Mobil Mercedes berwarna hitam itu melaju dengan tenang, lalu berhenti di depan sebuah gerai muslimah. Seorang pemuda melangkah keluar, membawa paperbag di tangan sambil mengenakan kacamata berlensa abu-abu yang tersemat di hidungnya. Dengan semangat, ia memasuki gerai tersebut, siap menemui kekasihnya.
Rayyan merasa lega melihat suasana di dalam gerai yang cukup sepi, hanya ada tiga atau empat pelanggan yang sedang memilih-milih barang. Kesempatan seperti ini jarang ia dapatkan, dan ia ingin memanfaatkannya sebaik mungkin. Kekasihnya adalah sosok perempuan yang cuek dan dingin, dengan pendirian yang kuat. Ia tak ragu mempertahankan pendapatnya meski banyak orang yang berusaha membujuknya.
Mata Rayyan melirik setiap sudut gerai, mencari sosok yang ia rindukan. Senyumnya mengembang saat melihat seorang gadis yang sedang menggantungkan beberapa helai gamis dan abaya terbaru. Dengan penuh percaya diri, ia segera mendekatinya, bersemangat untuk berbincang.
"Assalamualaikum.. Hai!" sapanya.
"Waalaikumsalam!" Sahutnya ketus tanpa menoleh ke memandangnya.
"Lagi sepi, ya?" tanyanya dengan nada lembut, sedikit meledek.
"Sudah ramai sejak pagi, sebentar lagi tutup!" jawab Zalwa cepat, nada suaranya tegas.
"Aku tanya baik-baik loh, kok ketus gitu jawabnya?" Rayyan menatapnya, mencoba mengingatkan dengan penuh perhatian.
Zalwa menoleh, wajahnya sinis, suaranya menantang. "Kenapa? Gak suka? Ya sudah, tinggalin saja aku!"
"Apaan sih? Dikit-dikit tinggalin, dikit-dikit tinggalin... Lagi lapar kamu? Nih, aku bawa daging burung goreng kesukaanmu, plus nasi ada sambal lalabnya juga. Makanlah dulu, biar nggak marah-marah terus," Rayyan menyodorkan paperbag yang dibawanya.
"Makasih!" Zalwa meraih bingkisan itu dengan kasar dan melangkah ke depan. Rayyan menghela napas, merasa jengah melihat tingkah kekasihnya yang masih merajuk karena kesalahpahaman.
"Sayang..." bujuknya, mengikuti langkah Zalwa.
"Masih ada orang di sini, jangan panggil sayang!" Zalwa mendecit, menyimpan paperbag berisi makanan itu di atas nakas dekat meja kasir.
"Kenapa? Mereka kan nggak kenal kita?" Rayyan protes, bingung.
Zalwa hanya menatapnya sinis, membuat Rayyan enggan untuk meladeni lagi. Dia terlihat pasrah, sementara Zalwa pura-pura tidak peduli.
"Kak, tolong bungkusin ini, ya?" pinta seorang perempuan muda, menyerahkan beberapa helai gamis ke meja kasir.
"Baik..." sahut Zalwa, seketika wajahnya berubah manis dan ramah.
Menyaksikan perlakuan Zalwa yang tak mengenakkan, Rayyan memilih untuk menjauh sejenak. Dia berkeliling melihat baju muslim ikhwan yang baru, sambil mencuri pandang pada gadis yang tengah sibuk melayani pembeli.
Berikut adalah versi yang lebih enak dibaca dari adegan dan dialog yang kamu berikan:
---
"MasyaAllah, gerainya makin lengkap, ya, Ukh? Ada buku-buku agama juga yang bisa dibeli dan dibaca gratis!" puji seorang wanita berhijab dan bercadar. Dia adalah salah satu dari banyak muslimah yang sudah berlangganan di gerai Zalwa, yang telah berdiri selama lima tahun sejak dia masih menempuh pendidikan menengah atas.
"Alhamdulillah, semua ini karena karunia Allah," sahut Zalwa sambil melemparkan senyum seramah mungkin.
"Iya, Ukh. Tolong hitung ini, ya?" Wanita bercadar itu menyerahkan beberapa abaya dan khimar yang telah dipilihnya kepada Zalwa.
"Jadi betah deh lama-lama di sini. Makin lengkap, makin cakep, dan furnitur serta hiasannya juga unik-unik, memanjakan mata," puji wanita itu sambil memutari setiap objek di sekitarnya.
"Yasudah, di sini saja dulu, Ukh. Toh, masih siang," tawar Zalwa sambil menghitung dan membungkus gamis pelanggannya.
"Pengennya sih gitu, tapi sekarang ada kepentingan," jawab wanita itu sambil tertawa kecil.
