AYAH! (Di Antara 2 Dendam Istri)
Dor...
Dor...
Dor...
Suara tembakan terdengar menggema dan terlihat tepat di kedua bola mata seorang wanita yang bernama Embun Keana Erick.
Namun, itu hanya masa lalu yang datang terus menerus menghantui dalam mimpi buruknya.
"ERLAAAAAN!"
Embun terpekik seraya membuka matanya dari alam mimpi. Nafasnya tersengal-sengal sesak yang saat ini sudah duduk gelisah di atas bed sederhananya.
Air mata itu kian jatuh tanpa permisi, tatkala mengingat kejadian buruk yang menimpa adiknya-Erlan, telah mati tertembak karena kekejian seorang Pria.
"Aaargh, darah!" Embun terpekik lagi. Dia berhalusinasi melihat darah adiknya berada di telapak tangannya saat ini.
"Hiks, hiks, hiks...." Seraya terisak isak, Embun menggosok gosok tangannya secara kasar ke selimut yang teronggok di sampingnya. Padahal, tangan itu bersih. Sangat bersih!
"Delapan tahun... hiks, hiks, delapan tahun Erlan. Kamu menyiksa kakak, dengan cara masuk ke mimpiku."
Yap ... kejadian tragis tertembak adiknya itu, sudah delapan tahun terlewat. Tetapi, selama itu pula dendamnya belum terbalaskan.
Bahkan, gara gara darah adiknya yang selalu terbayang bayang menghantuinya, telah berhasil mengubah hidupnya dari yang dulunya seorang Dokter bedah, kini hanya menjadi penjual kue keliling.
Embun trauma melihat darah banyak. Pasal itu pun, profesinya yang dulu melejit sebagai seorang Dokter muda yang berbakat, kini telah pupus menguap. Hanya bayangan-bayangan buruk saja yang tersisa dalam hidupnya selama delapan tahun lamanya. Dan itu gara gara seorang 'Pria' sialan itu. Embun sangat membenci 'Pria itu.'
"Maafkan, Kakak..." lirihnya. "Kakak belum berhasil membalaskan kematianmu, adikku..." racaunya dengan dada itu semakin sesak menyiksanya.
"Kakak dilema, karena__" Embun terjeda. Cepat cepat dia mengusap air matanya, saat menyadari pintu kamarnya terbuka oleh dua orang bocah.
"Bunda..."
"Bunda..."
Suara mengemaskan itu adalah anak Embun. Kembar fraternal bin tidak indentik. Satu cewek dan satu cowok, berumur tujuh tahun. Nama mereka, Surya dan Cahaya.
"Bunda mimpi lagi?" tanya Cahaya.
"Pasti, Bunda lupa berdoa. Iya 'kan?" Surya menimpali.
Kedua bocah ini sudah di atas kasur yang sederhana itu, dengan Embun berada di tengah-tengah.
"Ah, iya nih. Bunda lupa baca doa. Hehehe... tapi, jangan ditiru pikunnya Bunda ya, Sayang." Embun terkekeh paksa. Berkelit agar ke-dua anaknya tidak menatapnya cemas.
Semangat hidupnya memang hanya pada dua bocah kesayangannya. Tapi karena hamil di luar nikah, kedua anaknya serta dirinya pun kadang kala dapat gunjingan dari orang orang julid.
"Heem ... lain kali jangan diulangi, ya? Surya tidak suka melihat mata Bunda memerah, seperti setan karena menangis. Awas saja tuh setan yang berani menggangu Bunda! Surya sembelih biar jadi setan dua kali."
Surya berceloteh dengan wajah itu bermimik geram yang sedang memarahi setan pengganggu tidur sang Bunda.
"Caca juga akan menusuk tuh setan. Biar mati tiga kali." Cahaya tidak ingin kalah dari Surya. Bahkan tangan mungilnya membuat adegan menusuk nusuk perut sendiri.
Embun yang melihat mimik geram anak-anaknya, malahan dibuat tersenyum. Mimpi buruknya seketika terlupakan. Kedua bocah manisnya ini memang obat dari segala masalahnya.
"Uda-uda. Lebih baik, kalian tidur lagi. Ingat! Besok sekolah." Embun mentoel gemas hidung Surya. Dan pada Cahaya, Embun mencium dahi anak perempuannya.
"Kami tidur bersama Bunda, boleh?" izin Surya amat sopan. Bocah ini memang manis di dalam rumah. Tetapi ... kenakalannya diluar rumah kadang membuat Embun sering marah marah karena sering dapat teguran dari orang orang.
"Hoaam..."
Cahaya sendiri, tanpa menunggu jawaban sang Bunda. Sudah berbaring dengan paha kanan Embun sebagai bantalannya.
"Sini ..." Tangan Embun menuntun Surya untuk tidur meniru seperti Cahaya, tepat di paha kirinya.
Perlahan-lahan, mata kedua bocah jelita dan tampan menggemaskan itu, terpejam karena sulap tangan sang Bunda yang membelai belai sayang rambut mereka.
"Maafkan, Bunda," lirih Embun. Menatap lekat wajah Surya yang mirip seorang Pria yang amat di bencinya.
"Sampai kapan pun, Bunda tidak akan mempertemukan pada sosok Ayah kandung kalian. Bahkan, sampai Pria itu mati ditanganku, Bunda tetap akan menyembunyikan identitas sosok sialan itu pada kalian." Batinnya sudah bertekad.
