Naya membuka matanya saat mendengar suara adzan berkumandang lewat ponselnya diatas nakas yang ada di samping tempat tidurnya.
Naya mengumpulkan nyawanya sebelum turun dari ranjangnya, Setelah nyawanya merasa sudah terkumpul, Naya turun dari tempat tidurnya.
Bukannya langsung ke kamar mandi, Naya malah berjalan kearah dimana Keenan tertidur pulas. Bibirnya tersenyum saat melihat Keenan yang begitu damai dengan mata yang masih tertutup.
"Suami," ucapnya terkekeh kecil.
Tidak sedikitpun dibenaknya akan terjadi seperti ini. Haruskah dia berterima kasih banyak kepada Arkan, karena meninggalkan acara?
"Kalo aku bertemu adek ipar Arkan, akan ku ucapkan terimakasih banyak." ucap terkekeh. "Aku harap, dia gak muncul dulu, bisa kacau kalo dia udah nongol."
Tanpa Naya sadari, dirinya sudah berjongkok didepan Keenan. "Maa syaa Allah, nikmat mana lagi yang aku dustakan?"
Naya menyelusuri wajah Keenan yang begitu menyejukkan mata di pagi hari. Mulai dari alis, mata, hidung dan bibir. Tangan Naya terasa gatal, ingin menyentuh pahatan indah yang ada didepannya sekarang.
Tanpa sadar, Naya mengangkat tangannya, ingin merapikan rambut Keenan yang tiba-tiba menutupi wajahnya. Namun, dia tersadar saat mengingat perkataan Keenan semalam. Dia menurunkan kembali tangannya dengan wajah yang murung.
"Tidak akan ada perceraian, Mas. Aku akan berjuang untuk mendapatkan cintamu. Aku hanya butuh sedikit kegilaan, agar kamu melihat kearah ku. Ya ... hanya sedikit kegilaan."
Tanpa Naya sadari, Keenan membuka matanya.
Keenan langsung duduk saat melihat wajah Naya begitu dekat dengan wajahnya. Sedangkan Naya yang terkejut melihat Keenan terbangun, langsung berdiri dan mengalihkan pandangannya kearah lain. Dirinya sangat yakin, saat ini wajahnya memerah karena malu.
"Kamu ngapain?" tanya Keenan dengan suara khas bangun tidur.
"G–gak, gak ngapa-ngapain, t–tadik, aku ingin membangunkan Bapak, t–tapi Bapak sudah bangun," jawab Naya dengan suara yang begitu gugup. "Azan sudah bunyi."
"Oh." Keenan berdiri, lalu masuk kedalam kamar mandi.
"Selamat .... " Naya mengelus dadanya yang berdetak tak karuan karena tertangkap basah. "Bodoh, seharunya aku langsung masuk kamar mandi terus solat, bukan malah kesini dan memandanginya."
Setelah beberapa saat kemudian, Keenan keluar dari kamar mandi. Lalu bersiap untuk sholat subuh.
"Arah kiblat kemana?"
"Hah ...? Oh, ke sana." Tunjuk Naya kearah kiblat.
Keenan pun memulai sholatnya. Sedangkan Naya melongo saat melihat Keenan sudah memulai sholatnya. Mulutnya terbuka dengan lebar, dirinya benar-benar tidak percaya. Keenan sholat sendiri, tanpa menunggu dirinya, padahal Naya sudah berharap akan sholat di imani oleh suaminya.
Naya menghentakkan kakinya masuk kedalam kamar mandi. "Aku pikir dia akan bilang: cepat wudu, kita solat bareng. Nyatanya tidak!"
****
"Padahal, Bunda pengen, kalian masih lama disini," ujar Liana.
Mata Naya berkaca-kaca. "Naya juga maunya gitu, Bunda. Tapi, Mas Keenan buru-buru."
Keenan yang sibuk memasukan barang milik istrinya kedalam bagasi mobil, berhenti sejenak untuk melayangkan tatapan tajam ke istrinya itu.
"Astaghfirullah hal'adzim, tahan Keenan, ini bukan saatnya kamu marah, Umi mu gak ada disini." batin Keenan.
Keenan tersenyum. "Maaf, Bunda."
"Gak apa-apa, Nak." Liana membalas senyuman Keenan. "Bunda faham, ini terlalu mendadak untukmu."
Keenan hanya tersenyum. Dia tidak tau mau ngomong apa lagi pada ibu mertua dadakannya itu.
"Bunda, Ayah mana?" tanya Naya saat tidak melihat Ayahnya.
"Pasti dia tidak ingin melihatmu pergi, makanya dia tidak disini," jawab Liana.
Sejak semalam suaminya itu terlihat murung, Liana heran melihatnya, bukankah Dia sendiri yang meminta Naya untuk menikah, tapi dia juga yang sedih, saat Naya dibawah oleh suaminya.
"Baiklah, sampaikan salam ku untuk Aya—"
"Naya?" panggil Faizal dengan suara yang bergetar menahan tangisnya.
"Ayah." Naya menutup mulutnya, dia ingin tertawa saat melihat Ayahnya yang terlihat sangat kacau. "Ayah kenapa?"
Faizal langsung memeluk putrinya. "Ayah akan merindukanmu, princess."
Naya yang tadinya ingin tertawa, malah ikut merasa sedih. "Naya akan lebih merindukan Ayah."
"Meskipun sekarang kamu udah punya suami, jangan pernah lupakan ayah."
Kali ini Naya benar-benar ingin tertawa. Lihatlah, ayahnya sekarang seperti anak kecil yang akan ditinggal oleh ibunya. Menurutnya, pikiran Ayahnya sangat kekanak-kanakan, mana mungkin dia melupakan Ayahnya sendiri, ayahnya sangat konyol.
Naya melepaskan pelukannya. "Meskipun Naya udah punya suami, Naya tidak akan pernah melupakan ayah. Mana mungkin seorang anak bisa melupakan Ayahnya."
Faizal menghapus air matanya, lalu menoleh kearah Keenan yang sedari tadi berdiri dengan sabar melihat drama keluarga istrinya.
"Keenan," panggil Faizal.
"Ia, Yah?" jawab Keenan dengan serius. Meskipun pernikahan ini bukan keinginan. tetapi, dia harus menghargai orang tua Naya, bagaimanpun juga, saat ini dirinya adalah suami sah Naya.
"Ayah titip Naya, jaga dia Keenan, dia masih labil, jika dia berbuat kesalahan maka tegur dia dengan cara baik-baik, jangan mengangkat tangan padanya saat dia berbuat kesalahan." Faizal menghapus air matanya yang semakin mengalir. "Aku tau, pernikahan ini bukanlah keinginanmu, jika kamu merasa terbebani dengan pernikahan ini, maka telpon aku. Aku akan menjemput Putriku atau kamu boleh memulangkannya dengan cara baik-baik."
Keenan hanya mampu menganggukkan kepalanya, dia tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Entah apa yang dia pikirkan sekarang.
"Kalian hati-hati, jangan ngebut bawah mobilnya." Tangan Faizal menepuk-nepuk punggung Keenan. "Hubungi aku kalo kalian sudah sampai."
"In Syaa Allah, Yah," balas Keenan.
"Naya, sekarang kamu bukan lagi wanita yang bebas, sekarang kamu punya tanggungjawab sebagai seorang istri, nurut pada Suamimu, jangan sekalipun kamu membatah, Faham?" pesan Liana.
"In Syaa Allah, Bunda." Naya memeluk Bundanya. "Bunda harus sering berkunjung ke rumah Naya."
"In syaa Allah, Sayang."
"kalau gitu, kami pamit dulu, Yah, Bunda." Keenan dan Naya menyalami tangan Faizal dan Liana secara bergantian. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
****
"Umi tau, kalo gitu akan pulang?" Naya menoleh kearah Keenan yang serius menyetir mobil.
"Hmm."
Mata Naya berbinar dan tampak kekaguman diwajahnya saat memandang wajah keenan dari samping.
"Kenapa?" tanya Keenan tanpa mengalihkan perhatian dari jalan.
"Apa?" tanya Naya. Dia semakin memandang Keenan.
"Saya tau, kalo saya ganteng."
"Makanya saya liatin terus." Mata Naya semakin berbinar. "Gak dosa kan. Mas?"
"Panggilan Mas, hanya berlaku didepan keluarga."
"Terserah saya. Kamu gak suka?" tanya Naya.
"Saya risih."
"Ya udah, Naya panggil Sayang aja kalo gitu." Naya mengalihkan pandangannya keluar jendela.
Sedangkan Keenan hanya memasang ekspresi wajah mengeras. Dia tidak suka perkataan Naya barusan, tapi dirinya tidak bisa apa-apa, bagaimanpun juga Naya adalah seorang wanita, dan juga Istrinya.
"Tahan, ini cuman sebentar," batin Keenan.
"Rumah Mas dimana?" tanya Naya tanpa melihat kearah Keenan.
Tidak ada jawaban, Keenan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan Naya. Menurutnya, Naya akan tau kalo mereka sudah sampai. Jadi, untuk apa dia menjawab?
"Kalo ditanya, ia dijawab Mas!" geram Naya.
"Untung cinta, kalo gak udah aku tendan—"
"Jaga omongan mu," potong Keenan dengan suara yang dingin.
"Kalo tau gini, mending nikah sam Arkan," gumam Naya. "Tapi, aku bersyukur nikahnya sama Gus Keenan."
****
Setelah menempuh perjalanan terbilang cukup jauh dan cukup membuat mereka kelelahan, terutama Keenan, akhirnya sampai juga dengan selamat.
"Alhamdulillaah," ucap Keenan saat sudah sampai didepan rumahnya. Dia menoleh kearah Naya yang sudah tertidur dengan pulas. "Nyusahin."
Keenan keluar dari mobilnya, dia memanggil satpam penjaga rumahnya untuk membantunya mengeluarkan barang-barang Naya.
"Mau taruh di mana, tuan?" tanya Dody—satpam Keenan—
"Bawah masuk aja, pak," jawab Keenan.
"Siap, Tuan." Dody pun meninggalkan Keenan yang terlihat bingung.
"Naya?" panggil Keenan.
Naya yang begitu pulas tidurnya, tidak terganggu sama sekali dengan panggilan Keenan.
"Astaghfirullah hal'adzim, bagaimana caranya, biar ni bocah bangun." Keenan memijit pelipisnya. Dirinya sangat pusing. Hidupnya benar-benar kacau gara-gara Arkan.
"Naya?" panggil Keenan lagi. Tapi Naya masih tidak merespon. "Udahlah, gak ada cara lain."
Keenan membuka pintu mobil, lalu melepaskan safety belt yang ada ditubuh Naya, agar bisa mengangkat keluar. "Benar-benar menyusahkan."
Mata Naya terbuka saat merasakan tidurnya terganggu. Dirinya terkejut sekaligus bahagia. Terkejut karena ada di gendongan Keenan, dan bahagia karena Keenan peduli.
"Dia benar-benar kebo." Keenan melirik kearah Naya dengan sinis.
Sedangkan Naya kembali menutup matanya saat menyadari Keenan akan melihat kearahnya.
"Naya, kesempatan tidak datang dua kali," batin Naya.
Bibirnya melengkung membentuk senyuman senyuman licik. Lalu dia mengalungkan tangannya ke leher Keenan, kepalanya dia dekatkan kearah dada Keenan, mencari-cari kenyamanan di sana. Sedangkan Keenan hanya menaikkan satu alisnya dengan heran, tapi tidak ambil pusing, saat ini dia hanya ingin cepat sampai ke kamar.
"Hmmm, nyamannya," batin Naya.
Setelah sampai disebuah kamar, Keenan menurunkan Naya ketempat tidur dengan pelang-pelang, Naya bisa merasakan kalo Keenan sangat memperdulikan dirinya. Dia sangat bersyukur dan berterimakasih pada wanita yang membesarkan dan mendidik Keenan dengan baik.
Naya membuka matanya saat mendengar suara pintu tertutup. Dan Keenan sudah tidak terlihat lagi.
"Makasih, Umi." Naya tersenyum. "Karena melahirkan dan mendidik Keenan dengan baik."
Wajar kalo Keenan menghargai seorang wanita, dia dibesarkan dikawasan pesantren, dididik dengan ilmu agama. Pasti dia tau bagaimana caranya memperlakukan seorang wanita.
"Ini awal yang baru, di rumah yang baru. Hmm, perjuanganku akan dimulai dari sini."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments