NovelToon NovelToon

AYAH! (Di Antara 2 Dendam Istri)

Bab 1# Mimpi Buruk Lagi

Dor...

Dor...

Dor...

Suara tembakan terdengar menggema dan terlihat tepat di kedua bola mata seorang wanita yang bernama Embun Keana Erick.

Namun, itu hanya masa lalu yang datang terus menerus menghantui dalam mimpi buruknya.

"ERLAAAAAN!"

Embun terpekik seraya membuka matanya dari alam mimpi. Nafasnya tersengal-sengal sesak yang saat ini sudah duduk gelisah di atas bed sederhananya.

Air mata itu kian jatuh tanpa permisi, tatkala mengingat kejadian buruk yang menimpa adiknya-Erlan, telah mati tertembak karena kekejian seorang Pria.

"Aaargh, darah!" Embun terpekik lagi. Dia berhalusinasi melihat darah adiknya berada di telapak tangannya saat ini.

"Hiks, hiks, hiks...." Seraya terisak isak, Embun menggosok gosok tangannya secara kasar ke selimut yang teronggok di sampingnya. Padahal, tangan itu bersih. Sangat bersih!

"Delapan tahun... hiks, hiks, delapan tahun Erlan. Kamu menyiksa kakak, dengan cara masuk ke mimpiku."

Yap ... kejadian tragis tertembak adiknya itu, sudah delapan tahun terlewat. Tetapi, selama itu pula dendamnya belum terbalaskan.

Bahkan, gara gara darah adiknya yang selalu terbayang bayang menghantuinya, telah berhasil mengubah hidupnya dari yang dulunya seorang Dokter bedah, kini hanya menjadi penjual kue keliling.

Embun trauma melihat darah banyak. Pasal itu pun, profesinya yang dulu melejit sebagai seorang Dokter muda yang berbakat, kini telah pupus menguap. Hanya bayangan-bayangan buruk saja yang tersisa dalam hidupnya selama delapan tahun lamanya. Dan itu gara gara seorang 'Pria' sialan itu. Embun sangat membenci 'Pria itu.'

"Maafkan, Kakak..." lirihnya. "Kakak belum berhasil membalaskan kematianmu, adikku..." racaunya dengan dada itu semakin sesak menyiksanya.

"Kakak dilema, karena__" Embun terjeda. Cepat cepat dia mengusap air matanya, saat menyadari pintu kamarnya terbuka oleh dua orang bocah.

"Bunda..."

"Bunda..."

Suara mengemaskan itu adalah anak Embun. Kembar fraternal bin tidak indentik. Satu cewek dan satu cowok, berumur tujuh tahun. Nama mereka, Surya dan Cahaya.

"Bunda mimpi lagi?" tanya Cahaya.

"Pasti, Bunda lupa berdoa. Iya 'kan?" Surya menimpali.

Kedua bocah ini sudah di atas kasur yang sederhana itu, dengan Embun berada di tengah-tengah.

"Ah, iya nih. Bunda lupa baca doa. Hehehe... tapi, jangan ditiru pikunnya Bunda ya, Sayang." Embun terkekeh paksa. Berkelit agar ke-dua anaknya tidak menatapnya cemas.

Semangat hidupnya memang hanya pada dua bocah kesayangannya. Tapi karena hamil di luar nikah, kedua anaknya serta dirinya pun kadang kala dapat gunjingan dari orang orang julid.

"Heem ... lain kali jangan diulangi, ya? Surya tidak suka melihat mata Bunda memerah, seperti setan karena menangis. Awas saja tuh setan yang berani menggangu Bunda! Surya sembelih biar jadi setan dua kali."

Surya berceloteh dengan wajah itu bermimik geram yang sedang memarahi setan pengganggu tidur sang Bunda.

"Caca juga akan menusuk tuh setan. Biar mati tiga kali." Cahaya tidak ingin kalah dari Surya. Bahkan tangan mungilnya membuat adegan menusuk nusuk perut sendiri.

Embun yang melihat mimik geram anak-anaknya, malahan dibuat tersenyum. Mimpi buruknya seketika terlupakan. Kedua bocah manisnya ini memang obat dari segala masalahnya.

"Uda-uda. Lebih baik, kalian tidur lagi. Ingat! Besok sekolah." Embun mentoel gemas hidung Surya. Dan pada Cahaya, Embun mencium dahi anak perempuannya.

"Kami tidur bersama Bunda, boleh?" izin Surya amat sopan. Bocah ini memang manis di dalam rumah. Tetapi ... kenakalannya diluar rumah kadang membuat Embun sering marah marah karena sering dapat teguran dari orang orang.

"Hoaam..."

Cahaya sendiri, tanpa menunggu jawaban sang Bunda. Sudah berbaring dengan paha kanan Embun sebagai bantalannya.

"Sini ..." Tangan Embun menuntun Surya untuk tidur meniru seperti Cahaya, tepat di paha kirinya.

Perlahan-lahan, mata kedua bocah jelita dan tampan menggemaskan itu, terpejam karena sulap tangan sang Bunda yang membelai belai sayang rambut mereka.

"Maafkan, Bunda," lirih Embun. Menatap lekat wajah Surya yang mirip seorang Pria yang amat di bencinya.

"Sampai kapan pun, Bunda tidak akan mempertemukan pada sosok Ayah kandung kalian. Bahkan, sampai Pria itu mati ditanganku, Bunda tetap akan menyembunyikan identitas sosok sialan itu pada kalian." Batinnya sudah bertekad.

Mata Embun kian berbinar penuh kemarahan, menaruh dendam amat mendarah daging dalam tubuhnya untuk satu orang laki laki itu. Tapi sialnya, Pria pembunuh adiknya adalah Pria sama yang kadangkala ditanyakan oleh anak kembarnya. Di mana Ayah kami?

Ya, Embun pernah melakukan kesalahan terbesar dalam hidup nya. Melakukan malam pertama terlarang karena mabuk, bersama Pria yang pada akhirnya Pria itu pula pelaku utama dalam kehancuran hidupnya.

Entah kesalahan apa yang pernah dilakukannya? sehingga takdir membawa hidupnya dalam dilema yang besar. Yakni, kalau dia berhasil membunuh Pria itu, maka perasaan bersalah akan menggerogoti tubuhnya setiap menatap kedua anak kembarnya.

Tetapi di lain sisi, kalau dia tidak membalas dendam kematian adiknya, maka setiap malam malamnya, Erlan pasti datang dalam mimpinya.

***

"Buruan, Cahaya!"

"Ih, sabar dong, Surya!"

Pagi hari yang gaduh, di rumah sederhana Embun yang saat ini tinggal di pinggir kota demi mencari kedamaian.

Pasalnya, Cahaya yang notabenenya adalah perempuan, sangatlah lama dalam menyisir rambut panjangnya. Mereka akan telat masuk sekolah kalau Cahaya masih sibuk saja mengurus rambut panjangnya.

"Nanti aku botakin sekalian." Sungut Surya.

Cahaya seketika melempar sisir tersebut ke seragam putih Surya. Lalu dengan cepat menarik tas punggung nya.

"Siap!" Serunya yang malah meninggalkan Surya di kamar itu.

Hingga, di luar kamar. Cahaya berteriak memanggil sang Bunda.

"Apa sih, Nak?" Lembut Embun bertanya.

Saat ini, keranjang kue berada ditangannya. Dagangan itu akan dia titipkan di kantin sekolahan si kembar.

"Surya lelet, Bun. Masa menyisir rambut lama amat kelarnya."

Surya yang dituduh lama, sudah melotot kesal ke Cahaya yang menyeringai jahil padanya. "Dasar..." umpat Surya.

"Gitu 'kah?" Embun tersenyum geli ke Surya yang menggeleng geleng.

"Adanya si Caca, Bun!" sanggah Surya. Mendelik kesal ke Cahaya. Kembarannya itu malah menjulurkan lidahnya.

"Sudah, sudah, " lerai Embun penuh kelembutan seraya memberikan keranjang kue ke Surya. "Nanti kalian telat lho. Berangkat gih, dan ah ... Bunda tidak mau mendengar laporan kenakalan kalian hari ini!" warning Embun.

"Oke, Bun!" Seru mereka. Dalam hati tidak janji. Masa ada orang yang nakal padanya, tidak dibalas sih? Itu namanya terlalu sabar, dan kadang kala orang sabar selalu disepelekan oleh orang lain. Si kembar ogah ditindas.

Satu persatu, si kembar pun mencium punggung tangan Embun. Lalu meraih kotak bekalnya yang sudah disiapkan oleh sang Bunda tercinta.

Di jalan, si kembar terlihat akrab. Mereka memang hanya berjalan kaki menempuh ke sekolahnya, karena memang dekat dari komplek perumahan yang di sewa oleh Embun.

"Sur, kita telat nggak ya?"

"Entahlah, kamu sih lelet!"

"Hm, biarkan saja. Kalau kita telat dan tidak diperbolehkan masuk, maka kita jualan kue Bunda aja. Supaya Bunda lebih untung lagi," ide Cahaya yang sudah mulai dingiang ngiangakan kejahilan mereka hari ini.

Kedua bocah ini memang terkenal nakal dari lingkungan sekolahannya. Intinya, lo jual, si kembar borong sampai tuntas permasalahannya.

"Eeh, Paaaaakkkk!" Cahaya terpekik ke satpam sekolahan yang akan menutup pintu gerbang masuk. Alamak hampir telat.

Pak satpam itu tidak menghiraukan si kembar yang berlari untuk berlomba dengan gerbang yang akan tertutup rapat rapat. Telat tetap saja telat! pikir sang satpam, no toleransi.

"Pak, ya ampun... Itu resletingnya turun ke bawah." pekik Surya berbohong dari arah satu meter lagi jarak itu.

"Iuuhh, kelihatan burung kutilangnya." Cahaya yang sama sama nakalnya, menimpali.

Sontak saja, Pak satpam itu melepaskan gerbang yang tinggal setengah meter akan tertutup rapat.

"Masa sih?" katanya percaya tidak percaya akan kibulan yang di awali Surya. Tapi bodohnya, pria paruh baya itu menundukkan kepalanya seraya tangannya meraba raba bagian celana itu.

Ia tidak tahu saja, kalau dua bocah nakal itu sudah hilang di depan mata.

"Tidak kok___Eeeh, dasar bocah nakal. kualat kalian ngibulin orang tua. Kampret tengil!"

"Hahahaha, maaf, Pak." Seraya berlari ke arah kantin untuk menitipkan kue kue bikinan Embun. Surya tertawa jumawa. Begitu pun Cahaya.

"Lima kali sudah dibohongi, tapi tetap saja percaya!" Sang Satpam menggeleng geleng kepala. Untuk ke enam kalinya, ia tidak akan tertipu lagi. Lihatlah saja nanti!

Bab 2# Di Mana Ayah Kami?

Jam istirahat sekolah. Bukan anak kecil namanya kalau kelas damai sentosa. Contohnya saat ini, kelas si Kembar terlihat gaduh. Ada yang lempar pesawat terbang yang terbuat dari sobekan buku. Ada pula yang berlari-larian mengelilingi dalam canda bersama.

Si kembar sendiri duduk santai bersama sama dengan kotak bekal di atas meja.

Ada juga bocah lainnya yang bergerombolan di meja lain. Entah sedang main apa? Si kembar tidak peduli, yang penting makan hasil tangan Ibunda tercinta terlebih dahulu.

"Saya bekalnya burger king." Satu bocah laki-laki memamerkan isi kotak makannya ke Surya dengan nada sombong. "Kalian bekalnya kue tradisional murahan mulu! Kampungan!" Sambungnya menghina.

