DURI PERNIKAHAN
Mata Asna membulat membaca kalimat demi kalimat yang tertera jelas di kertas itu. Detak jantungnya berpacu naik turun dengan tangan yang bergetar membuat tubuhnya lemas seketika.
“Surat diopname Ibu Hanna.”
Nama yang begitu Asna kenali tak lain merupakan ibunya Dira. Selama pencariannya, ia mengetahui bagaimana keluarga Dira sebenarnya, tetapi ia tidak tahu jika ibunya memiliki penyakit ginjal yang baru saja melakukan operasi.
Bahkan, Dira juga tak bercerita mengenai hal ini. Asna hanya tahu jika ibunya sakit stroke yang memakai kursi roda.
“Lalu, kenapa kamu tak mengatakan ini padaku, Ra? Apa kamu berusaha menghindar dan menjauh atas permintaanku kemarin?” Asna bertanya pada dirinya sendiri.
Biasanya, ia akan menghubungi meski surat sudah diantar ke butik, sebab Dira merupakan tangan kanannya yang lebih banyak pekerjaan yang dipegang. Butik ini memang terkenal profesional, ia menerapkan seperti perusahaan besar yang begitu disiplin perihal absen dan perizinan.
Namun, sudah dua jam berlalu, sepertinya Dira memang tak berniat menghubungi Asna sekarang. Entah, mengapa dia seolah menghindar seperti ini.
Asna mengirim pesan untuk mengkonfirmasi suratnya pun tak ada jawaban darinya. Seketika Asna mendadak frustasi.
Ia tidak bisa diam saja sebelum melihat kondisi Dira dan keluarganya. Apalagi Dira merupakan tulang punggung keluarga yang selalu bekerja keras selama ini.
Dengan segera Asna merapikan berkas di mejanya, lalu bersiap akan menghampiri Dira menuju rumah sakit, yang alamatnya tertera pada surat tadi.
Baru saja hendak melangkahkan kakinya ke luar ruangan, Asna berhenti karena mendengar sayup suara yang membicarakan dirinya.
“Jangan salah loh, pemilik butik ini wanita perfect, Beliau juga memiliki toko roti yang lagi viral, orangnya juga cantik, modis, memiliki rumah dan mobil mewah yang berjajar di garasi rumahnya, tetapi sayangnya katanya belum punya anak sampai sekarang.”
“Rasanya percuma, ya, Bu, bisa memiliki semuanya, tetapi tidak ada anak, kaya sia-sia saja hidup karena nggak ada keturunan untuk meneruskan perjuangannya.”
“Iya, Bu, mending saya berarti hidup tak mewah pun, tetapi ada anak berasa lengkap hidupnya. Namun, salut suaminya tidak menceraikan dia, sebagai wanita yang mandul.”
Di ambang pintu, hati Asna berdenyut kencang. Kalimat yang masuk ke telinganya bagai hantaman besar untuk dirinya.
Sakit dan ucapan mereka benar apa adanya. Bukan hanya sekali Asna mendapat kalimat pertanyaan kapan hamil, yang selalu menjadi bumerang dalam batinnya, tetapi kini sudah kebal atas pertanyaan yang mematikan itu.
Kini, Asna dicap sebagai wanita mandul yang tak bisa memiliki keturunan juga tak bisa memberi kebahagiaan kepada suaminya.
Walau sudah terbiasa, hati kecilnya merasa sakit dan ingin menjadi wanita sempurna seperti yang lain. Pasalnya, tidak ada wanita yang ingin dilahirkan seperti dirinya yang memiliki kekurangan.
“Mohon maaf ibu-ibu, butik ini dilarang untuk membuat gosip dan ibu bisa membaca slogan di sebelah kanan yang sudah tertera di sana.”
Salah satu karyawan menghentikan pembicaraan mereka sebelum sang pemilik butik mendengar. Butik ini sengaja dibuat agar tidak mengganggu kenyamanan yang lain.
Namun sayangnya, tanpa karyawan mencegah, sang pemilik butik sudah mendengar lebih dulu dan kini sedang menormalkan air mata yang berusaha untuk tidak turun.
Sang ibu-ibu pun berhenti dengan ucapannya setelah ditegur. Ia lupa jika butik ini dilarang untuk berbicara secara berkelompok selain pertanyaan mengenai penampilan dirinya.
Saat itu, Asna pun berjalan ke luar, lalu menyapa para pengunjung yang sedang berkumpul. Ia tersenyum ramah seolah tidak terjadi apa-apa.
“Saya titip butik sebentar, ya, mau jenguk ibunya Dira di rumah sakit,” kata Asna bebricara pada salah satu karyawannya.
