"Bun, kok diam?" tanya Surya. Mendesak.
"Kami menunggu jawaban, Bunda!" Cahaya pun sama, tak sabaran.
Bukannya menjawab, Embun lebih memilih untuk berdiri dan menuju dapur.
Si Kembar tidak mau menyerah, ke-duanya pun mengekori sang Bunda.
"Ya ampun...! Kok Bunda lupa pesanan kue Ibu RT?" Embun hanya berkelit dengan berpura pura menyiapkan bahan kue-kuenya di meja dapur sederhana itu. Rumah mereka memang kecil, karena hanya kontrakan.
"Bunda selalu mengelak kalau kami bertanya tentang Ayah. Kenapa Bunda seperti itu ?" Hari ini, Surya pun lebih kekeuh untuk menuntut.
"Apakah, Ayah kami sesosok setan sehingga Bunda tidak pernah menyinggung beliau?" Cahaya merebut sebungkus tepung yang ada di tangan Embun, karena sang Ibunda tidak mau sama sekali bersuara.
"Sudah Bunda katakan beberapa kali, kalau ayah kalian itu sudah MATI!" bentak Embun berbohong. Namun tidak berani menatap mata anak-anaknya yang pasti memancarkan air muka kecewanya.
Ia lebih memilih untuk membelakangi sosok mungil itu dengan berpura pura membersihkan tangan di bak cuci piring.
"Tapi kenapa perasaan Surya mengatakan, kalau Bunda itu berbohong! Setidaknya, beri tahu namanya ke kami. Biar Surya dan Cahaya mencari nama Ayah di setiap batu nisan yang ada di pemakaman ke seluruh dunia pun, Surya akan mencari demi meyakinkan orang orang, kalau kami itu bukan anak iblis yang kata mereka 'pantas kalian nakal karena tak punya Ayah' seperti umpatan tetangga-tetangga kita dulu."
Surya, bocah tujuh tahun itu tidak pernah melupakan hinaan demi hinaan bekas tetangga lamanya.
Embun yang mendengar cercaan sang anak yang amat lantang terdengar, dibuat naik pitam. Tepat ingin berbalik cepat dari wastafel itu, tangannya tidak sengaja menepis gelas dan berujung jatuh.
"Kurcil!" Rasanya, Embun ingin memotong lidahnya sendiri karena keceplosan mengatakan nama klan pembunuh adiknya.
"Kurcil?! Itu nama Ayah kami?" Cahaya tersenyum penuh arti ke Surya, begitu pun sebaliknya. Akhirnya nama sang Ayah sudah tercuat dari mulut Bunda nya yang mereka yakini kalau bibir yang sedang marah itu keceplosan.
"Ah, bukan__i-itu nama ge__ maksud Bunda, itu nama bahan kue." Embun segera saja berbohong, meski terdengar terbata-bata.
Tapi sayangnya, anak pintar tapi nakal itu tidak percaya. Keduanya malah keluar dari dapur.
"Mau kemana?" teriak Embun karena si kembar berlari ke arah pintu keluar.
Lantas, Surya berhenti. Cahaya pun demikian. Lalu berbalik dan berkata kompak, "Mau cari Ayah kami yang bernama Kurcil."
"Ya, pergilah! Tapi sebelum magrib pulang tepat waktu." Embun mengijinkan karena percuma melarang kedua anaknya yang keras kepala itu.
Semakin dilarang, maka semakin pula keras kepala untuk bertingkah. Itulah sifat kedua anaknya.
Jadi biarkan si kembar pulang dengan membawa kata 'menyerah.' Toh, nama Kurcil itu bukan nama asli si Ayah mereka yang kejam itu, melainkan hanya nama gengnya.
"Badai Sagara!" geram Embun seraya menatap lekat beling gelas yang tadi pecah tanpa sengaja itu.
Nama itulah penyebab kemalangannya, karena sudah menghamilinya dan sudah pula menjadi pembunuh adiknya.
"Nasib kamu akan menjadi seperti gelas ini! Tunggu saja pembalasan ku!"