Surya dan Cahaya saling pandang dengan binar penuh arti. Nyari mati tuh bocah! Begitulah makna mata mereka, kenakalan. Keduanya hanya membeli apa yang diinginkan Barli.

"Kue tradisional ini bikinan Bunda kami. Sekali lagi kamu menghinanya, saya tabok kamu!" ancam Surya seraya memamerkan kepalan tinjunya itu ke hadapan wajah teman kelasnya.

Para siswa yang tadinya sibuk bermain canda tawa, pada diam seketika. Menatap iba ke Barli yang pasti akan diapa-apain oleh si kembar-biang nakal itu.

"Kue jelek," hina Barli. Tangannya menepis bekal Surya sampai jatuh kotor ke lantai. Setelahnya, Barli ingin melangkah pergi tanpa dosa dan tanpa ingin bertanggung jawab.

Surya yang ditantang segera memasang kakinya di sela langkah Barli.

Bugh...

Terjatuh dan jidat itu kejedot ujung kursi!

"Hahahaha ... rasakan!" Surya tertawa puas seraya bertos ria bersama Cahaya.

"Hiks hiks hiks, awas kalian! Saya adukan!" Barli menangis. Jidatnya itu langsung benjol dan sedikit kulitnya terkelupas. Bahkan, mengeluarkan darah meski sedikit.

Semua murid yang ada di kelas tersebut tidak ada yang berani menolong Barli, karena tidak mau menjadi sasaran empuk kenakalan dan kesadisan si kembar.

"Nggak takut!" Santai Cahaya yang masih duduk di kursinya.

Barli pun pergi untuk mengadu, bukan ke guru melainkan ke orang tuanya langsung yang memang rumahnya dekat dari sekolahannya.

Beberapa menit, Barli datang ke kelas membawa Papanya. Guru tidak ada yang tahu karena sedang istirahat di kantor.

"Surya dan Cahaya!" Bentak Papa Barli. Sang empu nama yang tadinya tiduran bosan di meja. Seketika menoleh ke asal suara gelegar Bapak-bapak yang bertubuh gaban itu.

"Kami!" Kompak si kembar. Wajah mereka tidak ada ketakutan, adanya sikap santai yang sedang berjalan ke arah papan tulis. Menuju ke arah orang tua Barli.

"Hiks hiks,.." Barli masih menangis, agar papanya kian tersulut emosi kepada Surya dan Cahaya.

"Kamu apakan anak saya, hah?"

"Terjatuh karena kesandung kaki saya, Pak!" Jawab Surya apa adanya.

"Pasti sengaja 'kan?" Bentaknya.

"Iya, karena Barli pun sengaja membuang makanan Surya!" Cahaya membela kembarannya. Tanpa takut, si anak Embun itu menatap berani ke-dua mata tajam Papa Barli yang sinis karena kemarahannya dilawan.

Hei, walaupun masih bocah, kedua anak ini tidak ada takutnya, bilamana memang tidak salah.

"Anak kurang ajar! Dasar nakal! tidak tahu arti sopan santun kepada orang tua. Tidak pernah di ajarkah, sama Papa kalian, hah?"

Deg...

Si kembar tersentak. Dalam hatinya berkata, kami tidak pernah tahu sosok Ayah.

"Sini kamu!"

Plak....

Surya yang tadinya tertegun akan sosok seperti apa Ayahnya itu, tidak tahu kalau akan mendapat tamparan dari tangan kasar Papa Barli.

Bocah itu tidak menangis, melainkan tetap terdiam dengan pipi dipegangnya seraya menatap dingin Papa Barli.

"Woi..." Cahaya yang murka karena tidak terima kembarannya di pukul. Dengan berani, Cahaya menarik tangan Papa Barli dan menggigit kuat jari telunjuk orang tua itu tanpa ampun.

"Aaargh... sakit!" Lolong Papa Barli. Para siswa entah harus berbuat apa melihat kegaduhan si kembar yang tidak ada takutnya.

"Cahaya!!!" Sang guru membentak yang kebetulan lewat dan melihat tingkah kurang sopan Cahaya.