Karyawan itu pun mengangguk dan pasalnya sudah menjadi satu keluarga, sama sekali tidak canggung dan Asna sengaja agar mereka tidak terlalu terbebani dan nyaman bekerja di sini.
“Mari ibu-ibu, silakan dipilih. Jika ingin request bahan dan model bisa katakan pada karyawan saya untuk diproses nantinya.”
Setelah mengatakan kalimat sederhana yang membuat para pengunjung betah, Asna pun pergi meninggalkan. Hatinya menahan sesak, berusaha kuat di hadapan mereka.
Di dalam mobil, ia tak kuasa lagi menahan. Air matanya tumpah, setumpah-tumpah nya. Tidak ada lagi yang mencegah dan Asna bisa mengeluarkan semua bebannya di sini.
“Ya Allah, kuatkan diriku,” lirih Asna. Ia benar tak sanggup lagi menopang pertanyaan mereka yang selalu mencolos hati.
Setelah hatinya mereda, Asna melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Ia pun memastikan jika sudah tidak ada lagi air mata dan mata sembab.
Satu jam perjalanan, Asna sudah berada di parkiran rumah sakit. Ia turun dengan membawa buah tangan yang sebelumnya mampir di supermarket tadi. Ia pun memasuki koridor rumah sakit dan berhenti di meja resepsionis untuk menanyakan kamar ibunya Dira dirawat.
“Ibu naik ke lantai dua, kamarnya ada di sebelah kanan paling pertama, ya,”
Asna mengangguk mengerti. Ia pun menaiki lift seperti yang dikatakan suster tadi, lalu menekan tombol angka dua dan tak ada waktu lima menit pintu lift pun sudah terbuka.
Sesuai arahan, Asna memasuki ruangan yang pertama tepat di sebelah kanan dirinya. Ia berjalan masuk dan belum mengetuk pintu, Dira sudah lebih dulu membukanya.
“Mba Asna!”
🌼🌼🌼
Sementara di tempat lain, seorang pria tengah melamun dan tak fokus dalam memimpin rapat. Sudah setengah jam yang lalu sejak presentasi, pria itu hanya termangu dengan pikirannya yang melalang buana.
Para anggota rapat pun tampak bingung, tak biasanya Arkan seperti itu. Biasanya pembawaannya selalu ceria dan kali ini terlihat murung seperti ada beban dalam pikirannya.
“Maaf, Pak Arkan apa rapatnya bisa dilanjut?” Intruksi dari salah satu karyawan yang tak lain sekretarisnya sendiri.
Tidak ada respon dan salah satu temannya pun menyenggol lengannya dan membuat Arkan terjatuh kaget.
Untungnya rapat ini hanya dilakukan dengan para direksi kantor bukan dengan para investor atau kolega bisnis lainnya yang mungkin akan memalukan. Sungguh, keterlaluan pemimpin satu ini.
Temannya memberi kode jika bukan waktu yang tepat untuk melamun. Saat itu pula, Arkan menyadari kesalahannya. Ia menghela napas dan memandang karyawannya satu persatu.
“Maaf, agaknya saya lagi kurang sehat. Kita bisa lanjutkan rapat nanti,” kata Arkan singkat, lalu bangkit dan meninggalkan ruangan tersebut.
Ia segera berjalan ke ruangannya dan menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Sungguh, pikirannya tak bisa diajak bekerjasama untuk hari ini. Entah apa yang terjadi, sejak semalam sudah merasa tak enak karena mimpi yang datang kepadanya.
Bagaimana tidak, sejak permintaan Asna untuk dirinya menikah lagi, menjadi bumerang bagi Arkan. Ia tidak paham lagi dan seperti kehilangan sosok Asna yang ia kenal.
Bahkan kekecewaan Asna sudah berada di puncaknya setelah kemarin mengetahui tes sesungguhnya yang membuat Asna terpuruk, padahal sebelumnya para dokter selalu mengatakan baik-baik saja dan tidak mempersalahkan kandungan sang istri.
“Argh.” Arkan teriak frustasi menjambak rambutnya sendiri. Hidupnya begitu rumit dan pelik.
Seolah Asna sudah kehilangan kesabaran dan permintaannya mengenai salat Istikharah cukup menakjubkan bagi Arkan. Ia tidak mengerti dengan jalan kehidupan ke depannya nanti, jika istrinya meminta dirinya menikah lagi.
TBC.
Hai Readers. Ini adalah pengganti Hasrat Cinta, kalau rame bakal lanjut bab panjang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Suhaetieteetie
mampir liat judulny menarik bngt g lupa favorite dong
2023-01-04
1
sitha arya
udah lama aku tak buka novel ada aja yang baru. aku mulai baca tor
2022-11-20
1
Maria Ozawa
mulai.baca mampir
2022-11-09
1