Taya memejamkan matanya, berharap semua beban yang ia punya menghilang meski hanya sejenak . Namun bayang-bayang seorang laki-laki muncul dalam kegelapan. Mata tajam bagaikan harimau itu menatapnya, seolah dirinya adalah seekor rusa kecil.
Namun Taya masih mencoba bertahan, memejamkan mata, berharap laki-laki itu menghilang. Namun, yang terjadi laki-laki itu semakin mendekat, seolah membawa obor ditangannya, kini keberadaan laki-laki itu semakin jelas.
Namun, lagi-lagi Taya masih mencoba bertahan, ia tidak ingin kalah untuk kesekian kalinya, ia tidak ingin dikasihani kembali, ia ingin membuktikan bahwa ia pun memiliki power. Namun, ia lupa akan dimana tempatnya berpijak.
Sebuah tangan menyeret tubuhnya, membawanya kembali ke dalam sebuah realita, menyadarkannya dari sebuah angan.
"LO GILA!"
Napas Taya tidak beraturan, matanya memerah, dengan detak jantung yang berdecak dua kali lebih cepat.
"GUE TANYA TAYA, LO GILA!"
Tidak menghiraukan teriakan itu, mata Taya mengedar, menatap setiap sudut kolam. Berbagai tatapan mengarah padanya.
Kasihan, mengejek, dan senang? Entah lah tatapan itu benar-benar mengganggunya saat ini.
Napas Taya masih terengah-engah, sampai matanya kembali menatap orang yang membawanya ke permukaan.
Mata itu menatapnya dengan tajam sama persis seperti tatapan laki-laki yang berada dalam bayangannya.
"TAYA!"
Taya berenang ke tepi kolam, menghiraukan semua pertanyaan yang orang itu lontarkan. Mengusap wajahnya dengan kasar.
Sial, kegilaanya kembali mengusai seluruh alam sadarnya.
"Bir, dia kenapa lagi?"
Seseorang bertanya, kepada orang yang telah membawa Taya sadar akan kegilaannya.
Birfilly Anggo Brivtarico, Adik dari Jeanno Anggo Brivtarico, laki-laki yang selalu ada dalam setiap langkahnya.
Bayangan bagaikan lucifer, sangat menakutkan meski tersenyum sekalipun.
Bertemu dengan Jean adalah sebuah mimpi buruk bagi Taya. Namun, entah bagaimana, ia juga merasa beruntung.
***
Uang, pangkat, dan kekuasaan, kalian harus mempunyai salah satunya, jika bisa kalian harus mempunyai semuanya.
Dunia ini akan sangat menakutkan jika kalian hanya mengandalkan kemampuan kalian saat ini tanpa uang, pangkat dan kekuasaan, kalian tidak lebih dari seekor kelinci percobaan.
Itu yang Taya pikirkan.
Tangannya bergerak dengan lincah di atas kertas putih yang telah terisi setengah. Matanya melirik ke kanan, menatap sang adik, Marana Tarfia.
Sudut bibirnya terangkat, sebuah senyuman yang jarang orang liat.
Menyelesaikan tulisannya, Taya menutup bukunya, dan melangkah menuju tempat tidur, sang adik yang sedari tadi menatapnya, menunggu dirinya agar bisa membacakan dogeng atau sekedar mendengarkan kisah sang adik.
"Jadi?"
"Sekarang Maran yang mau ngedongeng," ujar anak perempuan berusia delapan tahun itu.
Taya tersenyum, ia naik ke atas tempat tidur dan menarik selimut, guna menutupi tubuh mereka berdua.
"Kakak tunggu." Taya merebahkan tubuhnya dengan tubuh menyamping, kepalanya ia tahan dengan telapak tangan, menatap sang adik dengan antusias.
Maran menatap kedepan, seolah anak itu sedang menerawang masa depan.
Tangannya terangkat ke atas, membuat gestur orang sedang berjalan.
