Bab. 3. Mulai Dibandingkan

Lagi-lagi, aku yang di salahkan atas kejadian yang menimpa keluarga kecil kami. Padahal jelas ku ingat, ibu lah yang telah memaksa mas Azam untuk bekerja. Tapi, mertuaku itu sama sekali tidak membelaku ataupun mengakui jika dirinyalah yang memaksa putranya itu agar berangkat kerja.

Dengan keadaan mas Azam yang seperti ini, membuat kami menjadi begitu bergantung dengan keluarga suamiku. Nela dengan mulut ketusnya yang akan selalu menghinaku dulu sebelum ia memberikan sekarung beras ukuran sekitar sepuluh kilo. Lumayan, bisa cukup untuk dua minggu. Karenanya, terpaksa ku telan kata-katanya yang pedas dan melukai hati.

"Untung saja, Azam masih mendapatkan gaji pokoknya. Setidaknya bisa untuk membayar cicilan mobil. Hah, sudah nasibku sulit di masa muda dan sengsara di masa tua. Kapan, Ibu bisa santai!" gerutu ibu sambil merapikan barang dagangan yang baru saja datang dari agen.

Sementara aku merapikan isi showcase.

Menyusun minuman botol kaleng dan juga susu kotak. Aku hanya bisa terdiam sambil menahan sesak. Keluargaku, semakin membebani Ibu dan juga Bapak mertua. Bahkan, Nela juga terkadang mengeluarkan uang untuk kebutuhannya kedua anakku. Tersirat dalam hati untuk meng-overkreditkan saja mobil kijang itu. Agar, keluarga kecilku ini tidak perlu menadahkan tangan hanya untuk kebutuhan dan juga makan sehari-hari. Akan tetapi, aku tidak berani mengutarakannya. Sebab, ayah mertuaku yang lebih sering menggunakan kendaraan itu untuk berbelanja isi warung kelontong ibu.

"Heru, terpaksa Lika berhentikan dulu sekolahnya, Bu." kataku ketika kulihat mata ibu mendelik, saat sore itu aku mengajar Heru mengenal huruf. Anak itu sibuk berlari tidak mau duduk sementara Lulu sudah merobek beberapa buku. Hingga kertas bertebaran di ruang tamu utama. Ibu paling tidak suka jika melihat keadaan rumah berantakan bak kapal pecah seperti ini. Padahal nanti juga pasti akan aku rapikan lagi.

"Coba saja, waktu itu kamu minum pil KB dengan benar. Pasti gak akan begini. Udah susah, anak banyak!" omel Ibu. Hatiku kembali sakit mendengar kata-kata ibu barusan. Bagaimana tidak, jika kehadiran Lulu yang jadi di salahkan. Lagipula, kami bukan orang susah. Seharusnya ibu senang dan bangga karena memiliki cucu yang cantik dan seimut Lulu. Bahkan para tetangga saja, selalu berebut untuk menggendong. Hanya saja aku yang tidak biasa, membiarkan anakku bebas main dengan orang selain keluarga.

Aku tidak bisa tahan lagi untuk diam.

"Kehadiran Lulu itu sudah kehendak Allah Bu. Keadaan yang terjadi, susah maupun senang adalah pemberian Allah. Keduanya sama-sama sebuah ujian. Kita harus menyikapi ini dengan keluasan hati dan sabar," ucapku bermaksud agar ibu mertuaku mengerti dan tidak lagi menyinggung bahwa anak itu bikin susah, bikin pengeluaran bertambah. Bukankah setiap anak itu ada rejekinya masing-masing. Bahkan, aku pun yakin jika suatu saat Heru bisa sekolah lagi.

"Ya memang, tapi tetap saja kau yang memiliki andil dari ini semua. Seharusnya kau itu bisa mengurus diri. Bisa menjaga, supaya tidak hamil lagi sampai hutang mobil Azam itu lunas dulu." Ibu tetap membenarkan opininya. Tetap, aku lah yang salah dalam posisi ini. Padahal, sudah jelas bapak lah yang memaksa mas Azam untuk berhutang mobil. Berhutang hanya karena sebuah gengsi bukan berdasarkan kebutuhan. Bahkan, sejak itu ada saja masalah yang terjadi. Mas Azam sering sakit, jatuh dari motor. Dan berakhir cacat sementara seperti saat ini. Bukankah ini sebuah teguran kecil dari, Tuhan?

"Maaf, Bu. Kenapa Lika yang salah?" tanyaku pelan seraya menahan sesak.

"Ya karena kan kamu yang punya rahim Lika! Masa ibu mau menyalahkan Azam!" ucap ibu kali ini dengan nada yang cukup tinggi. Mungkin, ibu tidak suka jika aku terus menjawab kata-katanya.

