Ternoda

Jubah hitam dan khimar itu kini berserak di lantai, bersama kaus kaki yang entah terlempar ke mana. Di sekeliling mereka, pakaian yang terlepas menciptakan jejak kelalaian, berbaur dengan gamis yang tergulung tak jauh dari tubuh yang kini tak lagi terjaga.

Zalwa terbaring di bawah kekasihnya, tubuhnya diguncang oleh sensasi yang melampaui kendali. Erangan halus mengiringi tetesan air mata yang perlahan jatuh dari sudut matanya.

Di sanalah, cinta yang ia kira suci melebur bersama rasa sakit, perih, dan sesal. Semua terjalin dalam satu tarikan napas panjang, seakan menghapuskan akal sehat mereka. Larangan yang pernah mereka hafal dari kitab suci terbang melayang, dilenyapkan oleh hasrat yang tak tertahankan.

Mahkota kehormatan yang selama ini Zalwa jaga dengan penuh ketulusan kini lenyap, diambil oleh tangan yang seharusnya melindunginya. Janji yang dulu diucapkan untuk menjaga dan memuliakan, kini terpecah menjadi serpihan kenangan pahit, sebelum ikatan suci terjalin.

Sesaat kepuasan itu menyelimuti mereka, namun di balik kenikmatan sesaat, bayang-bayang penyesalan mulai merayap. Ketika semuanya selesai, rasa perih yang sebenarnya baru saja dimulai.

Rayyan mengangkat tubuhnya, meninggalkan Zalwa yang masih terkulai lemah di atas permadani. Tanpa sehelai kain menempel di tubuhnya, ia melangkah ke sofa. Lelah membungkus dirinya, kantuk segera menyerang, dan dalam hitungan detik, matanya terpejam, meninggalkan gadis itu sendirian, dengan sisa-sisa hujan yang masih merintik di luar jendela.

Beberapa saat berlalu dalam keheningan.

Rintihan tangis tiba tiba terdengar sumbang ditelinga Rayyan yang tertidur pulas. Dia mengerjapkan mata berusaha menyadari apa yang telah terjadi di sekelilingnya.

Ketika netranya mulai melebar, dia melihat gadis itu tengah membelakanginya, bersandar di bawah sofa sambil memeluk lutut dan sesekali mengusap kasar wajahnya sambil terisak isak.

Rayyan terbangun dengan kening berkerut. Telinganya menangkap suara isak tangis yang menyayat, namun pikirannya masih samar. Perlahan, ia mulai menyadari keadaannya. Ketika matanya terbuka sepenuhnya, ia terkesiap. Tubuhnya, telanjang bulat, terbuka tanpa sehelai kain.

"Astagfirullah..." bisiknya, cepat-cepat meraih pakaian yang berserakan di lantai, mengenakannya dengan tangan gemetar. Jantungnya berdetak keras saat ia mulai memahami apa yang telah terjadi. Sambil menampar pipinya pelan, ia berharap bahwa semuanya hanyalah mimpi. Sebuah mimpi buruk yang bisa ia buang saat terjaga. Namun, suara tangisan itu, tangisan Zalwa, membawanya kembali pada kenyataan pahit.

Ini bukan mimpi. Kenikmatan yang ia rasakan sebelumnya nyata. Ia benar-benar telah melakukannya. Ia telah menodai Zalwa.

Rayyan menutup mulutnya, tubuhnya gemetar dalam kesakitan yang tak terlukiskan. Ia meremas dadanya yang terasa sesak, seolah udara telah menghilang dari ruangan. Sungguh, kenyataan ini begitu menghancurkan.

"Selamat, Rayyan..." Suara Zalwa terdengar lirih, namun sangat dalam, membawa kepedihan yang tak terhingga.

Rayyan menoleh, melihat gadis itu duduk meringkuk di lantai, memeluk lututnya. Wajahnya dipenuhi air mata, namun ada kekuatan dalam ucapannya. "Selamat, kamu berhasil menaklukanku," ucapnya getir, matanya yang indah kini terhanyut dalam duka.

"Selamat, kamu telah merampas izzahku...

" Zalwa mendongak, menatap Rayyan dengan sorot mata yang menusuk,

"Mutiara itu sudah hilang. Jatuh ke dalam lumpur yang menjijikkan."

Kata-katanya terdengar tegar, meski ia menangis.

"Tidak ada yang akan memungutnya lagi, meski mutiara itu berharga, karena yang berharga tidak akan pernah jatuh di tempat yang tak semestinya."

" Tangisnya kembali pecah, mengguncang batin Rayyan. Isakannya menyayat hati, terlebih ketika teriakan histeris menyertai, memecah kesunyian malam. Rayyan tak mampu menahan diri, air matanya pun mulai jatuh. Tubuhnya gemetar bersama rasa bersalah yang tak tertahankan.

"Aku terbangun dan menyadari... siapa aku... dan apa yang telah kulakukan?" Suara Zalwa begitu lemah, penuh dengan kepiluan yang membuat hatinya hancur.

"Semuanya telah berakhir. Aku... hancur," isaknya, tubuhnya terisak dalam ratapan yang mengguncang jiwa.

Rayyan tak kuasa menahan diri lagi. Ia jatuh berlutut di samping Zalwa, air matanya bercucuran, menatap gadis yang kini terjebak dalam rasa kehilangan yang dalam.

"Maafkan aku..." lirihnya, tangannya gemetar saat mencoba menggapai, namun tak berani menyentuh.

"Aku... benar-benar tidak sadar... Aku khilaf... Maafkan aku... Demi Allah, aku tidak bermaksud melakukannya..."

Namun Zalwa tetap diam, hanya isakan tangis yang menjawabnya. Rayyan mengangkat wajah, menatap Zalwa dengan segenggam harapan.

"Zalwa... Aku tahu kamu marah... tapi aku berjanji, aku akan bertanggung jawab atas semua ini."

Zalwa perlahan menoleh, matanya yang sembab menatap Rayyan tajam. Senyum pahit terbentuk di bibirnya.

"Ini bukan hanya tentang tanggung jawab, Rayyan. Ini tentang kehormatan dan harga diri. Apa kamu tidak malu?" suaranya terdengar pilu, penuh luka.

"Aku sudah berulang kali memperingatkanmu untuk menjauhiku kenapa kamu keras kepala sekali?  Kamu pikir aku bisa menahanmu seperti malaikat yang tak akan pernah terfitnah?" cecarnya, membuat Rayyan hanya bisa tertunduk meratapi kesalahan. Suara Zalwa meninggi, menusuk Rayyan hingga ia hanya bisa menunduk dalam rasa bersalah.

"Kenapa kamu egois? Aku bilang aku belum ingin menikah, tapi kenapa kamu selalu datang kepadaku lagi dan lagi? kamu pikir kamu itu siapa Rayyan! Hanya karena kamu tampan, kaya, dan anak seorang ulama. Kamu terlalu percaya diri dengan apa yang kamu miliki? Keimananmu? Hafalanmu? nyatanya tidak bisa mencegahmu untuk melalukan hal yang sangat menjijikan!"

Kata-kata itu menghujam tajam ke dada Rayyan. Air matanya mengalir tanpa henti, meski ia mencoba menahannya. Tangisnya pecah, tubuhnya bergetar bersama rasa sesal yang tak terkira.

Zalwa pun kembali tersedu, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, mengerang dalam kepedihan yang tak tertahankan.

"Kenapa harus aku, ya Allah... Kenapa harus aku..." Tangisnya merintih dalam keheningan malam yang hanya diiringi oleh sisa rintik hujan.

"Pergilah, Rayyan..." desis Zalwa lemah.

Rayyan menggeleng, memohon.

"Tolong... dengarkan aku dulu..."

"Pergi!" Suara Zalwa meninggi, penuh kemarahan.

"Kita bisa bicarakan ini baik-baik—"

"Pergi, aku bilang!" Teriaknya, suaranya menggema, menghancurkan sisa-sisa harapan Rayyan.

Dengan hati yang hancur, Rayyan perlahan bangkit. Langkahnya gontai, penuh rasa sesal yang menyesakkan dada. Di ujung ruangan, ia berhenti, menoleh sekali lagi ke arah Zalwa yang masih terisak di lantai, memukul tubuhnya dengan tangannya sendiri.

Rasa bersalah yang begitu besar menyelimuti Rayyan, menyesakkan dadanya. Dalam hatinya, ia hanya bisa merutuki kebodohan dan kelemahannya yang telah diperdaya oleh nafsu.

..."Aku tidak akan pernah tenang sampai kau memaafkanku Zalwa... Aku akan melakukan apapun meski kau meminta nyawaku sebagai tebusannya, akanku berikan, tetapi maafkan aku yang bodoh dan keras kepala ini!"...

..."Aku sangat mencintaimu... Ya Allah ampuni aku dan Sayangilah Zalwa. Dia tidak bersalah, jika kau mau menghukum maka hukum saja aku jangan kekasihku, dia wanita baik yang telah aku rusak kehormatanya. Ampuni kami...

...Ya Rabb."...

Dengan langkah berat dan beban yang mencekik hati, Rayyan melangkah pergi. Tangannya gemetar saat menggenggam kemudi mobil, melaju tanpa arah pasti, hanya menuju satu tempat di mana ia berharap menemukan kedamaian—sebuah masjid. Di sana, ia akan bersuci, berharap sholat Ashar yang tertunda bisa menjadi awal pengampunan atas dosa yang kini menyesakkan dadanya.

Zalwa, di sisi lain, masih tergugu dalam kesendirian. Air mata yang mengalir seolah tak akan pernah habis, membasahi wajahnya yang jelita namun kini dipenuhi kepedihan. Kehormatannya yang hilang tersapu oleh kenikmatan sesaat, meninggalkan jejak luka yang tak terperi.

Namun Zalwa tahu, ia harus kuat. Dengan gemetar, ia menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya. Dia tahu ayahnya pasti sudah khawatir menunggu kepulangannya. Gadis itu menguatkan diri, menelan kesedihan dalam-dalam dan merapikan diri, sembari menyiapkan senyum palsu yang harus ia kenakan.

Tak boleh ada yang tahu apa yang telah terjadi. Tak boleh ada yang melihat betapa hancurnya dia di dalam. Segala perih ini harus disembunyikan, terkubur di balik wajah tenangnya, seolah semuanya baik-baik saja, meskipun jiwanya tengah runtuh perlahan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!