Menolehkan kepalanya ke samping menatap Taya dengan mata yang tersenyum.
"Suatu hari di sebuah jalanan yang sepi, ada seorang anak kecil yang sedang kelaparan, ia terlihat sangat putus asa pada saat itu. Dunia tidak menginginkannya, jadi yang ia lakukan hanya terus berjalan, membawa tubuh kotor dan penuh lukanya karena penyiksaan oleh sang ibu tiri."
Maran terdiam sejenak, ia sekali lagi menoleh ke arah Taya, memastikan bahwa sang Kakak benar-benar mendengarkan ceritanya.
Mengangkat satu tangannya.
"Anak kecil itu benar-benar putus asa, sampai ..."
"Seorang gadis cantik menghampirinya, mengelurkan tanganya. Anak kecil itu menatap mata sang gadis, memastikan bahwa gadis itu benar-benar baik." Senyum lebar tercipta, seolah dia benar-benar merasakan hal yang sama.
"Gadis itu menatap sang anak kecil seolah berkata; tidak apa-apa, pegang tanganku, aku akan membawamu pada kebahagiaan."
"Gadis itu sangat cantik dengan dress mininya, di kapalanya terdapat mahkota kecil yang membuat anak kecil itu yakin bahwa sang gadis seorang malaikat yang dikirim tuhan untuknya."
Maran menyampingkan tubuhnya, menatap Taya dengan senang, dan kemudian memeluk sang Kakak dengan sayang.
"Pertemuan itu sangat-sangat membuat sang anak kecil bersyukur. Dan anak kecil itu tidak akan pernah bosan mengucapkan ini."
Maran mengangkat kepalanya, mencium pipi bawah sang Kakak.
"Terimakasih karena telah datang dan mau menampung Maran. I love you!"
Taya terkekeh, matanya mengerjap, memeluk sang adik dengan sayang, dan menyembunyikan air matanya.
***
25 Januari 2020, malam minggu yang menyenangkan bagi kebanyakan orang. Namun tidak dengan Taya.
Taya meremas Dress mininya. lagi, hatinya di permainkan.
Ia tau, saat ia menerima uluran tangan Jean, ia harus menerima banyak resiko yang menyakiti hatinya.
Menarik napasnya dengan perlahan, menyimpan semua rasa sakitnya seorang diri. Bibirnya ia paksakan membentuk sebuah senyuman terindah, ia melakukannya dengan semua kemampuannya.
Di depannya, Jean sedang menari di lantai dansa dengan seorang perempuan cantik.
Apa yang ia harapkan?
Jean mau menari dengannya? sebuah keajaiban yang tidak akan pernah terjadi.
Tangannya membawa sebuah note kecil.
Dengan highlight; lima kegiatan dihari ulang tahun Jean. Hah, tulisan yang sia-sia.
Taya menoleh ke samping, dan matanya tidak sengaja menatap mata Bir. Tatapan mata itu sama, seperti saat Jean menatapnya, Kasihan.
Taya menunduk, membuang napasnya kasar, kekehan terdengar. Malam minggu yang membosankan. Dan ia memilih meninggalkan pesta, lagi pula tidak ada yang menerimanya. Seorang anak buangan, apa yang kalian pikirkan tentang itu?
Taya berjalan di jalanan yang sepi, kepalanya mendongak ke atas menatap langit malam yang tampak gelap tanpa bintang-bintang. Bahkan disaat ia bersedih pun, alam tidak ingin menghiburnya.
Ponselnya bergetar pertanda ada pesan masuk.
[Dimana?]
Begitulah isi pesan tersebut.
Taya masih menatap ponselnya itu tanpa ingin membalas. Menunggu pesan selanjutnya.
[Taya!]
Taya terkekeh pelan, masih tanpa ingin membalas, ia akan membalas jika pesan itu telah menumpuk sekitar lima sampai enam pesan, mungkin?
