Mobil Mercedes berwarna hitam itu melaju dengan tenang, lalu berhenti di depan sebuah gerai muslimah. Seorang pemuda melangkah keluar, membawa paperbag di tangan sambil mengenakan kacamata berlensa abu-abu yang tersemat di hidungnya. Dengan semangat, ia memasuki gerai tersebut, siap menemui kekasihnya.
Rayyan merasa lega melihat suasana di dalam gerai yang cukup sepi, hanya ada tiga atau empat pelanggan yang sedang memilih-milih barang. Kesempatan seperti ini jarang ia dapatkan, dan ia ingin memanfaatkannya sebaik mungkin. Kekasihnya adalah sosok perempuan yang cuek dan dingin, dengan pendirian yang kuat. Ia tak ragu mempertahankan pendapatnya meski banyak orang yang berusaha membujuknya.
Mata Rayyan melirik setiap sudut gerai, mencari sosok yang ia rindukan. Senyumnya mengembang saat melihat seorang gadis yang sedang menggantungkan beberapa helai gamis dan abaya terbaru. Dengan penuh percaya diri, ia segera mendekatinya, bersemangat untuk berbincang.
"Assalamualaikum.. Hai!" sapanya.
"Waalaikumsalam!" Sahutnya ketus tanpa menoleh ke memandangnya.
"Lagi sepi, ya?" tanyanya dengan nada lembut, sedikit meledek.
"Sudah ramai sejak pagi, sebentar lagi tutup!" jawab Zalwa cepat, nada suaranya tegas.
"Aku tanya baik-baik loh, kok ketus gitu jawabnya?" Rayyan menatapnya, mencoba mengingatkan dengan penuh perhatian.
Zalwa menoleh, wajahnya sinis, suaranya menantang. "Kenapa? Gak suka? Ya sudah, tinggalin saja aku!"
"Apaan sih? Dikit-dikit tinggalin, dikit-dikit tinggalin... Lagi lapar kamu? Nih, aku bawa daging burung goreng kesukaanmu, plus nasi ada sambal lalabnya juga. Makanlah dulu, biar nggak marah-marah terus," Rayyan menyodorkan paperbag yang dibawanya.
"Makasih!" Zalwa meraih bingkisan itu dengan kasar dan melangkah ke depan. Rayyan menghela napas, merasa jengah melihat tingkah kekasihnya yang masih merajuk karena kesalahpahaman.
"Sayang..." bujuknya, mengikuti langkah Zalwa.
"Masih ada orang di sini, jangan panggil sayang!" Zalwa mendecit, menyimpan paperbag berisi makanan itu di atas nakas dekat meja kasir.
"Kenapa? Mereka kan nggak kenal kita?" Rayyan protes, bingung.
Zalwa hanya menatapnya sinis, membuat Rayyan enggan untuk meladeni lagi. Dia terlihat pasrah, sementara Zalwa pura-pura tidak peduli.
"Ukh, tolong bungkusin ini, ya?" pinta seorang perempuan muda, menyerahkan beberapa helai gamis ke meja kasir.
"Baik..." sahut Zalwa, seketika wajahnya berubah manis dan ramah.
Menyaksikan sikap Zalwa yang dingin, Rayyan memilih untuk menjauh sejenak. Dia berkeliling melihat baju muslim ikhwan yang baru, sambil mencuri pandang pada gadis yang tengah sibuk melayani pembeli.
"MasyaAllah, gerainya makin lengkap, ya, Ukh? Sekarang ada buku-buku agama juga!" puji seorang wanita bercadar sambil menyerahkan beberapa abaya dan khimar kepada Zalwa.
"Alhamdulillah, semua ini karunia Allah," jawab Zalwa dengan senyum ramah, mulai menghitung dan membungkus belanjaan pelanggannya.
"Pelanggan makin ramai, loh. Kenapa nggak merekrut karyawan saja? Biar nggak capek sendiri," saran wanita itu sambil menjentikkan jempolnya.
"InsyaAllah, itu sedang direncanakan," jawab Zalwa sambil tersenyum.
Setelah pembayaran selesai, wanita itu tersenyum puas. "Semoga bisnisnya makin berkah dan laris manis. Aamiin."
"Aamiin. Terima kasih, Ukh. Assalamualaikum," ucap Zalwa saat pelanggannya pergi, meninggalkan ruangan yang kembali hening.
'Closed'
zalwa membalikkan sign board yang tergantung di pintu kaca gerainya, menandakan bahwa mereka sudah tutup. setelah itu, dia merapikan beberapa baju yang tidak jadi dibeli pelanggan, menumpuk di samping meja kasir.
setelah memastikan bahwa mereka hanya berdua di dalam gerai yang sepi, rayyan mulai menghampiri zalwa.
"ngomong-ngomong, kita cuma berdua, loh!" ucapnya dengan nada menggoda. suasana menjadi sedikit menegangkan, terutama karena mereka berdua sadar bahwa ini bukan situasi yang biasa, apalagi mereka bukan suami istri.
zalwa meliriknya, wajahnya tetap datar.
"memangnya kita mau ngapain?" sahutnya.
"emm..." rayyan mengulum senyum nakal. "makan. makan kamu, ehehe..." sambungnya sambil tertawa.
"ck. menurutmu itu lucu?" zalwa mendecak kesal. rayyan langsung mengubah ekspresinya menjadi serius, bingung dengan perubahan sikap gadisnya yang terlihat berbeda sejak kemarin.
"kamu kenapa sih? marah-marah terus. masih cemburu soal kemarin?" tanyanya, penuh kepedulian.
Zalwa mendecak kesal, tak tertarik membalas lelucon itu. Dia menyelesaikan pekerjaannya, mengambil bekalnya dan paperbag Rayyan. “Udah, sini. Ayo makan!” katanya, mengajak ke meja pelanggan.
Rayyan menerima kotak bekal itu dengan malas, masih memperhatikan wajah cantik kekasihnya yang cemberut.
Mereka kini duduk berhadapan, membuka makan siang masing-masing. Kursi dan meja yang mereka duduki merupakan fasilitas untuk pelanggan yang ingin membaca buku. Dari tempat itu, mereka bisa melihat keadaan di luar hanya dengan menoleh sedikit, karena hampir 50 persen gerai Zalwa terbuat dari kaca.
Zalwa mulai menyantap menu yang dibelikan Rayyan. Meskipun itu adalah makanan kesukaannya, wajahnya tidak menunjukkan kegembiraan. Dia terus menunduk, melahap makannya tanpa sekalipun mendongak ke arah Rayyan.
"Enak?" tanya Rayyan, melihat gadis itu tenggelam dalam makanan.
"Hmm..." jawab Zalwa singkat.
Rayyan menghela napas, cepat menelan kunyahannya sebelum meminum air dari botol kemasan. Dia tahu pacarnya ini masih terbawa perasaan karena masalah kemarin. Berulang kali, dia harus menjelaskan bahwa semua yang dipikirkan Zalwa adalah salah.
"Kamu masih ngambek soal Sarah? Sudah berapa kali aku jelasin? Dia sepupuku, tinggal serumah denganku sejak kecil. Kami sering bermain bersama, bahkan mandi bersama. Aku menganggapnya seperti adik kandungku sendiri!" jelasnya, meski sebenarnya malas harus mengulang penjelasan yang sama.
"Tetap saja, sepupu itu bukan mahram. Kamu bisa saja menikah dengannya," ujar Zalwa, membuat Rayyan mengusap kasar rambutnya ke belakang.
"Hsss... Astagfirullah, Zalwa! Yang benar saja! Aku sama sekali gak adaam hasrat sama dia. Mana mungkin aku menikahi anak gadis pamanku? Keluargaku juga pasti gak akan setuju!" terangnya, menekankan setiap kata.
"Lalu, Shofia?" tanya Zalwa, membuat Rayyan terdiam dan menghembuskan napas kasar. Gadisnya ini benar-benar menguji kesabaran dan emosinya. Kenapa dia harus membahas seseorang yang sudah tiada?
"Dia sudah mati! Itu bukan salahku. Ayolah, aku gak mau cewek lain. Aku menunggu kamu sampai kamu siap, entah sampai kapan," suara Rayyan terdengar frustasi di akhir kalimatnya.
"Makanya terima lamaran ku. Biar kamu percaya kalau aku serius mau bahagiakan kamu dunia akhirat. Gak ada yang perlu kamu ragukan lagi. Aku janji akan selalu sayang sama kamu dan memberikan semua yang aku punya."
Rayyan menghela napas lelah sebelum melanjutkan.
