Merutuk diri

"Ya Allah, lindungilah putriku, Zalwa…" Pak Shaleh berdoa dalam hati, cemas menanti kepulangan anaknya yang belum juga tiba. Duduk di kursi tamu, ia bangkit dan berjalan menuju pintu yang terbuka, menatap senja yang semakin merangkak turun.

Tak lama, suara mesin motor terdengar, familiar di telinganya. Hatinya tenang sejenak. Benar saja, Zalwa muncul di tikungan dan membelokkan motornya ke depan rumah.

"Assalamualaikum, Yah…" ucap Zalwa lembut sambil mencium punggung tangan ayahnya.

“Waalaikumsalam. Akhirnya pulang juga. Ayah khawatir, sudah sore tapi kamu belum juga pulang,” ujar Pak Shaleh, suaranya penuh kekhawatiran.

"Maafkan Zalwa, Yah, sudah membuat Ayah khawatir," sahut Zalwa dengan suara pelan.

"Gak apa-apa, Nak... Tapi, itu kenapa matamu bengkak begitu? Habis nangis ya?" tanya Pak Shaleh, menatap lekat wajah putrinya yang tampak lelah.

Zalwa terdiam, tak mampu mengelak. Dia tahu, air mata yang jatuh selama perjalanan pulang meninggalkan bekas yang tak bisa disembunyikan sepenuhnya.

"Tadi, Zalwa nonton film sedih, Yah. Pas hujan jadi kebawa perasaan…" jawabnya berusaha tersenyum, tapi hatinya terus berdusta.

"Hmm... Jangan kebanyakan nonton film, nanti hafalan Qur’annya buyar!" tegur sang ayah lembut.

"Iya Ayah. Zalwa mau ke atas dulu, ya," sahut Zalwa, segera mencari alasan untuk menghindar.

"Ya sudah, istirahat ya.."

Pak Shaleh menatap punggung putrinya yang melangkah pelan. Ada yang ganjil.

"Loh, Zalwa, kenapa jalanmu begitu? Sakit kaki, Nak?"

Zalwa terhenti, lidahnya kelu. Bagaimana mungkin ia bisa mengakui yang sebenarnya? Bahwa rasa nyeri itu berasal dari luka yang lebih dalam, dari kehormatannya yang telah hilang.

"Anu, Yah… Kaki Zalwa tadi kesemutan, jadi pegal-pegal," jawabnya sambil tersenyum kikuk, berusaha menutupi kegelisahannya.

"Duh, masih muda kok sudah kayak nenek-nenek!" celetuk Pak Shaleh sambil tertawa kecil.

"Ayaah…" jawab Zalwa lirih, sambil tersenyum tipis, meski hatinya hancur.

Zalwa segera menaiki tangga menuju kamarnya. Sesampainya di sana, dia segera masuk ke kamar mandi. Air yang mengalir di tubuhnya terasa dingin, seperti menyucikan dosa yang tak bisa dihapuskan oleh sekadar air. Setelah selesai, dia mengenakan pakaian rumah dan menunaikan sholat Ashar, berharap kekhusyukan bisa menenangkan hatinya yang terus bergelora.

Di depan cermin, ia menyisir rambut panjangnya yang basah. Namun yang ia lihat bukanlah gadis yang dikenalnya. Wajahnya yang dulu cerah kini penuh dengan duka. Matanya kembali berembun, dan akhirnya, air mata itu jatuh lagi.

Dengan tangan gemetar, ia menyentuh leher dan dadanya, tempat di mana tanda merah yang dibuat Rayyan masih tampak jelas. Ingatan akan kejadian itu membuat dadanya sesak. Zalwa terisak, merasa hina dan tak berharga. Bagaimana bisa ia membiarkan dirinya terjatuh begitu jauh?

"Aku berjanji akan mempertanggungjawabkan ini…" janji Rayyan bergema di kepalanya. Namun, Zalwa merasa sulit mempercayai kata-kata itu. Apakah benar tanggung jawab yang ia ucapkan? Ataukah itu hanya sekadar penghibur hati setelah kehormatan dirinya direnggut?

Dia tahu, tak seharusnya ia menganggap kata-kata manis Rayyan itu serius. Dari awal, ia tak pernah benar-benar percaya pada cinta Rayyan. Itu hanya kekaguman semata. Tapi kini, mereka telah melangkah terlalu jauh, dan Zalwa harus siap menerima kemungkinan terburuk: Rayyan mungkin akan meninggalkannya, seperti pria lain yang mencampakkan wanita setelah merasakan manisnya cinta yang haram.

