MELAMUNI BAYI

Rasanya Arkan, ingin menyerah saja. Ia tak akan sanggup mendua, tetapi Asna selalu mendesak dan tentang bayangan semalam membuat dirinya berlari ke sini, seolah takdir begitu kuat mengikuti keinginan Asna.

Arkan yang tak sanggup menghianati pernikahan, dan takut tak berlaku adil. Rasanya di dalam hati bercampur ada sedih, terluka dan kecewa atas keinginan istrinya. Bahkan ia tak ingin membenci istrinya yang selama ini telah berjuang dari nol namun harus meminta menduakan cintanya.

“Masyaa'Allah, mulia sekali istrimu, Nak. Masalah anak dalam pernikahan memang masalah terberat, walau kita tahu jika anak merupakan rezeki. Namun, seorang wanita selalu merasa khawatir tentang dirinya yang tidak sempurna. Jika istrimu ikhlas, tak ada salahnya, Nak. InsyaaAllah pahala besar dan surga baginya karena begitu taat pada perintah-Nya.”

Arkan semakin berat kala mendengar penjelasan ustad tersebut, memang sedikit membuka mata hatinya, tetapi tentang ke depannya tidak ada yang tahu.

“Bahkan, dia pun yang akan menyiapkan calon istrinya untuk saya nikahi, tetapi saya tidak begitu yakin, Ustad. Saya sangat mencintai istri saya.” Arkan mengeluarkan semua emosinya.

“Tidak semua wanita memiliki kesabaran seperti istrimu, Nak, meski tabiatnya wanita merupakan seorang pencemburu, tetapi dia sedang berusaha menjadi yang terbaik untuk madunya agar bisa mendapatkan surga bersama-sama darimu. Lagipula tidak ada larangan bahkan syariat memperbolehkan poligami, hanya saja kamu diwajibkan untuk adil dengan kedua istrimu nanti.”

Penjelasan ustad tersebut membuat hati Arkan terenyuh. Permintaan Asna memang tidak masalah, tetapi hanya tak yakin dapat membagi hatinya.

“Mintalah pertolongan Allah, saya paham kamu bisa menemukan jawabannya.” Pria itu menepuk bahu Arkan lembut dan pergi.

Arkan termangu mendapat jawaban sang ustad, rasanya ia tak sanggup berbicara pada Asna, tentang dirinya siap tak siap. Entah mengapa Arkan merasa istrinya terlalu berlebihan, padahal jika tidak ada anak pun Arkan akan selalu dampingi Asna. Tapi Asna keukeuh dengan pendiriannya ia ingin melihat suaminya bahagia, dengan anak kandungnya ketimbang suaminya berselingkuh dan mempunyai anak, Asna lah yang bilang semuanya akan ia persiapkan.

'Ya Rabb, apa yang harus aku lakukan.'

***

Sedangkan di tempat lain, Asna sudah kembali ke butik untuk meneruskan pekerjaannya, karena ada beberapa deadline yang harus dikerjakan, terutama job baru untuk para pelanggan.

Ia juga sudah membeli beberapa bahan dan warna sesuai diskusi kemarin bersama Dira. Kali ini, ia akan melakukan sendiri, sebab Dira akan absen beberapa hari ke depan untuk menemani ibunya di rumah sakit.

Mungkin agak sedikit kerepotan, tetapi Asna mencoba menyelesaikan tepat waktu. Padahal, dirinya ingin sekali bertemu dengan calon suami yang melamar Dira. Ah, lebih tepatnya pria asing.

Namun, Dira tak mengizinkan sebelum dia mendapat jawaban sesuai permintaannya. Mau tidak mau, Asna pun hanya bisa mengikuti sebelum adanya perintah.

“Permisi, Bu, ini ada beberapa request model permintaan dari pelanggan.”

Mendengar kalimat karyawannya membuat kesibukan Asna semakin bertambah, yang di depan mata saja belum disentuh dan pekerjaan sudah kembali bertambah.

“Kapan deadlinenya?” tanya Asna sembari tangannya bergulat di atas kertas kosong.

“Minggu depan mereka minta sudah selesai, Bu, karena untuk dipakai di acara tasyakuran kelahiran bayinya.”

Ucapan karyawan tersebut membuat aktivitas Asna terhenti. Mendengar seorang bayi, hatinya terenyuh sensitif dan entah kapan dirinya bisa merayakan hal serupa atau mungkin tidak bisa sama sekali.

Namun, mengingat siapa dirinya dan kalimat dokter memperjelas keadaannya, Asna tak mampu berbuat banyak selain meminta walau sangat kecil kemungkinan. Ia juga tak akan goyah untuk membuat suaminya memiliki keturunan.

Beberapa menit saling diam, sang karyawan pun menyadarkan lamunan atasannya karena tak memberi respon.

“Ibu Asna.” Sang karyawan memanggil lembut atasannya.

Seketika Asna tersadar. “Ah, iya maaf. Ada lagi?”

“Maaf, Bu, ponsel Ibu berdering sedari tadi. Kalo gitu saya permisi, Bu,” kata sang karyawan yang sepertinya telah menyinggung perasaannya.

Asna merutuk, perkara bayi membuat pikirannya tak fokus dan hampir teledor di depan karyawannya sendiri.

Ah, bodoh seketika Asna menatap layar ponsel yang tersemat pesan singkat di layar. Matanya mengernyit membaca kalimat singkat dari suaminya.

Setelah mendapat pesan singkat dari Arkan, Asna langsung bergegas pulang. Entah apa yang ingin dia lakukan. Pasalnya, dia tidak pernah meminta pulang secepatnya.

Namun, sebelum itu ia mampir ke toko roti sejenak untuk membawakan roti pizza pesanan Imel. Sebenarnya, Imel meminta Asna buatkan, tetapi dirinya belum sempat sehingga meminta di toko roti.

Sampai Rumah :

“Selamat sore, bidadariku.”

Asna mengernyit, tumben sekali suaminya menyambut romantis seperti itu. Bahkan raut wajahnya terlihat bahagia.

“Hmm, Mas.” Asna ragu memanggilnya bahkan beberapa bawaan sudah berpindah di tangan Arkan.

"Tidak seharusnya Mas melakukan ini.”

Arkan menggeleng. “Nggak apa, Sayang, kamu juga pasti capek. Selagi Mas pulang cepat dan tidak ada salahnya memanjakan istri sendiri. Cup!”

Bahkan, pria itu sudah mendaratkan bibirnya singkat di pipi. Beruntungnya tidak ada Imel, sudah dipastikan anak itu akan cemburu jika melihat kelakuan abinya yang berubah romantis.

Bukan tak biasa, dia memang selalu romantis. Namun, halnya aneh saja. Biasanya Asna yang melakukan itu kepada suaminya dan berbanding terbalik seperti ini agak tak tahu diri kelihatannya.

“Maafkan aku yang selalu sibuk di butik, dan toko kue ya, Mas.” ucapan Asna terlontar penuh salah.

Seharusnya, ia memang di rumah cukup merawat suami dan Imel saja. Namun, kesedihan selalu menyertai saat keduanya pergi dari rumah. Setidaknya dengan Asna memiliki pekerjaan dapat mengurangi kesedihan yang ada. Ia juga bisa mendapat pengalaman dari karyawannya sendiri.

Dan untuk Imel sendiri, bocah berusia tujuh tahun itu adalah anak dari bibi Asna, yang meninggal syahid, sehingga Asna dan Arkan rawat layaknya anak sendiri. Hanya saja pengakuan mertuanya yang mendesak Asna dibalik layar, membuat Asna mencoba ikhlas agar mas Arkan mendapat keturunan dengan memintanya menikah lagi, tanpa tahu ini keinginan ibu Arkan sendiri. Lagi pula perkataan ibu mertuanya ada benarnya juga.

"Asna, sayang .. kok diam?" Sapa sang suami, membuat lamunan Asna kembali sadar.

“Mas sudah makan belum, biar Asna siapkan.” Asna sudah berada di kamar bersama suaminya.

“Tidak perlu masak, Dik, kita makan di luar saja,” tutur Arkan yang bergelayut manja di belakang Asna,

Padahal wanita itu sedang membersihkan wajahnya yang setiap hari dilakukan setelah beraktivitas di luar, tetapi tidak ada pemberontakan sedikit pun.

“Mas rindu sudah lama tak pergi bersama kalian berdua.”

Selama ini Arkan selalu disibukkan dengan dunia pekerjaan, lalu ditambah masalah kemarin bersama Asna membuat keduanya sedikit merenggang. Sehingga Arkan ingin mengajak istrinya makan bersama, sudah lama Arkan dan istrinya itu saling sibuk dengan pekerjaannya. Sehingga mungkin ini waktunya yang tepat bagi Arkan berbicara serius.

Tbc.

Terpopuler

Comments

alisa mayo

alisa mayo

belum dikasij aja kali as. seatap ama madu ra enak

2022-11-20

1

ela12

ela12

duh kalai zoal anak aku meweeek bombay deh

2022-11-20

0

Fhatt Trah (fb : Fhatt Trah)

Fhatt Trah (fb : Fhatt Trah)

lanjut....

2022-11-06

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!