CINTA KANAYA
"Selamat pagi, Yah, Bun." sapa Naya.
"Pagi, Sayang," balas Liana—Bunda Naya—
"Pagi, princess." Faizal—Ayah Naya— tersenyum kearah putrinya.
"Mau sarapan apa, Sayang."
"Roti selai kacang, Bunda."
"Tunggu, ia. Bunda buatin dulu."
"Ia, Bunda."
Naya melirik Ayahnya. "Ayah gak masuk kerja?"
"Mana mungkin Ayah masuk kerja, sedangkan putri Ayah lagi di rumah." Dengan lembut Faizal menatap Putrinya. Putri satu-satunya yang begitu dia jaga seperti menjaga kaca yang akan pecah jika di pegang oleh orang-orang.
"Ini, Sayang." Liana menyodorkan sebuah piring yang berisi roti yang sudah diberi selai kacang. "Saatnya sarapan, jadi gak boleh bicara, oke!"
Naya dan Faizal menganggukkan kepalanya dengan kompak.
Merekapun melanjutkan sarapannya tanpa ada suara, Selin detingan sendok dengan piring yang saling bersahutan.
Setelan sarapan, merekapun berkumpul di ruang keluarga untuk menikmati kebersamaan mereka.
"Naya?" Panggil Faizal, lalu menepuk-nepuk sofa yang ada di sampingnya. "Sini."
Tanpa pikir panjang, Naya langsung duduk di samping Ayahnya. "Ada apa, Yah?"
"Bagaimana Kuliah mu, princess?" tanya Faizal dengan lembut.
"Alhamdulillah, lancar Yah." Naya tersenyum ke arah Ayahnya.
"Alhamdulillah." Faizal mengelus kepala sang putri yang tertutupi oleh hijab. "Masih suka main ke rumah Kiyai Ibrahim dan Umi Hafizah?"
"Hmm, udah gak sesering dulu, Yah. Naya kan, sekarang sibuk banget, jadi gak sempet ke rumah Umi Hafizah," jawab Naya dengan wajah yang sedih.
"Naya," panggil Faizal dengan lembut.
Naya memandang ke arah Ayahnya. "Apa, Yah?"
Faizal membuang nafasnya sedikit kasar. "Ayah ingin menjodohkan mu dengan Anak sahabat Ayah."
"Hah, dijodohkan?" tanya Naya sedikit syok.
"Ia, princess Ayah, keberatan?" tanya Faizal.
"T–tapi, Ya—"
"Ayah sudah menjodohkan kamu dengan putra Kiyai Ibrahim, sahabat Ayah," potong Faizal.
"Putra Kiyai Ibrahim?" tanya Naya memastikan pendengarannya.
Faizal menganggukkan kepalanya. "Ia, Sayang."
Naya tersenyum manis sebelum menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, kalo dirinya setuju dengan perjodohan ini.
"Alhamdulillah."
****
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," salam Arkan saat memasuki rumah Abi dan Uminya.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Umi Hafizah. "Arkan!"
"Umi." Arkan langsung menyalami dan mencium tangan Uminya. "Apa kabar, Umi?"
Hafizah langsung memeluk tubuh Putranya. "Kenapa baru pulang sekarang? hiks ..., Kamu gak rindu sama Umi?"
Arkan hanya terdiam sambil memeluk Uminya dengan erat. Dia sangat merindukan wanita yang sudah melahirkan dan membesarkan dirinya. "Maafin Arkan, Umi. Karena Arkan baru pulang sekarang."
"Dipaksa pulang, baru mau pulang," sindir Kiyai Ibrahim yang baru saja datang. "Kalo Abi gak memaksamu pulang, pasti kamu gak pulang."
Arkan melepaskan pelukannya. "Pekerjaan Arkan, banyak Bi. Jadi gak sempat pulang."
"Ayo, sayang." Hafizah menarik tangan putra untuk duduk di sofa. "Mas, jangan marah-marah, Arkan baru saja datang, biarkan dia istirahat dulu."
Arkan duduk di sofa yang ada diruang keluarga.
"Tidak perna berubah," batin Arkan setelah memandang sekeliling rumahnya.
"Keenan, mana, Umi?" tanya Arkan.
"Dia belum pulang," jawab Umi Hafizah.
Arkan tertawa kecil, dia tidak sabar melihat kakanya itu. Terkahir kali melihatnya setelah kejadian. "Apa dia makin tinggi?"
"Setinggi dengan mu." Hafizah tersenyum ke arah putranya.
"Apa dia masih dingin dan c—"
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," salam dari luar.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Hafizah mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Bibirnya kembali tersenyum saat melihat putra pertamanya berdiri di sana. "Kamu udah pulang?"
Laki-laki itu berdiri kaku ditempatnya, matanya terpaku pada sosok laki-laki yang duduk di samping Uminya. Laki-laki yang dulunya sangat dia sayangi. Dengan sekuat tenaga dia menahan dirinya agar tidak berlari untuk memeluk sang Adik. Dia benci dengan keadaan ini, kenapa masa lalu sangat sulit dia lupakan.
"I–ia, Umi," ucap laki-laki itu dengan sedikit gemetar. "Keenan ke kamar dulu."
Ia, laki-laki itu adalah Arsyad Keenan Utsman. Putra pertama Kiyai Ibrahim dan Umi Hafizah.
Dengan langkah cepat, Keenan meninggalkan Uminya dan Arkan diruang keluarga.
Berbeda dengan Keenan yang memandang Arkan penuh kebencian, Arkan malah memandang Keenan penuh dengan kerinduan. Ia Arkan sangat merindukan sosok Kakaknya itu, tapi selain kerinduan, Arkan juga merasa bersalah, karena dirinya lah Keenan menjadi seperti sekarang.
"Andai Aku bisa memutar waktu, Aku tidak akan melakukan kesalahan sebesar ini." batin Arkan.
Matanya berkaca-kaca saat melihat melihat kakaknya berlalu begitu saja tanpa menyapa dirinya.
"Gak usah sedih, semuanya akan baik-baik saja." Hafizah mengelus pundak sang putra.
"Apa Dia masih marah sama aku, Umi?" tanya Arkan, lalu terkekeh kecil. "Konyol sekali, jelas dia masih marah."
"Udah, gak usah dipikirkan, sekarang kamu istirahat."
"Baiklah."
****
Naya duduk di meja belajarnya, lalu memandang buku diary yang berwarna pink di atas mejanya.
Naya membuka diary itu, lalu menulis sesuatu didalamnya. Ini sudah kebiasaannya sejak masuk ke pesantren beberapa tahun yang lalu. Dan ini buku diary yang ke tiga.
Tangannya menari-nari di atas buku. Menulis sesuatu yang menurutnya harus diabadikan lewat diary.
Bibirnya tersenyum saat mengingat dirinya akan di jodohkan dengan putra Kiyai Ibrahim. Siapa yang akan menolak, jika akan di jodohkan dengan seorang Gus? hanya wanita bodoh yang menolak perjodohan ini, apalagi dia adalah sosok laki-laki yang Naya cintai selama ini.
Naya mengelus nama yang terukir indah di ujung kertas. Nama yang selama ini dia langit kan untuk bersanding dengan namanya di lauhul Mahfudz.
"Semoga Allah menciptakan kita untuk melengkapi satu sama lain." Mata Naya semakin berbinar. Dia tidak sabar menanti perjodohan ini.
Tok, tok, tok.
"Sayang, ayo turun makan malam," kata Liana dari luar.
"Ia, Bunda." Naya menutup buku diary nya, sebelum turun untuk makan malam.
"Hay Ayah," sapa Naya saat sudah berada di meja makan, berhadapan dengan Ayahnya yang sedang tersenyum ke arahnya.
"Hy juga, Princess."
Merekapun menikmati makan malam dengan hikmat.
Saat keluarga Faizal menikmati makan malam mereka dengan bahagia, maka berbeda dengan keluarga Kiyai Ibrahim yang kelihatan tegang karena membahas tentang perjodohan.
BRAK ....
Dengan murka, Keenan menggebrak meja yang ada di depannya. Matanya menyalah penuh dengan kebencian dan kemarahan. "Berapa kali Keenan bilang, kalo Keenan tidak ingin di jodohkan!"
"Astaghfirullah hal'adzim." Hafizah mengelus dadanya karena terkejut. "Keenan."
Ara pandangan Keenan beralih kearah Uminya yang sedang berdiri di dekat pintu kamarnya. Pandangan langsung melunak saat melihat Uminya. "Umi."
Hafizah berjalan ke arah Putranya. "Kenapa, Sayang."
Keenan hanya diam.
"Cerita sam Umi." Hafizah mengelus rambut Putranya. "Tahan amarahmu, Keenan."
Inilah yang Hafizah takutkan, jika Keenan jauh darinya. Keenan sulit mengendalikan amarahnya, dan semakin sulit, semenjak kejadian itu, yang menyebabkan hubungannya dengan Arkan renggang. Berbeda dengan Arkan, meskipun Arkan adik, tapi Arkan sudah bisa menahan amarahnya.
"Mas, ada apa?" tanya Hafizah pada suaminya yang sedari tadik berdiri di depannya. "Kenapa Keenan bisa lepas kendali?"
"Maafin Mas, Sayang," ucap Kiyai Ibrahim. "Mas ingin menjodohkan Keenan dengan Putri Faizal, Kanaya."
"Keenan tidak ingin menikah, apalagi di jodohkan," kata Keenan yang masih di dalam pelukan sang Umi.
"Jika Keenan tidak mau, biar Arkan aja." tiba-tiba, Arkan datang dari luar. "Arkan siap kok di jodohkan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments