Asna termenung setelah mendengar kalimat Arkan yang membuat hatinya sedikit merasakan nyeri. Percaya tak percaya semua sudah menjadi keputusannya.
“Kenapa belum masuk kamar? Kamu sedih mendengar jawaban Mas?” Arkan melihat istrinya yang terdiam di halaman rumah.
Sedangkan tadi, Arkan langsung membopong tubuh Imel yang sudah tertidur. Ia pikir istrinya mengikuti dari belakang dan ternyata dia berhenti di halaman rumah dengan wajah sedihnya.
Asna menggeleng. Ia menghapus jejak air matanya yang sudah terlihat oleh Arkan.
“Tidak, Mas, aku bahagia mendengarnya. Akhirnya kamu mau menuruti permintaanku,” lirih Asna menahan sesak.
Ia pikir Arkan akan bersikeras menolak, tetapi ternyata dia menyetujui untuk menikah lagi sesuai keinginannya. Benar, terkadang sesak bicara di mulut selalu berbeda dengan di hati. Asna pun, ucapkan istighfar, agar niatannya ini tidak menjadi dosa.
“Jangan bohongi Mas tentang perasaanmu, Dik. Mas bisa lihat jika kamu tak benar mengikhlaskan.” Arkan mendekat dan menatap jelas kedua bola mata Asna yang berbohong.
“Jika tidak ikhlas, aku tak akan meminta Mas untuk menikah lagi. Aku tak sabar menanti hari itu Mas,” tutur Asna dengan hati yang begitu tegar, kembali menyumputkan sakit sedihnya.
Berbeda dengan Arkan yang tak yakin pada Asna. Entah terbuat dari apa hati istrinya itu yang mudah sekali mengikhlaskan. Bahkan, dia sangat menantikan hati itu. Sungguh, hati Arkan tak bisa berkata. Ia lemah dan tak mampu membuat wanitanya menangis seperti ini.
“Dik, semua permintaanmu Mas lakuin demi membahagiakan kamu. Tentang kamu yang meminta untuk melakukan shalat, beberapa hari ini Mas selalu mendapat jawaban yang sama, tetapi Mas ragu. Ragu karena khawatir tak bisa adil nantinya dengan kamu.”
Arkan mengungkapkan seluruh hatinya kepada Asna. Jawaban demi jawaban yang ia dapat mengarah untuk mengiyakan. Namun, Arkan tak yakin bisa menjalankan.
Senyum Asna mengembang. Tidak ada yang Asna lakukan selain bersyukur, walau kenyataannya tidak akan ada wanita yang bersyukur, melihat suaminya menikah lagi.
Ada rasa sedih yang tertahan, tetapi kebahagiaan Asna jauh lebih besar sehingga meyakinkan suaminya yang sudah mengambil keputusan dengan tepat.
“Bismillah, Mas, kamu paham ilmunya dan pasti bisa menjalani apa yang sudah seharusnya menjadi garis takdir kita masing-masing.” Asna memberi satu kalimat semangat untuk suaminya.
Arkan tak bisa membendung air mata. Tujuh tahun berumah tangga, begitu singkat kebersamaannya bersama Asna dan kini harus ada orang baru yang ikut bahagia bersamanya. Entah harus bahagia atau bersedih.
“Maafkan Mas jika sudah menyakiti hatimu, Dik,” ujar Arkan meminta maaf pasalnya, istrinya yang sudah menemani berjuang selama ini.
Perkenalan dengan Asna memang begitu singkat. Tidak ada waktu dua tahun dan Arkan memberanikan diri untuk mempersunting Asna menjadi pendamping hidupnya sampai sekarang. Meski Asna dan Arkan dahulu, ia mengenal sebatas kuliah dan sesering kali saling melirik saat berpapasan. Dari temannya Arkan lah, Arkan bisa mendekati Asna.
Walau pernikahannya tak berjalan mulus, tetapi Arkan bahagia bisa memiliki istri yang baik, pintar dan salih sepertinya. Berharap, suatu saat nanti Allah kirimkan malaikat kecil dalam rahim Asna.
“Kamu tidak salah, Mas, aku yang salah karena tidak bisa memberikan Mas keturunan. Aku hanya wanita penuh kekurangan, Mas. In syaa Allah cinta dan sayangku akan tetap sama untuk Mas seorang.”