"Kenapa ini harus terjadi? Kenapa aku begitu bodoh membiarkannya menyentuh tubuh ini?" bisik Zalwa di antara isak tangisnya. "Ya Rabb, aku telah terjatuh dalam dosa yang besar. Kenapa Engkau membiarkanku khilaf? Apakah ini bagian dari takdir-Mu?"

Air mata tak bisa mengembalikan kehormatan yang telah hilang. Zalwa tahu, meskipun ia menangis sekeras apa pun, yang sudah terjadi tak bisa diubah. Kini, ia hanya bisa pasrah menerima apa yang telah Allah tetapkan dalam hidupnya, meskipun hatinya hancur tak bersisa.

...Masjid pukul 21:39'...

Seorang pemuda tengah terbaring menghadap langit langit masjid, sebelah lengannya dia jadikan bantalan sementara sebelah kakinya menekuk ke atas. Dari sudut netranya mengalir air mata yang perlahan diusap dengan ujung jarinya.

Lelah... Sudah berapa lama dia menangis dan meratapi kebodohan diri. Dunianya seketika runtuh, apakah semua sudah berakhir? Sebagaimana dia menghancurkan kehormatan gadis yang sangat dicintainya.

Belum lagi dosa yang dilakukannya, apakah Allah mengampuninya atau tidak. Sungguh dia hanya menaruh harapannya pada pemilik alam semesta. Dia pasrah dengan apa yang akan terjadi di masa depan dengan harapan Allah mengampuninya lalu tetap menyatukannya dengan pujaan hatinya yaitu, Zalwa.

"Kamu tidak bersalah Zalwa. Akulah yang keras kepala mencintaimu, dan tololnya aku mengikuti bisikan iblis hingga begitu gila mengagahimu. Kamu yang suci telah ternoda dan kehormatanmu lepas sebelum waktunya... Allaahh... Besar sekali dosaku,  sesak rasanya seolah dadaku hampir pecah. Sudikah Engkau mengampuni hambaMu yang kotor ini, hambaMu yang keras kepala dan selalu mengikuti hawa nafsu. Ya Rabb.. Jika bukan kepadaMu tempatku bertaubat, kemanakah aku harus berlari sedang seluruh alam semesta adalah milikMu." 

Pukul 04:12

"Nak, Nak bangun!" pria paru baya berjanggut tebal membangunkan Rayyan.

Pemuda itu menggeliat lemah membuka mata sendunya.

"Sudah menjelang shubuh," ucap pria itu yang ternyata seorang muadzin.

Rayyan terbangun seraya memijat pelipisnya, dia merasa kepalanya berdenyut nyeri hingga membuatnya meringis.

"Ada apa denganmu, Anak muda? Kamu sakit?" tanya pak muadzin.

Rayyan menggeleng lemas.

"Ah! Tidak apa, Pak. Cuma sakit kepala saja." jawabnya.

"Syafakallah la'batsa thohurun in sya Allah, semoga sakitmu ini menjadi pengugur dosa dosamu." ujar pak mudzin.

Rayyan tertunduk wajahnya pucat, bola matanya memerah serta kantung matanya yang membesar. Pria tua melihat di wajah lelaki muda ini kelelahan. Pria itu menyangka Rayyan sedang dalam suatu masalah, tetapi ia pun tak berani bertanya tanya takut malah akan mengusik mentalnya. Jika nanti diberi kesempatan Ia hanya ingin menasehati dan memberinya semangat agar tetap bersabar.

"Nak. lebih baik kamu segera mandi dan berwudhu karena adzan akan berkumandang sebentar lagi," serunya menepuk bahu Rayyan.

"Baik, Pak. Terima kasih sudah membangunkan saya,"

"Sama sama."

Adzan berkumandang. Setelah bersuci, tak berapa lama Rayyan kembali ke ruang sholat lalu menunaikan sholat fajar dua rakaat sebelum jamaah shubuh.

Sholat shubuh kemudian ditunaikan berjamaah. Di shaf awal Rayyan menghadap Allah dengan hati yang sangat tunduk dan berpasrah, mendengar bacaan sholat sang imam tak terasa air matanya mengalir.

...***...

