"Tuh kan, ujungnya pasti minjem duit! Makanya, kalo gak bisa kerja itu nabung. Duit dari suami jangan suka dihabiskan. Kalau sudah keadaan begini, kan jadi susah sendiri!" ketus Ibu mertuaku sambil melempar uang seratus ribuan ke atas meja.
Sebenarnya aku juga terpaksa meminjam uang pada Ibu untuk membawa mas Azam berobat. Tapi, mau bagaimana lagi, sudah dua hari suamiku itu tidak bekerja lantaran keadaannya sedang sakit. Kebetulan di daerah tempat tinggal kami, masih ada klinik yang murah.
Sebenarnya bisa saja aku membawanya ke puskesmas besok, tapi mas Azam sejak tadi terus meringis kesakitan sambil memegangi perutnya. Aku bingung, tak tau lagi harus minta tolong pada siapa.
Aku pun terpaksa mengambil uang yang dilemparkan oleh Ibu.Padahal kan, wanita paruh baya yang biasa mengenakan daster rumahan itu, bisa memberikannya langsung ke tanganku. Dengan begitu aku bisa langsung mencium punggung tangannya. Tapi ini tidak, Ibu melemparnya sambil menatap sinis ke arahku. Seakan, jika ini adalah hal yang sangat buruk. Padahal, aku melakukan ini juga untuk anak laki-laki pertamanya.
Semenjak, melahirkan anak pertama kedua mertuaku berubah sikap. Apalagi semenjak, Mas Azam memberikan uang belanja bulanan padaku. Meskipun begitu untuk hal lain tetap masih di atur oleh mereka.
Aku pernah mendengar dari salah satu saudara ayah mertua. Jika mas Azam berubah sikap semenjak menikah denganku. Entah, berubah bagaimana maksudnya. Menurutku, mas Azam masih sama seperti pertama kali aku mengenalnya.
Aku hanya menghela nafas pelan, lalu meraih uang yang berserak. "Terimakasih ya, Bu. Lika, janji akan mengembalikannya nanti," ucapku, seraya hendak berdiri dan mengambil balita berusia satu tahun yang barusan ku letakkan duduk di lantai. Aku kembali membawa anak perempuanku yang bernama Lulu kedalam gendongan.
"Ya harus lah. Itu kan uang modal warung Ibu." Ibu mertuaku berkata dengan nada sarkas. Membuat hatiku berdenyut ngilu tatkala mendengar setiap kata-kata pedas level tiga puluh yang selalu keluar kerapkali berbicara denganku.
"Kenapa sih, Bu? Udah mau magrib kok teriak-teriak?" tanya ayah yang baru saja keluar dari kamarnya. Sepertinya, beliau hendak pergi ke mesjid. Terlihat dari baju koko juga kainnya yang sangat bagus.
Ayah selalu berpikir dan berpendapat, bahwa di kampung ini tidak ada yang bisa menyaingi harga baju koko juga sarung yang ia punya.
Karena ayah mertuaku itu, tau macam-macam merek yang bagus. Beliau rela kehilangan uang banyak dari hasil usahanya demi memenuhi kepuasannya sendiri. Beliau sangat suka di puji orang lain.
"Inilah, kerjaan menantu mu yang tidak bisa mengatur uang pemberian suami. Tidak seperti ku, yang bahkan bisa membeli sebidang tanah dari hasil uang belanja yang aku sisihkan selama lima tahun," ucap Ibu, membanggakan diri sendiri.
Bagaimana ia bisa menyamakan keadaan dahulu dengan diriku pada saat ini. Ayah mertua adalah pensiunan pegawai negeri sipil. Tentulah tidak bisa di samakan dengan suamiku yang hanya bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan swasta.
"Lain kali, kalo makan itu di irit. Harus pinter nyimpen duit, buat keadaan mendesak kayak gini. Anak itu harusnya ngasih ke orang tua, bukannya minta." Kata-kata dari bapak mertuaku menambah perih di hati ini. Aku kan tidak meminta, melainkan pinjam. Aku pasti akan menggantinya setelah mas Azam gajian.
"Selama anak masih menyusahkan orang tua. Hidupnya tidak akan pernah makmur. Lihat nih, Ayah sejak dulu tidak pernah yang namanya minta ke orang tua. Kau lihat kan sekarang, bahkan usahaku maju dan berkah. Ayah sampai bisa membangun rumah ini dari hasil keringat sendiri." Ayah kembali memojokkan ku dengan membanggakan dirinya. Lagi-lagi hati ini merasa perih.
Ingin rasanya mulut ini menjawab dan menyangkal setiap kalimat yang beliau ucapkan. Namun, sekali lagi aku sadar. Sebagai anak sudah seharusnya kita mengalah bukan. Aku tidak ingin ribut, lagipula memang benar apa kata ayah mertuaku. Kami masih menyusahkan nya dengan tinggal menumpang.
Mas Azam, belum bisa membawa keluarga kecil kami pindah. Bahkan untuk sekedar mengontrak pun mas Azam tidak mau. Selalu dengan alasan, gajinya tidak akan cukup untuk membayar sewa rumah yang sangatlah mahal di kota besar seperti ini. Lagipula, di rumah orang tuanya masih terdapat beberapa kamar kosong.
"Iya, Yah. Bu. Lika mengerti. Terimakasih. Lika mau membawa mas Azam berobat nanti selepas magrib. Titip Heru ya," ucap ku pamit seraya berpesan untuk menjaga putra pertamaku yang baru berusia lima tahun. Sebab, aku tidak mungkin membawa dua anak sekaligus. Lulu masih bisa ku gendong di depan, karena aku yang akan membawa motor.
"Emang dibawa aja gak bisa. Ayah mau ada urusan nanti di masjid sampe isya," kata ayah mertua ku. Sementara Ibu, sudah berlalu ke dalam. Ibu, paling tidak suka jika aku menitipkan Heru. Sebab, anak itu selalu tidak bisa diam dan sering memakan jajanan di warung kelontong Ibu.
Terpaksa, aku harus membawa kedua anakku.
_____
"Mas, ayo berobat." Aku membangunkan mas Azam yang malah tertidur setelah solat magrib. Aku menggoyangkan bahunya pelan. Kasian, sepertinya mas Azam pulas. Tapi, aku tetap harus membangunkannya. Daripada nanti malam ia merintih lagi. Tak lama kemudian, suamiku itu terbangun.
"Memang, kamu sudah dapat uangnya, Dek?" tanya mas Azam yang telah berbalik dan sekilas menatap ke arahku.
"Sudah, Mas. Tapi ibu berpesan agar kita punya tabungan. Agar, setiap keadaan menjepit begini tidak lagi meminjam," jawab ku seraya menunduk lesu.
Bagaimana pun kata-kata kedua mertuaku itu terlalu menusuk. Bukan salahku yang tak bisa menyimpan uang. Sementara mas Azam masih punya tanggungan kreditan mobil yang harus kami bayar setiap bulan.
Itu juga atas dasar desakan ayah mertua yang menginginkan Azam mencicil mobil untuk dapat digunakan keluarga ketika ada undangan kondangan atau kumpul keluarga. Biar ada yang bisa dibanggakan, katanya. Sehingga mas Azam merelakan tabungannya sebagai uang muka. Aku sebenarnya tidak setuju, toh buat apa terlalu memaksakan diri jika ujungnya hidup seperti kekurangan karena terlibat hutang.