[Lo gak datang?]
kakinya melangkah tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
[Taya gue tanya!]
[Balas chat gue!]
Membuang napasnya kasar, Taya menatap dress mini miliknya. Ia telah menghabiskan hampir seluruh tabungannya untuk ini.
Namun, yang ia dapatkan hanya kebersamaan Jean dengan perempuan lain. Lagi, apa yang ia harapkan?
Jean hanya kasian padanya, hanya membutukannya dikala ia bosan. Dia hanya dijadikan laki-laki itu sebagai objek fantasi gilanya terhadap sebuah karya.
Dan mengapa Taya tidak pergi? meninggalkan Jean dan segala kemewahan yang dimiliki pria itu.
Dia akan!
Saat ini dia memutuskannya. Di tanggal 25 januari ini dia akan benar-benar pergi dari hidup laki-laki itu. Ia akan mencoba bertahan dengan uang seadanya tanpa bantuan apapun dari Jean. Dia akan mencoba meningkatkan prestasinya hingga beasiswanya tidak akan pernah di cabut. Ya, begitulah niatnya, tidak sampai ia melihat seorang anak kecil yang berjalan di ujung jalan sana.
Terlihat putus asa, mengingatkannya pada saat pertama kali ia bertemu dengan Jean.
Langkah Taya terhenti, ia menatap anak kecil itu dengan lembut.
Tanganya mengerat, meremas ponselnya yang berada di dalam genggamannya, bersamaan dengan dering ponsel yang tiba-tiba menyala.
"Maaf, aku akan segera kesana."
Taya menoleh ke samping menatap Maran yang kini telah tertidur.
Tangannya mengambil sebuah ponsel yang tergeletak di atas maja nakas. Sebuah notifikasi pesan mengalihkan perhatiannya.
[Gue di luar.]
Mata Taya melebar, pesan itu diterima sekitar pukul sembilan malam, dan sekarang sudah hampir pukul sepuluh. Taya turun dari tempat tidur, mengambil ikat rambutnya, dan mengikatnya dengan asal, berlari menuju luar rumah.
Pintu ia buka dengan kencang, matanya melihat bayangan seorang laki-laki berdiri di depan pagar, namun tidak sendiri, ia melihat bayangan lain. Bayangan itu seperti seorang perempuan.
Taya menarik napasnya perlahan. Ya, setidaknya Jean tidak menunggunya dengan bosan. Dengan langkah pasti, Taya mendekati pagar dan membuka pagar tersebut.
Kedua orang di depannya menoleh, menatap Taya dengan tajam. Oh tidak, hanya perempuan di samping Jean yang melakukannya. Taya tersenyum kikuk, ia mengulum bibirnya, pertanda bahwa ia tidak menyukai tatapan mata dari perempuan di samping Jean itu.
Namun sayang, Taya tidak bisa menyuarakan rasa tidak sukanya pada perempuan itu.
Taya menghembuskan napasnya perlahan, dan baru mulutnya akan terbuka, Jean sudah lebih dulu membuka suara.
"Kenapa lama?"
Taya mengerjapkan matanya, ia menarik napasnya perlahan, mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Jean.
Dan dapat Taya liat, laki-laki itu menghela napas, menoleh ke samping menatap perempuan yang berada di sampingnya itu.
"Thank you udah nemenin gue,"
Jean menoleh menatapnya.
"Gue udah ada dia, lo bisa pulang."
Taya mendongak, menatap perempuan di depannya dengan sedikit takut.
Kanila Vigorra adalah teman sekelasnya.
Mereka, Jean dan Kanil bisa dibilang sangat dekat, bahkan banyak yang bilang mereka sedang pendekatan saat ini.
"Lo belum pulang?" tanya Jean saat melihat Kanil yang masih berdiri menatap mereka.
Kanil berdeham.
"Kalau ada apa-apa lo bisa call gue," ujarnya sambil menatap Jean, yang dijawab Jean dengan anggukan.