Tapi ada syukurnya, karena Papa Barli terhenti yang ingin menghempaskan tubuh mungil Cahaya.

"Kami tidak salah!!!" Surya membelah diri. Lalu menarik tangan Cahaya untuk bolos. Gurunya pun mereka abaikan yang menyuruhnya untuk tetap tinggal.

"Anda lihat sendiri kelakuan mereka, Pak Guru! Jadi saya minta agar mereka dikeluarkan dari sekolah ini. Titik!" telak Papa Barli tak mau dibantah.

Sang Guru hanya mengehela nafasnya." Nanti kami akan membicarakan ini kepada wali Surya dan Cahaya, Pak. Maaf atas tingkah si kembar."

****

"Dikeluarkan lagi!!!"

Embun menaruh kasar amplop laporan sekolahan ke hadapan Surya dan Cahaya yang sedang belajar bersama di meja ruang tamu.

Bagaimana tidak pusing, ini adalah empat kalinya si kembar dikeluarkan dari sekolahan. Padahal tahun ini adalah tahun pertama masuk ke sekolah dasar, namun sudah beberapa pindah sekolahan karena kelakuan tak lazim anak anaknya.

"Hehehe, santai saja, Bun!"

Hah... Embun melongo akan seruan santai Surya.

"Ya ampun...Ah, kalian...!"

Embun speechless, menelan kembali ocehannya. Tapi ekspresinya itu amat geram dengan tangan menjambak-jambak prustasi rambutnya.

Bagaimana bisa dia melahirkan anak kembar yang nakalnya naudzubillah. Tapi anehnya, anak kembarnya itu mempunyai IQ tinggi.

"Apa kalian tahu, Bunda tadi di marahin oleh orang tua Barli. Dan guru guru pun tidak bisa membelah Bunda, karena kalian salah! Tolonglah, Nak.... kasihanilah Bunda." Embun memelas.

Cahaya dan Surya seketika menundukkan kepalanya. Benar! Mereka memang nakal. Namun, itu hanya pembelaan semata.

"Barli yang lebih dulu nyari masalah, Bun." Terang Cahaya. Dia pun menceritakan insiden itu tanpa ada yang dilebih-lebihkan.

Mendengar itu, Embun menghela nafas beratnya, hatinya pun terenyuh sakit saat mendengar Surya dapat gamparan keras.

"Kami hanya membela diri, Bun." Lirih Surya. Tidak berani menatap mata Sang Bunda. Dia dan Cahaya amat menghargai wonder woman-nya itu.

"Apa itu salah?" Imbuh Cahaya.

Perlahan-lahan, Embun mendekati bocah kesayangannya. Duduk di lantai tepat hadapan ke-dua malaikat kecilnya.

"Tidak, Nak! Membela diri memang tidaklah salah. Tetapi, kalau bisa... imbangi diri kalian. Kenali siapa lawan mu! Kenali, apakah kalian akan menang dengan otot kalian yang masih kecil ini." Embun mengelus pipi Surya yang memang masih merah. Dia baru sadar akan kekerasan Papa Barli. Andai dia tahu sebelumnya, Embun tidak akan tinggal diam di kantor kapsek tadi.

"Tak selamanya, membela diri itu mengunakan kekerasaan. Adakalanya, kita harus bermain cantik menggunakan otak. Apakah kalian paham dengan penjelasan Bunda?" Embun menjelaskan pelan pelan agar anaknya dapat menyerapnya dengan baik. Matanya pun tak lepas dari iris mata polos Cahaya dan Surya.

"Paham, Bun." Jawab Cahaya. Entah benar atau tidak.

Lantas, Embun ingin mengetesnya. "Paham, apa hayo?"

"Ya pahamlah. Kalau Papa Barli itu ototnya besar. Jadi yang bisa melawan badan gaban Papa Barli ya... hanya Ayah kami. Iya 'kan, Bunda?"

Mampus! Embun terjebak lagi. Pasti....

"Lantas, di mana Ayah kami?" Tembak Surya cepat.

"Iya, Bun. Di mana Ayah kami?" Cahaya pun bertanya serius.

Tuh 'kan. Embun sudah menebaknya kalau ke-dua anak anaknya pasti mempertanyakan sosok Pria yang dibencinya.

Bab 3# Mencari Ayah

"Bun, kok diam?" tanya Surya. Mendesak.

"Kami menunggu jawaban, Bunda!" Cahaya pun sama, tak sabaran.

Bukannya menjawab, Embun lebih memilih untuk berdiri dan menuju dapur.

Si Kembar tidak mau menyerah, ke-duanya pun mengekori sang Bunda.

"Ya ampun...! Kok Bunda lupa pesanan kue Ibu RT?" Embun hanya berkelit dengan berpura pura menyiapkan bahan kue-kuenya di meja dapur sederhana itu. Rumah mereka memang kecil, karena hanya kontrakan.

"Bunda selalu mengelak kalau kami bertanya tentang Ayah. Kenapa Bunda seperti itu ?" Hari ini, Surya pun lebih kekeuh untuk menuntut.

"Apakah, Ayah kami sesosok setan sehingga Bunda tidak pernah menyinggung beliau?" Cahaya merebut sebungkus tepung yang ada di tangan Embun, karena sang Ibunda tidak mau sama sekali bersuara.

"Sudah Bunda katakan beberapa kali, kalau ayah kalian itu sudah MATI!" bentak Embun berbohong. Namun tidak berani menatap mata anak-anaknya yang pasti memancarkan air muka kecewanya.

Ia lebih memilih untuk membelakangi sosok mungil itu dengan berpura pura membersihkan tangan di bak cuci piring.

"Tapi kenapa perasaan Surya mengatakan, kalau Bunda itu berbohong! Setidaknya, beri tahu namanya ke kami. Biar Surya dan Cahaya mencari nama Ayah di setiap batu nisan yang ada di pemakaman ke seluruh dunia pun, Surya akan mencari demi meyakinkan orang orang, kalau kami itu bukan anak iblis yang kata mereka 'pantas kalian nakal karena tak punya Ayah' seperti umpatan tetangga-tetangga kita dulu."

Surya, bocah tujuh tahun itu tidak pernah melupakan hinaan demi hinaan bekas tetangga lamanya.

Embun yang mendengar cercaan sang anak yang amat lantang terdengar, dibuat naik pitam. Tepat ingin berbalik cepat dari wastafel itu, tangannya tidak sengaja menepis gelas dan berujung jatuh.

"Kurcil!" Rasanya, Embun ingin memotong lidahnya sendiri karena keceplosan mengatakan nama klan pembunuh adiknya.

"Kurcil?! Itu nama Ayah kami?" Cahaya tersenyum penuh arti ke Surya, begitu pun sebaliknya. Akhirnya nama sang Ayah sudah tercuat dari mulut Bunda nya yang mereka yakini kalau bibir yang sedang marah itu keceplosan.

"Ah, bukan__i-itu nama ge__ maksud Bunda, itu nama bahan kue." Embun segera saja berbohong, meski terdengar terbata-bata.

Tapi sayangnya, anak pintar tapi nakal itu tidak percaya. Keduanya malah keluar dari dapur.

"Mau kemana?" teriak Embun karena si kembar berlari ke arah pintu keluar.

Lantas, Surya berhenti. Cahaya pun demikian. Lalu berbalik dan berkata kompak, "Mau cari Ayah kami yang bernama Kurcil."

"Ya, pergilah! Tapi sebelum magrib pulang tepat waktu." Embun mengijinkan karena percuma melarang kedua anaknya yang keras kepala itu.

Semakin dilarang, maka semakin pula keras kepala untuk bertingkah. Itulah sifat kedua anaknya.

Jadi biarkan si kembar pulang dengan membawa kata 'menyerah.' Toh, nama Kurcil itu bukan nama asli si Ayah mereka yang kejam itu, melainkan hanya nama gengnya.

"Badai Sagara!" geram Embun seraya menatap lekat beling gelas yang tadi pecah tanpa sengaja itu.

Nama itulah penyebab kemalangannya, karena sudah menghamilinya dan sudah pula menjadi pembunuh adiknya.

"Nasib kamu akan menjadi seperti gelas ini! Tunggu saja pembalasan ku!"

***

"Pak, apakah Anda kenal orang yang bernama Kurcil?" tanya Surya.

Si kembar saat ini berada di jalanan untuk menanyakan Pak Kurcil yang dipikirkannya adalah nama Ayah mereka.

"Tidak, lagian siapa tuh Kurcil? Nama yang aneh," hina Bapak itu.

Surya yang tidak suka mendengar nama yang katanya milik Daddy-nya dihina, sudah melotot geram.

Namun, Cahaya segera menenangkan Surya dengan berbisik, "Kata Bunda, kenali lawan. Itu ototnya gede lho. Kita pasti akan babak belur, " polos Cahaya yang sok menasehati.

"Ayo, kita cari ke tempat lain." Surya akhirnya mengalah dengan cara pergi dari area trotoar, menuju ke halte.

"Sur, kita akan mencarinya kemana?"

"Entahlah." Surya meraih tangan adiknya agar tidak terpisah.

"Oh ya, Sur. Nanyanya jangan ke orang jelek ya! Nanya aja ke Pria dewasa tapi yang tampan."

Surya berhenti melangkah karena celoteh aneh Cahaya yang dia tidak pahami.

"Maksud mu?"

"Elahh, bodoh kok di pelihara," ejek Cahaya seraya tersenyum tanpa dosa. Surya tidak menggubris ledekan itu, lebih memilih diam untuk mendengar penjelasan Cahaya selanjutnya.

"Gini lho, Sur. Kan, aku dan Bunda itu cantik, sedang kamu tampan. Jadi, Ayah kita juga pasti tampan. Kalau jelek kamu pasti ikutan jelek kayak orang orang yang kita tanyai tadi. Iihh, aku ogah punya Ayah yang jelek macam orang tua Barli yang kasar itu." Cahaya bergidik jijik dikala menyebut nama Barli.

"Hehe, betul juga kamu. Cantik sama orang tampan yakni orang tua kita, pasti akan punya anak yang jelita dan handsome kayak aku dan kamu." Surya setuju akan ide adiknya.

Mereka terlihat sangat menggemaskan dengan tingkah nakalnya.

Pencarian berlanjut, si kembar berada di depan rumah sakit besar, dengan bertanya kepada orang yang memekai kemeja yang mahal. Tanpa si kembar sadari, kalau mereka sudah pergi jauh dari rumah.

"Apakah Anda Ayah kami?" tanya Surya ke seorang Pria yang berdiri di dekat parkiran rumah sakit.

"Hah?" respon cengong Pria yang ditanyai si kembar.

"Iihh, Om. Kok tampan tampan budek sih. Kami bertanya, apakah Anda Ayah kami?" Surya ikut bersuara dengan mimik kesal.

Pria di hadapan si kembar malah terkekeh, karena menurutnya dua bocah ini sangat menggemaskan.

"Kenapa kalian mengira kalau saya Ayah mu?" Pria tampan berkharisma itu, berjongkok menyamai tinggi dua bocah lucu di matanya. Biasanya, ia tidak suka anak anak dalam arti bukan ponakanya, tapi kenapa pada ke-dua bocah asing tersebut dalam arti terkecualikan?

"Karena Om tampan! Lihatlah kembaran saya..." Cahaya mendelik ke Surya. Dan si Om itu pun mengikuti titah gadis kecil itu. "Dia tampan 'kan?" Sambungnya bertanya.

Si Om mengangguk dan tersenyum ke Surya. "Sangat tampan!" pujinya seraya mengacak-acak lembut rambut Surya yang ikut tersenyum padanya. Entah kenapa ia amat gemas pada anak anak asing ini?

"Terus hubungannya sama Om, apa?" tanyanya kembali melirik Cahaya.

"Hadeeh..." Cahaya menepuk jidatnya. Menurutnya, si Om ini telmi sekali.

Sedang sang Om itu menaikkan satu alisnya, lalu tersenyum lucu karena ekspresi mengemaskan gadis kecil yang mempunyai warna rambut sweet caramel.

"Karena Om tampan, Surya pun tampan! Jadi mungkin Om itu Ayah kami. Kan, tidak mungkin Ayah kami jelek sedang Surya saja tampan. Begitu! paham?" jelas Cahaya seraya satu jari kecilnya menunjuk bergantian wajah Surya begitu pun wajah si Om saat kata tampan terlontar dari mulutnya.

"Hehehe, kesimpulan kalian lucu sekali," ucap si Om tertawa kecil seraya tangannya mencubit gemas pipi Cahaya.

"Hanya Anda yang mengatai kami lucu. Semua orang kecuali Bunda mengatai kami anak nakal! Bahkan, anak iblis katanya," curhat Surya bernada sedih.

Si Om terasa tercubit hatinya. Entah kenapa itu?

"Wah, nanti Om suntik orang orang yang mengatai kalian nakal. Secara, Om 'kan seorang Dokter bedah," terang si Om dengan suara dibuat lucu agar dua bocah itu tidak bersedih.

Si kembar pun tersenyum tanpa beban lagi. Mereka nyaman mengobrol dengan si Om tampan ini.

"Tapi, nama Ayah kalian, siapa? Dan dia kemana?" tanya si Om mulai penasaran.

"Kata Bunda, namanya itu Kur__"

Surya terjeda karena ada pria lain yang baru datang menyelanya. Si Om itu pun langsung berdiri dari jongkoknya, menghadap ke samping.

"Pak Badai, maaf menyela. Pesawat menuju ke Singapore, sebentar lagi akan take off. Mohon, kita segera berangkat ke bandara saat ini juga," kata Bimo-sang asisten melapor.

Pak Badai? Ya... Badai Sagara yang di hardik Embun sejak delapan tahun lamanya, pria yang di cari si kembar inilah yang diajak berbicara langsung, otomatis pria itu adalah Ayah si bocah.

"Iya, Bim, tapi sebentar...eh, ke-dua bocah itu kemana?" Badai menggerlya. Ternyata kedua anak itu sudah pergi jauh, hanya terlihat punggungnya yang sudah berlari seraya bertaut tangan, seperti saling menyayangi. Jadinya, Badai teringat dengan kembarannya yang berada di Indonesia yang sudah pada berkeluarga. Namun, bedanya, ia kembar tiga.

***

"Hem... Sur. Ternyata Om tadi bukan namanya Pak Kurcil, tapi Pak Badai." Cahaya sedikit kecewa.

"Iya, padahal nyaman untuk berinteraksi bersama ya, Ca." Surya pun kecewa. Makanya itu, mereka langsung pergi di saat nama Pak Badai terucap dari pria yang baru datang.

"Kita cari kemana lagi?"

"Ke kuburan saja, yuk. Mungkin benar kata Bunda , kalau Ayah kita sudah mati, eh meninggal maksud ku." Surya meralat.

"Ayo kita ke kuburan! Cari satu persatu orang yang bernama Kurcil dibatu nisannya," setuju Cahaya antusias.

Mereka berjalan terus tanpa mau melepaskan tautan tangannya. Sesekali mereka tertawa canda dalam langkahnya.

Anak anak yang ceria namun di sisi lainnya, mereka punya sisi rapuh penuh luka karena merindukan sesosok Ayah. Pikir mereka, hidup sang Bunda tidak akan sulit lagi mencari nafkah, kalau Ayahnya ada di sisi mereka. Biarkan Ayah nya yang akan bekerja seperti kehidupan keluarga teman temannya yang lengkap.

Bukan hanya itu, si kembar tidak mau terus di cemooh sebagai anak haram, Iblis dan lain lain. Mereka punya Ayah. Titik!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!