Mata Asna membulat membaca kalimat demi kalimat yang tertera jelas di kertas itu. Detak jantungnya berpacu naik turun dengan tangan yang bergetar membuat tubuhnya lemas seketika.
“Surat diopname Ibu Hanna.”
Nama yang begitu Asna kenali tak lain merupakan ibunya Dira. Selama pencariannya, ia mengetahui bagaimana keluarga Dira sebenarnya, tetapi ia tidak tahu jika ibunya memiliki penyakit ginjal yang baru saja melakukan operasi.
Bahkan, Dira juga tak bercerita mengenai hal ini. Asna hanya tahu jika ibunya sakit stroke yang memakai kursi roda.
“Lalu, kenapa kamu tak mengatakan ini padaku, Ra? Apa kamu berusaha menghindar dan menjauh atas permintaanku kemarin?” Asna bertanya pada dirinya sendiri.
Biasanya, ia akan menghubungi meski surat sudah diantar ke butik, sebab Dira merupakan tangan kanannya yang lebih banyak pekerjaan yang dipegang. Butik ini memang terkenal profesional, ia menerapkan seperti perusahaan besar yang begitu disiplin perihal absen dan perizinan.
Namun, sudah dua jam berlalu, sepertinya Dira memang tak berniat menghubungi Asna sekarang. Entah, mengapa dia seolah menghindar seperti ini.
Asna mengirim pesan untuk mengkonfirmasi suratnya pun tak ada jawaban darinya. Seketika Asna mendadak frustasi.
Ia tidak bisa diam saja sebelum melihat kondisi Dira dan keluarganya. Apalagi Dira merupakan tulang punggung keluarga yang selalu bekerja keras selama ini.
Dengan segera Asna merapikan berkas di mejanya, lalu bersiap akan menghampiri Dira menuju rumah sakit, yang alamatnya tertera pada surat tadi.
Baru saja hendak melangkahkan kakinya ke luar ruangan, Asna berhenti karena mendengar sayup suara yang membicarakan dirinya.
“Jangan salah loh, pemilik butik ini wanita perfect, Beliau juga memiliki toko roti yang lagi viral, orangnya juga cantik, modis, memiliki rumah dan mobil mewah yang berjajar di garasi rumahnya, tetapi sayangnya katanya belum punya anak sampai sekarang.”
“Rasanya percuma, ya, Bu, bisa memiliki semuanya, tetapi tidak ada anak, kaya sia-sia saja hidup karena nggak ada keturunan untuk meneruskan perjuangannya.”
“Iya, Bu, mending saya berarti hidup tak mewah pun, tetapi ada anak berasa lengkap hidupnya. Namun, salut suaminya tidak menceraikan dia, sebagai wanita yang mandul.”
Di ambang pintu, hati Asna berdenyut kencang. Kalimat yang masuk ke telinganya bagai hantaman besar untuk dirinya.
Sakit dan ucapan mereka benar apa adanya. Bukan hanya sekali Asna mendapat kalimat pertanyaan kapan hamil, yang selalu menjadi bumerang dalam batinnya, tetapi kini sudah kebal atas pertanyaan yang mematikan itu.
Kini, Asna dicap sebagai wanita mandul yang tak bisa memiliki keturunan juga tak bisa memberi kebahagiaan kepada suaminya.
Walau sudah terbiasa, hati kecilnya merasa sakit dan ingin menjadi wanita sempurna seperti yang lain. Pasalnya, tidak ada wanita yang ingin dilahirkan seperti dirinya yang memiliki kekurangan.
“Mohon maaf ibu-ibu, butik ini dilarang untuk membuat gosip dan ibu bisa membaca slogan di sebelah kanan yang sudah tertera di sana.”
Salah satu karyawan menghentikan pembicaraan mereka sebelum sang pemilik butik mendengar. Butik ini sengaja dibuat agar tidak mengganggu kenyamanan yang lain.