"Gimana bisa nabung, Dek. Untuk cicilan mobil saja hampir tiga juta. Belum lagi, Mas harus membayar listrik yang harganya terus naik. Meskipun kita menumpang, setidaknya Mas bantu ayah dengan membayarkan kebutuhan listrik di rumah ini. Gak sedikit itu, Dek. Hampir satu jutaan lebih setiap bulannya. Jadi, kamu jangan pernah merasa bahwa kita tidak berguna di rumah ini, ya. Omongan ayah sama ibu jangan di ambil hati. Kamu cukup jawab iya saja," kata mas Azam membesarkan hatiku.
Aku pun menjawab kata-katanya dengan senyum dan sebuah anggukan kepala. Semudah itu mas Azam mengatakannya. Dia tidak tau bagaimana rasanya berada di posisiku. Akulah yang akhirnya selalu di salahkan.
_______
"Azam, kamu masih sakit ya? Gak masuk kerja lagi dong?" Ibu yang tiba-tiba masuk ke kamar kami keesokan harinya. Wajahnya memberengut ketika melihat mas Azam yang masih bergelung dengan selimut. Aku hanya memperhatikan sambil menyuapi Heru dan Lulu sarapan tak jauh dari kamar.
"Kepala Azam masih pusing Bu, masih lemas juga," jawab suamiku. Kali ini ia membuka selimut dan duduk di pinggir kasur. Wajahnya masih nampak pucat.
"Ini gimana sih, Lika! Bisa gak sih kamu ngurus suami yang sakit! Masa udah berobat gak sembuh-sembuh juga! Kalo kelamaan gak kerja nanti gaji kamu yang di potong banyak, Azam! Tau, kan tanggungan mu banyak yang harus di bayar. Ya sudahlah, terserah kamu! " Setelahnya ibu berlalu dengan melewati ku.
Selalu begitu.
Ibu dan bapak selalu berkata ketus padaku semenjak perubahan pada tubuhku.
Kenapa? Kenapa harus mendengarkan penilaian orang?
...Bersambung...
"Lika, setelah menyuapi anakmu, ke warung bantu Ibu!" pesannya. Aku hanya mengangguk untuk menjawab perintah Ibu. Sementara, Mas Azam hanya bisa diam dan bengong mendapat omelan dari ibunya. Selama menikah dengannya, tak sekalipun mas Azam menjawab atau melawan pada kedua orang tuanya. Dia hanya bisa diam dan menurut.
Akhirnya, kedua anakku sudah tenang, kebetulan juga hari ini Heru libur sekolahnya. Putra pertama kami itu baru masuk PAUD sebulan ini, setidaknya dia sudah tau bagaimana mengajak main Lulu, adiknya. Sebenarnya, Ibu sempat melarang kami menyekolahkan Heru. Katanya masih terlalu kecil dan hanya membuang- buang uang saja.
Tapi tidak menurutku, di sekolah Heru bisa belajar bersosialisasi meskipun kebanyakan nyanyi. Bukankah mengajar anak balita memang dengan cara seperti itu. Sebab, dengan menari dan bernyanyi mereka sekaligus dapat mempelajari beberapa hal. Sebab itulah, aku tetap menyekolahkan Heru. Meskipun di awal Mas Azam sempat ikut apa kata ibunya. Katanya, dulu dia pun tidak sekolah di taman kanak-kanak. Akhirnya aku dapat membuka pikiran suamiku tentang manfaat menyekolahkan anak sejak dini.
Aku meletakkan Lulu di dalam baby Walker. Hati tenang jika kedua anakku sudah makan dan mandi. Heru duduk di sofa sambil menyusu, tatapannya fokus ke depan televisi. Biasa, kalau pagi memang suka banyak acara kartun.
Aku menghampiri mas Azam meminta izin ke warung membantu ibu. " Mas, aku ke rumah sebelah dulu ya. Tolong, di tengok-tengok anaknya. Kamu, ikut nonton gih biar gak terlalu bosan diatas kasur," ucap ku lembut. Mas Azam hanya mengangguk pelan, ku lihat ia masih termenung ketika aku meninggalkannya ke rumah sebelah. Kebetulan Ibu mempunyai warung kelontong dan nasi uduk di sebelah rumah.
Di warung ibu.
"Bu, Mirna. Bungkusan nasi uduk komplitnya dua bungkus ya!" pinta salah satu pelanggan yang tak lain adalah tetangga kami. Sekilas ia melirik dan tersenyum ke arahku.
"Ngapain, Lik?" kuliknya.
"Lagi, buat adonan bakwan, Bu. Soalnya habis," jawab ku sopan. Meskipun aku tidak menyukai caranya memandangku.
"Perasaan makin gede aja. Padahal anak baru dua," ucapnya lagi, memulai kerusuhan di warung ibu. Biasanya, mertuaku itu akan langsung terpancing. Dan benar saja ...
"Lika juga gak ngerti, padahal capek. Tiap malam juga begadangin si Lulu," jawabku. Jujur, memang aku tidak faham kenapa bobot tubuhku tidak mau turun semenjak melahirkan. Padahal, Lulu itu ASI ekslusif.
"Di atur dong, Lika pola makannya. Jangan apa aja di masukin. Tuh, anak ibuk mah anak dua masih muat aja baju-baju pas lagi remaja. Mertua kamu juga tuh, masih aja langsing. Masa kamu yang masih muda kalah. Iya gak Bu Mirna," ucap tetangga kami lagi rusuh dan usil. Apa sih untungnya bagi dia, selalu saja meributkan bentuk tubuhku yang memang sangat berubah seratus delapan puluh derajat semenjak aku hamil anak pertama.
"Ya gitulah, Bu. Anak sekarang kan kebanyakan ngelawan gak mau dengerin apa kata orang tua. Gak mau pake angkin selepas lahiran. Makan juga gak mau pantang. Beda lah sama kita dulu yang emang nurut apa kata orang tua," jawab mertua ku sambil tertawa ke arahku. Entah apa maksudnya, tapi hatiku memanas karena ini.
Aku diam saja, iya diam. Buat apa meladeni mereka. Toh, aku tidak akan pernah benar dan menang. Biar saja mereka berdua terus menyindir ku. Meskipun telinga ini panas, aku mencoba untuk bersabar.
Selepas subuh keesokan harinya, ku lihat mas Azam sudah berpakaian rapi dengan seragam berwarna biru Dongker. Mas Azam bahkan sedang menggosok sepatu pantofel miliknya dengan semir.
"Mas, kamu mau kerja?" tanyaku heran. Bukannya mas Azam masih lemas dan pusing. Pikirku.
"Iya, Dek. Ibu benar, kebutuhan kita kan banyak. Sementara, Mas udah dua hari gak kerja."
"Tapi, kan Mas--" Aku tidak meneruskan kata-kataku karena Mas Azam bangkit dan meraih tas serta kunci motor.
"Mas, udah mendingan kok. Lagian gak enak kerjaan ku, di gantikan oleh Sahrul terus. Kamu doakan ya, biar Mas selamat," ucapnya sambil menyodorkan telapak tangan kearah ku. Aku meraih dan langsung mencium punggung tangannya. Lalu, mas Azam melabuhkan kecupan hangat di kening ku. Hal yang tak pernah absen ia lakukan padaku setiap kali berangkat bekerja.
Aku memeluknya sebentar. "Hati-hati ya, Mas," ucapku. Meskipun aku juga bingung kalau Mas Azam kelamaan libur, tapi aku juga gak tega suamiku ini memaksakan dirinya.
"Nah, gitu dong! Laki-laki itu harus strong!" Tiba-tiba, ibu mertuaku muncul di pintu kamar kami. Bukankah itu kurang sopan ya. Bagaimana jika saat ini aku dan mas Azam masih berpelukan?
