Gadis Shalihah Yang Ternoda
Mobil Mercedes berwarna hitam itu melaju dengan tenang, lalu berhenti di depan sebuah gerai muslimah. Seorang pemuda melangkah keluar, membawa paperbag di tangan sambil mengenakan kacamata berlensa abu-abu yang tersemat di hidungnya. Dengan semangat, ia memasuki gerai tersebut, siap menemui kekasihnya.
Rayyan merasa lega melihat suasana di dalam gerai yang cukup sepi, hanya ada tiga atau empat pelanggan yang sedang memilih-milih barang. Kesempatan seperti ini jarang ia dapatkan, dan ia ingin memanfaatkannya sebaik mungkin. Kekasihnya adalah sosok perempuan yang cuek dan dingin, dengan pendirian yang kuat. Ia tak ragu mempertahankan pendapatnya meski banyak orang yang berusaha membujuknya.
Mata Rayyan melirik setiap sudut gerai, mencari sosok yang ia rindukan. Senyumnya mengembang saat melihat seorang gadis yang sedang menggantungkan beberapa helai gamis dan abaya terbaru. Dengan penuh percaya diri, ia segera mendekatinya, bersemangat untuk berbincang.
"Assalamualaikum.. Hai!" sapanya.
"Waalaikumsalam!" Sahutnya ketus tanpa menoleh ke memandangnya.
"Lagi sepi, ya?" tanyanya dengan nada lembut, sedikit meledek.
"Sudah ramai sejak pagi, sebentar lagi tutup!" jawab Zalwa cepat, nada suaranya tegas.
"Aku tanya baik-baik loh, kok ketus gitu jawabnya?" Rayyan menatapnya, mencoba mengingatkan dengan penuh perhatian.
Zalwa menoleh, wajahnya sinis, suaranya menantang. "Kenapa? Gak suka? Ya sudah, tinggalin saja aku!"
"Apaan sih? Dikit-dikit tinggalin, dikit-dikit tinggalin... Lagi lapar kamu? Nih, aku bawa daging burung goreng kesukaanmu, plus nasi ada sambal lalabnya juga. Makanlah dulu, biar nggak marah-marah terus," Rayyan menyodorkan paperbag yang dibawanya.
"Makasih!" Zalwa meraih bingkisan itu dengan kasar dan melangkah ke depan. Rayyan menghela napas, merasa jengah melihat tingkah kekasihnya yang masih merajuk karena kesalahpahaman.
"Sayang..." bujuknya, mengikuti langkah Zalwa.
"Masih ada orang di sini, jangan panggil sayang!" Zalwa mendecit, menyimpan paperbag berisi makanan itu di atas nakas dekat meja kasir.
"Kenapa? Mereka kan nggak kenal kita?" Rayyan protes, bingung.
Zalwa hanya menatapnya sinis, membuat Rayyan enggan untuk meladeni lagi. Dia terlihat pasrah, sementara Zalwa pura-pura tidak peduli.
"Ukh, tolong bungkusin ini, ya?" pinta seorang perempuan muda, menyerahkan beberapa helai gamis ke meja kasir.
"Baik..." sahut Zalwa, seketika wajahnya berubah manis dan ramah.
Menyaksikan sikap Zalwa yang dingin, Rayyan memilih untuk menjauh sejenak. Dia berkeliling melihat baju muslim ikhwan yang baru, sambil mencuri pandang pada gadis yang tengah sibuk melayani pembeli.
"MasyaAllah, gerainya makin lengkap, ya, Ukh? Sekarang ada buku-buku agama juga!" puji seorang wanita bercadar sambil menyerahkan beberapa abaya dan khimar kepada Zalwa.
"Alhamdulillah, semua ini karunia Allah," jawab Zalwa dengan senyum ramah, mulai menghitung dan membungkus belanjaan pelanggannya.
"Pelanggan makin ramai, loh. Kenapa nggak merekrut karyawan saja? Biar nggak capek sendiri," saran wanita itu sambil menjentikkan jempolnya.
"InsyaAllah, itu sedang direncanakan," jawab Zalwa sambil tersenyum.
Setelah pembayaran selesai, wanita itu tersenyum puas. "Semoga bisnisnya makin berkah dan laris manis. Aamiin."
"Aamiin. Terima kasih, Ukh. Assalamualaikum," ucap Zalwa saat pelanggannya pergi, meninggalkan ruangan yang kembali hening.
