Sinar mentari pagi menembus celah-celah jendela, menambah kesan sendu pada Zalwa yang masih terbaring di peraduannya. Sementara itu, di ruang tamu, ayahnya, Pak Shaleh, duduk santai dengan secangkir kopi hangat di tangan dan koran yang terbuka di pangkuannya, menikmati kebiasaan pagi yang menenangkan.
"Bi, Zalwa ke mana ya? Kenapa jam segini belum juga keluar kamar? Hari ini dia mengajar tidak?" tanya Pak Shaleh kepada Bi Mirah, pembantu setianya yang sedang menyapu lantai.
Zalwa, gadis yang penuh semangat, bukan hanya seorang pengusaha baju Muslim, tetapi juga seorang guru di taman kanak-kanak. Biasanya, setelah pulang mengajar, dia membuka gerai hingga sore. Namun, saat hari libur tiba, dia menghabiskan waktu di gerainya dari pagi hingga menjelang sore, percaya bahwa bekerja itu harus nyaman, meski hasilnya tidak selalu melimpah. Berkat usaha dan ketekunan, usahanya berkembang pesat. Tak sedikit yang memujinya sebagai gadis cantik yang sukses di usia muda, padahal dia dididik untuk mandiri dan tidak bergantung pada orang tua.
"Maaf, Pak. Saya kurang tahu. Tapi biasanya, kalau Zalwa libur, dia pasti memberi tahu saya semalam, biar saya tidak menyiapkan sarapan. Tapi semalam, saya juga tidak bertemu dia,” jawab Bi Mirah, yang sudah puluhan tahun mengabdi sejak Zalwa masih bayi. Kini, Bi Mirah berusia sekitar 55 tahun.
"Kalau begitu, tolong periksa ke kamarnya. Saya khawatir jika dia sakit atau ada yang tidak beres," titah Pak Shaleh dengan nada cemas.
"Baik, Pak. Permisi…" Bi Mirah pun melangkah pergi, membawa sapu dan pengki.
Tok tok tok!
Bi Mirah mengetuk pintu kamar Zalwa.
"Assalamualaikum, Neng…"
Tok tok tok!
"Neng, baik-baik saja kan?" serunya dengan nada khawatir.
Zalwa yang bersandar di ranjang, memejamkan mata, mencoba mengabaikan ketukan itu. Dia tidak tidur, hanya merasa lemah dan terguncang.
"Neng… Kalau sakit, jangan kunci pintu! Bibi dan Ayah khawatir kalau ada yang tidak beres," pinta Bi Mirah, suaranya setengah teriak.
Zalwa tetap terdiam, berusaha tak mendengarkan. Dia merasa terlalu lemah untuk menjawab, dan saat ini, dia hanya ingin sendirian.
"Neng, tolong buka pintu! Bibi khawatir sekali!" pinta Bi Mirah dengan lembut.
Namun, Zalwa tetap diam, terpejam dalam kesedihan yang mendalam.
Mendengar seruan Bi Mirah yang terus-menerus meminta putrinya untuk membuka pintu, Pak Shaleh merasa cemas. Ia segera melipat korannya dan beranjak menuju kamar Zalwa.
"Bagaimana, Bi?" tanyanya dengan nada penuh khawatir.
"Anu, Pak. Neng Zalwa sama sekali tidak menggubris saya. Ya Allah, saya khawatir sekali," jawab Bi Mirah, nada suaranya menunjukkan kepanikan.
Tok tok tok!
Pak Shaleh mengetuk pintu kamar Zalwa.
"Zalwa…" panggilnya lembut.
Satu panggilan dari ayahnya membuat Zalwa membuka matanya. Dia tahu betapa khawatirnya ayahnya, tetapi dia juga tak ingin ayahnya tahu bahwa jiwanya sedang tersakiti.
"Zalwa… Buka pintunya, Nak! Kamu kenapa? Jangan kunci pintu kalau sakit, Sayang…" seru Pak Shaleh, suaranya penuh kasih sayang.
Setelah beberapa saat, pintu pun dibuka. Pak Shaleh dan Bi Mirah terkejut melihat wajah Zalwa yang pucat dan sayu, dengan mata merah dan bengkak.
"Astagfirullah, Neng!" seru Bi Mirah, terkejut.
"Zalwa… Kamu kenapa, Nak?",tanya Pak Shaleh, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Ayah, Zalwa baik-baik saja kok," lirih Zalwa, suaranya begitu lemah.
Pak Shaleh cepat-cepat menyentuh dahi putrinya. Panasnya terasa, dan dia menggigil, tanda bahwa semalaman gadis itu tidak bisa tidur karena air mata yang terus menetes hingga menjelang subuh.
"Nak, kamu demam. Kita harus pergi ke rumah sakit sekarang!" desaknya.
