Bab. 5. Aku Ingin Dibela, Mas!

"Mas Azam? Sejak kapan ada di sini?" tanya ku heran. Anehnya, sorot mata suamiku itu begitu tajam padaku. Memangnya aku ada salah ya? Apa? Karena aku sudah selesai membantu ibu, maka aku pun mendorong kursi roda mas Azam ke dalam rumah kamar ruangan kami. Ya, aku dan mas Azam memiliki tiga petak bagian rumah yang masih terhubung dengan rumah utama dari orang tua mas Azam.

Karenanya, ibu dan ayah mertua masih bisa leluasa bolak-balik kerumah kami. Sama sekali tidak ada privasi. Apalagi, di bagian kami itu tidak ada pintu kamar. Ketika ingin menyalurkan hasrat saja, kami berdua selalu terburu-buru atau memilih waktu tengah malam di kala semua penghuni rumah sudah terlelap.

Sedangkan, Nela. Ia membangun tanah kosong milik ibu dengan uang tabungan milik suaminya. Kala itu suami Nela sendiri yang jadi tukangnya. Sedangkan para pekerja adalah anak buahnya yang diambil dari kampung. Biasanya kan begitu jika seorang kontraktor. Tapi, aliran listrik dan airnya tetap tersambung dengan rumah utama.

"Mas, tadi kenapa diam aja?" tanyaku setelah aku menyandarkan punggung di sofa depan televisi. Ku lihat anak-anak masih tertidur pulas di kamar yang hanya tertutup gorden notif pinguin kecil biru, si Pororo. Padahal, ku lihat jam sudah menunjukkan jam sepuluh pagi, hampir siang. Kebetulan Heru saja Lulu bangun sejak subuh, setelah ku beri sarapan mereka pun tertidur lagi. Tentu saja aku memanfaatkan waktu itu untuk mencuci dan membantu ibu di warungnya.

Mas Azam hanya menatap ponselnya tanpa mau menjawab pertanyaan dariku. Sekali lagi kupanggil namanya. "Mas, aku lagi nanya loh," ucapku sambil memijat bahuku yang pegal. Tadi, lumayan banyak yang harus ku timbang. Gula saja satu karung, terigu juga. Belum lagi gula merah dan juga kacang tanah.

Mas Azam menoleh padaku, ia meletakkan ponselnya di atas pangkuan. " Mas, enggak suka aja, ngeliat Adek berebut omong sama ibu dan bapak," jawab Mas Azam, membuat ku sontak mengerutkan kening, bingung. Gak salah tuh!

"Berebut omong gimana maksudnya, Mas? Kan, Adek cuma memberi penjelasan supaya ibu sama ayah gak membanding-bandingkan lagi menantunya dengan menantu orang lain," kelasku masih dengan nada bicara yang ku buat senormal mungkin. Meskipun, hatiku ini sebenarnya sakit bukan main. Ku kira, ketika Mas Azam melihat sendiri dengan mata kepalanya ketika kedua orang tua dan adiknya menghinaku, maka ia akan terus membela atau setidaknya menenangkan suasana hatiku yang panas dan sedih ini.

Tapi, sungguh kenyataannya di luar harapan dan dugaanku. Dimana hatimu, Mas. Aku ini kan istrimu. Apa kau tidak ada keinginan untuk membelaku? batinku sesak. Ingin rasanya aku menangis. Berasa sebatang kara di rumah ini.

"Mas tau, maksudmu seperti itu. Tapi, tidak begitu caranya. Orang tua itu tidak suka jika anaknya berbicara seolah lebih mengerti dari mereka. Orang tua itu tidak suka digurui. Lain kali, mengalah saja. Apa susahnya? Kita ini kan anak, mereka orang tua jadi jangan selalu menjawab omongan mereka," ujar Mas Azam. Tentu saja ucapannya itu membuatku langsung bangun dari duduk.

"Kenapa, Mas seakan menyalahkan ku ya? Adek menjawab lantaran membela diri dan juga memberi pengertian saja. Tidak bermaksud melawan apalagi menggurui," jawabku sedikit emosi. Bahkan, aku sedikit merasa sesak di dada ini.

"Lihatlah. Adek bahkan sekarang berani bicara dengan nada tinggi pada, Mas. Apa karena sekarang Mas cacat?" ucap mas Azam kembali memojokkan ku. Aku merasa ia menuduhku, padahal sama sekali tidak terbersit pikiran seperti itu sedikitpun di hatiku.