Aku sudah tidak kuat untuk diam saja, dada ini terasa sesak. Jika saja mas Azam tidak memiliki hutang mobil, tentu kami tidak akan menumpang makan kepadanya. Juga kami pasti sanggup mengontrak sebuah rumah sederhana. Gaji pokok mas Azam tentu cukup untuk biaya makan kami selama satu bulan. Akan tetapi, tetap saja di mata keluarga ini hanya aku lah yang salah.

"Tatap saja, semua atas kehendak Allah, Bu. Lagipula, Lika juga sudah KB tapi --"

"Halah! Kamu itu jawab aja terus omongan orang tua!" potong ibu seraya pergi berlalu meninggalkanku yang merasakan sakit hati.

" Nela emang pinter. Otaknya itu isinya bisnis sama seperti Ayah dan Ibu. Di rumah saja bisa punya usaha, jadi gak hanya mengandalkan keuangan dari suami saja." Tiba-tiba ayah mertuaku mengeluarkan sindiran yang ku tau itu memang sengaja di tujukan pada satu-satunya menantu wanita di rumah ini.

Sore ini, dimana aku tengah menyuapi kedua anakku makan di teras rumah. Sementara mas Azam sedang duduk di kursi rodanya agak jauh dari kami, sebab ia tengah memberi makan ikan di dalam akuarium. Tepatnya di ruang tamu.

"Barusan, pak Joko cerita kalau menantunya kerja perumahan gajinya besar hampir dua juta. Padahal suaminya kerja di pabrik tapi dia gak malu walaupun jadi pembantu rumah tangga. Setidaknya, bisa mengumpulkan uang tidak hanya berharap gaji suami saja." Kata Ayah lagi yang membuatku semakin mengerutkan kening.

Apa sih maksudnya? Apa, ayah tengah menyindirku? Aku bukannya tidak mau bekerja. Memangnya kalau bekerja, nanti anak-anak ku dengan siapa? Mas Azam? Tidak, bahkan untuk mengurus dirinya saja ia membutuhkan banyak bantuan ku. Tidak ada satupun keluarganya yang membantu. Tapi, aku hanya dapat menyimpan kata-kata ini dalam hati saja.

"Makanya jadi perempuan itu harus memiliki prinsip. Mandiri dan bisa cari uang sendiri. Bukan cuma bisa nadang sama ngangkang aja!" sarkas Ibu tanpa di saring.

"Astagfirullah," ucapku lirih seraya memegangi dadaku yang sesak. Akibat sindiran ibu yang sungguh sangat melukai hatiku. Bukannya tidak ingin membantu suami, hanya saja aku memiliki keterbatasan. Sebagai seorang istri dan ibu, aku mempunyai tugas utama. Yaitu, mengurus kedua anakku dengan mas Azam yang masih kecil-kecil.

Berbeda dengan kak Nela yang belum punya anak. Aku juga tidak pernah memiliki simpanan karena anak-anak sering sekali sakit. Bukankah kalau anak balita memang seperti itu. Karena sistem imunnya masih lemah sehingga rentan terhadap penyakit.

Namun, aku dan mas Azam tidak pernah sekalipun menyalahkan kehadiran dua malaikat kami sebagai penghambat. Mereka berdua bukanlah beban, melainkan amanah yang harus kami urus dan jaga sebaik mungkin. Jasmani dan juga rohaninya.

"Dulu, ada orang kaya yang minta agar ayah menikahkan Azam dengan anak perempuannya. Tapi sayang, Azam saat itu tidak mau. Padahal sekarang enak, dia sudah jadi PNS. Punya rumah dan juga toko kelontong besar yang di urus oleh anak buahnya." Ayah mertuaku bercerita sambil menerawang, tidak memikirkan sama sekali perasaanku disini. Seakan-akan ia menyesal karena akhirnya mas Azam berjodoh dan menikahi ku si gadis miskin.

Apalagi ini, aku hanya bisa tersenyum padahal batinku miris.

...Bersambung...

Terpopuler

Comments

Riskejully

Riskejully

kenapa ngak dirimu saja yang menggantikan azam ? kan seronok

2022-11-19

1

Yuniki E𝆯⃟🚀

Yuniki E𝆯⃟🚀

Busyeeet dah 😈

2022-11-08

1

Yuniki E𝆯⃟🚀

Yuniki E𝆯⃟🚀

Denger y Bu.. Walaupun Lika yang punya rahim kalo nggk disembuur anakmu juga kagak bakal hamil 😕😕