"Oke bye."
Tanpa menunggu Kanil memasuki mobilnya, Jean sudah lebih dulu menyeret tangan Taya, untuk memasuki rumah.
"Pagarnya?" tanya Taya spontan, saat melihat pagar rumahnya masih terbuka.
Jean menoleh tanpa melepaskan genggaman tangannya pada Taya, dan tanpa memberhentikan langkah kakinya.
"Apa pagar sangat penting dari pada perut gue yang kelaparan ini?"
Taya bungkam, ia mengikuti kemana arah Jean membawanya, tanpa ingin protes jika tangannya cukup nyeri.
"Buatin gue makan!"
Taya mengangguk dan berjalan ke dapur.
"Kakak ga-"
"Kakak?" Taya mengerjapkan matanya. Hah, dia salah berbicara.
"Gue bukan kakak lo."
"Kamu gak mau mandi dulu?" tanya Taya, bukan tanpa alasan, bau asap rokok yang menempel pada tubuh laki-laki itu sedikit menganggu indra penciumannya.
Jean menautkan alisnya, ia mengangkat tangannya untuk mencium bau dari tubuhnya sendiri.
Berdiri dan melangkahkan kakinya menuju kamar.
"Maran tidur?"
Taya menoleh dan mengangguk.
Terlihat Jean sudah menghilang dari pandangan matanya, memasuki kamar tempat Maran tidur.
"Liat, anak kita sangat lucu."
Taya terdiam kemudian terkekeh, kalimat itu selalu Jean ucapkan saat bertemu dengan Maran, entah untuk apa, namun ia sedikit tersentuh dengan itu.
Namun tidak lama sudut bibir itu turun membentuk garis lurus.
Dan, entah mengapa perlakuan Jean kepada Maran terkadang membuatnya iri. Laki-laki itu begitu lembut pada Maran, bahkan selalu menomor satu kan Maran.
Semenjak kehadiran Maran diantara mereka Jean menjadi sedikit lebih manusiawi.
Taya menggeleng pelan, kepalanya menunduk, dan menghembuskan napasnya sedikit kasar. Tidak seharusnya ia iri kepada anak kecil. Dan juga Maran sangat layak mendapatkan perhatian itu, Maran masih kecil dan tentu membutuhkannya. Dan Taya bersyukur Jean menyukai Maran.
Taya kembali fokus dengan alat-alat masaknya. Saat ini ia tengah membuat sup.
Setelah berhasil memotong semua sayuran yang ia butuhkan Taya memasukkan pada sebuah panci yang telah ia siapkan tadi. Memberi penyedap rasa dan menunggu sup itu matang.
Dan yang Taya lakukan hanya berdiam, ia bingung harus melakukan apa, jadi saat ini ia hanya diam sambil menatap panci di depannya.
Entah berapa lama ia terdiam sampai aroma sabun mengenai penciumannya. Dapat Taya rasakan tetesan air mengenai bahunya serta sebuah tangan memeluknya dari belakang.
"Apa sudah siap?"
Taya menahan napasnya saat hembusan napas Jean terasa di lehernya. Memberikan efek kesemutan pada seluruh tubuhnya.
Kepala Taya menunduk, menatap tangan yang memeluknya erat. Ingin rasanya Taya menggenggam tangan itu tapi Jean tidak akan menyukainya.
Taya hanya diperintahkan untuk diam bagaikan anak anjing yang baik.
Rasa cinta yang Taya miliki untuk Jean saat ini, benar-benar membuatnya berada di titik tidak tau bagaimana cara menjalani hidup.
"Sebentar lagi," jawab Taya seadanya.
"Apa kamu memakai sampo Maran? Taya dapat mencium aroma strawberry dari tubuh laki-laki di belakangnya itu.
"Ya, gue suka aromanya."
Tangan Jean memeluknya lebih erat.
"Lo bisa menyentuhnya."
"Ya?"
Tubuh Taya menegang, dapat ia rasakan ibu jari Jean yang bergerak mengelus perut Taya yang masih lengkap dangan pakaiannya.
"Tidak perlu mengelak." Bisikan Jean pada telinganya tepat membuat perutnya bergejolak.
Menghembuskan napasnya perlahan. Taya menggenggam tangan yang berada di perut dan melepaskannya. Tubuhnya berbalik menatap Jean yang hanya memakai handuk untuk menutupi daerah privasinya.
"Cuaca saat ini sangat tidak baik, segera lah berpakaian hangat, atau nanti kamu akan sakit," ujar Taya lembut. Tangan yang menggenggam tangan Jean ia lepaskan, kakinya mundur hingga kini ia bersandar.
Dapat ia lihat senyuman kecil pada bibir merah muda milik laki-laki dihadapannya. Mengangguk pelan dan kemudian melangkah menjauhi Taya. Dan sepertinya Jean berada di dalam mood yang cukup baik saat ini.
****
"Gue liat tulisan lo."
Saat ini mereka telah berada di meja makan. Menyantap makanan yang Taya buat tadi.
Taya mengeratkan pegangannya pada sendok.
Matanya melirik, menatap Jean yang tampak fokus dengan makanan serta ponsel yang berada di genggamannya.
"Apa lo punya blog, atau semacamnya?"
Taya menggeleng sebagai jawaban.
"Tidak," jawab Taya cepat saat mengingat laki-laki itu tidak berbicara sambil menatapnya.
Terdengar kekehan dari seberang sana membuat Taya mau tidak mau mengangkat kepalanya menatap Jean tepat pada mata laki-laki itu.
"Lo nulis tentang gue disana."
Taya mengatupkan bibirnya, ia bingung harus menjawab apa.
"Untuk apa?"
Taya tau saat ini Jean memiliki pikiran yang negatif kepadanya. Meneguk ludahnya, ia menyalahkan kebodohan yang ia lakukan. Ia lupa menyimpan kembali buku tulisannya pada laci bawah tempat tidur Maran.
"Hanya mengabadikan momen dalam sebuah tulisan," jawab Taya dan kembali menikmati makananya yang sempat tertunda.
"Itu sama kayak kamu mengabadikan tubuh aku dalam bentuk lukisan."
Terdengar kekehan tajam dari Jean.
"Gue butuh lo-"
"Seekarang."
Di sebuah ruangan dengan luas 3x3,5 meter Taya berdiri. Tangannya memegang erat kain satin berwarna putih yang menutupi tubuh polosnya.
"Gue gak bakal nyuruh lo buang kain itu." Jean mengeluarkan suaranya. Laki-laki itu tampak fokus dengan alat lukisnya. Melirik kepada Taya dan tersenyum miring.
"Berbaringlah, kenapa masih terlihat gugup?"
Taya meneguk ludahnya kasar. Kakinya berjalan pelan ke tengah ruangan hingga kini ia berada di hadapan Jean. Sesering apapun mereka melakukannya, tetap saja membuat Taya gugup.
Namun saat ini setidaknya ia dibiarkan untuk tetap memegang kain satinnya.
Taya hendak membaringkan tubuhnya, matanya menatap Jean yang entah mengapa saat di balik kanvas miliknya akan terlihat semakin mempesona.
"Pose?"
"Terserah lo."
Mata Taya mengerjap, ini kali pertamanya laki-laki itu membiarkannya berpose sendiri. Biasanya Jean yang akan melakukannya, dengan menggeser setiap lekuk tubuhnya sedikit kasar.
Sedangkan di balik kanvas Jean tersenyum melihat kebingungan Taya. Tubuhnya ia tegakkan, berdiri menghampiri Taya yang sudah hampir berbaring.