***
"Pak, apakah Anda kenal orang yang bernama Kurcil?" tanya Surya.
Si kembar saat ini berada di jalanan untuk menanyakan Pak Kurcil yang dipikirkannya adalah nama Ayah mereka.
"Tidak, lagian siapa tuh Kurcil? Nama yang aneh," hina Bapak itu.
Surya yang tidak suka mendengar nama yang katanya milik Daddy-nya dihina, sudah melotot geram.
Namun, Cahaya segera menenangkan Surya dengan berbisik, "Kata Bunda, kenali lawan. Itu ototnya gede lho. Kita pasti akan babak belur, " polos Cahaya yang sok menasehati.
"Ayo, kita cari ke tempat lain." Surya akhirnya mengalah dengan cara pergi dari area trotoar, menuju ke halte.
"Sur, kita akan mencarinya kemana?"
"Entahlah." Surya meraih tangan adiknya agar tidak terpisah.
"Oh ya, Sur. Nanyanya jangan ke orang jelek ya! Nanya aja ke Pria dewasa tapi yang tampan."
Surya berhenti melangkah karena celoteh aneh Cahaya yang dia tidak pahami.
"Maksud mu?"
"Elahh, bodoh kok di pelihara," ejek Cahaya seraya tersenyum tanpa dosa. Surya tidak menggubris ledekan itu, lebih memilih diam untuk mendengar penjelasan Cahaya selanjutnya.
"Gini lho, Sur. Kan, aku dan Bunda itu cantik, sedang kamu tampan. Jadi, Ayah kita juga pasti tampan. Kalau jelek kamu pasti ikutan jelek kayak orang orang yang kita tanyai tadi. Iihh, aku ogah punya Ayah yang jelek macam orang tua Barli yang kasar itu." Cahaya bergidik jijik dikala menyebut nama Barli.
"Hehe, betul juga kamu. Cantik sama orang tampan yakni orang tua kita, pasti akan punya anak yang jelita dan handsome kayak aku dan kamu." Surya setuju akan ide adiknya.
Mereka terlihat sangat menggemaskan dengan tingkah nakalnya.
Pencarian berlanjut, si kembar berada di depan rumah sakit besar, dengan bertanya kepada orang yang memekai kemeja yang mahal. Tanpa si kembar sadari, kalau mereka sudah pergi jauh dari rumah.
"Apakah Anda Ayah kami?" tanya Surya ke seorang Pria yang berdiri di dekat parkiran rumah sakit.
"Hah?" respon cengong Pria yang ditanyai si kembar.
"Iihh, Om. Kok tampan tampan budek sih. Kami bertanya, apakah Anda Ayah kami?" Surya ikut bersuara dengan mimik kesal.
Pria di hadapan si kembar malah terkekeh, karena menurutnya dua bocah ini sangat menggemaskan.
"Kenapa kalian mengira kalau saya Ayah mu?" Pria tampan berkharisma itu, berjongkok menyamai tinggi dua bocah lucu di matanya. Biasanya, ia tidak suka anak anak dalam arti bukan ponakanya, tapi kenapa pada ke-dua bocah asing tersebut dalam arti terkecualikan?
"Karena Om tampan! Lihatlah kembaran saya..." Cahaya mendelik ke Surya. Dan si Om itu pun mengikuti titah gadis kecil itu. "Dia tampan 'kan?" Sambungnya bertanya.
Si Om mengangguk dan tersenyum ke Surya. "Sangat tampan!" pujinya seraya mengacak-acak lembut rambut Surya yang ikut tersenyum padanya. Entah kenapa ia amat gemas pada anak anak asing ini?
"Terus hubungannya sama Om, apa?" tanyanya kembali melirik Cahaya.
"Hadeeh..." Cahaya menepuk jidatnya. Menurutnya, si Om ini telmi sekali.
Sedang sang Om itu menaikkan satu alisnya, lalu tersenyum lucu karena ekspresi mengemaskan gadis kecil yang mempunyai warna rambut sweet caramel.