Namun sayangnya, tanpa karyawan mencegah, sang pemilik butik sudah mendengar lebih dulu dan kini sedang menormalkan air mata yang berusaha untuk tidak turun.
Sang ibu-ibu pun berhenti dengan ucapannya setelah ditegur. Ia lupa jika butik ini dilarang untuk berbicara secara berkelompok selain pertanyaan mengenai penampilan dirinya.
Saat itu, Asna pun berjalan ke luar, lalu menyapa para pengunjung yang sedang berkumpul. Ia tersenyum ramah seolah tidak terjadi apa-apa.
“Saya titip butik sebentar, ya, mau jenguk ibunya Dira di rumah sakit,” kata Asna bebricara pada salah satu karyawannya.
Karyawan itu pun mengangguk dan pasalnya sudah menjadi satu keluarga, sama sekali tidak canggung dan Asna sengaja agar mereka tidak terlalu terbebani dan nyaman bekerja di sini.
“Mari ibu-ibu, silakan dipilih. Jika ingin request bahan dan model bisa katakan pada karyawan saya untuk diproses nantinya.”
Setelah mengatakan kalimat sederhana yang membuat para pengunjung betah, Asna pun pergi meninggalkan. Hatinya menahan sesak, berusaha kuat di hadapan mereka.
Di dalam mobil, ia tak kuasa lagi menahan. Air matanya tumpah, setumpah-tumpah nya. Tidak ada lagi yang mencegah dan Asna bisa mengeluarkan semua bebannya di sini.
“Ya Allah, kuatkan diriku,” lirih Asna. Ia benar tak sanggup lagi menopang pertanyaan mereka yang selalu mencolos hati.
Setelah hatinya mereda, Asna melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Ia pun memastikan jika sudah tidak ada lagi air mata dan mata sembab.
Satu jam perjalanan, Asna sudah berada di parkiran rumah sakit. Ia turun dengan membawa buah tangan yang sebelumnya mampir di supermarket tadi. Ia pun memasuki koridor rumah sakit dan berhenti di meja resepsionis untuk menanyakan kamar ibunya Dira dirawat.
“Ibu naik ke lantai dua, kamarnya ada di sebelah kanan paling pertama, ya,”
Asna mengangguk mengerti. Ia pun menaiki lift seperti yang dikatakan suster tadi, lalu menekan tombol angka dua dan tak ada waktu lima menit pintu lift pun sudah terbuka.
Sesuai arahan, Asna memasuki ruangan yang pertama tepat di sebelah kanan dirinya. Ia berjalan masuk dan belum mengetuk pintu, Dira sudah lebih dulu membukanya.
“Mba Asna!”
🌼🌼🌼
Sementara di tempat lain, seorang pria tengah melamun dan tak fokus dalam memimpin rapat. Sudah setengah jam yang lalu sejak presentasi, pria itu hanya termangu dengan pikirannya yang melalang buana.
Para anggota rapat pun tampak bingung, tak biasanya Arkan seperti itu. Biasanya pembawaannya selalu ceria dan kali ini terlihat murung seperti ada beban dalam pikirannya.
“Maaf, Pak Arkan apa rapatnya bisa dilanjut?” Intruksi dari salah satu karyawan yang tak lain sekretarisnya sendiri.
Tidak ada respon dan salah satu temannya pun menyenggol lengannya dan membuat Arkan terjatuh kaget.
Untungnya rapat ini hanya dilakukan dengan para direksi kantor bukan dengan para investor atau kolega bisnis lainnya yang mungkin akan memalukan. Sungguh, keterlaluan pemimpin satu ini.
Temannya memberi kode jika bukan waktu yang tepat untuk melamun. Saat itu pula, Arkan menyadari kesalahannya. Ia menghela napas dan memandang karyawannya satu persatu.
“Maaf, agaknya saya lagi kurang sehat. Kita bisa lanjutkan rapat nanti,” kata Arkan singkat, lalu bangkit dan meninggalkan ruangan tersebut.