Dengan langkah pelan namun pasti Jean berjalan, dan berjongkok saat setelah berada di hadapan perempuan yang menjadi objek lukisnya itu.
Tangannya terulur mengangkat dagu Taya hingga kini mereka saling menatap. Senyum di bibir Jean tidak pernah luntur. Kacamata yang bertengger di hidung tingginya membuat kesan seorang pelukis bangsawan yang sangat memukau.
"Gue percaya sama lo."
Cup!
Mata Taya bergetar saat bibirnya menerima kecupan singkat dari Jean. Dan itu semakin membuat Jean tersenyum lebar.
Melihat respon tubuh Taya terhadap sentuhannya benar-benar membuatnya puas dan senang. Respon tubuh perempuan itu benar-benar candu baginya. Layaknya narkoba, Jean tidak bisa mengabaikan setiap afeksi objeknya itu.
"Bersiaplah."
***
Taya berdiri, tubuh polosnya masih berbalut satin putih. Mata hazel itu menatap setiap lukisan yang berada di ruangan.
Ruang karya Jeanno yang laki-laki itu namai dengan Emerland's Room.
Mata Taya tidak henti-hentinya menatap karya itu. Dan sebagian karya lukisnya adalah dia sebagai objek lukis. Menghembuskan napasnya perlahan, dapat Taya liat gambaran dirinya sendiri disana.
Meski saat itu ia tidak memakai apapun, tapi Jean selalu mengarahkan pose padanya untuk menutupi area privasinya dengan angel yang pas.
Kembali menghembuskan napasnya, Taya selalu berpikir sampai kapan ia harus terikat dengan laki-laki itu, sampai kapan ia harus menjadi objek lukis, dan entah bagaimana, memikirkan ada dimana Jean akan membuangnya membuatnya hatinya nyeri.
Tangannya mengepal, tidak seharusnya ia menaruh harapan pada Jean. Meski Jean telah mengklaim bahwa dirinya milik laki-laki itu tetap pandangan orang atas kata dimiliki berbeda dengan pandangannya.
Taya mengusap wajahnya pelan, kantuknya tiba-tiba datang. Tubuhnya tersentak pelan saat merasakan sebuah tangan melingkar dibelakangnya.
"Gak perlu balik, gue udah suruh Bir ke rumah buat nemenin Maran dan antar Maran ke sekolah," ujar Jean meletakkan dagunya pada bahu Taya.
Dapat Taya rasakan hembusan napas Jean yang menggelitik lehernya. Tangan laki-laki itu memeluknya erat, membuat Taya cukup sesak.
Matanya terasa berat. Oh, sial bahkan ia baru tertidur sekitar satu jam. Dan pukul berapa sekarang?
"Jean," gumam Taya memanggil nama laki-laki itu.
"Hem?"
"Pukul berapa?"
"Lo ngantuk?" Taya mengangguk lemah, sungguh matanya tiba-tiba menjadi sangat berat.
Cup!
Lagi, Jean kini mengecup lehernya. Tangan Jean bergerak membalikkan tubuhnya pelan.
Tangan Taya memegang erat kain satin yang menjadi penjaga tubuh polosnya, takut-takut akan terlepas.
Dapat Taya dengar kekehan dari Jean, dan sungguh mata Taya sudah hampir tertutup saat ini. Dan, dapat Taya rasakan tangan Jean yang turun hingga kini berada di antara lutut dan pinggangnya.
"Good nigh-"
"Ah! Sorry, good morning!"
***
Cahaya masuk dari celah kelopak matanya. Mengerjap, mata hazel itu perlahan terbuka.
Taya menoleh ke samping, menatap Jean yang masih setia menutup mata. Tangan yang memeluknya erat itu, ia angkat perlahan.
Jangan berpikiir aneh, mereka tidak mempunyai hubungan seintim itu. Tangan Taya menarik pelan selimut yang menutupi tubuhnya.