"Kenapa, sekarang Mas Azam malah menuduh Adek? Apa ada perilaku Adek selama ini yang merendahkan, Mas? Aku begini lantaran kamu gak membela tapi justru menyalahkan!" pekikku berusaha pelan. Aku tidak mau penghuni rumah ini mendengar perdebatan kami. Terutama kedua anakku.

"Aku ini istrimu, Mas. Siapa lagi yang akan membelaku jika bukan kamu," ucap ku parau lantaran menahan tangis.

"Apa yang harus di bela? Kamu sekarang memang pandai bicara," sarkas Mas Azam ketus.

"Ya Allah, Mas ... aku begini ka--" ucapan ku terpotong lantaran mendengar tangisan Lulu. Aku pun langsung meninggalkan suamiku di ruang tamu.

"Ya Allah, anak mama ...! Bocor ya diaper-nya. Aduh, bisa-bisa nanti nenek marah nih kalo kasurnya bau pesing," gumamku gusar sendiri. Segera kugendong puteri kecilku ke kamar mandi. Aku bahkan melewati mas Azam begitu saja.

"Halo, Nak. Gimana kabar ucu-ucu eyang yang gemoy?" tanya bapak ku di ujung telepon.

"Alhamdulillah, sehat, Pak. Pada pinter, dan sering minta main kesana. Maaf ya, Pak. Lika, belum bisa menjenguk kalian," ucapku lirih sambil berusaha menahan air mata ini agar jangan sampai keluar sekarang.

"Tidak apa, Nak. Urus saja suamimu dulu. Yang penting kalian sehat yang di sini juga sehat. Bukankah kita masih bisa berkomunikasi lewat telepon dan chat," terang ayah membesarkan hatiku. Walaupun begitu, tetap saja kerinduanku kepada kedua orang tuaku tidak akan hilang begitu saja hanya dengan bicara melalui telepon atau vidiocall.

"Mana dong, liat ucu-ucu eyang. Apa mereka susah tidur?" pinta bapak, dan seketika aku pun mengubah panggilan telepon menjadi vidiocall.

"Wah, Alhamdulillah. Mereka cakep-cakep, sehat. Kamu, harus banyak bersyukur ya, Nak," ucap bapakku. Begitulah, terkadang satu pekan sekali bapak akan menelpon ku. Untuk keseharian beliau hanya akan berkomunikasi dengan ku lewat chat di aplikasi hijau bergambar gagang telepon itu.

"Iya, Pak. Lika sangat bersyukur kepada Allah. Sebab, telah menitipkan kedua malaikat kecil seperti Heru dan Lulu," jawabku serak tak lama kemudian aku terisak. Entah kenapa, sakit hati tadi lagi terasa ketika bapak mengajakku berbicara. Ternyata, masih ada dan banyak hal yang harus aku syukuri di balik sikap tidak adil mereka semua. Terimakasih, Bapak. Meskipun ragamu jauh ... tapi setiap nasihatmu selalu mengembalikan kewarasanku.

...Bersambung ...

Terpopuler

Comments

Yunia Afida

Yunia Afida

semangat terus💪💪💪💪, kamu harus kuat

2022-11-29

1

Yunia Afida

Yunia Afida

betul itu nasehat orang tua itu bisa jadi semangat kita untuk jalani hidup

2022-11-29

1

Asni J Kasim

Asni J Kasim

Sabar, Lika. Ujian mu tidak terlalu berat, masih ada yang lebih berat dari kamu. Dan dia ada di kisah nyata 😭😭😭