"Apa sih yang kamu takutkan? Aku ganteng, kaya raya, berpendidikan, dan suka olahraga. Bukan tipe laki-laki pemalas. Kamu bisa lihat sendiri, hidupku padat dengan segala aktivitas, dan yang terpenting, kamu itu seperti sudah menjadi bagian dari hidupku yang gak bisa aku lepaskan," ujarnya dengan lembut.
Mendengar pengakuan Rayyan yang terdengar tulus, Zalwa merasakan debaran indah di hatinya. Namun, mempercayakan perasaannya begitu saja tidaklah mudah, terutama pada seseorang yang masih dianggapnya orang asing.
"Sudahlah, nanti lagi kita bahas. Ayo makan.."Zalwa mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Kamu terus aja kaya gini. Setiap kali aku bahas lamaran dan pernikahan, pasti menghindar. Tapi kamu cemburuan gak jelas. Kamu membingungkan, tahu, Zal," keluh Rayyan.
Zalwa memilih diam, matanya menatap ke luar jendela sambil mengaduk-aduk makanannya tanpa minat. Jalan raya di depan gerai ramai oleh kendaraan yang lalu lalang, sementara langit menggelap, seakan memberi peringatan akan turunnya hujan. Dalam hati, ia menggerutu memikirkan kemungkinan pulang dalam keadaan basah kuyup.
"Aku beli daging burung puyuh di tempat lain, lho. Enak, kan?" Suara Rayyan memecah lamunannya.
Zalwa hanya mengangguk kecil, tak ingin terlalu terlibat.
Rayyan menggeser duduknya lebih dekat, senyumnya mencoba mencairkan suasana.
"Tapi kamu harus coba jenis burung lain. Mau, nggak?"
Zalwa akhirnya menoleh, sedikit penasaran.
"Burung apa?" tanyanya polos.
Senyum Rayyan melebar, sedikit nakal.
"Hmm... burungku," jawabnya dengan nada menggoda.
Zalwa terdiam sejenak, matanya menyipit tajam. Namun, dia tetap menjaga ekspresinya datar.
"Kamu buka bisnis burung sekarang?" tanyanya serius.
Rayyan terkekeh pelan, tampak menikmati ketidaktahuannya.
"Enggak, Zal. Burungku ini... spesial. Cuma ada satu, nggak bisa terbang, tapi bisa bikin kamu melayang," bisiknya sambil mencondongkan tubuh ke depan.
Zalwa yang baru saja meminum airnya langsung tersedak.
"Hmph! Uhuk, uhuk!" Dia buru-buru meraih tisu untuk mengelap mulutnya, sementara Rayyan panik.
"Eh, Sayang nggak apa-apa, kan?" tanyanya cemas, meski senyum geli masih tersisa di wajahnya.
Zalwa mengangkat tangan, menyuruhnya diam sejenak. Setelah reda, dia menatap Rayyan dengan tajam.
"Kamu pikir itu lucu?!"
"Kan aku cuma bercanda..." Rayyan mengangkat bahu, mencoba tampak santai.
"Bercanda kamu bilang?!" Zalwa bangkit dari duduknya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh.
"Kamu pikir aku nggak ngerti maksudmu, hah?"
Rayyan terdiam, tahu dirinya salah langkah.
"Zal, maaf... aku nggak maksud buat kamu marah."
Zalwa menarik napas dalam-dalam, hatinya masih kesal dan marah. Tapi akhirnya dia duduk kembali, mencoba menenangkan diri.
"Lain kali, pilih candaan yang lebih sopan," gumamnya ketus.
Rayyan mengangguk patuh, tak ingin memperpanjang masalah. Dia mengisi gelas zalwa dengan air kemasannya dan mendorong gelas itu ke arah Zalwa dengan senyum kecil.
"Minum dulu. Maaf, ya, aku keterlaluan."
Zalwa mendengus, dan mengambil gelas itu. Kali ini, seteguk air dingin membantu meredakan amarahnya, meski dalam hati dia masih menggerutu.
Hening sejenak, mereka saling diam dan kembali fokus menyantap makanan sambil mencuri pandang satu sama lain. Rayyan memandang Zalwa dengan niat menggoda, sementara Zalwa menatap Rayyan dengan sinis.
"Tapi nanti kamu harus menyukainya. Kamu kan mau jadi istriku," ujar Rayyan, berusaha mencairkan suasana.
"Diam! Kalau aku sampai tersedak lagi, air ini akan mendarat ke mukamu!" ancam Zalwa, merasa ingin menelan hidup-hidup pria di hadapnya yang terus menerus membuatnya kesal.
"Astagfirullah... Kapan kau halal kan kami, Ya Allah... Tolong aku dari kemarahan wanita ini..." Rayyan berdoa dalam hati, sambil menatap Zalwa dengan penuh rasa sayang meski hatinya masih berdebar karena amarahnya.
Gemuruh petir menggema di langit, memekakkan telinga siapa pun yang mendengarnya. Dua sejoli yang tengah menikmati santapan tiba-tiba teekejut hebat. Jantung mereka berdegup seakan ingin melompat dari tempatnya. Zalwa, yang sejak kecil sangat takut pada suara ledakan dan petir, spontan menutup telinganya dengan kedua tangan, teriakan ketakutannya meluncur.
"Astagfirullah!" serunya, wajahnya pucat.
Rayyan menoleh ke luar, matanya menangkap langit yang menghitam, angin kencang menggoyang pepohonan di tepi jalan. Gelombang hujan tampaknya akan segera datang.
Dengan gerakan cekatan, lelaki jangkung itu berdiri, memastikan pintu terkunci rapat, lalu menggelar gorden untuk menutup tembok kaca.
"Sebentar lagi hujan. Kita harus cepat pulang," ujar Rayyan, nada suaranya tenang, tapi ada sedikit kecemasan di baliknya.
Zalwa memicingkan mata, sedikit cemberut.
"Itu karena kamu naik mobil. Aku yang naik motor bisa basah kuyup nanti!" jawabnya dengan nada ketus.
Rayyan tertawa kecil,
"Habisin dulu makannya, sayang. Lagipula, cuma hujan air. Kita terjang saja, tidak masalah."
Zalwa menatapnya tajam, tidak senang.
"Kamu enak saja. Kalau aku masuk angin, siapa yang mau tanggung jawab?" sahutnya dengan nada yang sedikit lebih keras.
"Ya sudah, aku antar," Rayyan menawarkan dengan senyum lebar, tangannya terulur.
Zalwa merengut.
"Terus motor aku ditinggal? Kalau dicuri gimana?" tanyanya skeptis.
Rayyan menyeringai.
"Aku bertanggung jawab. Lagian, motor jelek gitu, siapa juga yang mau nyolong?" jawabnya dengan penuh percaya diri.
"Ihh, sombong banget!" Zalwa mencibir, bibirnya mengerucut.
"Biarin," jawab Rayyan dengan santai, mata nakalnya berkilau.
Meskipun hujan semakin deras di luar, suasana di antara mereka tetap hangat, seolah-olah tawa dan canda mereka dapat mengusir kekhawatiran yang datang bersama awan kelabu itu.
...---Ma'had Baitur Ilmi Boarding school--...
Gelombang awan hitam juga menyelimuti langit pondok pesantren termewah dan termegah di Asia Tenggara tersebut. Angin bertiup kencang ke segala arah, dari kejauhan nampak beberapa pemuda lekas memasuki ruangan asrama dengan terburu buru.
Di dalam Ma'had atau ponpes tersebut terdapat rumah megah kediaman pemimpin Ma'had yang sudah sepuh. Beliau dan semua anggota keluarganya yang tidak sedikit itu hidup dilingkungan yang kental beragama, tentu saja karena mereka hidup berdampingan di lingkungan pesantren puluhan tahun yang lalu. Kediaman itu adalah kediaman Baitur Rashad yang berarti Rumah Rashad. Rumah besar nan mewah itu di dirikan bersamaan dengan Ma'had Baitul Ilmi oleh kakek buyut sang pemimpin, lalu diwarisi turun temurun hingga sekarang.
Gema petir makin bersahutan. Suasana semakin gelap dan mencekam. Sementara itu, pria muda berjubah biru gelap sedang berjalan sambil membaca buku di lantai atas Baitur Rashad, seketika pandangannya teralihkan kala melihat wanita berhijab serba hitam tengah menyadarkan bahunya di pilar balkon iapaun tanpa pikir panjang memghampirinya.
"Ummi?" Farhan, sang putra sulung, berjalan mendekat, melihat ibunya yang tampak tertekan.
"Kenapa ummi ada di sini?"
Halimah menoleh, wajahnya memucat, kecemasan terlihat jelas di matanya.
"Perasaan ummi tiba-tiba tidak enak, anakku. Hati ummi gelisah."
"Ummi memikirkan Rayyan?" Farhan bertanya dengan lembut.
"Ya, Rayyan... Kenapa dia tidak pernah pulang? Apa dia tidak merindukan kita?" suara Halimah bergetar, penuh kerinduan.
Farhan mengelus bahu ibunya dengan lembut.
"Ummi, jangan khawatir. Rayyan sudah dewasa, dan dia pasti akan pulang kalau memang dia ingin kembali."
Halimah menatap Farhan, matanya penuh dengan keraguan.
"Atau dia masih marah karena kejadian itu? karena kita menuduhnya atas kematian Shofia…"
Farhan tersenyum lembut, meski hatinya terasa berat.
"Ummi, kita doakan yang terbaik untuknya. Meskipun kita tidak selalu sejalan, Rayyan tetap adikku, dan aku akan selalu melindunginya."
Halimah mengangguk perlahan, sedikit tersenyum.
"Kau memang anak yang baik, Farhan. Ummi bangga padamu."
"Ya Ummi... Sekarang ayo kita masuk. Hujan deras akan turun sebentar lagi" ucapnya, ia melingkarkan tanganya ke pinggang sang ummi, menuntunnya masuk kedalam.
...--'Gerai Zalwa'--...
Rayyan di sana tengah berdiri, sementara sebelah tangannya menyingkap kain gorden demi menyaksikan suasana yang terjadi di luar dari balik tembok kaca. Lama dia berdiri hingga beberapa kali ia menyugar rambutnya ke belakang, merasakan gejolak aneh yang perlahan lahan mulai timbul.
Dingin dan gelap. Dia merindukan kehangatan yang lebih, kehadiran seseorang yang bisa dia peluk, seseorang yang bisa mengusir kesepian yang merayap.
Ia lalu memutar tubuhnya kebelakang, matanya langsung tertuju pada sosok yang berdiri menyamping di antara barisan buku buku, rupanya sejak tadi gadisnya sedang asyik membaca.
Entah bagaimana Rayyan merasa ada sesuatu yang menariknya untuk mendekati sang gadis. Padahal dia tahu dia sudah di peringatkan untuk tidak terlalu dekat dengannya sebab mereka berada di ruangan tertutup dan hanya mereka berdua.
Ketika sebelumnya Zalwa menuruti kemauan Rayyan untuk tidak pulang menggunakan motor, dia juga tidak mau di antar Rayyan menggunakan mobil karena takut kepergok sang ayah. Jadi mau tidak mau Zalwa terpaksa terkurung berdua sampai hujan mereda.
Langkah Rayyan semakin berat. Angin yang berhembus kencang memasuki ruangan itu menerpa tubuh pemuda jakung itu dan mengibarkan khimar Zalwa yang menjuntai, membuatnya tersibak indah.
"Zalwa," suara Rayyan terdengar rendah, menggetarkan.
Zalwa menoleh, melihat Rayyan berdiri begitu dekat. Ketegangan di antara mereka semakin terasa. Hujan di luar semakin deras, petir kembali menggelegar. Zalwa menahan napas, ketakutan kembali merayap.
Tiba-tiba, suara petir yang menggelegar membuat Zalwa terkejut. Bukunya terjatuh, dan tanpa sadar, dia berlari menuju Rayyan, memeluknya erat.
Rayyan kaget, namun refleksnya membalas dengan memeluk Zalwa. Tubuh gadis itu menggigil ketakutan, dan dalam detik itu, dunia terasa hening, hanya ada mereka berdua di dalam ruangan yang hangat.
"Aku takut..." Zalwa berbisik, suaranya bergetar, membuat jantung pemuda itu berdebar hebat.
"Gak apa ap. Aku di sini." bisiknya menenangkan sembari mengusap punggungnya dengan lembut.
Zalwa merasa nyaman dalam pelukan Rayyan, meskipun dia tidak bisa menghilangkan rasa takut yang menguasainya. Namun, pelukan itu menghiburnya, membuatnya merasa aman.
Zalwa terus mengeratkan pelukannya pada tubuh Rayyan, membuat darah lelaki tampan itu berdesir.
"Zalwa...." Suara Rayyan melirih berat, dia menarik wajah Zalwa dari dadanya hingga mata mereka saling bertemu dan bertatapan.
Lagi lagi angin berhembus dan udara dingin menelisik bulu kuduk keduanya. Zalwa menatap Rayyan, dia merasa seolah terhipnotis pada tatapan mata elangnya, terlebih rambut yang menjuntai di dahinya bergerak lembut, menambah pesona dari kegagahannya.
Rayyan telah di kuasai cinta berbalut nafsu melihat wajah kekasihnya sedekat itu. Wajah rembulan dan kecantikan yang disuguhkan di depan matanya benar benar menguji keimanan. Mata hijau Zalwa yang agak sayu membuatnya tak bisa menahan diri.
Akhirnya disadari atau tidak, Rayyan semakin mendekatkan wajahnya pada wajah kekasihnya. Zalwa mematung menatap wajah tampan itu semakin mendekat dan dia justru menutup matanya dengan napas yang memberat, karena sensasi aneh yang menjalar di sekujur badannya.
Rayyan sudah tak sanggup untuk menahan hasratnya, apalagi kini Zalwa seolah memberi sinyal untuk segera memberinya sentuhan. Rayyan pun dengan lebih berani mendekatkan tatapannya, dan tanpa halauan dia mencium lembut bibir ranum gadis itu, dan ia pun tak menolak. Jantung mereka berpacu lebih cepat bersamaan sensasi tak biasa yang menyerang mereka bertubi tubi. Nikmat.
Rayyan semakin panas mencumbu bibir kekasihnya, dia mengeratkan pelukan ke pinggang ramping sang gadis yang kini darahnya sedang mendesir tak karuan.
Seolah pasrah dengan kenikmatan yang menerpa, gadis itu membiarkan sang pemuda melucuti hijabnya sambil terus mencumbunya tanpa henti, suara erangan kecil terdengar dari bibir ranumnya seakan mendamba lebih.
Matanya sayu dan lemah, dia benar benar bersedia memasrahkan tubuhnya di jamah oleh Rayyan yang belum sah menyentuh kehormatannya. Tetapi apa boleh dikata, jika setan sudah berhasil menggoda dan kenikmatan bercinta sudah membelenggu, tak perduli benar atau salah, pikiran hanya akan fokus pada satu tujuan, yaitu pelepasan.
Jubah hitam dan khimar itu kini berserak di lantai, bersama kaus kaki yang entah terlempar ke mana. Di sekeliling mereka, pakaian yang terlepas menciptakan jejak kelalaian, berbaur dengan gamis yang tergulung tak jauh dari tubuh yang kini tak lagi terjaga.
Zalwa terbaring di bawah kekasihnya, tubuhnya diguncang oleh sensasi yang melampaui kendali. Erangan halus mengiringi tetesan air mata yang perlahan jatuh dari sudut matanya.
Di sanalah, cinta yang ia kira suci melebur bersama rasa sakit, perih, dan sesal. Semua terjalin dalam satu tarikan napas panjang, seakan menghapuskan akal sehat mereka. Larangan yang pernah mereka hafal dari kitab suci terbang melayang, dilenyapkan oleh hasrat yang tak tertahankan.
Mahkota kehormatan yang selama ini Zalwa jaga dengan penuh ketulusan kini lenyap, diambil oleh tangan yang seharusnya melindunginya. Janji yang dulu diucapkan untuk menjaga dan memuliakan, kini terpecah menjadi serpihan kenangan pahit, sebelum ikatan suci terjalin.
Sesaat kepuasan itu menyelimuti mereka, namun di balik kenikmatan sesaat, bayang-bayang penyesalan mulai merayap. Ketika semuanya selesai, rasa perih yang sebenarnya baru saja dimulai.
Rayyan mengangkat tubuhnya, meninggalkan Zalwa yang masih terkulai lemah di atas permadani. Tanpa sehelai kain menempel di tubuhnya, ia melangkah ke sofa. Lelah membungkus dirinya, kantuk segera menyerang, dan dalam hitungan detik, matanya terpejam, meninggalkan gadis itu sendirian, dengan sisa-sisa hujan yang masih merintik di luar jendela.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan.
Rintihan tangis tiba tiba terdengar sumbang ditelinga Rayyan yang tertidur pulas. Dia mengerjapkan mata berusaha menyadari apa yang telah terjadi di sekelilingnya.
Ketika netranya mulai melebar, dia melihat gadis itu tengah membelakanginya, bersandar di bawah sofa sambil memeluk lutut dan sesekali mengusap kasar wajahnya sambil terisak isak.
Rayyan terbangun dengan kening berkerut. Telinganya menangkap suara isak tangis yang menyayat, namun pikirannya masih samar. Perlahan, ia mulai menyadari keadaannya. Ketika matanya terbuka sepenuhnya, ia terkesiap. Tubuhnya, telanjang bulat, terbuka tanpa sehelai kain.
"Astagfirullah..." bisiknya, cepat-cepat meraih pakaian yang berserakan di lantai, mengenakannya dengan tangan gemetar. Jantungnya berdetak keras saat ia mulai memahami apa yang telah terjadi. Sambil menampar pipinya pelan, ia berharap bahwa semuanya hanyalah mimpi. Sebuah mimpi buruk yang bisa ia buang saat terjaga. Namun, suara tangisan itu, tangisan Zalwa, membawanya kembali pada kenyataan pahit.
Ini bukan mimpi. Kenikmatan yang ia rasakan sebelumnya nyata. Ia benar-benar telah melakukannya. Ia telah menodai Zalwa.
Rayyan menutup mulutnya, tubuhnya gemetar dalam kesakitan yang tak terlukiskan. Ia meremas dadanya yang terasa sesak, seolah udara telah menghilang dari ruangan. Sungguh, kenyataan ini begitu menghancurkan.
"Selamat, Rayyan..." Suara Zalwa terdengar lirih, namun sangat dalam, membawa kepedihan yang tak terhingga.
Rayyan menoleh, melihat gadis itu duduk meringkuk di lantai, memeluk lututnya. Wajahnya dipenuhi air mata, namun ada kekuatan dalam ucapannya. "Selamat, kamu berhasil menaklukanku," ucapnya getir, matanya yang indah kini terhanyut dalam duka.
"Selamat, kamu telah merampas izzahku...
" Zalwa mendongak, menatap Rayyan dengan sorot mata yang menusuk,
"Mutiara itu sudah hilang. Jatuh ke dalam lumpur yang menjijikkan."
Kata-katanya terdengar tegar, meski ia menangis.
"Tidak ada yang akan memungutnya lagi, meski mutiara itu berharga, karena yang berharga tidak akan pernah jatuh di tempat yang tak semestinya."
" Tangisnya kembali pecah, mengguncang batin Rayyan. Isakannya menyayat hati, terlebih ketika teriakan histeris menyertai, memecah kesunyian malam. Rayyan tak mampu menahan diri, air matanya pun mulai jatuh. Tubuhnya gemetar bersama rasa bersalah yang tak tertahankan.
"Aku terbangun dan menyadari... siapa aku... dan apa yang telah kulakukan?" Suara Zalwa begitu lemah, penuh dengan kepiluan yang membuat hatinya hancur.
"Semuanya telah berakhir. Aku... hancur," isaknya, tubuhnya terisak dalam ratapan yang mengguncang jiwa.
Rayyan tak kuasa menahan diri lagi. Ia jatuh berlutut di samping Zalwa, air matanya bercucuran, menatap gadis yang kini terjebak dalam rasa kehilangan yang dalam.
"Maafkan aku..." lirihnya, tangannya gemetar saat mencoba menggapai, namun tak berani menyentuh.
"Aku... benar-benar tidak sadar... Aku khilaf... Maafkan aku... Demi Allah, aku tidak bermaksud melakukannya..."
Namun Zalwa tetap diam, hanya isakan tangis yang menjawabnya. Rayyan mengangkat wajah, menatap Zalwa dengan segenggam harapan.
"Zalwa... Aku tahu kamu marah... tapi aku berjanji, aku akan bertanggung jawab atas semua ini."
Zalwa perlahan menoleh, matanya yang sembab menatap Rayyan tajam. Senyum pahit terbentuk di bibirnya.
"Ini bukan hanya tentang tanggung jawab, Rayyan. Ini tentang kehormatan dan harga diri. Apa kamu tidak malu?" suaranya terdengar pilu, penuh luka.
"Aku sudah berulang kali memperingatkanmu untuk menjauhiku kenapa kamu keras kepala sekali? Kamu pikir aku bisa menahanmu seperti malaikat yang tak akan pernah terfitnah?" cecarnya, membuat Rayyan hanya bisa tertunduk meratapi kesalahan. Suara Zalwa meninggi, menusuk Rayyan hingga ia hanya bisa menunduk dalam rasa bersalah.
"Kenapa kamu egois? Aku bilang aku belum ingin menikah, tapi kenapa kamu selalu datang kepadaku lagi dan lagi? kamu pikir kamu itu siapa Rayyan! Hanya karena kamu tampan, kaya, dan anak seorang ulama. Kamu terlalu percaya diri dengan apa yang kamu miliki? Keimananmu? Hafalanmu? nyatanya tidak bisa mencegahmu untuk melalukan hal yang sangat menjijikan!"
Kata-kata itu menghujam tajam ke dada Rayyan. Air matanya mengalir tanpa henti, meski ia mencoba menahannya. Tangisnya pecah, tubuhnya bergetar bersama rasa sesal yang tak terkira.
Zalwa pun kembali tersedu, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, mengerang dalam kepedihan yang tak tertahankan.
"Kenapa harus aku, ya Allah... Kenapa harus aku..." Tangisnya merintih dalam keheningan malam yang hanya diiringi oleh sisa rintik hujan.
"Pergilah, Rayyan..." desis Zalwa lemah.
Rayyan menggeleng, memohon.
"Tolong... dengarkan aku dulu..."
"Pergi!" Suara Zalwa meninggi, penuh kemarahan.
"Kita bisa bicarakan ini baik-baik—"
"Pergi, aku bilang!" Teriaknya, suaranya menggema, menghancurkan sisa-sisa harapan Rayyan.
Dengan hati yang hancur, Rayyan perlahan bangkit. Langkahnya gontai, penuh rasa sesal yang menyesakkan dada. Di ujung ruangan, ia berhenti, menoleh sekali lagi ke arah Zalwa yang masih terisak di lantai, memukul tubuhnya dengan tangannya sendiri.
Rasa bersalah yang begitu besar menyelimuti Rayyan, menyesakkan dadanya. Dalam hatinya, ia hanya bisa merutuki kebodohan dan kelemahannya yang telah diperdaya oleh nafsu.
..."Aku tidak akan pernah tenang sampai kau memaafkanku Zalwa... Aku akan melakukan apapun meski kau meminta nyawaku sebagai tebusannya, akanku berikan, tetapi maafkan aku yang bodoh dan keras kepala ini!"...
..."Aku sangat mencintaimu... Ya Allah ampuni aku dan Sayangilah Zalwa. Dia tidak bersalah, jika kau mau menghukum maka hukum saja aku jangan kekasihku, dia wanita baik yang telah aku rusak kehormatanya. Ampuni kami...
...Ya Rabb."...
Dengan langkah berat dan beban yang mencekik hati, Rayyan melangkah pergi. Tangannya gemetar saat menggenggam kemudi mobil, melaju tanpa arah pasti, hanya menuju satu tempat di mana ia berharap menemukan kedamaian—sebuah masjid. Di sana, ia akan bersuci, berharap sholat Ashar yang tertunda bisa menjadi awal pengampunan atas dosa yang kini menyesakkan dadanya.
Zalwa, di sisi lain, masih tergugu dalam kesendirian. Air mata yang mengalir seolah tak akan pernah habis, membasahi wajahnya yang jelita namun kini dipenuhi kepedihan. Kehormatannya yang hilang tersapu oleh kenikmatan sesaat, meninggalkan jejak luka yang tak terperi.
Namun Zalwa tahu, ia harus kuat. Dengan gemetar, ia menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya. Dia tahu ayahnya pasti sudah khawatir menunggu kepulangannya. Gadis itu menguatkan diri, menelan kesedihan dalam-dalam dan merapikan diri, sembari menyiapkan senyum palsu yang harus ia kenakan.
Tak boleh ada yang tahu apa yang telah terjadi. Tak boleh ada yang melihat betapa hancurnya dia di dalam. Segala perih ini harus disembunyikan, terkubur di balik wajah tenangnya, seolah semuanya baik-baik saja, meskipun jiwanya tengah runtuh perlahan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!