"Jadi total semuanya satu juta delapan ratus delapan puluh sembilan ribu rupiah, ya, Ukh?" Zalwa mengonfirmasi.
"Seperti biasa, ya, pakai kartu," kata wanita itu sambil menyerahkan kartu debitnya. Zalwa mengangguk, tetap tersenyum ramah dan menanggapi pelanggannya dengan santun.
"Eh, ngomong-ngomong, kenapa nggak merekrut karyawan saja, Ukhti? Memangnya nggak capek ngelola bisnis sendirian? Pelanggan dari tahun ke tahun makin ramai, loh!" saran wanita itu.
"Iya, Ukh. Itu juga yang sedang direncanakan," jawab Zalwa dengan antusias.
"Nah, itu bagus! Jadi nggak sukses sendirian, ehehe..." wanita itu menjentikkan kedua jempolnya. Zalwa spontan tertawa melihat tingkah pelanggannya yang selalu ceria.
Rayyan, yang sedang memilah jubah ikhwan, mengintip apa yang dilakukan Zalwa bersama pelanggannya hingga suara tawanya sampai ke telinganya.
"Ehehe... Bisa saja, Ukhti!"
"Ini, Ukh. Terima kasih sudah berlangganan di Gerai Muslimah Zalwa. Semoga bermanfaat ya, Ukh," ucap Zalwa sambil menyerahkan paperbag berwarna pink dan ungu, lalu menangkupkan kedua tangannya ke dada.
"Terima kasih kembali. Ana permisi dulu, ya, Ukh. Semoga bisnisnya berkah, laris manis, dan makin maju. Aamiin."
"Allahumma Aamiin..."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," balas Zalwa dengan senyum yang tak lepas hingga pelanggan terakhir benar-benar keluar dari gerainya.
'Closed'
Zalwa membalikkan sign board yang tergantung di pintu kaca gerainya, menandakan bahwa mereka sudah tutup. Setelah itu, dia merapikan beberapa baju yang tidak jadi dibeli pelanggan, menumpuk di samping meja kasir.
Setelah memastikan bahwa mereka hanya berdua di dalam gerai yang sepi, Rayyan mulai menghampiri Zalwa.
"Ngomong-ngomong, kita cuma berdua, loh!" ucapnya dengan nada menggoda. Suasana menjadi sedikit menegangkan, terutama karena mereka berdua sadar bahwa ini bukan situasi yang biasa, apalagi mereka bukan suami istri.
Zalwa meliriknya, wajahnya tetap datar. "Memangnya kita mau ngapain?" sahutnya.
"Emm..." Rayyan mengulum senyum nakal. "Makan. Makan kamu, ehehe..." sambungnya sambil tertawa.
"Ck. Menurutmu itu lucu?" Zalwa mendecak kesal. Rayyan langsung mengubah ekspresinya menjadi serius, bingung dengan perubahan sikap gadisnya yang terlihat berbeda sejak kemarin.
"Kamu kenapa sih? Marah-marah terus. Masih cemburu soal kemarin?" tanyanya, penuh kepedulian.
Zalwa tidak menjawab. Setelah selesai berbenah, dia mengambil paperbag dari Rayyan dan kotak bekalnya sendiri, lalu keluar dari belakang meja kasir. Dengan lincah, dia memberikan kotak bekal itu pada Rayyan. Kebiasaan mereka memang sering bertukar makanan.
"Udahlah, ini bekalku. Ayo makan!" ajaknya, berusaha ceria.
Rayyan menerima kotak bekal itu dengan malas, masih memperhatikan wajah cantik kekasihnya yang cemberut.
Mereka kini duduk berhadapan, membuka makan siang masing-masing. Kursi dan meja yang mereka duduki merupakan fasilitas untuk pelanggan yang ingin membaca buku. Dari tempat itu, mereka bisa melihat keadaan di luar hanya dengan menoleh sedikit, karena hampir 50 persen gerai Zalwa terbuat dari kaca.
Zalwa mulai menyantap menu yang dibelikan Rayyan. Meskipun itu adalah makanan kesukaannya, wajahnya tidak menunjukkan kegembiraan. Dia terus menunduk, melahap makannya tanpa sekalipun mendongak ke arah Rayyan.
"Enak?" tanya Rayyan, melihat gadis itu tenggelam dalam makanan.
"Hmm..." jawab Zalwa singkat.
Rayyan menghela napas, cepat menelan kunyahannya sebelum meminum air dari botol kemasan. Dia tahu pacarnya ini masih terbawa perasaan karena masalah kemarin. Berulang kali, dia harus menjelaskan bahwa semua yang dipikirkan Zalwa adalah salah.
"Kamu masih ngambek soal Sarah? Sudah berapa kali aku jelasin? Dia sepupuku, tinggal serumah denganku sejak kecil. Kami sering bermain bersama, bahkan mandi bersama. Aku menganggapnya seperti adik kandungku sendiri!" jelasnya, meski sebenarnya malas harus mengulang penjelasan yang sama.
"Tetap saja, sepupu itu bukan mahram. Kamu bisa saja menikah dengannya," ujar Zalwa, membuat Rayyan mengusap kasar rambutnya ke belakang.
"Hsss... Astagfirullah, Zalwa! Yang benar saja! Aku sama sekali tidak berhasrat padanya. Mana mungkin aku menikahi anak gadis pamanku? Keluargaku juga pasti tidak akan setuju!" terangnya, menekankan setiap kata.
"Lalu, Shofia?" tanya Zalwa, membuat Rayyan terdiam dan menghembuskan napas kasar. Gadisnya ini benar-benar menguji kesabaran dan emosinya. Kenapa dia harus membahas seseorang yang sudah tiada?
"Dia sudah mati! Itu bukan salahku. Ayolah, aku tidak menginginkan gadis lain. Aku menunggumu sampai kamu siap, entah sampai kapan," suara Rayyan terdengar frustasi di akhir kalimatnya.
"Makanya terima lamaran ku. Biar kamu percaya kalau aku serius mau bahagiakan kamu dunia akhirat. Gak ada yang perlu kamu ragukan lagi. Aku janji akan selalu sayang sama kami dan memberikan semua yang aku punya. Apa sih yang kamu takutkan, Hmm? Aku ganteng, kaya raya, berpendidikan, dan suka olahraga. Bukan tipe laki-laki pemalas. Kamu bisa lihat sendiri, hidupku padat dengan segala aktivitas, dan yang terpenting, kamu itu seperti sudah menjadi bagian dari hidupku yang tak bisa aku lepaskan," ujarnya dengan lembut.
Mendengar pengakuan Rayyan yang terdengar tulus, Zalwa merasakan debaran indah di hatinya. Namun, mempercayakan perasaannya begitu saja tidaklah mudah, terutama pada seseorang yang masih dianggapnya orang asing.
"Sudahlah, nanti lagi kita bahas. Ayo makan!" Zalwa mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Kamu terus saja begini. Setiap kali aku membahas lamaran dan pernikahan, pasti menghindar. Tapi kamu cemburuan tidak jelas. Kamu membingungkan, tahu, Zal," keluh Rayyan.
Zalwa memilih diam, tak merespon. Seolah tak mendengar, dia melanjutkan santapannya sambil melihat ke arah luar. Jalan raya di depan gerai tidak pernah sepi dari lalu-lalang kendaraan, sementara langit mulai diselimuti awan gelap. Dia merasa khawatir jika hujan tiba-tiba turun, dan dia harus pulang dalam keadaan basah.
"Aku beli daging burung puyuh di tempat lain, lho. Beneran enak?" Pertanyaan Rayyan tiba-tiba mengalihkan perhatian Zalwa. Dia berusaha mencairkan suasana meski sedikit jengkel dengan sikap Zalwa yang seakan tidak peduli.
"Iya..." jawab Zalwa, mengangguk pelan.
"Baguslah. Tapi nanti kamu harus coba daging burung yang lain, ya."
"Burung apa?" Zalwa bertanya penasaran.
Sembari mengunyah, Rayyan memberikan senyum nakal, memandangi Zalwa yang sibuk mengaduk-aduk makanannya.
"Hmm... Burungku," celetuknya.
"Ohh... Jadi sekarang kamu buka bisnis peternakan burung atau rumah makan dengan menu daging burung?" Zalwa menebak, setengah menggoda.
Rayyan terkekeh, menggelengkan kepala. "Gak ada, Zal. Burungku ini cuma satu, gak bisa terbang, cuma bisa berdiri saja, dan yang pasti bisa bikin kamu ke-enakan."
Zalwa yang kebetulan sedang minum tersedak mendengar perkataan Rayyan. "Hmph! Uhuk uhuk!"
"Eh, sayang, kamu kenapa?" Raut wajah Rayyan berubah cemas. Zalwa segera mengusap mulutnya dengan tisu, berusaha bernapas lega, tetapi matanya kini menyipit tajam menatap Rayyan yang bersikap kurang ajar.
"Maksudmu apa? Hah! Kamu mulai berani berkata mesum gitu ke aku?" bentaknya.
"Gak, sayang! Aku cuma bercanda," Rayyan berkilah.
"Bercanda kamu bilang?" Zalwa semakin emosional.
"Bukan begitu maksudku, sayang, tapi memangnya kamu ngerti?" Rayyan mencoba menjelaskan.
"Apa?!" Gadis itu bangkit dari duduknya.
"Kamu pikir aku gak ngerti? Kamu pikir aku perempuan polos yang gak tahu apa-apa soal itu? Hah!" pekiknya kesal. Rayyan tidak mengerti sepolos apa dia menganggap Zalwa sehingga melontarkan pertanyaan konyol seperti itu.
"Iy-Iya, maaf. Aku salah... Aku salah lagi. Jangan marah, yuk duduk lagi," Rayyan panik. Raut wajah tampannya melunak, melihat Zalwa yang cantik tetapi marah.
Zalwa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dan kembali duduk seperti yang diinginkan Rayyan. Dia meraih gelas untuk meredakan panas yang menjalar di hatinya. Namun, saat ingin meminum, dia sadar air dalam gelasnya sudah habis.
Rayyan, dengan penuh kepekaan, segera mengisi air kemasannya ke gelas Zalwa. Gadis itu pun meminumnya, merasa sedikit lebih baik.
Hening sejenak, mereka saling diam dan kembali fokus menyantap makanan sambil mencuri pandang satu sama lain. Rayyan memandang Zalwa dengan niat menggoda, sementara Zalwa menatap Rayyan dengan sinis.
"Tapi nanti kamu harus menyukainya. Kamu kan mau jadi istriku," ujar Rayyan, berusaha mencairkan suasana.
"Diam! Kalau aku sampai tersedak lagi, air ini akan mendarat ke mukamu!" ancam Zalwa, merasa ingin menelan hidup-hidup pria di hadapnya yang terus menerus membuatnya kesal.
"Astagfirullah... Kapan kau halal kan kami, Ya Allah... Tolong aku dari kemarahan wanita ini..." Rayyan berdoa dalam hati, sambil menatap Zalwa dengan penuh rasa sayang meski hatinya masih berdebar karena amarahnya.
'Jeddar'
Gemuruh petir menggema di langit, memekakkan telinga siapa pun yang mendengarnya. Dua sejoli yang tengah menikmati santapan tiba-tiba melompat kaget, jantung mereka berdegup seakan ingin melompat dari tempatnya. Zalwa, yang sejak kecil sangat takut pada suara ledakan dan petir, spontan menutup telinganya dengan kedua tangan, teriakan ketakutannya meluncur.
"Ahh! Astagfirullah!"
Rayyan menoleh ke arah luar, dan matanya menangkap awan gelap yang menggantung rendah di langit, angin kencang menggoyang pepohonan di tepi jalan. Sepertinya hujan deras akan segera turun.
Dengan sigap, lelaki jangkung itu bangkit. Ia memastikan pintu terkunci rapat, kemudian menguraikan gorden untuk menutup tembok kaca gerai tempat mereka berada.
"Sebentar lagi sepertinya hujan, aku harus cepat pulang sebelum kehujanan di jalan," ujar Zalwa saat Rayyan kembali duduk di depannya.
"Iya, habisin dulu makanannya. Sayang, itu tinggal sedikit lagi. Lagipula, cuma hujan air. Kita terjang saja, tidak masalah," sahut Rayyan dengan nada santai, seakan tidak peduli dengan ancaman hujan.
Zalwa memicingkan matanya, geram. "Itu karena kamu naik mobil! Sedangkan aku naik motor. Aku bisa basah kuyup dan masuk angin!" jawabnya ketus, jelas tidak suka dengan ide yang diusulkan Rayyan.
"Yasudah, aku antar," Rayyan menjawab, mengulurkan tangan seolah menawarkan jalan keluar.
"Terus motornya ditinggal gitu? Kalau ada yang mencuri, bagaimana?" Zalwa mempertanyakan dengan nada skeptis.
"Aku bertanggung jawab. Lagian, motor jelek begitu, mana ada yang mau nyolong?" Rayyan menimpali dengan percaya diri.
"Ihh sombong banget!" balas Zalwa, bibirnya mengerucut.
"Biarin!" jawab Rayyan, mata nakalnya berkilau.
Di tengah perdebatan kecil itu, derasnya hujan yang akan segera datang tampak tak mampu merusak suasana hangat di antara mereka. Canda dan tawa kecil pun seolah mengalahkan kegelisahan yang dibawa awan kelabu di luar sana.
...---Ma'had Baitur Ilmi Boarding school--...
Gelombang awan hitam juga menyelimuti langit pondok pesantren termewah dan termegah di Asia Tenggara tersebut. Angin bertiup kencang ke segala arah, dari kejauhan nampak beberapa pemuda lekas memasuki ruangan asrama dengan terburu buru.
Di dalam Ma'had atau ponpes tersebut terdapat rumah megah kediaman pemimpin Ma'had yang sudah sepuh, beliau dan semua anggota keluarganya yang tidak sedikit itu hidup dilingkungan yang kental beragama, tentu saja karena mereka hidup berdampingan di lingkungan pesantren puluhan tahun yang lalu. Kediaman itu adalah kediaman Baitur Rashad yang berarti Rumah Rashad. Rumah besar nan mewah itu di dirikan bersamaan dengan Ma'had Baitul Ilmi oleh kakek buyut sang pemimpin, lalu diwarisi turun temurun hingga sekarang.
Gema petir makin bersahutan. Suasana semakin gelao dan mencekam. Sementara itu, pria muda berjubah biru gelap sedang berjalan sambil membaca buku di lantai atas Baitur Rashad, seketika pandangannya teralihkan kala melihat wanita berhijab serba hitam tengah menyadarkan bahunya di pilar balkon dan diapun memghampirinya.
"Ummi? Ummi ngapain disini?" tanyanya. Pemuda itu terheran mengapa umminya itu seolah tidak takut dengan angin kencang dan suara petir yang beberapa kali menggelarkan gemanya. Padahal biasanya ummi paling cerewet menyuruh anak anaknya masuk rumah jika langit sudah mulai mendung.
"Perasaan Ummi tiba tiba tidak enak, Ummi sangat gelisah," sahut wanita paruh baya tersebut.
"Ummi memikirkan Rayyan?"
Wanita bernama Halimah itu mengangguk lemah, dari wajahnya tersirat kerinduan sekaligus kecemasan pada putra bungsunya.
"Tentu saja, tiada hari tanpa memikirkanya. Kemana perginya dia? Kenapa selama ini dia meninggalkan kita, Farhan? Meninggalkan Ma'had. Apa Rayyan tidak rindu dengan ummi Abba dan teman temanya disini?" tutur Halimah suaranya lemah mendayu.
Mendengar keresahan sang Ummi, Farhan mengusap lembut bahu ummi_nya
"Ummi jangan khawatir, Rayyan sudah dewasa, dia pasti akan pulang jika dia memang ingin pulang" ujar Farhan.
"Atau dia masih marah karena kejadian hari itu, aku menuduh dan menyerangnya atas kematian Shofia. Maafkan Farhan Ummi," sambungnya. Ummi Halimah menatap mata putra sulungnya lalu tersenyum sendu.
"Mungkin, Nak. atau ada sesuatu hal lain, Ummi Hanya takut sesuatu yang buruk menimpa Rayyan di luar sana." tukasnya.
"Kita doakan semoga Rayyan baik baik saja, Ummi. meski sejak kecil aku dan Rayyan tak pernah akur bahkan seperti musuh bebuyutan, tetapi tetap saja dia itu adikku. Aku ikut bertanggung jawab mendidik dan melindunginya." Farhan berkata lembut, menciptakan seulas senyum di bibir sang Ummi.
"Ummi bangga padamu, semoga suatu hari Rayyan sadar kalau kau juga menyayanginya. Kalian berdua adalah kebanggan Ummi," ungkap ummi Halimah seraya mengelus lembut rahang putranya.
"Iya Ummi..." Farhan mengangguk. Dia lalu melingkarkan tangan ke pinggang umminya untuk menuntunnya masuk ke rumah, sebab gerimis sudah merintik deras, tak lama kemudian hujan pun turun dengan lebat, disertai angin kencang yang menghuyungkan pokok pepohonan ke segala arah.
...--'Gerai Zalwa'--...
Rupanya Rayyan di sana tengah berdiri, sementara sebelah tangannya menyingkap kain gorden demi menyaksikan suasana yang terjadi di luar dari balik tembok kaca. Lama dia berdiri hingga beberapa kali ia menyugar rambutnya ke belakang.
Dingin dan gelap, itu yang dirasakannya. Dia jadi berpikir andai bisa memeluk seseorang yang dicintai di saat seperti ini, pasti itu sangat indah dan menyenangkan.
Dia memutar tubuhnya kebelakang, matanya langsung tertuju pada sosok yang berdiri menyamping di antara barisan buku buku, rupanya sejak tadi gadisnya sedang asyik membaca.
Entah bagaimana Rayyan merasa ada sesuatu yang menariknya untuk mendekati sang gadis. Padahal dia tahu dia sudah di peringatkan untuk tidak terlalu dekat dengannya sebab mereka berada di ruangan tertutup dan hanya mereka berdua. Ketika sebelumnya Zalwa menuruti kemauan Rayyan untuk tidak pulang menggunakan motor, dia juga tidak mau di antar Rayyan menggunakan mobil karena takut kepergok sang ayah. Jadi mau tidak mau Zalwa terpaksa terkurung berdua sampai hujan mereda.
Langkah Rayyan semakin mendekat. Angin yang berhembus kencang yang memasuki ruangan itu menerpa tubuh pemuda jakung itu, angin pula mengibarkan khimar Zalwa yang menjuntai, membuatnya tersibak indah.
''jedder!"'
Tiba tiba petir yang sangat keras berdentum kencang, spontan Zalwa terkejut dan berteriak keras hingga menjatuhkan bukunya dan tanpa sengaja berlari memeluk Rayyan yang sudah berada dekat di sampingnya.
Pemuda itu pun reflek menangkap tubuh kekasih yang bergetar ketakutan dengan membiarkan wajah cantik itu menelusup di dada bidangnya.
"Aku takut, aku takut!" Zalwa memeluk erat punggung Rayyan, membuat jantung pemuda itu berdebar hebat. Sementara Zalwa sendiri sudah menitikan air mata karena rasa takutnya yang setengah mati karena petir terus berdentum, bahkan dia merasakan lantainya seolah ikut bergetar saking dahsyatnya gema yang di pantulkan.
"Gak apa apa, aku disini." Rayyan berusaha menenangkan kekasihnya dengan suara yang pelan dan memberat. Namun Zalwa terus mengeratkan pelukannya pada tubuh Rayyan yang membuat darah lelaki tampan itu mendesir.
"Zalwa...." Suara Rayyan melirih berat, dia menarik wajah Zalwa dari dadanya hingga mata mereka saling bertemu dan bertatapan.
Lagi lagi angin berhembus dan udara dingin menelisik bulu kuduk keduanya. Zalwa menatap Rayyan, dia merasa seolah terhipnotis pada tatapan mata elangnya,terlebih rambut yang menjuntai di dahinya melambai-lambai tertiup angin menambah pesona dari kegagahannya.
Rayyan sudah dikuasai cinta dan nafsu melihat wajah kekasihnya sedekat itu, Wajah rembulan dsn kecantikan yang disuguhkan di depan matanya benar benar menguji keimanan. Mata hijau Zalwa yang agak sayu membuat seksualitasnya menambah.
Akhirnya disadari atau tidak, Rayyan semakin mendekatkan wajahnya pada wajah kekasihnya. Zalwa mematung menatap wajah tampan itu semakin mendekat dan dia justru menutup matanya dengan napas yang terengah karena sensasi aneh yang menjalar di sekujur badannya.
Rayyan sudah tak sanggup untuk menahan hasratnya, apalagi kini Zalwa seolah memberi sinyal untuk segera memberinya sentuhan. Rayyan pun dengan lebih berani mendekatkan tatapannya, dan tanpa halauan dia memangut bibir delima Zalwa dengan lembut, gadis itu pun tak menolak malah ciuman itu di balasnya dengan gugup. Jantung mereka berpacu lebih cepat bersamaan sensasi tak biasa yang menyerang mereka bertubi tubi. Nikmat.
Rayyan semakin panas mencumbu bibir kekasihnya, dia mengeratkan pelukan ke pinggang ramping sang gadis yang kini darahnya sedang mendesir tak karuan.
Seolah pasrah dengan kenikmatan yang menerpa, gadis itu membiarkan sang pemuda melucuti hijabnya sambil terus mencumbunya tanpa henti, suara erangan kecil terdengar dari bibir ranumnya seakan mendamba lebih.
Matanya sayu dan lemah, dia benar benar bersedia memasrahkan tubuhnya di jamah oleh Rayyan yang belum sah menyentuh kehormatannya. Tetapi apa boleh dikata, jika setan sudah berhasil menggoda dan kenikmatan bercinta sudah membelenggu, tak perduli benar atau salah, pikiran hanya akan fokus pada satu tujuan, yaitu pelepasan.
...[••••]...
Bersambung....
Jubah hitam dan khimar yang tadinya membalut tubuh anggun itu kini berserak di lantai, bersama kaus kaki yang entah terlempar ke mana. Di sekeliling mereka, pakaian yang terlepas menciptakan jejak kelalaian, berbaur dengan gamis yang tergulung tak jauh dari tubuh yang kini tak lagi terjaga.
Zalwa terbaring di bawah kekasihnya, tubuhnya diguncang oleh sensasi yang melampaui kendali. Erangan halus mengiringi tetesan air mata yang perlahan jatuh dari sudut matanya. Di sanalah, cinta yang ia kira suci melebur bersama rasa sakit, perih, dan sesal. Semua terjalin dalam satu tarikan napas panjang, seakan menghapuskan akal sehat mereka. Larangan yang pernah mereka hafal dari kitab suci terbang melayang, dilenyapkan oleh hasrat yang tak tertahankan.
Mahkota kehormatan yang selama ini Zalwa jaga dengan penuh ketulusan kini lenyap, diambil oleh tangan yang seharusnya melindunginya. Janji yang dulu diucapkan untuk menjaga dan memuliakan, kini terpecah menjadi serpihan kenangan pahit, sebelum ikatan suci terjalin.
Sesaat kepuasan itu menyelimuti mereka, namun di balik kenikmatan sesaat, bayang-bayang penyesalan mulai merayap. Ketika semuanya selesai, rasa perih yang sebenarnya baru saja dimulai.
Rayyan mengangkat tubuhnya, meninggalkan Zalwa yang masih terkulai lemah di atas permadani. Tanpa sehelai kain menempel di tubuhnya, ia melangkah ke sofa. Lelah membungkus dirinya, kantuk segera menyerang, dan dalam hitungan detik, matanya terpejam, meninggalkan gadis itu sendirian, dengan sisa-sisa hujan yang masih merintik di luar jendela.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan.
Rintihan tangis tiba tiba terdengar sumbang ditelinga Rayyan yang tertidur pulas. Dia mengerjapkan mata berusaha menyadari apa yang telah terjadi di sekelilingnya. Ketika netranya mulai melebar, dia melihat gadis itu tengah membelakanginya, bersandar di bawah sofa sambil memeluk lutut dan sesekali mengusap kasar wajahnya sambil terisak isak.
Rayyan terbangun dengan kening berkerut. Telinganya menangkap suara isak tangis yang menyayat, namun pikirannya masih samar. Perlahan, ia mulai menyadari keadaannya. Ketika matanya terbuka sepenuhnya, ia terkesiap. Tubuhnya, telanjang bulat, terbuka tanpa sehelai kain.
"Astagfirullah..." bisiknya, cepat-cepat meraih pakaian yang berserakan di lantai, mengenakannya dengan tangan gemetar. Jantungnya berdetak keras saat ia mulai memahami apa yang telah terjadi. Sambil menampar pipinya pelan, ia berharap bahwa semuanya hanyalah mimpi. Sebuah mimpi buruk yang bisa ia buang saat terjaga. Namun, suara tangisan itu—tangisan Zalwa—membawanya kembali pada kenyataan pahit. Ini bukan mimpi.
Kenikmatan yang ia rasakan sebelumnya nyata. Ia benar-benar telah melakukannya. Ia telah menyetubuhi Zalwa.
Rayyan menutup mulutnya, tubuhnya gemetar dalam kesakitan yang tak terlukiskan. Ia meremas dadanya yang terasa sesak, seolah udara telah menghilang dari ruangan. Sungguh, kenyataan ini begitu menghancurkan.
"Selamat, Rayyan..." Suara Zalwa terdengar lirih, namun sangat dalam, membawa kepedihan yang tak terhingga.
Rayyan menoleh, melihat gadis itu duduk meringkuk di lantai, memeluk lututnya. Wajahnya dipenuhi air mata, namun ada kekuatan dalam ucapannya. "Selamat, kamu berhasil menaklukanku," ucapnya getir, matanya yang indah kini terhanyut dalam duka.
"Selamat, kamu telah merampas izzahku...
" Zalwa mendongak, menatap Rayyan dengan sorot mata yang menusuk,
"Mutiara itu sudah hilang. Jatuh ke dalam lumpur yang menjijikkan."
Kata-katanya terdengar tegar, meski ia menangis.
"Tidak ada yang akan memungutnya lagi, meski mutiara itu berharga, karena yang berharga tidak akan pernah jatuh di tempat yang tak semestinya.
" Tangisnya kembali pecah, mengguncang batin Rayyan. Isakannya menyayat hati, terlebih ketika teriakan histeris menyertai, memecah kesunyian malam. Rayyan tak mampu menahan diri, air matanya pun mulai jatuh. Tubuhnya gemetar bersama rasa bersalah yang tak tertahankan.
"Aku terbangun dan menyadari... siapa aku... dan apa yang telah kulakukan?" Suara Zalwa begitu lemah, penuh dengan kepiluan yang membuat hatinya hancur.
"Semuanya telah berakhir. Aku... hancur," isaknya, tubuhnya terisak dalam ratapan yang mengguncang jiwa.
Rayyan tak kuasa menahan diri lagi. Ia jatuh berlutut di samping Zalwa, air matanya bercucuran, menatap gadis yang kini terjebak dalam rasa kehilangan yang dalam.
"Maafkan aku..." lirihnya, tangannya gemetar saat mencoba menggapai, namun tak berani menyentuh.
"Aku... benar-benar tidak sadar... Aku khilaf... Maafkan aku... Demi Allah, aku tidak bermaksud melakukannya..."
Namun Zalwa tetap diam, hanya isakan tangis yang menjawabnya. Rayyan mengangkat wajah, menatap Zalwa dengan segenggam harapan.