2022-11-07

2

lihat semua
Episodes
1 Bab 1. Perkara Meminjam Uang
2 Bab. 2. Mas Azam Kecelakaan
3 Bab. 3. Mulai Dibandingkan
4 Bab. 4. Suami Yang Pasif.
5 Bab. 5. Aku Ingin Dibela, Mas!
6 Bab. 6. Sebuah Tuduhan Tanpa Dasar
7 Bab. 7. Memulai Usaha Dari Rumah
8 Bab. 8. Omongan Dibelakang
9 Bab. 9. Omongan Dibelakang part 2
10 Bab. 10. Kau Anggap Aku Apa, Mas?
11 Bab. 11. Prasangka Bisa Jadi Fitnah
12 Bab. 12. Musibah Dalam Keluarga Mas Azam
13 Bab. 13. Imbas Dari Kecerobohan
14 Bab. 14. Kunci Pintu Dulu!
15 Bab. 15. Isi Hati Azam
16 Bab. 16. Kedatangan Kawan Kantor Mas Azam
17 Bab. 17. Berhutang Pada Suami Sendiri.
18 Bab. 18. Tragedi Tengah Malam.
19 Bab. 19. Balada Bolen Lumer
20 Bab. 20. Niat Terselubung Jelita.
21 Bab. 21. Keputusan Ibu Mertuaku
22 Bab. 22. Rubah Betina
23 Bab. 23. Kelakuan Diam-diam, Bapak Mertuaku.
24 Bab. 24. Serasa Disambar Petir
25 Bab. 25. Suami Yang Semakin Menjauh, Pertanda Apa?
26 Bab. 26. Haruskah, Mengemis Cintamu?
27 Bab. 27. Kena Kau, Mas!
28 Bab. 28. Siapa yang menggoda, Mas?
29 Bab. 29. Paksaan Suami Bagian 1
30 Bab. 30. Paksaan Suami Bagian 2
31 Bab. 31. Perkara Dalam Kamar
32 Bab. 32. Menanti Sebuah Jawaban, Tuk Memiliki Janda.
33 Bab. 33. Tersenyum Di Atas Luka Itu Lebih Terhormat.
34 Bab. 34. Pilihan Lika
35 Bab. 35. Talak Aku Mas!
36 Bab 36. Awal Kesuksesan Lika
37 Bab. 37. Komentar Netizen
38 Bab. 38. Lika Yang Mulai Sibuk ( Single Parent )
39 Bab. 39. Awal Kesuksesan Ku.
40 Bab. 40. Hidayah Sebuah Hikmah Kejadian
41 Bab. 41. Akhir Kisah Sedihku. ( Selamat Tinggal Masa Lalu )
Episodes

Updated 41 Episodes

1
Bab 1. Perkara Meminjam Uang
2
Bab. 2. Mas Azam Kecelakaan
3
Bab. 3. Mulai Dibandingkan
4
Bab. 4. Suami Yang Pasif.
5
Bab. 5. Aku Ingin Dibela, Mas!
6
Bab. 6. Sebuah Tuduhan Tanpa Dasar
7
Bab. 7. Memulai Usaha Dari Rumah
8
Bab. 8. Omongan Dibelakang
9
Bab. 9. Omongan Dibelakang part 2
10
Bab. 10. Kau Anggap Aku Apa, Mas?
11
Bab. 11. Prasangka Bisa Jadi Fitnah
12
Bab. 12. Musibah Dalam Keluarga Mas Azam
13
Bab. 13. Imbas Dari Kecerobohan
14
Bab. 14. Kunci Pintu Dulu!
15
Bab. 15. Isi Hati Azam
16
Bab. 16. Kedatangan Kawan Kantor Mas Azam
17
Bab. 17. Berhutang Pada Suami Sendiri.
18
Bab. 18. Tragedi Tengah Malam.
19
Bab. 19. Balada Bolen Lumer
20
Bab. 20. Niat Terselubung Jelita.
21
Bab. 21. Keputusan Ibu Mertuaku
22
Bab. 22. Rubah Betina
23
Bab. 23. Kelakuan Diam-diam, Bapak Mertuaku.
24
Bab. 24. Serasa Disambar Petir
25
Bab. 25. Suami Yang Semakin Menjauh, Pertanda Apa?
26
Bab. 26. Haruskah, Mengemis Cintamu?
27
Bab. 27. Kena Kau, Mas!
28
Bab. 28. Siapa yang menggoda, Mas?
29
Bab. 29. Paksaan Suami Bagian 1
30
Bab. 30. Paksaan Suami Bagian 2
31
Bab. 31. Perkara Dalam Kamar
32
Bab. 32. Menanti Sebuah Jawaban, Tuk Memiliki Janda.
33
Bab. 33. Tersenyum Di Atas Luka Itu Lebih Terhormat.
34
Bab. 34. Pilihan Lika
35
Bab. 35. Talak Aku Mas!
36
Bab 36. Awal Kesuksesan Lika
37
Bab. 37. Komentar Netizen
38
Bab. 38. Lika Yang Mulai Sibuk ( Single Parent )
39
Bab. 39. Awal Kesuksesan Ku.
40
Bab. 40. Hidayah Sebuah Hikmah Kejadian
41
Bab. 41. Akhir Kisah Sedihku. ( Selamat Tinggal Masa Lalu )

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!