"Sakit itu emang gak boleh dimanja. Lihat, kan Bapak dan Ibu. Sudah setua ini saja masih bekerja keras. Karena apa? Karena kita hanya bisa mengandalkan diri sendiri, bukan orang lain," ucap Ibu yang mengembangkan senyumnya mengantar kepergian mas Azam bekerja.
Aku melepas mas Azam dengan berat, sebab kulihat wajahnya masih pucat. Benar saja, kerisauanku pun terjawab. Dua jam kemudian kami mendapatkan kabar melalui telepon. Kabar itu datang dari rumah sakit unit daerah tak jauh dari perusahaan tempat abang
"Astagfirullah!"
Polisi, dan jasa Raharja yang datang ke rumah mengatakan bahwa mas Azam oleng dari motornya sendiri lalu terjatuh dan tanpa sengaja tertabrak mobil yang tengah melaju dari arah depan.
Sekarang, mas Azam bukan hanya sakit biasa. Melainkan cacat untuk sementara. Satu kakinya di balut gips kurang lebih untuk enam bulan ke depan.
Sekarang suami kamu cacat, seharusnya kamu yang menggantikannya bekerja!" seru ibu mertuaku, padahal kami masih berada di rumah sakit.
"Mas Azam gak cacat, Bu. Mas Azam pasti akan sembuh!" pekik ku tak tega karena ibu terus mengatakan kalau mas Azam cacat.
"Kamu sih, gak bisa urus suami. Lagi sakit juga terpaksa kerja. Coba kalo kamu itu jadi istri yang produktif kayak aku!" sindir Nela, seenaknya menyalahkan aku. Padahal, ibunya yang terus memaksa mas Azam agar masuk kerja. Nela itu adalah adik perempuan satu-satunya dari mas Azam. Memang, Nela itu punya usaha online dengan menjual pakaian dan juga sepatu. Di rumah juga buka usaha konter pulsa dan fotokopi. Sehingga Nela tidak hanya mengandalkan gaji dari suaminya yang pulang tiga bukan sekali. Suami dari Nela kerja di luar kota sebagai kontraktor pembangunan jalan.
Lagi-lagi, aku yang di salahkan atas kejadian yang menimpa keluarga kecil kami. Padahal jelas ku ingat, ibu lah yang telah memaksa mas Azam untuk bekerja. Tapi, mertuaku itu sama sekali tidak membelaku ataupun mengakui jika dirinyalah yang memaksa putranya itu agar berangkat kerja.
Dengan keadaan mas Azam yang seperti ini, membuat kami menjadi begitu bergantung dengan keluarga suamiku. Nela dengan mulut ketusnya yang akan selalu menghinaku dulu sebelum ia memberikan sekarung beras ukuran sekitar sepuluh kilo. Lumayan, bisa cukup untuk dua Minggu. Karenanya, terpaksa ku telan kata-katanya yang pedas.
"Kayak aku, dong! Mandiri!" ketua Nela, setelah meletakkan diaper satu bal isi dua puluh lembar untuk Lulu.
...Bersambung ...
Lagi-lagi, aku yang di salahkan atas kejadian yang menimpa keluarga kecil kami. Padahal jelas ku ingat, ibu lah yang telah memaksa mas Azam untuk bekerja. Tapi, mertuaku itu sama sekali tidak membelaku ataupun mengakui jika dirinyalah yang memaksa putranya itu agar berangkat kerja.
Dengan keadaan mas Azam yang seperti ini, membuat kami menjadi begitu bergantung dengan keluarga suamiku. Nela dengan mulut ketusnya yang akan selalu menghinaku dulu sebelum ia memberikan sekarung beras ukuran sekitar sepuluh kilo. Lumayan, bisa cukup untuk dua minggu. Karenanya, terpaksa ku telan kata-katanya yang pedas dan melukai hati.
"Untung saja, Azam masih mendapatkan gaji pokoknya. Setidaknya bisa untuk membayar cicilan mobil. Hah, sudah nasibku sulit di masa muda dan sengsara di masa tua. Kapan, Ibu bisa santai!" gerutu ibu sambil merapikan barang dagangan yang baru saja datang dari agen.
Sementara aku merapikan isi showcase.
Menyusun minuman botol kaleng dan juga susu kotak. Aku hanya bisa terdiam sambil menahan sesak. Keluargaku, semakin membebani Ibu dan juga Bapak mertua. Bahkan, Nela juga terkadang mengeluarkan uang untuk kebutuhannya kedua anakku. Tersirat dalam hati untuk meng-overkreditkan saja mobil kijang itu. Agar, keluarga kecilku ini tidak perlu menadahkan tangan hanya untuk kebutuhan dan juga makan sehari-hari. Akan tetapi, aku tidak berani mengutarakannya. Sebab, ayah mertuaku yang lebih sering menggunakan kendaraan itu untuk berbelanja isi warung kelontong ibu.
"Heru, terpaksa Lika berhentikan dulu sekolahnya, Bu." kataku ketika kulihat mata ibu mendelik, saat sore itu aku mengajar Heru mengenal huruf. Anak itu sibuk berlari tidak mau duduk sementara Lulu sudah merobek beberapa buku. Hingga kertas bertebaran di ruang tamu utama. Ibu paling tidak suka jika melihat keadaan rumah berantakan bak kapal pecah seperti ini. Padahal nanti juga pasti akan aku rapikan lagi.
"Coba saja, waktu itu kamu minum pil KB dengan benar. Pasti gak akan begini. Udah susah, anak banyak!" omel Ibu. Hatiku kembali sakit mendengar kata-kata ibu barusan. Bagaimana tidak, jika kehadiran Lulu yang jadi di salahkan. Lagipula, kami bukan orang susah. Seharusnya ibu senang dan bangga karena memiliki cucu yang cantik dan seimut Lulu. Bahkan para tetangga saja, selalu berebut untuk menggendong. Hanya saja aku yang tidak biasa, membiarkan anakku bebas main dengan orang selain keluarga.
Aku tidak bisa tahan lagi untuk diam.
"Kehadiran Lulu itu sudah kehendak Allah Bu. Keadaan yang terjadi, susah maupun senang adalah pemberian Allah. Keduanya sama-sama sebuah ujian. Kita harus menyikapi ini dengan keluasan hati dan sabar," ucapku bermaksud agar ibu mertuaku mengerti dan tidak lagi menyinggung bahwa anak itu bikin susah, bikin pengeluaran bertambah. Bukankah setiap anak itu ada rejekinya masing-masing. Bahkan, aku pun yakin jika suatu saat Heru bisa sekolah lagi.
"Ya memang, tapi tetap saja kau yang memiliki andil dari ini semua. Seharusnya kau itu bisa mengurus diri. Bisa menjaga, supaya tidak hamil lagi sampai hutang mobil Azam itu lunas dulu." Ibu tetap membenarkan opininya. Tetap, aku lah yang salah dalam posisi ini. Padahal, sudah jelas bapak lah yang memaksa mas Azam untuk berhutang mobil. Berhutang hanya karena sebuah gengsi bukan berdasarkan kebutuhan. Bahkan, sejak itu ada saja masalah yang terjadi. Mas Azam sering sakit, jatuh dari motor. Dan berakhir cacat sementara seperti saat ini. Bukankah ini sebuah teguran kecil dari, Tuhan?
"Maaf, Bu. Kenapa Lika yang salah?" tanyaku pelan seraya menahan sesak.
"Ya karena kan kamu yang punya rahim Lika! Masa ibu mau menyalahkan Azam!" ucap ibu kali ini dengan nada yang cukup tinggi. Mungkin, ibu tidak suka jika aku terus menjawab kata-katanya.
Aku sudah tidak kuat untuk diam saja, dada ini terasa sesak. Jika saja mas Azam tidak memiliki hutang mobil, tentu kami tidak akan menumpang makan kepadanya. Juga kami pasti sanggup mengontrak sebuah rumah sederhana. Gaji pokok mas Azam tentu cukup untuk biaya makan kami selama satu bulan. Akan tetapi, tetap saja di mata keluarga ini hanya aku lah yang salah.
"Tatap saja, semua atas kehendak Allah, Bu. Lagipula, Lika juga sudah KB tapi --"
"Halah! Kamu itu jawab aja terus omongan orang tua!" potong ibu seraya pergi berlalu meninggalkanku yang merasakan sakit hati.
" Nela emang pinter. Otaknya itu isinya bisnis sama seperti Ayah dan Ibu. Di rumah saja bisa punya usaha, jadi gak hanya mengandalkan keuangan dari suami saja." Tiba-tiba ayah mertuaku mengeluarkan sindiran yang ku tau itu memang sengaja di tujukan pada satu-satunya menantu wanita di rumah ini.
Sore ini, dimana aku tengah menyuapi kedua anakku makan di teras rumah. Sementara mas Azam sedang duduk di kursi rodanya agak jauh dari kami, sebab ia tengah memberi makan ikan di dalam akuarium. Tepatnya di ruang tamu.
"Barusan, pak Joko cerita kalau menantunya kerja perumahan gajinya besar hampir dua juta. Padahal suaminya kerja di pabrik tapi dia gak malu walaupun jadi pembantu rumah tangga. Setidaknya, bisa mengumpulkan uang tidak hanya berharap gaji suami saja." Kata Ayah lagi yang membuatku semakin mengerutkan kening.
Apa sih maksudnya? Apa, ayah tengah menyindirku? Aku bukannya tidak mau bekerja. Memangnya kalau bekerja, nanti anak-anak ku dengan siapa? Mas Azam? Tidak, bahkan untuk mengurus dirinya saja ia membutuhkan banyak bantuan ku. Tidak ada satupun keluarganya yang membantu. Tapi, aku hanya dapat menyimpan kata-kata ini dalam hati saja.
"Makanya jadi perempuan itu harus memiliki prinsip. Mandiri dan bisa cari uang sendiri. Bukan cuma bisa nadang sama ngangkang aja!" sarkas Ibu tanpa di saring.
"Astagfirullah," ucapku lirih seraya memegangi dadaku yang sesak. Akibat sindiran ibu yang sungguh sangat melukai hatiku. Bukannya tidak ingin membantu suami, hanya saja aku memiliki keterbatasan. Sebagai seorang istri dan ibu, aku mempunyai tugas utama. Yaitu, mengurus kedua anakku dengan mas Azam yang masih kecil-kecil.
Berbeda dengan kak Nela yang belum punya anak. Aku juga tidak pernah memiliki simpanan karena anak-anak sering sekali sakit. Bukankah kalau anak balita memang seperti itu. Karena sistem imunnya masih lemah sehingga rentan terhadap penyakit.
Namun, aku dan mas Azam tidak pernah sekalipun menyalahkan kehadiran dua malaikat kami sebagai penghambat. Mereka berdua bukanlah beban, melainkan amanah yang harus kami urus dan jaga sebaik mungkin. Jasmani dan juga rohaninya.
"Dulu, ada orang kaya yang minta agar ayah menikahkan Azam dengan anak perempuannya. Tapi sayang, Azam saat itu tidak mau. Padahal sekarang enak, dia sudah jadi PNS. Punya rumah dan juga toko kelontong besar yang di urus oleh anak buahnya." Ayah mertuaku bercerita sambil menerawang, tidak memikirkan sama sekali perasaanku disini. Seakan-akan ia menyesal karena akhirnya mas Azam berjodoh dan menikahi ku si gadis miskin.
Apalagi ini, aku hanya bisa tersenyum padahal batinku miris.
...Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!