Ia segera berjalan ke ruangannya dan menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Sungguh, pikirannya tak bisa diajak bekerjasama untuk hari ini. Entah apa yang terjadi, sejak semalam sudah merasa tak enak karena mimpi yang datang kepadanya.
Bagaimana tidak, sejak permintaan Asna untuk dirinya menikah lagi, menjadi bumerang bagi Arkan. Ia tidak paham lagi dan seperti kehilangan sosok Asna yang ia kenal.
Bahkan kekecewaan Asna sudah berada di puncaknya setelah kemarin mengetahui tes sesungguhnya yang membuat Asna terpuruk, padahal sebelumnya para dokter selalu mengatakan baik-baik saja dan tidak mempersalahkan kandungan sang istri.
“Argh.” Arkan teriak frustasi menjambak rambutnya sendiri. Hidupnya begitu rumit dan pelik.
Seolah Asna sudah kehilangan kesabaran dan permintaannya mengenai salat Istikharah cukup menakjubkan bagi Arkan. Ia tidak mengerti dengan jalan kehidupan ke depannya nanti, jika istrinya meminta dirinya menikah lagi.
TBC.
Hai Readers. Ini adalah pengganti Hasrat Cinta, kalau rame bakal lanjut bab panjang.
Sedangkan Asna masih berada di rumah sakit berbincang bersama Dira yang saat itu, mengungkapkan kekesalannya.
“Maafkan saya, Mba, pikiran saya terlalu kalut sehingga lupa untuk berbicara sama Mba Asna,” ujar Dira lemah.
Asna memerhatikan gadis di hadapannya yang sepertinya memang tak berbohong. Dia mengungkapkan apa adanya sesuai isi hatinya yang bimbang.
“Sebenarnya saat kemarin Mba Asna mengajak saya berbicara. Saya ingin bercerita sekaligus meminjam uang butik untuk membiayai operasi Ibu. Namun, sayangnya setelah saya pulang keadaan Ibu drop dan dokter meminta untuk operasi secepatnya. Tanpa pikir panjang saya menyetujui dan pria yang melamar saya yang membiayai operasi Ibu saya, Mba.”
Dira menjelaskan semuanya. Ia merasa tidak ada pilihan lain, sebab keselamatan Ibu yang utama dan menjadi penyemangat nya menjalani hidup. Selama ini bekerja keras untuk melihat ibunya sembuh.
“Apa?” Asna terkejut mendengar penjelasan Dira.
“Beri tahu saya tentang pria yang melamar kamu dan di mana alamatnya, Ra?”
“Untuk apa, Mba?” Dira tak kalah tegas dengan pertanyaan wanita di hadapannya.
“Saya ingin menggantikan uang yang sudah dikeluarkan, agar kamu tidak merasa hutang budi, sekaligus memberi jawaban atas lamarannya kepadamu."
Asna sedang tidak bermain-main. Ia serius dan sangat serius untuk sesuatu yang sakral.
“Mba nggak bisa berbuat seenaknya begitu saja." Dira tak ingin Mba Asna terlalu memaksa.
"Saya nggak mau kamu menikah dengan pria itu, Ra!"
Dira terdiam saling berhadapan. Isak tangisnya belum berhenti mendengar penuturan wanita yang begitu keras kepala terhadapnya.
"Mba, tetapi saya belum menemukan jawaban yang tepat. Please, Mba jangan membuat keadaan semakin runyam."
Wajah Dira masih tertunduk. Ia pun sebenarnya khawatir akan apa yang Mba Asna ucapkan beberapa hari lalu, ia takut jika pria itu menuntut balas budi. Namun, pikirannya saat ini hanya ingin melihat ibunya sembuh.
Menjadi kepala keluarga di rumah bukan hal yang mudah bagi Dira. Ia harus bisa terlihat bahagia, walau hatinya sedang terluka. Apalagi dihadapan sang ibu.
"Saya paham, Ra. Justru itu saya mau kamu fokus meminta jawaban tanpa ada orang lain yang masuk ke dalam hidupmu." Asna bersikeras meminta Dira, untuk bisa menutup diri dari orang asing.
Dira semakin terisak. Pikirannya benar kalut. Ia sama sekali tidak tahu, bahkan dirinya belum tentu mampu untuk menjadi apa yang Mba Asna minta.
"Menjadi istri kedua itu nggak mudah buat saya, Mba. Banyak resiko yang terjadi termasuk ibu saya nantinya." Dira masih memikirkan kondisi ibunya yang sangat lemah.
"Masalah ibumu dan keluarga, biar saya yang memberi keyakinan, Ra." Asna menggenggam tangan Dira erat.
Ia juga ikut merasakan sedih melihat ibunya Dira yang terbaring lemah, tetapi ia akan mencari momen yang tepat. Setulus hati ia begitu menginginkan Dira menjadi pendamping suaminya kelak.
Asna menghela napas pelan ikut merasakan apa yang Dira rasakan. "Saya nggak mungkin sedikit memaksa kamu jika belum mendapat petunjuk. Hati saya begitu yakin dengan kamu, Ra." jelas Asna.
Dira terhenyak, rasanya bagai ditusuk belati seolah memang dirinya ditakdirkan untuk menjadi istri kedua apalagi ia akan menjadi istri dari suami bosnya sendiri, terlebih Asna sudah dianggap seperti kakak. Bukan impiannya sama sekali.
"Lalu bagaimana keadaan ibumu sekarang? Boleh saya bertemu dengannya?" tanya Asna sopan. Ia ingin menyapa ibunya Dira yang katanya sudah baikan.
Namun, melihat kekhawatiran dalam raut wajah Dira membuat Asna dapat menebaknya dengan paham. Ia pun mengatakan jika tak mengatakan apa pun padanya sekarang, sebab masih ada waktu beberapa hari sampai menunggu ibunya lebih baik.
"Saya hanya ingin menjenguk ibumu, Ra, sebagai atasan di butik yang peduli terhadap karyawannya, kamu sudah mbak anggap seperti adik sendiri." Asna menatap lekat wajah Dira penuh yakin.
Beberapa detik bergelut dalam batin, Dira pun mengalah dan akhirnya menyetujui Asna untuk menemui ibunya dengan syarat yang sudah ditentukan. Ia belum siap ibu shock mendengar permintaan atasannya yang konyol.
"Bagaimana keadaan Ibu hari ini?" tanya Asna ramah pada ibu Dira yang sudah siuman, tampaknya sudah lebih segar.
"Alhamdulillah Ibu baik, Nak. Akhirnya Ibu bisa bertemu kamu, Nak. Dira sering bercerita tentang kamu yang sering menolongnya. Terima kasih, ya, Nak." Wanita paruh baya itu begitu tulus berbicara pada Asna.
Senyum Asna mengembang, tak menyangka jika Dira menceritakan tentangnya pada sang ibu, dan begitu antusiasnya beliau bertemu dirinya sekarang. Apa ini kekhawatiran Dira agar ibunya tidak kecewa?
Sebagai anak, Asna sangat paham. Bahkan, ibunya tampak baik dan tulus seperti ibunya sendiri. Ia merasa nyaman mendapat pelukan hangat seorang ibu.
"Dira sudah seperti keluarga sendiri, Bu. Semoga Ibu cepat sehat, ya, biar bisa berkumpul lagi bersama Dira."
Asna mengucapkan kalimat singkat yang dirinya pun tak bisa menahan. Sedikit kepikiran tentang ibunya juga yang di desa, yang mungkin nanti membencinya. Namun, ia terima resikonya diakhir nanti kala ia meminta Dira menjadi istri kedua suaminya.
Keduanya pun saling bercerita dan bertukar kisah bersama Dira sembari canda tawa yang diciptakan.
***
DI TEMPAT LAIN
Sementara hati Arkan merasa tak tenang dan selalu dihantui oleh bayangan. Ia pun memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat yang sering menjadi pelampiasan di saat hati gundah dan risau.
Kini, ia sudah berada di hamparan luas dan duduk menyendiri sembari mengadah tangan di atas sajadah. Iya, dirinya memilih pergi ke masjid untuk menenangkan hatinya.
Sudah satu jam lamanya, Arkan mengeluarkan segala kegundahannya dalam hati. Meringis dalam hati agar mendapat jawaban dengan segera
"Permisi, Nak, boleh saya temani?"
Arkan mendengar suara di sampingnya, ia menoleh dan terlihat pria paruh baya jika diperhatikan seumuran dengan usia ayahnya sekarang. Namun, Arkan sudah lama tak bertemu ayahnya lantaran pekerjaan di luar kota dan membuatnya berpisah bertahun-tahun.
"Boleh, Ustad." Tanpa ragu, Arkan mengiyakan sepertinya pria itu begitu baik dan seringkali melihat ustad tersebut berada di masjid.
"Bapak lihat kamu sedang sedih. Apa ada masalah?" Pria itu menebak apa yang terjadi pada anak muda tersebut.
Pasalnya, ia perhatikan sejak tadi masih berdiam di tempat sembari terisak membuatnya iba untuk menghampiri.
Arkan menghela napas. Ia memang sedang dilanda masalah yang cukup pelik dan tidak tahu akan jalan keluarnya. Sungguh, terlalu berat untuknya hadapi saat ini.
"Tidak apa jika tidak ingin bercerita. Ingat, Nak, setiap masalah akan ada jalan keluarnya. Jangan berhenti untuk terus meminta dan berdoa, insyaa Allah, Allah mendengar semua keluh kesah mu."
Arkan hanya bisa terdiam, tetapi rasa gundah semakin menyeruak sehingga menatap lekat wajah pria tersebut dan akhirnya berani membuka suara.
"Maaf, Ustad, boleh saya bertanya?"
Dengan senang hati, pria tersebut mengangguk dan mempersilakan anak muda itu untuk bercerita. Ia siap mendengarkan dan tampaknya sedang ada beban dalam benaknya.
"Menurut Ustad bagaimana seorang pria yang berpoligami?" Arkan tampak serius dan membutuhkan jawaban yang meyakinkan.
"Poligami itu diperbolehkan asal dapat berlaku adil. Apa kamu berniat untuk berpoligami, Nak?" Ustad itu kembali bertanya.
Arkan menghela napas, ia sama sekali tidak ingin. "Istri saya meminta saya untuk menikah lagi, Ustad karena sudah Tujuh tahun kami menikah belum juga Allah berikan keturunan. Dia mengkhawatirkan saya jika kematian lebih dulu datang padanya, dan saat ini saya sedang bimbang, berusaha menolak tapi ..." berat nafas Arkan.
TBC.
Yuks Jejak, biar Author semangat.
🌼 Happy Reading All 🌼
Rasanya Arkan, ingin menyerah saja. Ia tak akan sanggup mendua, tetapi Asna selalu mendesak dan tentang bayangan semalam membuat dirinya berlari ke sini, seolah takdir begitu kuat mengikuti keinginan Asna.
Arkan yang tak sanggup menghianati pernikahan, dan takut tak berlaku adil. Rasanya di dalam hati bercampur ada sedih, terluka dan kecewa atas keinginan istrinya. Bahkan ia tak ingin membenci istrinya yang selama ini telah berjuang dari nol namun harus meminta menduakan cintanya.
“Masyaa'Allah, mulia sekali istrimu, Nak. Masalah anak dalam pernikahan memang masalah terberat, walau kita tahu jika anak merupakan rezeki. Namun, seorang wanita selalu merasa khawatir tentang dirinya yang tidak sempurna. Jika istrimu ikhlas, tak ada salahnya, Nak. InsyaaAllah pahala besar dan surga baginya karena begitu taat pada perintah-Nya.”
Arkan semakin berat kala mendengar penjelasan ustad tersebut, memang sedikit membuka mata hatinya, tetapi tentang ke depannya tidak ada yang tahu.
“Bahkan, dia pun yang akan menyiapkan calon istrinya untuk saya nikahi, tetapi saya tidak begitu yakin, Ustad. Saya sangat mencintai istri saya.” Arkan mengeluarkan semua emosinya.
“Tidak semua wanita memiliki kesabaran seperti istrimu, Nak, meski tabiatnya wanita merupakan seorang pencemburu, tetapi dia sedang berusaha menjadi yang terbaik untuk madunya agar bisa mendapatkan surga bersama-sama darimu. Lagipula tidak ada larangan bahkan syariat memperbolehkan poligami, hanya saja kamu diwajibkan untuk adil dengan kedua istrimu nanti.”
Penjelasan ustad tersebut membuat hati Arkan terenyuh. Permintaan Asna memang tidak masalah, tetapi hanya tak yakin dapat membagi hatinya.
“Mintalah pertolongan Allah, saya paham kamu bisa menemukan jawabannya.” Pria itu menepuk bahu Arkan lembut dan pergi.
Arkan termangu mendapat jawaban sang ustad, rasanya ia tak sanggup berbicara pada Asna, tentang dirinya siap tak siap. Entah mengapa Arkan merasa istrinya terlalu berlebihan, padahal jika tidak ada anak pun Arkan akan selalu dampingi Asna. Tapi Asna keukeuh dengan pendiriannya ia ingin melihat suaminya bahagia, dengan anak kandungnya ketimbang suaminya berselingkuh dan mempunyai anak, Asna lah yang bilang semuanya akan ia persiapkan.
'Ya Rabb, apa yang harus aku lakukan.'
***
Sedangkan di tempat lain, Asna sudah kembali ke butik untuk meneruskan pekerjaannya, karena ada beberapa deadline yang harus dikerjakan, terutama job baru untuk para pelanggan.
Ia juga sudah membeli beberapa bahan dan warna sesuai diskusi kemarin bersama Dira. Kali ini, ia akan melakukan sendiri, sebab Dira akan absen beberapa hari ke depan untuk menemani ibunya di rumah sakit.
Mungkin agak sedikit kerepotan, tetapi Asna mencoba menyelesaikan tepat waktu. Padahal, dirinya ingin sekali bertemu dengan calon suami yang melamar Dira. Ah, lebih tepatnya pria asing.
Namun, Dira tak mengizinkan sebelum dia mendapat jawaban sesuai permintaannya. Mau tidak mau, Asna pun hanya bisa mengikuti sebelum adanya perintah.
“Permisi, Bu, ini ada beberapa request model permintaan dari pelanggan.”
Mendengar kalimat karyawannya membuat kesibukan Asna semakin bertambah, yang di depan mata saja belum disentuh dan pekerjaan sudah kembali bertambah.
“Kapan deadlinenya?” tanya Asna sembari tangannya bergulat di atas kertas kosong.
“Minggu depan mereka minta sudah selesai, Bu, karena untuk dipakai di acara tasyakuran kelahiran bayinya.”
Ucapan karyawan tersebut membuat aktivitas Asna terhenti. Mendengar seorang bayi, hatinya terenyuh sensitif dan entah kapan dirinya bisa merayakan hal serupa atau mungkin tidak bisa sama sekali.
Namun, mengingat siapa dirinya dan kalimat dokter memperjelas keadaannya, Asna tak mampu berbuat banyak selain meminta walau sangat kecil kemungkinan. Ia juga tak akan goyah untuk membuat suaminya memiliki keturunan.
Beberapa menit saling diam, sang karyawan pun menyadarkan lamunan atasannya karena tak memberi respon.
“Ibu Asna.” Sang karyawan memanggil lembut atasannya.
Seketika Asna tersadar. “Ah, iya maaf. Ada lagi?”
“Maaf, Bu, ponsel Ibu berdering sedari tadi. Kalo gitu saya permisi, Bu,” kata sang karyawan yang sepertinya telah menyinggung perasaannya.
Asna merutuk, perkara bayi membuat pikirannya tak fokus dan hampir teledor di depan karyawannya sendiri.
Ah, bodoh seketika Asna menatap layar ponsel yang tersemat pesan singkat di layar. Matanya mengernyit membaca kalimat singkat dari suaminya.
Setelah mendapat pesan singkat dari Arkan, Asna langsung bergegas pulang. Entah apa yang ingin dia lakukan. Pasalnya, dia tidak pernah meminta pulang secepatnya.
Namun, sebelum itu ia mampir ke toko roti sejenak untuk membawakan roti pizza pesanan Imel. Sebenarnya, Imel meminta Asna buatkan, tetapi dirinya belum sempat sehingga meminta di toko roti.
Sampai Rumah :
“Selamat sore, bidadariku.”
Asna mengernyit, tumben sekali suaminya menyambut romantis seperti itu. Bahkan raut wajahnya terlihat bahagia.
“Hmm, Mas.” Asna ragu memanggilnya bahkan beberapa bawaan sudah berpindah di tangan Arkan.
"Tidak seharusnya Mas melakukan ini.”
Arkan menggeleng. “Nggak apa, Sayang, kamu juga pasti capek. Selagi Mas pulang cepat dan tidak ada salahnya memanjakan istri sendiri. Cup!”
Bahkan, pria itu sudah mendaratkan bibirnya singkat di pipi. Beruntungnya tidak ada Imel, sudah dipastikan anak itu akan cemburu jika melihat kelakuan abinya yang berubah romantis.
Bukan tak biasa, dia memang selalu romantis. Namun, halnya aneh saja. Biasanya Asna yang melakukan itu kepada suaminya dan berbanding terbalik seperti ini agak tak tahu diri kelihatannya.
“Maafkan aku yang selalu sibuk di butik, dan toko kue ya, Mas.” ucapan Asna terlontar penuh salah.
Seharusnya, ia memang di rumah cukup merawat suami dan Imel saja. Namun, kesedihan selalu menyertai saat keduanya pergi dari rumah. Setidaknya dengan Asna memiliki pekerjaan dapat mengurangi kesedihan yang ada. Ia juga bisa mendapat pengalaman dari karyawannya sendiri.
Dan untuk Imel sendiri, bocah berusia tujuh tahun itu adalah anak dari bibi Asna, yang meninggal syahid, sehingga Asna dan Arkan rawat layaknya anak sendiri. Hanya saja pengakuan mertuanya yang mendesak Asna dibalik layar, membuat Asna mencoba ikhlas agar mas Arkan mendapat keturunan dengan memintanya menikah lagi, tanpa tahu ini keinginan ibu Arkan sendiri. Lagi pula perkataan ibu mertuanya ada benarnya juga.
"Asna, sayang .. kok diam?" Sapa sang suami, membuat lamunan Asna kembali sadar.
“Mas sudah makan belum, biar Asna siapkan.” Asna sudah berada di kamar bersama suaminya.
“Tidak perlu masak, Dik, kita makan di luar saja,” tutur Arkan yang bergelayut manja di belakang Asna,
Padahal wanita itu sedang membersihkan wajahnya yang setiap hari dilakukan setelah beraktivitas di luar, tetapi tidak ada pemberontakan sedikit pun.
“Mas rindu sudah lama tak pergi bersama kalian berdua.”
Selama ini Arkan selalu disibukkan dengan dunia pekerjaan, lalu ditambah masalah kemarin bersama Asna membuat keduanya sedikit merenggang. Sehingga Arkan ingin mengajak istrinya makan bersama, sudah lama Arkan dan istrinya itu saling sibuk dengan pekerjaannya. Sehingga mungkin ini waktunya yang tepat bagi Arkan berbicara serius.
Tbc.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!