'Ma'had Baitul Ilmi boarding school, pukul 06:49'

Beberapa santri menyangkutkan handuk ke leher dan bahunya, sedang mengantri giliran menggunakan fasilitas kamar mandi yang tersedia di dalam asrama.

Para pemuda yang sedang kuliah di Ma'had ini adalah teman teman seasrama Rayyan sebelum dia kabur dua bulan yang lalu.

Sepi. Hanya suara gemericik air yang terdengar dari dalam kamar mandi.

"Kenapa gue jadi kangen Rayyan ya?" gumam pemuda berkulit gelap dan berambut keriting memulai kebisingan. Pemuda itu sedang jongkok bersandar di tembok

Teman teman lain yang masih mengantri melirik ke arahnya.

"Kenapa sih dia pergi gak balik balik? Gak kangen apa sama gue, sohibnya?" sambung lelaki bernama Benny itu.

"Rayyan oh Rayyan, mengapa engkau pergi? Macam mana aku tak pergi, kamu suka ngutang- kamu suka ngutang" Timpal laki laki berperawakan kurus tinggi bernama Ahnaf dengan mengalunkan nada milik upin dan ipin.

"Apaan sih bawa bawa utang gak jelas luh!" Benny emosi.

"Eh bentol! lu kan deket dia kalo ada maunya doang, yaitu ngutang!" tuduh Arkan pemuda berambut gondrong sebahu.

"Sembarangan! Kita itu simbiosis mutualisme sama sama menguntungkan!" kilah Benny.

"Menguntungkan apanya? yang ada tekor dia ngutangin lu mulu! Dah benar dia gak balik balik, jadi gak ada yang ngutang lagi sama dia termasuk lu lu pada. Kalo gue sih udah di anggep sodara jadi gak bakal ditagih!" celetuk Ahnaf.

Teman teman yang melihat tingkahnya langsung ilfil.

"Alaah bulshit! Lu pikir lu bontotnya apa? Utang ya tetep utang, wajib dibayar meski gak ditagih. lu mau mati arwah lu menggantung?" Benny mencibir.

"Ngeributin apaan sih? Kedengerannya heboh banget?" Lelaki berwajah manisi itu bergabung, penampilannya sudah rapih, dia ke kamar mandi untuk menggantungkan handuknya.

"Biasa, ributin hutang sama Rayyan." Hamzah yang sejak tadi menyimak, menyahut.

"Ooh!"

"Eh, tapi gue rasa Rayyan gak balik-balik karena kita sering ngutang terus. Ngamuk kali dia!" Rivan menambahkan, seperti detektif yang baru menemukan clue besar.

Reza pemilik wajah manis dengan kulit sawo matang itu menaikan alisnya setelah menggantungkan handuk.

"Siapa bilang? Kalian kaya gak tau aja. Diakan kabur karena dituduh penyebab matinya shofia yang gantung diri, gak ada sangkut pautnya sama utang utang kalian." tukas Reza.

"Lagian ya, Kalian di kasih uang samu jutaan sama orang tua masih aja bisa ngutang. Heran!" sambungnya.

Teman temannya saling melirik satu sama lain. Ya kalau gak merasa tersindir apalagi? Hampir 70 persen mereka memang hobi pinjam uang ke Rayyan, aji mumpung temanya sudah jadi pemimpin perusahaan keluarga di usia muda.

"Woy! udah mau jam delapan ente ente mau pada ghibah terus disitu?!" seru seorang pemuda dari arah asrama, memecah kebisingan mereka.

Reza yang mendengar langsung melangkah meninggalkan kamar mandi dengan teman-temannya, menuju asrama. Namun, teman-temannya yang masih antri mendadak heboh.

"Waduh! gue belum apa apa. Eh cepetan dong, lama amat sih pada!"

"Tau nih! pacaran sama jin apa?"

"Sumpah gue nungguin Fikri setengah jam, gue jongkok nggak keluar-keluar juga! Ngapain sih lu di dalam?" teriak Benny, mulai hilang kesabaran.

"Gue berak dulu, sebentar, gue lagi sabunan!" jawab Fikri dari dalam toilet.

"Lama amat beraknya, kambing lahiran juga nggak selama itu!" Benny memekik.

"Sabar!" terdengar suara Fikri yang sudah mulai kesal.

"Udah nggak usah dijawab, cepetan!" Benny makin gaj sabar, sambil menggebrak pintu toilet.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!