"Tidak, Ayah… Tidak usah…" jawab Zalwa dengan nada memelas.
"Zalwa hanya demam biasa, mungkin karena masuk angin. Zalwa hanya butuh istirahat," ucap Zalwa, berusaha meyakinkan ayahnya.
"Tidak! Ayah khawatir kamu menderita sesuatu yang lebih serius. Kita pergi ke rumah sakit sekarang!" tegas Pak Shaleh.
"Ayah, ku mohon…" Zalwa menggenggam lengan Pak Shaleh, wajahnya memelas penuh harap.
“Zalwa hanya ingin istirahat di rumah. Zalwa tidak apa-apa, Ayah…” ujarnya lembut.
“Kalau begitu, biar dokter yang datang ke sini,” kata Pak Shaleh, tetap bersikeras.
"Bi Mirah, tolong kompres Zalwa. Saya akan menghubungi Dokter Melisha," titahnya dengan nada tegas.
"Baik, Pak. Mari, Neng, jawab Bi Mirah, merangkul Zalwa dan membawanya kembali ke kasur, berusaha memberikan kenyamanan di tengah kepedihan yang dirasakan Zalwa.
Dokter Melisha akhirnya datang dan memeriksa Zalwa yang terbaring lemah, sementara Pak Shaleh dan Bi Mirah menunggu di sampingnya dengan cemas.
"Kondisinya tidak terlalu mengkhawatirkan, hanya demam karena kelelahan. Istirahat dan vitamin cukup sudah cukup," kata Dokter Melisha, menenangkan.
"Alhamdulillah," seru Pak Shaleh dan Bi Mirah bersyukur.
"Zalwa, jaga kesehatan. Jangan biarkan stres mengganggu, dan beri tahu jika ada masalah. Jangan paksakan dirimu," pesan dokter penuh perhatian.
Zalwa mengangguk lemah. "Terima kasih, Bu Dokter," lirihnya.
Dokter Melisha menyerahkan resep. "Ini obatnya, Pak Shaleh. Silakan ambil di apotek."
"Terima kasih, Dok," jawab Pak Shaleh, menerima resep itu dengan rasa syukur.
...[•••]...
Di sudut sebuah kamar seorang pria berusia 28 tahun tengah meringkuk, menyandarkan bahu di pojok ruangan. Rambutnya kusut, wajahnya yang ditumbuhi janggut tipis terlihat pucat dan sorot matanya memancarkan amarah.
"Zein sudahlah ikhlaskan kepergian Shofia... Jangan menyakiti diri seperti ini." ucap seorang kawannya yang duduk di ujung ranjang.
"Sampai kapan pun aku tidak akan bisa menerima kematiannya.Jika saja Rayyan menerima cinta adikku pasti saat ini dia masih ada bersamaku!" Desis pria bernama Zein tersebut tanpa melihat ke arah temannya.
"Rayyan tidak bersalah Zein. Mencintai dan di cintai memang fitrah manusia, tapi kita tidak bisa memaksakan kehendak orang lain untuk menerima atau menolak." pemuda bernama Ali itu menasehati.
Zein yang sejak tadi menunduk langsung mengangkat wajah menghadap kepada Ali dengan ekspresi tidak terima.
"Adikku sangat mencintainya, setidaknya dia punya rasa iba saat Shofia mengancamnya akan melakukan bunuh diri. Tapi apa yang dia katakan? Dia sama sekali tidak perduli!" jelas Zein tersungut sungut, napasnya terengah-engah menahan gejolak marah yang selama ini dia pendam dalam dalam.
Zein kembali mengingat kejadian sebelum adiknya melakukan, tragedi bunuh diri.
...Flashback ...
Shofia Adalah gadis yang terbilang cantik, kulitnya kuning langsat, mata hitamnya bak mata kucing dengan bibir tipis yang merona. Gadis itu nampak seperti gadis chinese padahal dia asli berdarah sunda.
Shofia sempat menjadi santri di Ma'had putri Baitul Ilmi milik keluarga Rayyan. Pertemuannya dengan Rayyan adalah ketika mereka menghadiri acara walimah pernikahan sepupunya yang di adakan di gedung serba guna Ma'had Baitul Ilmi. Mereka tak sengaja di pertemukan dan diperkenalkan satu sama lain oleh Ummi Halimah yang bersahabat dekat dengan ummi Rahma ibu kandung shofia. Sejak saat itu Shofia jatuh cinta pada pandangan pertama dan berharap Rayyan membalas perasaanya.
Namun sekali dua kali Rayyan menolak dengan halus. Sebab di hatinya sudah terpatri seorang gadis yang tentunya lebih cantik dan jauh lebih baik daripada Shofia. Menurutnya meski baik dan sopan, Shofia terlalu ceriwis dan menye menye, pemikirannya tidak sebijak pemikiran Zalwa. Itu dibuktikan ketika mereka diberi kesempatan mengobrol ketika berta'aruf. Shofia bicara sangat manja dan terkesan di buat buat, itu benar benar membuat Rayyan muak dan cepat bosan, dia benar benar tidak tertarik dengannya.
Berbeda dengan Zalwa yang memiliki wajah ketimuran. Kulitnya putih bening, hidungnya mancung, bibirnya merona dan sedikit berisi. Namun yang paling Rayyan sukai adalah bola mata hijaunya serta lesung pipi yang muncul saat gadis itu tersenyum dan tertawa. Itu karena mendiang ibunda Zalwa adalah wanita imigran dari mesir yang kemudian di nikahi oleh Pak Shaleh, Ayah Zalwa yang saat itu sedang kuliah di Al-Azhar.
Rayyan tentu saja menolak penawaran untuk melanjutkan khitbah pada Shofia sebab dia merasa sudah memiliki seseorang yang lebih pantas bersanding hidup dengannya, dan dia sangat yakin bahwa hanya Zalwa lah yang pantas menerima cinta darinya.
Rayyan sangat menyukai kepribadian Zalwa yang tegas dan apa adanya, tidak banyak drama dan selalu sesuai fakta. Itu yang membuat pemuda bernama Rayyan itu tergila gila dengannya. Meski harus berjuang sekian lama dan mendapat penolakan berkali kali, pada akhirnya usaha tak menghianati hasil. Dia sangat bahagia ketika pertama kali Zalwa membuka hati padanya dan menjalin pertemanan dekat hingga akhirnya menjalin kasih secara diam diam.
Sejak saat itu Rayyan jadi pemuda bucin dan posesif pada kekasihnya. Dia tidak perduli gadis lain, termasuk shofia yang terus megereng meminta dijodohkan dengannya.
"Kakak... Aku mohon, aku hanya ingin Rayyan yang menjadi suamiku.. Aku sangat mencintainya..." Shofia mengisak mengguncang tangan kakaknya.
"Tapi bagaimana?.dia sudah menolakmu?" terang Zein. Pria itu benar benar bingung dengan apa harus membuat adiknya mengerti.
"Aku gak mau tahu Kak. Aku hanya ingin Rayyan yang menyentuhku dan aku juga gak mau Rayyan menyentuh wanita lain. Aku benci membayangkannya!" Shofia berkata lebih kencang.
Zein mengelus lembut rambut sang adik dan menagkupkan telapak tangannya di rahang Shofia.
"Kamu akan mendapatkan yang lebih dari Rayyan adikku. Pemuda itu bukan satu satunya yang terlihat sempurna di dunia ini."ujar Zein menghiburnya.
Gadis itu menggeleng dengan tangisnya yang masih meleleh.
"Bahkan meski dia memiliki seribu kekurangan pun, aku tetap akan mencintainya, Kak!" seru Shofia.
Abba dan Umma nya yang sedang duduk tak berdaya dengan sikap putrinya yang sangat memaksa.
"Kamu itu benar benar sudah dibutakan oleh cinta Shofia. Itu tidak benar. kamu itu gadis dari keluarga terhormat. Jangan pernah mau mengiba dan merendah seperti ini!" Tegas Abi Shofia yang benama Abu Zeid seraya bangkit dari duduknya.
"Aku gak perduli! Jika Abi dan Kakak gak bisa menyatukanku dengan Rayyan, lebih baik aku gantung diri saja! Aku gak sanggup jika harus melihat Rayyan bersama wanita lain, selain aku!" Teriak Shofia, dia melepaskan tangan kakaknya dan berlari ke kamar dengan histeris.
"Shofia!" teriak Zein.
"Shofia!" teriak Abinya.
Sedangkan Ummi hanya mampu menangis seraya melafalkan istighfar mengelus dada.
"Zein kita harus menemui keluarga Rayyan sekali lagi, barangkali dia sudah membuka hati untuk menerima Shofia." Ucap Abu Zeid penuh harap.
"Tidak. Bi, kita jangan mau merendah seperti ini. Rayyan sudah jelas dan mantap menolak lamaran kita, apa Abi tidak malu?" jawab Zein.
"Apapun akan Abi lakukan demi kebahagiaan Shofia, Abi tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada putri Abbi satu satunya. Dan dia adikmu satu satunya, kamu tidak mau kan melihatnya menderita?"
Zein menyugar rambutnya frustasi. Disisi lain dia sangat malu dan gengsi untuk lagi lagi bertandang membawa lamaran shofia yang berkali kali terus ditolaknya. Disisi lain dia sangat menyayangi dan khawatir pada ancaman adiknya jika benar dia nekat melakukan gantung diri.
...🔹 Visual 🔹...
...Rayyan Abdullah Rashad
...
...Zalwa Izzatunnissa Munawarrah...
...Shofia Qiandra Zikra...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments