Selepas solat isya yang agak telat, sebab harus menunggu kedua anakku tidur dahulu. Setidaknya aku ingin ada satu waktu dari ibadahku itu yang khusuk. Tanpa terburu-buru karena ditangisi oleh kedua anakku yang berebut mainan atau Lulu yang sekedar memanjat tubuhku ketika tengah sujud.
Setelah mengadu pada sang Robb, aku merebahkan tubuhku di atas pembaringan sederhana milik kami. Hanya kasur busa sederhana dengan dipan kayu, bahkan kasur ku itu tanpa pegas.
Tatapanku menerawang, seraya menatap langit- langit kamar. Seketika memori dalam kepalaku memutar kembali kalimat terakhir dari ibu dan ayah mertua sore itu. Pada akhirnya aku pun menyimpulkan, bahwa mereka tengah menyuruhku untuk bekerja. Hanya saja tidak berani mengatakannya secara langsung. Apa yang harus aku lakukan? Aku juga sebenarnya mau membantu mas Azam.
Tapi, kalau aku bekerja ... Heru dan Lulu bagaimana?
"Sudahlah, Dek, jangan terlalu dipikirkan. Nanti kalau kamu sakit, lalu kami bagaimana?" Ucapan mas Azam mengagetkan ku yang tengah menerawang. Memikirkan, pekerjaan apa yang membuatku tidak meninggalkan kedua buah hati Terdengar khawatir memang. Tapi, benar juga sih kata mas Azam. Kalau sampai aku sakit, nanti bagaimana nasib kedua anakku. Itu yang aku pikirkan. Tapi, tidak mungkin juga aku abai atas apa yang telah mereka katakan padaku.
"Gak bisa, Mas. Seandainya kamu ada di posisi aku, pasti kamu juga akan bingung. Aku tidak ingin kehadiran Heru dan Lulu yang selalu dianggap tidak tepat waktu. Salahku, yang tidak memiliki pendidikan tinggi. Karena kata ibu, kalau aku kerjanya di pabrik dengan gaji lima juta perbulan. Baru ibu mau mengasuh anak-anak," tuturku, tersirat emosi yang terpendam. Aku terpaksa menceritakan semuanya pada mas Azam. Aku sudah tidak kuat menahannya sendiri. Otak dan d rasanya seperti mau meledak.
Mas Azam, menghela napas berat. Pria tampan yang kini duduk di atas kursi roda itu, hanya bisa mengelus bahuku sebagai cara untuk menghibur. Namun, untuk saat ini hal itu tidak berefek apapun padaku. Hati ini sudah terlanjur sakit hati dan tersinggung.
Kenapa seakan salahku yang hadir di keluarga ini. Bukankah dulu mereka yang datang pada ayah, lalu memintaku agar menjadi menantu. Meski belakangan ini ku tau, semua lantaran karena mas Azam adalah putra pertama tertua dalam keluarga. Jika tidak menikah maka rejeki keluarga besar tidak akan berkembang. Begitulah, pemahaman dari keluarga mas Azam.
Namun, saat ini yang kurasakan sangat lain sekali. Sikap mereka semua berubah dan berbeda seratus delapan puluh derajat. Entah kenapa aku juga tidak begitu memikirkan. Bahkan, Nela adik iparku itu ikutan julid dan suka berkata ketus tanpa memikirkan perasaanku.
Pagi harinya, kak Nela kembali mencari masalah padaku. Tapi, bagi ibu dan ayah mertuaku, Nela hanya berniat baik.Tentu saja, mereka akan membela Nela yang notabene adalah putri mereka. Lah kalau aku? Entahlah.
Nela menelisik tubuhku dari atas sampai bawah. Membuatku risih akan tatapannya.
"Coba aja kalo kamu langsing. Temen ku pasti mau deh masukin kamu kerja di supermarket. Biar, si Heru sama Lulu, nanti di jaga sama pok Ema. Tinggal kasih duit 600 ribu juga mau dia,"ucap kak Nela membelah keheningan di pagi yang tenang.
Aku hanya diam saja, Nela kembali menyinggung bentuk tubuhku yang membesar semenjak melahirkan Heru. Sempat tersirat penyesalan, kenapa aku harus terburu-buru untuk hamil. Akan tetapi, sebuah ceramah dari salah satu Ustadjah terkemuka yang pernah ku lihat di sosial media dengan ikon merah. Bahwa, setiap takdir dan ketentuan dari Allah adalah yang terbaik dan selalu tepat untuk kita. Lagipula, kita tidak boleh menyalahkan kehadiran anak. Mereka adalah amanah sekaligus rejeki yang patut di syukuri.
Dampak terhadap perubahan tubuh, itu hanyalah sebuah siklus. Semua bisa di usahakan untuk berubah. Akan tetapi kita perlu dukungan, waktu serta modal untuk menuju perubahan itu. Tidak bisa, serta merta menyalahkan satu pihak. Apalagi jika membandingkan dengan keadaan fisik orang lain. Bukankah, Allah menciptakan makhluknya itu berbeda-beda.
Saat ini aku sedang menimbang gula di warung kelontong ibu. Kemudian aku akan menempatkannya di plastik ukuran kecil. Aku harus bekerja keras membantu ibu, karena mau tidak mau kami ini menumpang makan dari hasil warung ibu. Bagaimana dengan gaji pokok, mas Azam. Tentu saja aku tidak menerimanya, bahkan slip gajinya serta kartu anjungan tunai mandiri ya di pegang oleh ayah mertuaku. Semua habis untuk membayar angsuran kredit mobil dan juga ongkos terapi ke rumah sakit selama seminggu dua kali.
Bagaimana dengan hasil usaha ayah mertua? Ya ayah mas Azam adalah pedagang motor second juga makelar rumah dan tanah. Jangan di tanya kemana hasil uangnya itu. Lihat saja hobinya, semua habis untuk membeli burung mengoceh. Gonta-ganti motor serta ponsel. Sedangkan, biaya untuk air dan listrik terpaksa Nela yang membayar. Aku hanya bisa diam, sengaja tak menjawab. Ku pikir, Nela memang suka asal bicara untuk memancing kemarahan ku saja.
"Makanya, punya badan itu dikecilin. Gede kalo banyak duit sih pantes!" celetuk, pak Dahlan, ayah mertuaku.
Deg!
Aku merasa hati ini mulai memanas. Ayah yang sedang memandikan burung-burung peliharaannya, tiba-tiba ikut nimbrung bicara. Mana suara ayah kalau bicara itu kencang. Sebab, memang tabiat dan wataknya seperti itu. Kalau sudah bicara tetangga samping rumah, bahkan orang-orang yang sekedar lewat pun pasti mendengar suara ayah. Apalagi kalau di warung lagi ada yang belanja. Entah, mau di letakkan di mana wajahku ini.
"Jangan alasan karena udah hamil dan lahiran!Tuh lihat ibu mertua kamu. Body-nya aja tetep kayak gitar spanyol meskipun sudah tua. Makanya, ayah masih setia," ucap bapak sambil melirik ibu dengan senyum genit.
Setia apaan, kalau ada pelanggan muda atau yang berstatus janda saja pasti akan di goda oleh ayah. Aku kembali menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Aku harus sabar. Meskipun, mulut ini rasanya ingin membalik setiap ucapan mereka. Tapi, aku berpikir panjang. Aku dan anak-anak ku menumpang tinggal serta makan dengan mereka. Sebab itu, aku harus bersabar sebentar lagi.
Aku terus melanjutkan tugasku hingga selesai. Satu yang kupikirkan, jika sampai Lulu terbangun maka, tak bisa lagi aku membantu ibu.
"Lha itu, si Aya, bininya Herman. Udah punya anak tiga aja badannya kagak berubah pisan!" celetuk ibu semakin membuat telingaku panas. Aku sabar karena mereka mungkin tidak mengerti. Bahkan mereka tidak menyadari, jika baru saja melakukan body shamming terhadap ku, menantu mereka sendiri.
Aku yang tak tahan pun akhirnya menjawab.
"Setiap metabolisme atau keadaan tubuh setiap orang, termasuk wanita itu berbeda-beda. Ada yang gampang gemuk, ada yang gak bisa gemuk juga ada yang stabil hingga batas usia tertentu. Jadi, kita tidak bisa membandingkan atau memberi stigma negatif tanpa kita tau sepenuhnya yang sebenernya terjadi. Lagipula, setiap kehendak Allah itu harus di terima bukan. Walaupun itu baik maupun buruk sekalipun!" ucapku tegas, membuat kedua mertuaku mendengus dan Nela mencebik.
"Kami kayak yang sekolah tinggi aja bisa ngomong kayak gitu!" celetuk Nela ketus.
Sementara itu, ternyata mas Azam sejak tadi ada di depan pintu penghubung antara rumah utama dan warung. Ia memberi tatapan yang sulit diartikan ke arahku.
'Kalau mas Azam sejak tadi si situ, kenapa dia tidak membelaku? Aku di keroyok mas!' aku sekali lagi hanya bisa membatin. Mana mungkin, suamiku itu bersuara di depan kedua orang tuanya.
...Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Yunia Afida
betul ifu
2022-11-29
1
Asni J Kasim
Suami sialan memang!
2022-11-07
1
Asni J Kasim
Jangan lama2 sabarnya, batin juga butuh bahagia
2022-11-07
1