"Karena Om tampan, Surya pun tampan! Jadi mungkin Om itu Ayah kami. Kan, tidak mungkin Ayah kami jelek sedang Surya saja tampan. Begitu! paham?" jelas Cahaya seraya satu jari kecilnya menunjuk bergantian wajah Surya begitu pun wajah si Om saat kata tampan terlontar dari mulutnya.
"Hehehe, kesimpulan kalian lucu sekali," ucap si Om tertawa kecil seraya tangannya mencubit gemas pipi Cahaya.
"Hanya Anda yang mengatai kami lucu. Semua orang kecuali Bunda mengatai kami anak nakal! Bahkan, anak iblis katanya," curhat Surya bernada sedih.
Si Om terasa tercubit hatinya. Entah kenapa itu?
"Wah, nanti Om suntik orang orang yang mengatai kalian nakal. Secara, Om 'kan seorang Dokter bedah," terang si Om dengan suara dibuat lucu agar dua bocah itu tidak bersedih.
Si kembar pun tersenyum tanpa beban lagi. Mereka nyaman mengobrol dengan si Om tampan ini.
"Tapi, nama Ayah kalian, siapa? Dan dia kemana?" tanya si Om mulai penasaran.
"Kata Bunda, namanya itu Kur__"
Surya terjeda karena ada pria lain yang baru datang menyelanya. Si Om itu pun langsung berdiri dari jongkoknya, menghadap ke samping.
"Pak Badai, maaf menyela. Pesawat menuju ke Singapore, sebentar lagi akan take off. Mohon, kita segera berangkat ke bandara saat ini juga," kata Bimo-sang asisten melapor.
Pak Badai? Ya... Badai Sagara yang di hardik Embun sejak delapan tahun lamanya, pria yang di cari si kembar inilah yang diajak berbicara langsung, otomatis pria itu adalah Ayah si bocah.
"Iya, Bim, tapi sebentar...eh, ke-dua bocah itu kemana?" Badai menggerlya. Ternyata kedua anak itu sudah pergi jauh, hanya terlihat punggungnya yang sudah berlari seraya bertaut tangan, seperti saling menyayangi. Jadinya, Badai teringat dengan kembarannya yang berada di Indonesia yang sudah pada berkeluarga. Namun, bedanya, ia kembar tiga.
***
"Hem... Sur. Ternyata Om tadi bukan namanya Pak Kurcil, tapi Pak Badai." Cahaya sedikit kecewa.
"Iya, padahal nyaman untuk berinteraksi bersama ya, Ca." Surya pun kecewa. Makanya itu, mereka langsung pergi di saat nama Pak Badai terucap dari pria yang baru datang.
"Kita cari kemana lagi?"
"Ke kuburan saja, yuk. Mungkin benar kata Bunda , kalau Ayah kita sudah mati, eh meninggal maksud ku." Surya meralat.
"Ayo kita ke kuburan! Cari satu persatu orang yang bernama Kurcil dibatu nisannya," setuju Cahaya antusias.
Mereka berjalan terus tanpa mau melepaskan tautan tangannya. Sesekali mereka tertawa canda dalam langkahnya.
Anak anak yang ceria namun di sisi lainnya, mereka punya sisi rapuh penuh luka karena merindukan sesosok Ayah. Pikir mereka, hidup sang Bunda tidak akan sulit lagi mencari nafkah, kalau Ayahnya ada di sisi mereka. Biarkan Ayah nya yang akan bekerja seperti kehidupan keluarga teman temannya yang lengkap.
Bukan hanya itu, si kembar tidak mau terus di cemooh sebagai anak haram, Iblis dan lain lain. Mereka punya Ayah. Titik!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Ida Lailamajenun
jgn" kembaran badai yg nembak adik nya embun apalagi badai kembar 3 embun gak tau klu badai punya kembaran
2024-02-18
0
Ida Lailamajenun
woalah ktmu ma bapak nya sendiri nih twins berarti sama" dokter bedah yak ma bunda nya
2024-02-18
0
Ida Lailamajenun
bapak nya twins kah
2024-02-18
0