, sampai matanya kembali menatap orang yang membawanya ke permukaan.

Mata itu menatapnya dengan tajam sama persis seperti tatapan laki-laki yang berada dalam bayangannya.

"TAYA!"

Taya berenang ke tepi kolam, menghiraukan semua pertanyaan yang orang itu lontarkan. Mengusap wajahnya dengan kasar.

Sial, kegilaanya kembali mengusai seluruh alam sadarnya.

"Bir, dia kenapa lagi?"

Seseorang bertanya, kepada orang yang telah membawa Taya sadar akan kegilaannya.

Birfilly Anggo Brivtarico, Adik dari Jeanno Anggo Brivtarico, laki-laki yang selalu ada dalam setiap langkahnya.

Bayangan bagaikan lucifer, sangat menakutkan meski tersenyum sekalipun.

Bertemu dengan Jean adalah sebuah mimpi buruk bagi Taya. Namun, entah bagaimana, ia juga merasa beruntung.

***

Uang, pangkat, dan kekuasaan, kalian harus mempunyai salah satunya, jika bisa kalian harus mempunyai semuanya.

Dunia ini akan sangat menakutkan jika kalian hanya mengandalkan kemampuan kalian saat ini tanpa uang, pangkat dan kekuasaan, kalian tidak lebih dari seekor kelinci percobaan.

Itu yang Taya pikirkan.

Tangannya bergerak dengan lincah di atas kertas putih yang telah terisi setengah. Matanya melirik ke kanan, menatap sang adik, Marana Tarfia.

Sudut bibirnya terangkat, sebuah senyuman yang jarang orang liat.

Menyelesaikan tulisannya, Taya menutup bukunya, dan melangkah menuju tempat tidur, sang adik yang sedari tadi menatapnya, menunggu dirinya agar bisa membacakan dogeng atau sekedar mendengarkan kisah sang adik.

"Jadi?"

"Sekarang Maran yang mau ngedongeng," ujar anak perempuan berusia delapan tahun itu.

Taya tersenyum, ia naik ke atas tempat tidur dan menarik selimut, guna menutupi tubuh mereka berdua.

"Kakak tunggu." Taya merebahkan tubuhnya dengan tubuh menyamping, kepalanya ia tahan dengan telapak tangan, menatap sang adik dengan antusias.

Maran menatap kedepan, seolah anak itu sedang menerawang masa depan.

Tangannya terangkat ke atas, membuat gestur orang sedang berjalan.

Menolehkan kepalanya ke samping menatap Taya dengan mata yang tersenyum.

"Suatu hari di sebuah jalanan yang sepi, ada seorang anak kecil yang sedang kelaparan, ia terlihat sangat putus asa pada saat itu. Dunia tidak menginginkannya, jadi yang ia lakukan hanya terus berjalan, membawa tubuh kotor dan penuh lukanya karena penyiksaan oleh sang ibu tiri."

Maran terdiam sejenak, ia sekali lagi menoleh ke arah Taya, memastikan bahwa sang Kakak benar-benar mendengarkan ceritanya.

Mengangkat satu tangannya.

"Anak kecil itu benar-benar putus asa, sampai ..."

"Seorang gadis cantik menghampirinya, mengelurkan tanganya. Anak kecil itu menatap mata sang gadis, memastikan bahwa gadis itu benar-benar baik." Senyum lebar tercipta, seolah dia benar-benar merasakan hal yang sama.

"Gadis itu menatap sang anak kecil seolah berkata; tidak apa-apa, pegang tanganku, aku akan membawamu pada kebahagiaan."

"Gadis itu sangat cantik dengan dress mininya, di kapalanya terdapat mahkota kecil yang membuat anak kecil itu yakin bahwa sang gadis seorang malaikat yang dikirim tuhan untuknya."

Maran menyampingkan tubuhnya, menatap Taya dengan senang, dan kemudian memeluk sang Kakak dengan sayang.

"Pertemuan itu sangat-sangat membuat sang anak kecil bersyukur. Dan anak kecil itu tidak akan pernah bosan mengucapkan ini."

Maran mengangkat kepalanya, mencium pipi bawah sang Kakak.

"Terimakasih karena telah datang dan mau menampung Maran. I love you!"

Taya terkekeh, matanya mengerjap, memeluk sang adik dengan sayang, dan menyembunyikan air matanya.

***

25 Januari 2020, malam minggu yang menyenangkan bagi kebanyakan orang. Namun tidak dengan Taya.

Taya meremas Dress mininya. lagi, hatinya di permainkan.

Ia tau, saat ia menerima uluran tangan Jean, ia harus menerima banyak resiko yang menyakiti hatinya.

Menarik napasnya dengan perlahan, menyimpan semua rasa sakitnya seorang diri. Bibirnya ia paksakan membentuk sebuah senyuman terindah, ia melakukannya dengan semua kemampuannya.

Di depannya, Jean sedang menari di lantai dansa dengan seorang perempuan cantik.

Apa yang ia harapkan?

Jean mau menari dengannya? sebuah keajaiban yang tidak akan pernah terjadi.

Tangannya membawa sebuah note kecil.

Dengan highlight; lima kegiatan dihari ulang tahun Jean. Hah, tulisan yang sia-sia.

Taya menoleh ke samping, dan matanya tidak sengaja menatap mata Bir. Tatapan mata itu sama, seperti saat Jean menatapnya, Kasihan.

Taya menunduk, membuang napasnya kasar, kekehan terdengar. Malam minggu yang membosankan. Dan ia memilih meninggalkan pesta, lagi pula tidak ada yang menerimanya. Seorang anak buangan, apa yang kalian pikirkan tentang itu?

Taya berjalan di jalanan yang sepi, kepalanya mendongak ke atas menatap langit malam yang tampak gelap tanpa bintang-bintang. Bahkan disaat ia bersedih pun, alam tidak ingin menghiburnya.

Ponselnya bergetar pertanda ada pesan masuk.

[Dimana?]

Begitulah isi pesan tersebut.

Taya masih menatap ponselnya itu tanpa ingin membalas. Menunggu pesan selanjutnya.

[Taya!]

Taya terkekeh pelan, masih tanpa ingin membalas, ia akan membalas jika pesan itu telah menumpuk sekitar lima sampai enam pesan, mungkin?

[Lo gak datang?]

kakinya melangkah tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

[Taya gue tanya!]

[Balas chat gue!]

Membuang napasnya kasar, Taya menatap dress mini miliknya. Ia telah menghabiskan hampir seluruh tabungannya untuk ini.

Namun, yang ia dapatkan hanya kebersamaan Jean dengan perempuan lain. Lagi, apa yang ia harapkan?

Jean hanya kasian padanya, hanya membutukannya dikala ia bosan. Dia hanya dijadikan laki-laki itu sebagai objek fantasi gilanya terhadap sebuah karya.

Dan mengapa Taya  tidak pergi? meninggalkan Jean dan segala kemewahan yang dimiliki pria itu.

Dia akan!

Saat ini dia memutuskannya. Di tanggal 25 januari ini dia akan benar-benar pergi dari hidup laki-laki itu. Ia akan mencoba bertahan dengan uang seadanya tanpa bantuan apapun dari Jean. Dia akan mencoba meningkatkan prestasinya hingga beasiswanya tidak akan pernah di cabut. Ya, begitulah niatnya, tidak sampai ia melihat seorang anak kecil yang berjalan di ujung jalan sana.

Terlihat putus asa, mengingatkannya pada saat pertama kali ia bertemu dengan Jean.

Langkah Taya terhenti, ia menatap anak kecil itu dengan lembut.

Tanganya mengerat, meremas ponselnya yang berada di dalam genggamannya, bersamaan dengan dering ponsel yang tiba-tiba menyala.

"Maaf, aku akan segera kesana."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!