Liana berlari menuruni anak tangga saat mendengar sebuah keributan di bawah.
Sedangkan Naya hanya bisa mematung di tempatnya, antara sedih dan bahagia. Ia Naya sekarang merasa sedih bercampur bahagia.
"Apa yang terjadi?" tanya Liana saat berdiri didepan suaminya yang terlihat menahan amarahnya. "Mas? apa yang terjadi."
"Arkan pergi!" jawabnya dengan wajah yang dingin. "Naya dimana?"
"Ada didalam kamarnya. Jangan cemaskan Dia." Dengan lembut, Liana mengelus pundak suaminya untuk meredakan amarahnya. "Istighfar, Mas."
"Zal, maafin putraku!" ucap Kiyai Ibrahim dengan penuh penyesalan. Dirinya benar malu, semua mata dan bisikan dari tamu undangan mengarah ke Padanya. "Aku gagal mendidiknya dengan baik."
Faizal tidak dapat mengeluarkan sepatah katapun, entah itu tidak bisa atau tidak ada yang harus dia bicarakan, semuanya udah terlanjur, Arkan sudah pergi meninggalkan tempat acara pada saat ijab kabul berlangsung.
"UMI!" bentak Keenan mengagetkan mereka semua. "please, jangan paksa Keenan untuk ini."
"Keenan, pelan kan suaramu, Dia Umi mu, bukan anak kecil yang bebas kau teriaki." Murka Kiyai Ibrahim. Entah kenapa putranya sangat tidak sopan, rasanya dia gagal menjadi seorang Ayah.
Keenan langsung tersadar dengan perkataannya, inilah dirinya jika amarahnya sulit dikendalikan, dia akan membentak, teriak atau memukul pada siapapun yang membuatnya murka. Keenan sangat sulit untuk mengendalikan dirinya.
"U–umi!" lirih Keenan, dengan bibir yang bergetar. Dia benci dengan dirinya sendiri yang sulit mengendalikan emosinya. "Maafin Keenan."
Air mata Hafizah jatuh membasahi pipinya. Dia merasa bersalah karena meminta sama Keenan agar menggantikan posisi Arkan. "K–keenan, maafin Umi, Sayang."
Keenan menggelengkan kepalanya, Dia langsung memeluk Uminya. "Umi gak salah, Keenan yang salah, Keenan sudah kurang ajar sama Umi."
Hafizah memeluk tubuh putranya yang bergetar menahan tangisannya. "Tenang, sayang! Umi tidak akan memaksamu la—"
"Keenan akan menggantikan posisi Arkan," potong Keenan. Mungkin dengan melakukan ini, Uminya merasa bahagia, dan dirinya tidak dihantui dengan rasa bersalah karena sudah meninggikan suaranya.
"Jangan, Saya—"
"Keenan, siap." Keenan melepaskan pelukannya. "Abi, Keenan siap."
"Kamu yakin?" tanya Kiyai Ibrahim.
"Yakin," jawab Keenan dengan penuh keyakinan.
Kiyai Ibrahim membuang nafasnya dengan lega. "Mohon maaf atas ketidak nyamannya atas musibah yang terjadi."
Semua tamu yang tadinya berbisik dan memandang tidak suka kearah mereka menjadi terharu dengan Keenan yang begitu bertanggungjawab atas kesalahan keluarganya.
"Kita bisa mulai." Keenan duduk ditempat Arkan, lalu disusul Abi dan Uminya.
"Duduk, Mas!" ujar Liana saat melihat suaminya masih berdiri. "Semuanya akan baik-baik saja."
Faizal belum duduk juga, entah apa yang di pikirkan sekarang.
"Naya mencintai Keenan, dia akan bahagia saat tau Keenan yang akan menjadi Suaminya," bisik Liana pada suaminya.
Mendengar bisikan istrinya, Faizal langsung memandangi istrinya.
"Duduk Mas, Aku ke kamar Naya dulu."
Keadaan kembali dengan normal walaupun melalui drama keluarga dulu.
Krek ....
Spontan Naya melihat kearah pintu yang terbuka. Dia langsung berdiri saat melihat siapa yang datang. "Bunda."
Dengan senyuman yang manis, Liana berjalan kearah Putrinya yang kelihatan sangat cemas. "Tenang, semuanya aman."
"Apa yang sebenarnya terjadi, Bun? tanya Naya.
"Duduk Sayang." Liana membawa putrinya untuk duduk. "Tenang, kita tunggu aja, oke!"
Naya menganggukkan kepalanya. Dia percaya sama Uminya. Semuanya akan baik-baik saja.
Setelah beberapa menit terdengar suara Faizal.
"Bismillahirrahmanirrahim, Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Arsyad Keenan utsman bin Ibrahim Utsman dengan anak saya yang bernama Humaira adinda Kanaya dengan maskawin seperangkat alat sholat dibayar tunai," suara Faizal begitu lantang saat menikahkan putrinya.
Naya langsung menatap Bundanya, air matanya tidak dapat ditahan lagi. "B–bunda."
"Hush." Liana meletakkan telunjuknya ke bibir Putrinya sambil tersenyum.
Naya hanya meneteskan air matanya saat mendengar suara Keenan.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Humaira adinda Kanaya binti Muhammad faizal dengan maskawin tersebut dibayar tunai," terdengar suara Keenan tak kalah lantang memenuhi ruangan.
"Bagaimana para saksi? sah!"
"Sah!"
"Sah!"
"Sah!"
"Alhamdulillah."
Air mata Naya semakin mengalir, Dirinya benar-benar bahagia, sangat bahagia.
"Selamat, Sayang." Liana memeluk Putrinya. "Semoga kamu bahagia."
"Makasih, Bunda."
"Hapus air matamu, Suamimu akan datang," goda Liana.
"Bunda!"
"Hush, jangan mewek lagi, Bunda udah capek hari ini," canda Liana, ia walaupun ada benarnya juga. "Bunda keluar dulu."
Tak lama Liana keluar, Keenan pun datang dengan wajah datar nya.
Krek ....
Suara pintu terbuka mengejutkan Naya dari lamunannya.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," salam Keenan.
"W–wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Naya langsung berdiri dari duduknya untuk menyambut kedatangan Suaminya.
Canggung, itulah yang mereka rasakan saat ini, bagaimana tidak canggung, yang dulunya mereka dipertemukan sebatas santri dan Gus, mahasiswi dan Dosen sekarang menjadi suami-istri.
"Gus, eh ..., Pak." Naya memukul bibirnya. "Apa sih?"
Naya bingung mau manggil apa ke Keenan sekarang.
"B–bapak, butuh sesuatu?" lagi-lagi Naya mengutuk kebodohannya sendiri.
Berbeda dengan Naya yang berusaha mencairkan suasana, Keenan malah semakin membuat suasana dingin dengan wajah datar dan tatapannya.
"Kamar mandi?"
"Hah ...?" Naya tidak mengerti dengan perkataan Keenan.
"Kamar mandinya mana?"
"Oh ..., itu." Naya menunjukkan pintu kamar mandinya.
Tanpa mengucapkan apapun, Keenan masuk kedalam kamar mandi.
Naya menyentuh dadanya. "Please, jangan keluar."
Matanya menatap pintu kamar mandi yang sudah tertutup rapat. "Sumpah, kaku banget. Kalo gini terus, apa rumah tangga kami bisa bertahan."
Setelah beberapa saat kemudian, pintu kamar mandi sudah terbuka, menampilkan wajah Keenan yang sudah fresh dari yang tadi. Sepertinya dia mandi.
Jam sudah menunjukkan pukul 12: 00 siang, itu artinya sholat zhuhur sebentar lagi.
Naya melirik Keenan melalui cermin yang sudah lengkap dengan pakaian sholatnya, mungkin cowok itu sudah membawa perlengkapan sholat dari rumahnya.
"Bapak, mau solat ke masjid?" Naya memberanikan diri untuk bertanya.