Kakiya turun, hingga ia dapat merasakan dinginnya lantai yang ia pijak. Dengan cepat Taya melangkah menuju lemari mengambil kemeja dan juga celana bahan milik Jean. Lemari, adalah salah satu barang yang ia boleh sentuh sesuka hati.
Setelah selesai memakai pakaiannya, Taya kembali melangkah mendekati ranjang menyimpan kembali selimut yang ia pakai, pada tubuh Jean.
Kakinya melangkah membawa tubuhnya keluar kamar. Matanya melirik jam dinding yang berada di atas televisi, jarum jam menunjukan pukul sembilan pagi.
Taya menghembuskan napasnya kasar. Lagi, ia membolos sekolah.
Matanya menjelajah setiap isi ruangan, tidak ada yang berbeda. Setelah satu bulan lamanya ia tidak menginjakkan kaki pada apartemen Jean, sekarang adalah kali pertamanya kembali menginjakkan kaki.
Satu bulan kemarin Jean tengah asik dengan hobi barunya, memotret para wanita di klub, entah untuk apa. Bahkan ia mendengar bahwa laki-laki itu sempat ikut ke dalam ruangan orang yang sedang berhubungan intim hanya untuk memotret. Namun sampai sekarang, ia tidak pernah melihat hasil jepretannya itu.
Jean dengan kegilaannya itu sungguh membuat Taya terkadang takjub. Namun, sampai saat ini laki-laki itu tidak pernah berhubungan sangat intim melebihi pelukan dan kecupan.
Taya berkata jujur, bukan hanya penglihatan matanya saat laki-laki itu bersamanya. Para sahabat laki-laki itu pernah mengatakannya, awalnya ia pun tidak percaya. Namun, saat ia melihat sendiri bagaimana Jean sangat menjaga jarak dengan wanita-wanita di club itu sedikit membuatnya percaya.
Namun, tidak merubah penilaian Taya kepada Jean. Laki-laki itu tetap brengsek dengan kegilaan anehhnya.
Taya menghembuskan napasnya, kakinya melangkah ke arah meja pantry mengambil sebuah kaleng soda disana.
Kepalanya ia jatuhkan pada meja. Menatap kaleng soda di depannya. Jika dipikir-pikir hidupnya cukup mengenaskan, namun dapat membuat beberapa orang iri juga. Siapa yang tidak ingin dekat dengan Jean?
Seorang Jeanno Anggo Brivtarico. Laki-laki tampan dengan seorang ayah yang berkecimpung di dunia entertainment dan ibunya adalah seorang desainer terkenal. Dan sekolah yang tepati saat ini adalah sekolah dengan keluarga Brivtarico lah sebagai donatur terbesar.
Terlepas dari kekayaan yang dimilki keluarga Brivtarico. Jean juga termasuk anak yang berprestasi di sekolah. Beberapa yang Taya ketahui, meski obsesi laki-laki akan seni itu sedikit membuatnya ngeri, namun di sekolah anak itu terlihat biasa.
Terlihat bisa disini bukan berarti ia tidak populer. Namun, cara dia memperlakukan orang di sekitarnya benar-benar tidak ada yang istimewa, terlihat sama sebagai teman sekolah.
Bukan juga seperti laki-laki tebar pesona yang tingkah selalu membuat orang sakit kepala.
Di sekolah laki-laki itu hanya belajar, ke kantin bila bel sudah berbunyi, dan pulang ketika bel pulang berbunyi. Tidak ada kenakalan, lelaki itu benar-benar menjaga citranya di sekolah. Kecuali jika sudah di luar sekolah.
Jean, terlihat sangat berbeda.
"Ayo cari makan."
Taya mengangkat kepalanya, menoleh ke belakang. Dapat ia lihat Jean sudah siap dengan hoodie berwarna navy dan celana di bawah lutut berwarna abu-abu.
Jean berdecak saat melihat Taya yang masih terdiam.
"Gue laper, cepetan!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!