'Closed'
zalwa membalikkan sign board yang tergantung di pintu kaca gerainya, menandakan bahwa mereka sudah tutup. setelah itu, dia merapikan beberapa baju yang tidak jadi dibeli pelanggan, menumpuk di samping meja kasir.
setelah memastikan bahwa mereka hanya berdua di dalam gerai yang sepi, rayyan mulai menghampiri zalwa.
"ngomong-ngomong, kita cuma berdua, loh!" ucapnya dengan nada menggoda. suasana menjadi sedikit menegangkan, terutama karena mereka berdua sadar bahwa ini bukan situasi yang biasa, apalagi mereka bukan suami istri.
zalwa meliriknya, wajahnya tetap datar.
"memangnya kita mau ngapain?" sahutnya.
"emm..." rayyan mengulum senyum nakal. "makan. makan kamu, ehehe..." sambungnya sambil tertawa.
"ck. menurutmu itu lucu?" zalwa mendecak kesal. rayyan langsung mengubah ekspresinya menjadi serius, bingung dengan perubahan sikap gadisnya yang terlihat berbeda sejak kemarin.
"kamu kenapa sih? marah-marah terus. masih cemburu soal kemarin?" tanyanya, penuh kepedulian.
Zalwa mendecak kesal, tak tertarik membalas lelucon itu. Dia menyelesaikan pekerjaannya, mengambil bekalnya dan paperbag Rayyan. “Udah, sini. Ayo makan!” katanya, mengajak ke meja pelanggan.
Rayyan menerima kotak bekal itu dengan malas, masih memperhatikan wajah cantik kekasihnya yang cemberut.
Mereka kini duduk berhadapan, membuka makan siang masing-masing. Kursi dan meja yang mereka duduki merupakan fasilitas untuk pelanggan yang ingin membaca buku. Dari tempat itu, mereka bisa melihat keadaan di luar hanya dengan menoleh sedikit, karena hampir 50 persen gerai Zalwa terbuat dari kaca.
Zalwa mulai menyantap menu yang dibelikan Rayyan. Meskipun itu adalah makanan kesukaannya, wajahnya tidak menunjukkan kegembiraan. Dia terus menunduk, melahap makannya tanpa sekalipun mendongak ke arah Rayyan.
"Enak?" tanya Rayyan, melihat gadis itu tenggelam dalam makanan.
"Hmm..." jawab Zalwa singkat.
Rayyan menghela napas, cepat menelan kunyahannya sebelum meminum air dari botol kemasan. Dia tahu pacarnya ini masih terbawa perasaan karena masalah kemarin. Berulang kali, dia harus menjelaskan bahwa semua yang dipikirkan Zalwa adalah salah.
"Kamu masih ngambek soal Sarah? Sudah berapa kali aku jelasin? Dia sepupuku, tinggal serumah denganku sejak kecil. Kami sering bermain bersama, bahkan mandi bersama. Aku menganggapnya seperti adik kandungku sendiri!" jelasnya, meski sebenarnya malas harus mengulang penjelasan yang sama.
"Tetap saja, sepupu itu bukan mahram. Kamu bisa saja menikah dengannya," ujar Zalwa, membuat Rayyan mengusap kasar rambutnya ke belakang.
"Hsss... Astagfirullah, Zalwa! Yang benar saja! Aku sama sekali gak adaam hasrat sama dia. Mana mungkin aku menikahi anak gadis pamanku? Keluargaku juga pasti gak akan setuju!" terangnya, menekankan setiap kata.
"Lalu, Shofia?" tanya Zalwa, membuat Rayyan terdiam dan menghembuskan napas kasar. Gadisnya ini benar-benar menguji kesabaran dan emosinya. Kenapa dia harus membahas seseorang yang sudah tiada?
"Dia sudah mati! Itu bukan salahku. Ayolah, aku gak mau cewek lain. Aku menunggu kamu sampai kamu siap, entah sampai kapan," suara Rayyan terdengar frustasi di akhir kalimatnya.
"Makanya terima lamaran ku. Biar kamu percaya kalau aku serius mau bahagiakan kamu dunia akhirat. Gak ada yang perlu kamu ragukan lagi. Aku janji akan selalu sayang sama kamu dan memberikan semua yang aku punya."
Rayyan menghela napas lelah sebelum melanjutkan.
"Apa sih yang kamu takutkan? Aku ganteng, kaya raya, berpendidikan, dan suka olahraga. Bukan tipe laki-laki pemalas. Kamu bisa lihat sendiri, hidupku padat dengan segala aktivitas, dan yang terpenting, kamu itu seperti sudah menjadi bagian dari hidupku yang gak bisa aku lepaskan," ujarnya dengan lembut.