Mata Embun kian berbinar penuh kemarahan, menaruh dendam amat mendarah daging dalam tubuhnya untuk satu orang laki laki itu. Tapi sialnya, Pria pembunuh adiknya adalah Pria sama yang kadangkala ditanyakan oleh anak kembarnya. Di mana Ayah kami?
Ya, Embun pernah melakukan kesalahan terbesar dalam hidup nya. Melakukan malam pertama terlarang karena mabuk, bersama Pria yang pada akhirnya Pria itu pula pelaku utama dalam kehancuran hidupnya.
Entah kesalahan apa yang pernah dilakukannya? sehingga takdir membawa hidupnya dalam dilema yang besar. Yakni, kalau dia berhasil membunuh Pria itu, maka perasaan bersalah akan menggerogoti tubuhnya setiap menatap kedua anak kembarnya.
Tetapi di lain sisi, kalau dia tidak membalas dendam kematian adiknya, maka setiap malam malamnya, Erlan pasti datang dalam mimpinya.
***
"Buruan, Cahaya!"
"Ih, sabar dong, Surya!"
Pagi hari yang gaduh, di rumah sederhana Embun yang saat ini tinggal di pinggir kota demi mencari kedamaian.
Pasalnya, Cahaya yang notabenenya adalah perempuan, sangatlah lama dalam menyisir rambut panjangnya. Mereka akan telat masuk sekolah kalau Cahaya masih sibuk saja mengurus rambut panjangnya.
"Nanti aku botakin sekalian." Sungut Surya.
Cahaya seketika melempar sisir tersebut ke seragam putih Surya. Lalu dengan cepat menarik tas punggung nya.
"Siap!" Serunya yang malah meninggalkan Surya di kamar itu.
Hingga, di luar kamar. Cahaya berteriak memanggil sang Bunda.
"Apa sih, Nak?" Lembut Embun bertanya.
Saat ini, keranjang kue berada ditangannya. Dagangan itu akan dia titipkan di kantin sekolahan si kembar.
"Surya lelet, Bun. Masa menyisir rambut lama amat kelarnya."
Surya yang dituduh lama, sudah melotot kesal ke Cahaya yang menyeringai jahil padanya. "Dasar..." umpat Surya.
"Gitu 'kah?" Embun tersenyum geli ke Surya yang menggeleng geleng.
"Adanya si Caca, Bun!" sanggah Surya. Mendelik kesal ke Cahaya. Kembarannya itu malah menjulurkan lidahnya.
"Sudah, sudah, " lerai Embun penuh kelembutan seraya memberikan keranjang kue ke Surya. "Nanti kalian telat lho. Berangkat gih, dan ah ... Bunda tidak mau mendengar laporan kenakalan kalian hari ini!" warning Embun.
"Oke, Bun!" Seru mereka. Dalam hati tidak janji. Masa ada orang yang nakal padanya, tidak dibalas sih? Itu namanya terlalu sabar, dan kadang kala orang sabar selalu disepelekan oleh orang lain. Si kembar ogah ditindas.
Satu persatu, si kembar pun mencium punggung tangan Embun. Lalu meraih kotak bekalnya yang sudah disiapkan oleh sang Bunda tercinta.
Di jalan, si kembar terlihat akrab. Mereka memang hanya berjalan kaki menempuh ke sekolahnya, karena memang dekat dari komplek perumahan yang di sewa oleh Embun.
"Sur, kita telat nggak ya?"
"Entahlah, kamu sih lelet!"
"Hm, biarkan saja. Kalau kita telat dan tidak diperbolehkan masuk, maka kita jualan kue Bunda aja. Supaya Bunda lebih untung lagi," ide Cahaya yang sudah mulai dingiang ngiangakan kejahilan mereka hari ini.
Kedua bocah ini memang terkenal nakal dari lingkungan sekolahannya. Intinya, lo jual, si kembar borong sampai tuntas permasalahannya.
"Eeh, Paaaaakkkk!" Cahaya terpekik ke satpam sekolahan yang akan menutup pintu gerbang masuk. Alamak hampir telat.
Pak satpam itu tidak menghiraukan si kembar yang berlari untuk berlomba dengan gerbang yang akan tertutup rapat rapat. Telat tetap saja telat! pikir sang satpam, no toleransi.
"Pak, ya ampun... Itu resletingnya turun ke bawah." pekik Surya berbohong dari arah satu meter lagi jarak itu.
"Iuuhh, kelihatan burung kutilangnya." Cahaya yang sama sama nakalnya, menimpali.
Sontak saja, Pak satpam itu melepaskan gerbang yang tinggal setengah meter akan tertutup rapat.
"Masa sih?" katanya percaya tidak percaya akan kibulan yang di awali Surya. Tapi bodohnya, pria paruh baya itu menundukkan kepalanya seraya tangannya meraba raba bagian celana itu.
Ia tidak tahu saja, kalau dua bocah nakal itu sudah hilang di depan mata.
"Tidak kok___Eeeh, dasar bocah nakal. kualat kalian ngibulin orang tua. Kampret tengil!"
"Hahahaha, maaf, Pak." Seraya berlari ke arah kantin untuk menitipkan kue kue bikinan Embun. Surya tertawa jumawa. Begitu pun Cahaya.
"Lima kali sudah dibohongi, tapi tetap saja percaya!" Sang Satpam menggeleng geleng kepala. Untuk ke enam kalinya, ia tidak akan tertipu lagi. Lihatlah saja nanti!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Ida Lailamajenun
baru mampir
2024-02-18
0
Ida Lailamajenun
🤣🤣🤣🤣
2024-02-18
0
Puriah
😂😂😂😂👍 lanjut Thor 💪
2023-03-02
0