"Hmm." Keenan keluar setelah menjawab pertanyaan Istrinya.
"Gus Keenan, gak pernah berubah, di Pesantren, Kampus, sama aja, dingin." cibir Naya saat suaminya sudah keluar dari kamarnya. "Kalo gini ceritanya, pernikahan akan tidak bertahan lama, bagaimana cara biar tuh es meleleh."
Kreek ....
"Kenapa balik lagi, Bapa—" perkataan Naya terputus saat melihat siapa yang datang. "Bunda?"
"Hehehe, maaf, Sayang. Bunda ganggu gak?" tanya Liana.
"Gak, Bun." Naya melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda. "Ada apa Bunda?"
"Ndk apa-apa, Bunda hanya pengen kesini aja," jawab Liana. "Kamu bahagia?"
Mata Kanaya melirik kearah Bundanya, jelas dirinya sangat bahagia, karena keenan yang menjadi suaminya. "Aku sangat bahagia, Bunda. Ia, walaupun Keenan sedikit cuek dan dingin."
"Tidak masalah, lama kelamaan dia akan hangat. Dia hanya belum terbiasa."
"Umi Hafizah sama kiyai Ibrahim udah pulang?" tanya Naya, soalnya, dia tak pernah keluar dari kamar saat ijab kabul selesai. Menurutnya untuk apa keluar lagi? Tamu juga udah pada pulang setelah ijab kabul. Tidak ada acara lainnya, karena ada kesalahan, buku nikah aja yang arus di tandatangani harus diubah dulu.
"Belum, Hafizah sedang istirahat, dia capek katanya, sedangkan Kiyai Ibrahim ke mesjid untuk solat."
"Oh."
****
"Naya?" panggil Keenan.
Saat ini mereka sedang berada di kamar.
"Ia, Pak?" sahut Naya dengan suara yang kecil. Dia masih bingung mau manggil Keenan dengan sebutan apa.
"Besok kita pindah."
"Hah, pindah! kemana?" tanya Naya dengan sedikit terkejut.
"Ke rumah saya!"
"T–tapi aku belum siap-siap,"
"Bersiaplah."
"Apa Bunda sama Ayah tau? kalo kita akan pindah besok?"
"Tau."
Setelah makan malam, Keenan berbincang-bincang dengan Ayah mertuanya dan meminta izin untuk pindah besok pagi. Faizal mengizinkannya, karena Naya bukan tanggungjawab lagi, tapi tanggungjawab suaminya, Keenan.
"Apa kita tinggal di pesantren sama Umi dan Abi?"
"Tidak!"
"Lalu, kita tinggal dimana?" tanya Naya dengan antusias.
"Di rumah Saya."
"Berdua?"
"Bertiga."
Jawaban Keenan membuat mata Naya membulat dengan sempurna. "Bertiga."
"Ya."
"Kamu punya istri selain aku?" tanya Naya penuh curiga.
"Pembantu."
"Istri kamu pemba—"
"Saya gak suka kamu banyak ngomong. Sekarang bersiaplah, besok pagi kita akan berangkat." Keenan mengambil bantal, lalu berjalan kearah sofa untuk tidur.
"Bapak mau kemana?" tanya Naya.
"Tidur," jawab Keenan tanpa melihat kearah Naya.
"Kenapa tidak tidur disi—"
"Kita akan jadi suami-istri diluar, tapi tidak di kamar," kata Keenan dengan wajah yang datar. "Aku akan menceraikan mu saat Arkan sudah kembali."
Deg
Senyuman yang tadinya tercetak lebar di bibirnya langsung redup saat mendengar perkataan suaminya. "M—maksudnya?"
Keenan membuka matanya yang sudah tertutup. "Seharunya yang ada disini Arkan, bukan Saya. Jadi, jangan terlalu berharap."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
bunda syifa
cobaan kiyai Ibrahim ada d anak nya, seorang kiyai punya dua putra gc ada yg bener
2024-01-14
0
Muawanah
wuih nyesek g tuh Naya....😔
2022-12-26
0