2022-11-08

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1. Perkara Meminjam Uang
2 Bab. 2. Mas Azam Kecelakaan
3 Bab. 3. Mulai Dibandingkan
4 Bab. 4. Suami Yang Pasif.
5 Bab. 5. Aku Ingin Dibela, Mas!
6 Bab. 6. Sebuah Tuduhan Tanpa Dasar
7 Bab. 7. Memulai Usaha Dari Rumah
8 Bab. 8. Omongan Dibelakang
9 Bab. 9. Omongan Dibelakang part 2
10 Bab. 10. Kau Anggap Aku Apa, Mas?
11 Bab. 11. Prasangka Bisa Jadi Fitnah
12 Bab. 12. Musibah Dalam Keluarga Mas Azam
13 Bab. 13. Imbas Dari Kecerobohan
14 Bab. 14. Kunci Pintu Dulu!
15 Bab. 15. Isi Hati Azam
16 Bab. 16. Kedatangan Kawan Kantor Mas Azam
17 Bab. 17. Berhutang Pada Suami Sendiri.
18 Bab. 18. Tragedi Tengah Malam.
19 Bab. 19. Balada Bolen Lumer
20 Bab. 20. Niat Terselubung Jelita.
21 Bab. 21. Keputusan Ibu Mertuaku
22 Bab. 22. Rubah Betina
23 Bab. 23. Kelakuan Diam-diam, Bapak Mertuaku.
24 Bab. 24. Serasa Disambar Petir
25 Bab. 25. Suami Yang Semakin Menjauh, Pertanda Apa?
26 Bab. 26. Haruskah, Mengemis Cintamu?
27 Bab. 27. Kena Kau, Mas!
28 Bab. 28. Siapa yang menggoda, Mas?
29 Bab. 29. Paksaan Suami Bagian 1
30 Bab. 30. Paksaan Suami Bagian 2
31 Bab. 31. Perkara Dalam Kamar
32 Bab. 32. Menanti Sebuah Jawaban, Tuk Memiliki Janda.
33 Bab. 33. Tersenyum Di Atas Luka Itu Lebih Terhormat.
34 Bab. 34. Pilihan Lika
35 Bab. 35. Talak Aku Mas!
36 Bab 36. Awal Kesuksesan Lika
37 Bab. 37. Komentar Netizen
38 Bab. 38. Lika Yang Mulai Sibuk ( Single Parent )
39 Bab. 39. Awal Kesuksesan Ku.
40 Bab. 40. Hidayah Sebuah Hikmah Kejadian
41 Bab. 41. Akhir Kisah Sedihku. ( Selamat Tinggal Masa Lalu )
Episodes

Updated 41 Episodes

1
Bab 1. Perkara Meminjam Uang
2
Bab. 2. Mas Azam Kecelakaan
3
Bab. 3. Mulai Dibandingkan
4
Bab. 4. Suami Yang Pasif.
5
Bab. 5. Aku Ingin Dibela, Mas!
6
Bab. 6. Sebuah Tuduhan Tanpa Dasar
7
Bab. 7. Memulai Usaha Dari Rumah
8
Bab. 8. Omongan Dibelakang
9
Bab. 9. Omongan Dibelakang part 2
10
Bab. 10. Kau Anggap Aku Apa, Mas?
11
Bab. 11. Prasangka Bisa Jadi Fitnah
12
Bab. 12. Musibah Dalam Keluarga Mas Azam
13
Bab. 13. Imbas Dari Kecerobohan
14
Bab. 14. Kunci Pintu Dulu!
15
Bab. 15. Isi Hati Azam
16
Bab. 16. Kedatangan Kawan Kantor Mas Azam
17
Bab. 17. Berhutang Pada Suami Sendiri.
18
Bab. 18. Tragedi Tengah Malam.
19
Bab. 19. Balada Bolen Lumer
20
Bab. 20. Niat Terselubung Jelita.
21
Bab. 21. Keputusan Ibu Mertuaku
22
Bab. 22. Rubah Betina
23
Bab. 23. Kelakuan Diam-diam, Bapak Mertuaku.
24
Bab. 24. Serasa Disambar Petir
25
Bab. 25. Suami Yang Semakin Menjauh, Pertanda Apa?
26
Bab. 26. Haruskah, Mengemis Cintamu?
27
Bab. 27. Kena Kau, Mas!
28
Bab. 28. Siapa yang menggoda, Mas?
29
Bab. 29. Paksaan Suami Bagian 1
30
Bab. 30. Paksaan Suami Bagian 2
31
Bab. 31. Perkara Dalam Kamar
32
Bab. 32. Menanti Sebuah Jawaban, Tuk Memiliki Janda.
33
Bab. 33. Tersenyum Di Atas Luka Itu Lebih Terhormat.
34
Bab. 34. Pilihan Lika
35
Bab. 35. Talak Aku Mas!
36
Bab 36. Awal Kesuksesan Lika
37
Bab. 37. Komentar Netizen
38
Bab. 38. Lika Yang Mulai Sibuk ( Single Parent )
39
Bab. 39. Awal Kesuksesan Ku.
40
Bab. 40. Hidayah Sebuah Hikmah Kejadian
41
Bab. 41. Akhir Kisah Sedihku. ( Selamat Tinggal Masa Lalu )

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!