Asna langsung merengkuh tubuh suaminya erat, merasakan dekapan hangat yang mungkin nanti akan terbagi. Akan tetapi tidak ada yang tahu, dibalik dekapan itu, kata Asna mengembang tidak terkira, seperti inikah rasanya akan berbagi suami.
“Ma syaa Allah kamu memang salihah, Dik. In syaa Allah surga untukmu. Cup!” Arkan tak bisa menahan haru. Ia mengecup kening Asna dan mengajaknya masuk ke dalam, karena udara di luar cukup dingin.
Hari berganti hari dan tidak ada keromantisan yang terlewati. Asna dan Arkan semakin erat seolah melupakan masalah yang tengah menggerogotinya.
Bahkan tiap pagi dan pulang selalu dijemput oleh Arkan. Asna mengakui keromantisan Arkan memang tak berubah dan sampai detik ini, Asna masih merahasiakan Arkan dari para karyawannya untuk tidak ikut turun.
Bukan karena tidak bersyukur memiliki suami yang nyaris sempurna seperti Arkan, tetapi Asna hanya ingin menjaga nama baik suaminya dari gosip atau berita yang beberapa hari Asna dengar dari butiknya sendiri.
“Benar nih, Mas nggak usah turun. Padahal Mas mau mengantar sampai ruangan kamu loh,” kata Arkan saat sudah sampai di depan butiknya.
Ia menahan lengan Asna untuk tidak tergesa turun dari mobil. Setidaknya kalimat semangat atau sekadar kecupan tidak dilupakan begitu saja.
“Nggak usah, Mas, biasanya juga sampai sini saja.” Asna menolak suaminya untuk turun.
“Tapi kamu belum pernah mengajak Mas masuk butik mu loh, Dik! apalagi di ruko belakang, toko kue.” Arkan sedikit menyindir. Ia bukan tidak suka, tetapi sangat suka karena posesif Asna yang sangat menjaga dirinya.
“Iya, buat apa, Mas nggak penting juga! Ah, lagipula kebanyakan wanita yang ada di dalam. Sudahlah, lebih baik Mas segera ke kantor.”
Asna hendak kembali turun, tetapi lagi-lagi Arkan mencekal dengan terkekeh. “Hmm, jadi kamu takut kalo suamimu ini digoda sama karyawanmu itu?”
Percaya diri sekali suaminya itu, tetapi ada benarnya juga. Asna lebih sering menjaga privasi keluarganya termasuk sosok suaminya yang tak dipublish. Bahkan, di media sosial saja tidak pernah memposting foto keluarganya.
Asna lebih suka tersembunyi dan paling sering memposting gambar yang berada di sekelilingnya dengan kalimat yang dibuat sendiri.
“Iya siapa yang nggak cemburu melihat suami paling tampan ini di kerubungi banyak wanita di dalam. Bisa habis kamu, Mas.” Asna ikut terkekeh menimpali perkataan Arkan.
“Haha cie cemburu.” Arkan justru meledek istrinya yang belum bisa turun.
Asna menghela napas pelan. “Aih, sudahlah Mas jangan menggoda terus, mereka ngelihatin dari kaca tuh, Mas. Aku datang dari tadi, tetapi belum turun juga dan jangan membuat pikiran buruk terjadi di kepala mereka.”
Arkan kembali terbahak. “Kita ini suami istri. Apa pun yang kita lakukan nggak ada yang bisa melarang, Sayang. Mereka juga pasti paham.”
Seketika Asna bergidik ngeri setelah mendapat bisikan dari suaminya itu. Apalagi tentang kalimat yang ia sendiri paham ke mana arahnya.
Arkan masih tertawa, tetapi melihat wajah Asna yang ketakutan membuat ia melepaskan genggamannya.
“Ya sudah hati-hati, Sayang, Kalo ada something kabarin aku.” Arkan mengulurkan tangannya yang sudah ditarik lebih dulu oleh Asna.
Wanita itu memang begitu patuh sampai salaman pun tak pernah tertinggal. Apalagi jika Arkan lembur di kantor, wanita itu dengan sukarela begadang hanya demi bisa mengecup tangan dirinya.
"Assalamualaikum mas."
"Walaikumsalam bidadariku."
TBC.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Pupy
semoga asna kelak hamil
2022-11-20
0
Syabla
kamu bakal nyesel jadi istri tua itu menyakitkan apalagi kalau madunya nanti masa lalu suami nah berabe
2022-11-20
0