"Zalwa... Aku tahu kamu marah... tapi aku berjanji, aku akan bertanggung jawab atas semua ini."
Zalwa perlahan menoleh, matanya yang sembab menatap Rayyan tajam. Senyum pahit terbentuk di bibirnya. "Ini bukan hanya tentang tanggung jawab, Rayyan. Ini tentang kehormatan dan harga diri. Apa kamu tidak malu?" suaranya terdengar pilu, penuh luka.
"Aku sudah berulang kali memperingatkanmu untuk menjauhiku kenapa kamu keras kepala sekali? Kamu pikir aku bisa menahanmu seperti malaikat yang tak akan pernah terfitnah?" cecarnya, membuat Rayyan hanya bisa tertunduk meratapi kesalahan. Suara Zalwa meninggi, menusuk Rayyan hingga ia hanya bisa menunduk dalam rasa bersalah.
"Kenapa kamu egois? Aku bilang aku belum ingin menikah, tapi kenapa kamu selalu datang kepadaku lagi dan lagi? kamu pikir kamu itu siapa Rayyan! Hanya karena kamu tampan, kaya, dan anak seorang ulama. Kamu terlalu percaya diri dengan apa yang kamu miliki? Keimananmu? Hafalanmu? nyatanya tidak bisa mencegahmu untuk melalukan hal yang sangat menjijikan!"
Jleb. Kata-kata itu menghantam Rayyan seperti gada. Air matanya mengalir tanpa henti, meski ia mencoba menahannya. Tangisnya pecah, tubuhnya bergetar bersama rasa sesal yang tak terkira.
Zalwa pun kembali tersedu, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, mengerang dalam kepedihan yang tak tertahankan.
"Kenapa harus aku, ya Allah... Kenapa harus aku..." Tangisnya merintih dalam keheningan malam yang hanya diiringi oleh sisa rintik hujan.
"Pergilah, Rayyan..." desis Zalwa lemah.
Rayyan menggeleng, memohon. "Tolong... dengarkan aku dulu..."
"Pergi!" Suara Zalwa meninggi, penuh kemarahan.
"Kita bisa bicarakan ini baik-baik—"
"Pergi, aku bilang!" Teriaknya, suaranya menggema, menghancurkan sisa-sisa harapan Rayyan.
Dengan hati yang hancur, Rayyan perlahan bangkit. Langkahnya gontai, penuh rasa sesal yang menyesakkan dada. Di ujung ruangan, ia berhenti, menoleh sekali lagi ke arah Zalwa yang masih terisak di lantai, memukul tubuhnya dengan tangannya sendiri.
Rasa bersalah yang begitu besar menyelimuti Rayyan, menyesakkan dadanya. Dalam hatinya, ia hanya bisa merutuki kebodohan dan kelemahannya yang telah diperdaya oleh nafsu.
..."Aku tidak akan pernah tenang sampai kau memaafkanku Zalwa... Aku akan melakukan apapun meski kau meminta nyawaku sebagai tebusannya, akanku berikan, tetapi maafkan aku yang bodoh dan keras kepala ini!"...
..."Aku sangat mencintaimu... Ya Allah ampuni aku dan Sayangilah Zalwa. Dia tidak bersalah, jika kau mau menghukum maka hukum saja aku jangan kekasihku, dia wanita baik yang telah aku rusak kehormatanya. Ampuni kami...
...Ya Rabb."...
Dengan langkah berat dan beban yang mencekik hati, Rayyan melangkah pergi. Tangannya gemetar saat menggenggam kemudi mobil, melaju tanpa arah pasti, hanya menuju satu tempat di mana ia berharap menemukan kedamaian—sebuah masjid. Di sana, ia akan bersuci, berharap sholat Ashar yang tertunda bisa menjadi awal pengampunan atas dosa yang kini menyesakkan dadanya.
Zalwa, di sisi lain, masih tergugu dalam kesendirian. Air mata yang mengalir seolah tak akan pernah habis, membasahi wajahnya yang jelita namun kini dipenuhi kepedihan. Kehormatannya yang hilang tersapu oleh kenikmatan sesaat, meninggalkan jejak luka yang tak terperi.
Namun Zalwa tahu, ia harus kuat. Dengan gemetar, ia menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya. Dia tahu ayahnya pasti sudah khawatir menunggu kepulangannya. Gadis itu menguatkan diri, menelan kesedihan dalam-dalam dan merapikan diri, sembari menyiapkan senyum palsu yang harus ia kenakan.
Tak boleh ada yang tahu apa yang telah terjadi. Tak boleh ada yang melihat betapa hancurnya dia di dalam. Segala perih ini harus disembunyikan, terkubur di balik wajah tenangnya, seolah semuanya baik-baik saja, meskipun jiwanya tengah runtuh perlahan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!