Di sebuah ruangan dengan luas 3x3,5 meter Taya berdiri. Tangannya memegang erat kain satin berwarna putih yang menutupi tubuh polosnya.
"Gue gak bakal nyuruh lo buang kain itu." Jean mengeluarkan suaranya. Laki-laki itu tampak fokus dengan alat lukisnya. Melirik kepada Taya dan tersenyum miring.
"Berbaringlah, kenapa masih terlihat gugup?"
Taya meneguk ludahnya kasar. Kakinya berjalan pelan ke tengah ruangan hingga kini ia berada di hadapan Jean. Sesering apapun mereka melakukannya, tetap saja membuat Taya gugup.
Namun saat ini setidaknya ia dibiarkan untuk tetap memegang kain satinnya.
Taya hendak membaringkan tubuhnya, matanya menatap Jean yang entah mengapa saat di balik kanvas miliknya akan terlihat semakin mempesona.
"Pose?"
"Terserah lo."
Mata Taya mengerjap, ini kali pertamanya laki-laki itu membiarkannya berpose sendiri. Biasanya Jean yang akan melakukannya, dengan menggeser setiap lekuk tubuhnya sedikit kasar.
Sedangkan di balik kanvas Jean tersenyum melihat kebingungan Taya. Tubuhnya ia tegakkan, berdiri menghampiri Taya yang sudah hampir berbaring.
Dengan langkah pelan namun pasti Jean berjalan, dan berjongkok saat setelah berada di hadapan perempuan yang menjadi objek lukisnya itu.
Tangannya terulur mengangkat dagu Taya hingga kini mereka saling menatap. Senyum di bibir Jean tidak pernah luntur. Kacamata yang bertengger di hidung tingginya membuat kesan seorang pelukis bangsawan yang sangat memukau.
"Gue percaya sama lo."
Cup!
Mata Taya bergetar saat bibirnya menerima kecupan singkat dari Jean. Dan itu semakin membuat Jean tersenyum lebar.
Melihat respon tubuh Taya terhadap sentuhannya benar-benar membuatnya puas dan senang. Respon tubuh perempuan itu benar-benar candu baginya. Layaknya narkoba, Jean tidak bisa mengabaikan setiap afeksi objeknya itu.
"Bersiaplah."
***
Taya berdiri, tubuh polosnya masih berbalut satin putih. Mata hazel itu menatap setiap lukisan yang berada di ruangan.
Ruang karya Jeanno yang laki-laki itu namai dengan Emerland's Room.
Mata Taya tidak henti-hentinya menatap karya itu. Dan sebagian karya lukisnya adalah dia sebagai objek lukis. Menghembuskan napasnya perlahan, dapat Taya liat gambaran dirinya sendiri disana.
Meski saat itu ia tidak memakai apapun, tapi Jean selalu mengarahkan pose padanya untuk menutupi area privasinya dengan angel yang pas.
Kembali menghembuskan napasnya, Taya selalu berpikir sampai kapan ia harus terikat dengan laki-laki itu, sampai kapan ia harus menjadi objek lukis, dan entah bagaimana, memikirkan ada dimana Jean akan membuangnya membuatnya hatinya nyeri.
Tangannya mengepal, tidak seharusnya ia menaruh harapan pada Jean. Meski Jean telah mengklaim bahwa dirinya milik laki-laki itu tetap pandangan orang atas kata dimiliki berbeda dengan pandangannya.
Taya mengusap wajahnya pelan, kantuknya tiba-tiba datang. Tubuhnya tersentak pelan saat merasakan sebuah tangan melingkar dibelakangnya.
"Gak perlu balik, gue udah suruh Bir ke rumah buat nemenin Maran dan antar Maran ke sekolah," ujar Jean meletakkan dagunya pada bahu Taya.
Dapat Taya rasakan hembusan napas Jean yang menggelitik lehernya. Tangan laki-laki itu memeluknya erat, membuat Taya cukup sesak.
Matanya terasa berat. Oh, sial bahkan ia baru tertidur sekitar satu jam. Dan pukul berapa sekarang?
"Jean," gumam Taya memanggil nama laki-laki itu.
"Hem?"
"Pukul berapa?"
"Lo ngantuk?" Taya mengangguk lemah, sungguh matanya tiba-tiba menjadi sangat berat.
Cup!
Lagi, Jean kini mengecup lehernya. Tangan Jean bergerak membalikkan tubuhnya pelan.
Tangan Taya memegang erat kain satin yang menjadi penjaga tubuh polosnya, takut-takut akan terlepas.
Dapat Taya dengar kekehan dari Jean, dan sungguh mata Taya sudah hampir tertutup saat ini. Dan, dapat Taya rasakan tangan Jean yang turun hingga kini berada di antara lutut dan pinggangnya.
"Good nigh-"
"Ah! Sorry, good morning!"
***
Cahaya masuk dari celah kelopak matanya. Mengerjap, mata hazel itu perlahan terbuka.
Taya menoleh ke samping, menatap Jean yang masih setia menutup mata. Tangan yang memeluknya erat itu, ia angkat perlahan.
Jangan berpikiir aneh, mereka tidak mempunyai hubungan seintim itu. Tangan Taya menarik pelan selimut yang menutupi tubuhnya.
Kakiya turun, hingga ia dapat merasakan dinginnya lantai yang ia pijak. Dengan cepat Taya melangkah menuju lemari mengambil kemeja dan juga celana bahan milik Jean. Lemari, adalah salah satu barang yang ia boleh sentuh sesuka hati.
Setelah selesai memakai pakaiannya, Taya kembali melangkah mendekati ranjang menyimpan kembali selimut yang ia pakai, pada tubuh Jean.
Kakinya melangkah membawa tubuhnya keluar kamar. Matanya melirik jam dinding yang berada di atas televisi, jarum jam menunjukan pukul sembilan pagi.
Taya menghembuskan napasnya kasar. Lagi, ia membolos sekolah.
Matanya menjelajah setiap isi ruangan, tidak ada yang berbeda. Setelah satu bulan lamanya ia tidak menginjakkan kaki pada apartemen Jean, sekarang adalah kali pertamanya kembali menginjakkan kaki.
Satu bulan kemarin Jean tengah asik dengan hobi barunya, memotret para wanita di klub, entah untuk apa. Bahkan ia mendengar bahwa laki-laki itu sempat ikut ke dalam ruangan orang yang sedang berhubungan intim hanya untuk memotret. Namun sampai sekarang, ia tidak pernah melihat hasil jepretannya itu.
Jean dengan kegilaannya itu sungguh membuat Taya terkadang takjub. Namun, sampai saat ini laki-laki itu tidak pernah berhubungan sangat intim melebihi pelukan dan kecupan.
Taya berkata jujur, bukan hanya penglihatan matanya saat laki-laki itu bersamanya. Para sahabat laki-laki itu pernah mengatakannya, awalnya ia pun tidak percaya. Namun, saat ia melihat sendiri bagaimana Jean sangat menjaga jarak dengan wanita-wanita di club itu sedikit membuatnya percaya.
Namun, tidak merubah penilaian Taya kepada Jean. Laki-laki itu tetap brengsek dengan kegilaan anehhnya.
Taya menghembuskan napasnya, kakinya melangkah ke arah meja pantry mengambil sebuah kaleng soda disana.
Kepalanya ia jatuhkan pada meja. Menatap kaleng soda di depannya. Jika dipikir-pikir hidupnya cukup mengenaskan, namun dapat membuat beberapa orang iri juga. Siapa yang tidak ingin dekat dengan Jean?
Seorang Jeanno Anggo Brivtarico. Laki-laki tampan dengan seorang ayah yang berkecimpung di dunia entertainment dan ibunya adalah seorang desainer terkenal. Dan sekolah yang tepati saat ini adalah sekolah dengan keluarga Brivtarico lah sebagai donatur terbesar.
Terlepas dari kekayaan yang dimilki keluarga Brivtarico. Jean juga termasuk anak yang berprestasi di sekolah. Beberapa yang Taya ketahui, meski obsesi laki-laki akan seni itu sedikit membuatnya ngeri, namun di sekolah anak itu terlihat biasa.
Terlihat bisa disini bukan berarti ia tidak populer. Namun, cara dia memperlakukan orang di sekitarnya benar-benar tidak ada yang istimewa, terlihat sama sebagai teman sekolah.
Bukan juga seperti laki-laki tebar pesona yang tingkah selalu membuat orang sakit kepala.
Di sekolah laki-laki itu hanya belajar, ke kantin bila bel sudah berbunyi, dan pulang ketika bel pulang berbunyi. Tidak ada kenakalan, lelaki itu benar-benar menjaga citranya di sekolah. Kecuali jika sudah di luar sekolah.
Jean, terlihat sangat berbeda.
"Ayo cari makan."
Taya mengangkat kepalanya, menoleh ke belakang. Dapat ia lihat Jean sudah siap dengan hoodie berwarna navy dan celana di bawah lutut berwarna abu-abu.
Jean berdecak saat melihat Taya yang masih terdiam.
"Gue laper, cepetan!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 17 Episodes
Comments
anggita
antara good night... good morning..
2022-12-04
1