Mendengar pengakuan Rayyan yang terdengar tulus, Zalwa merasakan debaran indah di hatinya. Namun, mempercayakan perasaannya begitu saja tidaklah mudah, terutama pada seseorang yang masih dianggapnya orang asing.
"Sudahlah, nanti lagi kita bahas. Ayo makan.."Zalwa mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Kamu terus aja kaya gini. Setiap kali aku bahas lamaran dan pernikahan, pasti menghindar. Tapi kamu cemburuan gak jelas. Kamu membingungkan, tahu, Zal," keluh Rayyan.
Zalwa memilih diam, matanya menatap ke luar jendela sambil mengaduk-aduk makanannya tanpa minat. Jalan raya di depan gerai ramai oleh kendaraan yang lalu lalang, sementara langit menggelap, seakan memberi peringatan akan turunnya hujan. Dalam hati, ia menggerutu memikirkan kemungkinan pulang dalam keadaan basah kuyup.
"Aku beli daging burung puyuh di tempat lain, lho. Enak, kan?" Suara Rayyan memecah lamunannya.
Zalwa hanya mengangguk kecil, tak ingin terlalu terlibat.
Rayyan menggeser duduknya lebih dekat, senyumnya mencoba mencairkan suasana.
"Tapi kamu harus coba jenis burung lain. Mau, nggak?"
Zalwa akhirnya menoleh, sedikit penasaran.
"Burung apa?" tanyanya polos.
Senyum Rayyan melebar, sedikit nakal.
"Hmm... burungku," jawabnya dengan nada menggoda.
Zalwa terdiam sejenak, matanya menyipit tajam. Namun, dia tetap menjaga ekspresinya datar.
"Kamu buka bisnis burung sekarang?" tanyanya serius.
Rayyan terkekeh pelan, tampak menikmati ketidaktahuannya.
"Enggak, Zal. Burungku ini... spesial. Cuma ada satu, nggak bisa terbang, tapi bisa bikin kamu melayang," bisiknya sambil mencondongkan tubuh ke depan.
Zalwa yang baru saja meminum airnya langsung tersedak.
"Hmph! Uhuk, uhuk!" Dia buru-buru meraih tisu untuk mengelap mulutnya, sementara Rayyan panik.
"Eh, Sayang nggak apa-apa, kan?" tanyanya cemas, meski senyum geli masih tersisa di wajahnya.
Zalwa mengangkat tangan, menyuruhnya diam sejenak. Setelah reda, dia menatap Rayyan dengan tajam.
"Kamu pikir itu lucu?!"
"Kan aku cuma bercanda..." Rayyan mengangkat bahu, mencoba tampak santai.
"Bercanda kamu bilang?!" Zalwa bangkit dari duduknya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh.
"Kamu pikir aku nggak ngerti maksudmu, hah?"
Rayyan terdiam, tahu dirinya salah langkah.
"Zal, maaf... aku nggak maksud buat kamu marah."
Zalwa menarik napas dalam-dalam, hatinya masih kesal dan marah. Tapi akhirnya dia duduk kembali, mencoba menenangkan diri.
"Lain kali, pilih candaan yang lebih sopan," gumamnya ketus.
Rayyan mengangguk patuh, tak ingin memperpanjang masalah. Dia mengisi gelas zalwa dengan air kemasannya dan mendorong gelas itu ke arah Zalwa dengan senyum kecil.
"Minum dulu. Maaf, ya, aku keterlaluan."
Zalwa mendengus, dan mengambil gelas itu. Kali ini, seteguk air dingin membantu meredakan amarahnya, meski dalam hati dia masih menggerutu.
Hening sejenak, mereka saling diam dan kembali fokus menyantap makanan sambil mencuri pandang satu sama lain. Rayyan memandang Zalwa dengan niat menggoda, sementara Zalwa menatap Rayyan dengan sinis.
"Tapi nanti kamu harus menyukainya. Kamu kan mau jadi istriku," ujar Rayyan, berusaha mencairkan suasana.
"Diam! Kalau aku sampai tersedak lagi, air ini akan mendarat ke mukamu!" ancam Zalwa, merasa ingin menelan hidup-hidup pria di hadapnya yang terus menerus membuatnya kesal.
"Astagfirullah... Kapan kau halal kan kami, Ya Allah... Tolong aku dari kemarahan wanita ini..." Rayyan berdoa dalam hati, sambil menatap Zalwa dengan penuh rasa sayang meski hatinya masih berdebar karena amarahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
muna aprilia
lanjut
2025-01-18
0
💞 RAP💞
Mampir thor can
2023-04-04
0